Sosial Budaya

Pakaian Adat Daerah Sulawesi Utara: Mengenal Ciri Khas Dan Keunikannya

Written by Umam

Pakaian adat Sulawesi Utara – Sulawesi Utara identik dengan berbagai macam makanan yang tidak biasa dan beda dari yang lain. Meski begitu, provinsi yang satu ini juga mempunyai pakaian adat yang unik dan menarik.

Provinsi yang beribukota Manado ini menjadi rumah bagi berbagai macam suku, seperti Suku Talaud, Suku Bolaang Mongondow, Suku Minahasa, dan Suku Sangihe. Karena itu, tak heran jika Sulawesi Utara mempunyai kebudayaan yang beragam, termasuk pakaian adat.

Pakaian adat Sulawesi Utara sangat dihormati dan dihargai oleh masyarakatnya karena dapat menunjukkan status sosial seseorang dalam tatanan masyarakat. Selain itu, pakaian adat juga sering digunakan dalam acara-acara penting.

Nah, untuk lebih lengkapnya, mari kita pelajari berbagai jenis pakaian adat Sulawesi Utara lengkap dengan ciri khas dan keunikannya.

Jenis Pakaian Adat Sulawesi Utara dan Ciri Khasnya

Pakaian Adat Sangihe dan Talaud

manadokota.go.id

Pakaian adat Sangihe dan Talaud merupakan pakaian yang sering dikenakan oleh masyarakat suku Sangihe dan suku Talaud ketika menggelar upacara adat “Tulude” yang digelar rutin setiap tahun.

Upacara “Tulude” merupakan warisan dari para leluhur masyarakat Nusa Utara di Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Sitaro di provinsi Sulawesi Utara. Sampai sekarang, perayaan ini masih digelar untuk melestarikan kebudayaan asli setempat.

Dalam upacara ini, kaum laki-laki dan wanita mengenakan pakaian adat yang terdiri dari baju panjang, ikat pinggang, dan ikat kepala dengan warna yang didominasi oleh warna merah, hitam, dan biru.

Pakaian adat Sangihe dan Talaud terbuat dari serat kofo (fami manila). Kofo adalah sejenis pohon pisang yang banyak ditemukan di daerah Sangihe dan Talaud. Serat kofo tersebut tersebut ditenun menjadi lembaran kain dengan alat tenun yang bernama “kahuwang”.

Kain tenun dari serat kofo inilah yang digunakan untuk membuat pakaian adat Sangihe dan Talaud yang dikenal dengan nama “laku tepu”. Kata “Laku” berarti pakaian, sedangkan “tepu” berarti agak sempit. Dengan kata lain, “laku tepu” berarti pakaian yang bagian lehernya agak sempit atau tidak terbuka.

 

Pakain adat pria Sangihe dan Talaud

Pakaian adat untuk kaum pria melambangkan keagungan masyarakat Sangihe dan Talaud. Pakaian pria ini di bagian lehernya berbentuk setengah lingkaran dan panjang bajunya hingga sebatas tumit. Lalu untuk pelengkapnya ditambahkan popehe dan juga paporong.

Popehe

Popehe adalah sejenis kain dari kofo yang dipakai dengan cara diikatkan pada pinggang sebelah kiri dan ujungnya terurai ke bawah. Fungsi popehe yang utama adalah untuk memperindah pakaian laku tepu dan menjadi simbol pembangkit semangat dalam mengatasi rintangan maupun melaksanakan tugas.

Paparong

Paparong adalah sehelai kain yang dipakai dengan cara diikatkan pada bagian kepala dan menutupi dahi. Paparong biasanya terbuat dari kain kofo yang kemudian dibentuk segitiga sama sisi dengan alas selebar 3 sampai 5 cm yang dilipat sebanyak tiga kali.

Paporong terbagi menjadi dua, yaitu paporong lingkaheng yang dipakai oleh pria dari golongan masyarakat biasa dan paporong kawawantuge yang dipakai oleh pria dari keturunan bangsawan.

Pakaian adat wanita Sangihe dan Talaud

Ada sedikit perbedaan antara laku tepu khusus pria dan laku tepu khusus wanita. Jika laku tepu pria bentuknya panjang hingga sebatas tumit dengan leher berbentuk setengah lingkaran, maka laku tepu wanita bentuknya adalah baju terusan dari leher sampai betis dengan lipatan berbentuk segitiga atau huruf “V” di bagian lehernya.

Selain itu, para wanita mengenakan kahiwu, bandang, dan botu pusige sebagai aksesoris tambahan pakaian Laku Tepu nya.

Kahiwu

Kahiwu adalah pelapis bagian dalam yang diikatkan di pinggang sebelah kiri dengan variasi lipatan (wiron) yang disebut “leiwade”. Bagi masyarakat biasa, lipatannya berjumlah 5 sedangkan para bangsawan lipatannya sebanyak 7 atau 9 lipatan.

Bandang

Bandang merupakan selembar kain berukuran 1,5 meter dengan lebar 5 cm yang diletakkan di bahu kanan dan ujungnya diikatkan ke pinggang sebelah kiri. Biasanya bandang hanya dikenakan oleh wanita dari kalangan rakyat biasa. Sementara wanita keturunan bangsawan menggunakan “kaduku atau animating” yang dapat memperindah Laku Tepu serta melambangkan status sosial pemakainya.

 

Pakaian Adat Bolaang Mongondow

Bolaang Mongondow merupakan suku etnis di provinsi Sulawesi Utara yang dulunya merupakan rakyat kerajaan Bolaang Mongondow. Pada zaman dulu, kebudayaan suku ini terbilang maju dibanding suku lainnya.

Hal ini dibuktikan dengan beragam jenis pakaian adat Sulawesi Utara yang masing-masing punya fungsinya sendiri. Misalnya, untuk pakaian sehari-hari, masyarakat suku Bolaang Mongondow mengenakan serat dari kulit kayu atau pelepah nanas. Serat yang dikenal dengan nama “lanut” ini kemudian ditenun menjadi kain. Kain hasil tenunan lalu dijahit menjadi pakaian sehari-hari.

Meski begitu, sekarang masyarakat sudah jarang menggunakan pakaian sehari-hari tradisional yang terbuat dari lanut tersebut. Sebagian besar memilih pakaian yang lebih modern dan kekinian.

Sementara itu, untuk upacara adat, masyarakat Bolaang Mongondow menggunakan pakaian “Banian” untuk pria dan “Salu” untuk wanita. Baniang merupakan pakaian hasil perpaduan antara destar yang diikatkan di kepala dan pomerus yang diikatkan di pinggang.

Sedangkan Salu merupakan baju dengan kelengkapan kain senket pelekat sebagai atasan dan bawahannya, lalu hiasan emas di bagian dada yang disebut dengan hamunse.

Baju Pengantin Bolaang Mongondow

liputan6.com

Selain pakaian adat Banian dan Salu, baju pengantin suku Bolaang Mongondow juga termasuk pakaian adat Sulawesi Utara yang terkenal unik dan berkelas. Untuk pengantin pria, baju yang dikenakan berupa baju kurung yang terbuat dari kain satin antalas dengan warna kekuning-kuningan.

Di bagian muka, terdapat belahan yang memanjang hingga ke bawah memakai kancing yang berwarna emas. Sementara bagian bawahnya memakai celana yang terbuat dari kain antalas. Lalu di bagian pinggangnya ada kain sutera yang dilingkarkan dan tambahan aksesoris keris bersarung emas yang disisipkan.

Selain itu, dari pinggang hingga lutut dililitkan kain sarung pomerus berwarna yang warnanya kontras dengan warna celana. Di bagian kepala terdapat hiasan berupa topi setinggi 28-30 cm yang dikenal dengan nama sakapeti atau mogilenso.

Untuk pengantin wanita akan mengenakan baju salu yang lehernya berbentuk seperti huruf V yang agak membulat. Lengannya panjang dan warna bajunya terlihat mencolok atau senada dengan warna baju pengantin pria.

Di sekitar dada dan leher dililitkan perhiasan hamsei dengan bintik-bintik berwarna keemasan. Hamsei ini terbuat dari kain beludru yang diberi hiasan keemasan agar terlihat mengkilap.

Untuk mempercantik tampilan, biasanya ditambahkan juga perhiasan kalung untaian emas, giwan, cincin, dan lokis untaian rambut berbentuk bunga di bagian dahi. Biasanya pakaian ini digunakan oleh para keturunan bangsawan.

Pakaian Kohongian

Kohongian adalah pakaian pengantin yang digunakan oleh golongan kedua setelah bangsawan. Sayangnya, saat ini pakaian Kohongian sudah jarang ditemukan karena itulah, pakaian ini harus dilestarikan sebagai bentuk warisan budaya daerah Sulawesi Utara.

Simpal 

Sama seperti Kohongian, Simpal termasuk pakaian adat Sulawesi Utara yang harus dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur. Simpal biasanya hanya digunakan oleh kalangan bangsawan–seperti pendamping kerajaan pada upacara pernikahan..

Simpal sendiri merupakan pakaian adat berbentuk baju yang dipadukan dengan celana hitam bermotif emas untuk laki-laki. Sementara untuk perempuan, bawahannya menggunakan kain songket.

Pakaian Adat Minahasa (Bajang, Karai, dan Wuyang)

http://solokselatan.sumbar.polri.go.id/

Suku Minahasa merupakan suku yang mendiami wilayah semenanjung Sulawesi Utara. Konon, peradaban suku Minahasa di masa lampau lebih maju dibandingkan suku-suku lainnya. Hal ini terlihat dari pengetahuan serta keterampilan memintal kapas untuk membuat pakaian sehari-hari yang bernama Bajang.

Bajang adalah baju berlengan panjang berkerah dan memiliki saku. Umumnya Bajang dipadukan dengan bawahan berupa celana pendek atau celana panjang.

Pakaian adat pria Minahasa (Karai)

Pakaian adat pria Minahasa bernama Karai. Ini adalah pakaian seperti kemeja lengan panjang berwarna hitam yang terbuat dari ijuk. Pakaian ini memiliki saku di bagian bawah dan atas nya.

Selain itu, ada juga aksesoris sulaman bermotif padi, kelapa dan ular naga pada bagian lengan serta bagian depannya. Pakaian ini biasanya dipadukan dengan celana hitam panjang yang polos tanpa hiasan dengan model melebar di bagian bawahnya.

Sementara itu, di bagian pinggang ditambahkan  ikat pinggang yang terbuat dari kulit ular patola dengan bentuk menyerupai mahkota.

Pakaian adat wanita Minahasa (Wayang)

Sedangkan, untuk pakaian adat wanita disebut Wuyang. Ini adalah pakaian sejenis kebaya berlengan panjang dengan warna putih dan terbuat dari kulit kayu. Di bagian bawahnya terdapat lipatan seperti ikan duyung yang melebar dan sulaman sujiber berbentuk bunga padi serta bunga kelapa.

Di bagian dada kiri, ditambahkan kembang kaca piring dan bunga melati. Untuk menambah kesan cantik pada pakaian wanita Minahasa, ditambahkan sanggul (konde), mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), gelang dan anting.

Dalam adat Minahasa, konde yang dipakai oleh wanita terbagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah Konde Lumalundung yang menggunakan 9 bunga Manduru putih. Lalu yang kedua ada Konde Pinkan yang menggunakan 5 tangkai kembang goyang. Selain itu, mereka memakai Pasalongan Rinegetan atau gaun yang terbuat dari tenunan bentenan.

Seiring berjalannya waktu, pakaian adat Minahasa mendapatkan pengaruh dari budaya luar seperti China dan Spanyol. Sentuhan budaya Spanyol dapat dilihat pada pakaian wanita yang berupa kebaya dengan perpaduan rok yang bervariasi.

Sedangkan sentuhan China dapat dilihat dari baju kebaya berwarna putih yang dipadukan dengan kain khas China yang bermotif burung dan bungaan.

Lalu untuk pria, sentuhan budaya Spanyol terlihat dari baju lengan panjang yang modelnya menyerupai jas tutup dan dipadukan dengan celana panjang. Baju ini terbuat dari kain blacu berwarna putih.

 

Busana Pengantin Khas Minahasa

Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, busana pengantin khas Minahasa juga menjadi pakaian adat Sulawesi Utara. Terutama yang dikenakan oleh pengantin perempuan, yaitu baju ikan duyung.

Baju ikan duyung ini terdiri dari kebaya putih dan kain sarung dengan warna serupa yang disulam dengan motif sisik ikan. Selain itu, ada juga sarung bermotif sarang burung yang dikenal dengan nama salim burung.

Lalu, ada lagi kain sarung dengan motif kaki seribu yang dikenal dengan nama kaki seribu serta sarung motif bunga yang disebut laborci-laborci. Nama pakaian ini diambil dari bentuknya terlihat seperti ikan duyung.

Untuk pengantin pria, memakai busana yang terdiri dari baju jas yang tertutup atau terbuka lalu dipadukan dengan celana panjang. Di bagian pinggang ditambahkan dengan selendang dan di bagian kepala ada aksesoris topi yang disebut porong. Semua aksesoris yang digunakan pengantin pria ini dihiasi dengan motif bunga padi.

Pakaian Adat Tonaas Wangko dan Walian Wangko

borneochannel.com

Tonaas Wangko adalah baju kemeja berlengan panjang dengan kerah yang tinggi. Model potongannya lurus dan ditambahkan dengan kancing serta tidak memiliki saku. Lalu untuk warnanya, menggunakan warna hitam.

Di bagian leher, ujung lengan, dan ujung baju bagian depan yang terbelah ada hiasan bermotif bunga padi dengan warna kuning keemasan. Saat dikenakan, Tonaas Wangko biasa dipadukan dengan topi merah tambahan motif bunga padi yang warnanya kuning keemasan.

Sementara itu, Walian Wangko adalah modifikasi bentuk dari pakaian adat Tonaas Wangko. Model baju Walian Wangko panjang mirip jubah dengan warna putih dan hiasan corak bunga padi.

Kaum pria minahasa biasa memadukan pakaian ini dengan topi porong nimiles yang terbuat dari 2 kain berwarna merah-hitam dan kuning-emas yang dililitkan. Perpaduan dua warna ini merupakan simbol dari 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia serta alam baka.

Untuk kaum wanita, biasanya mengenakan Walian Wangko dengan model kebaya panjang berwarna putih atau ungu. Potongan bajunya tanpa kancing dan kerah. Saat dipakai, biasanya akan dipadukan dengan kain sarung batik berwarna gelap serta topi mahkota yang bernama Kronci.

Selain itu, para wanita juga biasa menambahkan selempang berwarna merah atau kuning, kalung leher, selop, dan sanggul. Umumnya semua aksesoris ini memiliki motif bunga terompet.

Baik Tonaas Wangko maupun Walian Wangko biasanya dikenakan oleh semua kalangan  pada saat menghadiri acara-acara resmi.

Pakaian Adat Gorontalo

borneochannel.com

Meskipun Gorontalo sudah memisahkan diri dari Sulawesi Utara dan menjadi Provinsi yang baru pada tahun 2000 lalu, tetapi pakaian adatnya masih diakui sebagai bagian dari pakaian adat Sulawesi Utara.

Pakaian adat masyarakat Gorontalo terbuat dari kapas mentah yang telah melalui proses pemintalan hingga berubah menjadi benang. Biasanya pakaian ini digunakan dalam berbagai macam acara, seperti acara pernikahan dan yang lainnya.

Pakaian adat laki-laki Gorontalo (Makuta)

Pakaian adat laki-laki Gorontalo memiliki lengan yang pendek dengan tambahan aksesoris kalung bakso, pasimeni, dan tudung makuta. Jika diperhatikan lagi, pakaian ini sedikit mirip dengan baju Melayu dan pakaian adat asal Riau.

Pakaian adat wanita Gorontalo (Biliu)

Pakaian adat wanita Gorontalo bentuknya mirip seperti kebaya, namun tanpa motif apapun dan dipadukan dengan rok atau sarung di bagian bawahnya. Selain itu, ditambahkan juga beberapa aksesoris seperti ikat punggang, gelang padeta, dan yang lainnya.

Yang menarik dari pakaian adat Gorontalo adalah warnanya yang beragam dan memiliki filosofi yang berbeda-beda. Misalnya, untuk warna ungu berarti melambangkan keanggunan dan kewibawaan.

Lalu warna hijau yang melambangkan kediaman, kerukunan, kesuburan, dan kerukunan. Kuning emas untuk kemuliaan, kesetiaan, kejujuran, dan kebesaran hati. Coklat berarti kematian atau kuburan.

Kemudian ada juga warna merah yang berarti tanggung jawab serta keberanian. Warna hitam memiliki filosofi ketakwaan pada Yang Maha Kuasa dan keteguhan. Terakhir, warna putih yang berarti kesucian dan duka.

Temukan berbagai keunikan dan ciri khas pakaian adat dari seluruh Indonesia dalam buku Ensiklopedia Negeriku: Pakaian Adat yang ditulis oleh Dian K & Agnes Bemoe. Kamu bisa memahami rupa pakaian adat dengan lebih mudah melalui ilustrasi dalam buku ini. Tidak hanya dari segi bentuk, buku ini juga disertai dengan penjelasan sejarah maupun fungsi pakaian adat yang ada.

Demikian pembahasan tentang pakaian adat Sulawesi Utara. Semoga semua pembahasan di atas bisa menambah wawasan kamu. Jika ingin mencari buku tentang Indonesia atau daerah-daerah Indonesia, maka kamu bisa mendapatkannya di gramedia.com.

Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Penulis: Gilang Oktaviana Putra

Plagiarism:

Rujukan:

  • https://www.orami.co.id/magazine/pakaian-adat-sulawesi-utara
  • https://www.pinhome.id/blog/pakaian-adat-sulawesi-utara/
  • https://id.theasianparent.com/pakaian-adat-sulawesi-utara
  • https://sulut.inews.id/berita/pakaian-adat-sulawesi-utara

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.