Kesenian

Karakteristik, Ragam, dan Fungsi 5 Senjata Tradisional Khas Masyarakat Indonesia

Karakteristik, Ragam, dan Fungsi 5 Senjata Tradisional Khas Masyarakat Indonesia
Written by Gaby

Karakteristik, Ragam, dan Fungsi 5 Senjata Tradisional – Grameds, pernahkah kalian melihat senjata tradisional? Biasanya, senjata tradisional dapat dilihat di museum atau ketika seseorang memakai pakaian adat. Keberadaan senjata tradisional ini merupakan warisan nenek moyang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Wilayah Indonesia terbagi menjadi beberapa pulau, yaitu Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Bali, Pulau Papua, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku. Masing-masing pulau tersebut terdiri atas berbagai provinsi yang memiliki aneka ragam senjata tradisional. Senjata tradisional menjadi ciri khas kebudayaan dari masing-masing provinsi itu.

Sebelum memiliki senjata tradisional tersendiri di tiap wilayah, nenek moyang kita dahulu membuat senjata untuk berburu atau melindungi diri dari binatang. Pada zaman primitif, senjata tradisional yang digunakan berupa alat untuk berburu dari kayu atau bambu. Selanjutnya, pada zaman batu digunakan senjata tradisional batu yang bertangkai kayu.

Memasuki zaman perunggu, mulai dikenal logam sebagai dasar senjata tradisional, yaitu tosan aji. Tosan aji adalah senjata pusaka tradisional berupa tombak, keris, pedang, wedung, rencong, badik, dan sebagainya. Pusaka ini merupakan perpaduan antara seni dan budaya yang tinggi dengan teknologi metalurgi yang canggih. Sampai sekarang, proses pembuatan beberapa tosan aji masih misteri.

Bayangkan saja, leluhur kita dapat mengolah bermacam-macam logam dengan peralatan sederhana menjadi sebuah tosan aji, misalnya titanium yang memiliki titik lebur tinggi hampir 2.0000 C. Saat ini, titanium digunakan untuk peluru kendali, roket, dan pesawat ruang angkasa.

Tosan aji dapat memunculkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Masyarakat Jawa umumnya menyebut hal ini sebagai piyandel (penambah kepercayaan diri). Rahmat (2010) dalam bukunya berjudul Mengenal Senjata Tradisional mengungkapkan jika suatu senjata tradisional, misalnya keris pusaka atau tombak pusaka, yang diberikan oleh raja kepada para bangsawan keraton itu mengandung suatu kepercayaan. Ketika kepercayaan raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang bangsawan, senjata tersebut akan ditarik atau diminta kembali oleh sang raja.

Inilah yang menyebabkan tosan aji dapat bersifat sakral dan tidak boleh sembarangan digunakan, bahkan hingga kini beberapa senjata pusaka dipercaya memiliki kekuatan supranatural.

Untuk mengenal beberapa senjata pusaka tersebut, berikut akan dipaparkan penjelasan karakteristik dan fungsinya yang dirangkum dari beberapa sumber.

1. Kujang

Kujang adalah senjata tradisional berupa senjata tajam yang bentuknya menyerupai keris atau parang. Kujang memiliki bentuk unik berupa tonjolan di bagian pangkalnya, bergerigi di salah satu sisi bagian tengahnya, dan melengkung di bagian ujungnya.

Menurut beberapa peneliti, kujang berasal dari kata kudi dan hyang. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang berarti senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sehingga dapat digunakan sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit.

Sementara itu, kata hyang dapat disejajarkan dengan pengertian dewa dalam beberapa mitologi. Namun, hyang bagi masyarakat Sunda mempunyai arti dan kedudukan di atas dewa. Hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang menyebutkan “Dewa Bakti di Hyang”.

Pada zaman Kerajaan Majapahit, orang yang ahli dalam membuat kujang disebut guru teupa. Bahan pembuatan kujang cenderung tipis, bersifat kering, berpori, dan banyak mengandung unsur logam alam. Senjata tradisional ini memiliki panjang sekitar 20 sentimeter–30 sentimeter dan lebar 5 sentimeter. Bagian matanya terdapat 1–5 lubang. Kujang memiliki berat kurang lebih 300 gram.

Pada masa lalu, kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah, yaitu Rancah dan Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini dalam masyarakat Baduy, Banten, dan Pancer Pengawinan di Sukabumi.

Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian berikut ini.

  • Papatuk/congo, yaitu kujang yang ujungnya menyerupai panah;
  • Eluk/silih, yaitu kujang yang memiliki lekukan di bagian punggung;
  • Tadah, yaitu kujang yang memiliki lengkungan menonjol di bagian perut;
  • Mata, yaitu kujang yang memiliki lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak.

Kujang dapat dibawa dengan cara-cara berikut ini.

  • Disoren, yaitu digantungkan di pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabut atau tali pengikat yang dililitkan di pinggang;
  • Ditogel, yaitu dibawa dengan cara diselipkan di sabuk bagian depan perut menggunakan tali pengikat;
  • Dipundak, yaitu dibawa dengan cara dipikul tangkainya di atas pundak;
  • Dijinjing, yaitu dibawa dengan cara ditenteng atau dipegang tangkainya.

Jika dilihat dari bentuk dan ragamnya, kujang dibagi menjadi beberapa macam berikut ini.

  • Kujang ciung, yaitu kujang yang memiliki bentuk menyerupai burung Ciung;
  • Kujang jago, yaitu kujang yang bentuknya menyerupai ayam jantan;
  • Kujang kuntul, yaitu kujang yang bentuknya menyerupai burung kuntul;
  • Kujang bangkong, yaitu kujang yang bentuknya menyerupai bangkong;
  • Kujang naga, yaitu kujang yang bentuknya menyerupai naga;
  • Kujang badak, yaitu kujang yang bentuknya menyerupai badak.

Sementara itu, jika dilihat dari fungsinya kujang dibagi menjadi beberapa macam berikut ini.

  • Kujang sebagai pusaka, yaitu kujang yang digunakan sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan;
  • Kujang sebagai pakarang, yaitu kujang yang berfungsi sebagai senjata untuk berperang;
  • Kujang pamangkas, yaitu kujang yang berfungsi sebagai alat dalam pertanian untuk memangkas dan menanam tanaman.

2. Celurit

Celurit merupakan senjata tradisional masyarakat Madura yang memiliki bentuk bilah melengkung. Dahulu, celurit hanyalah sebuah arit yang sering digunakan petani untuk menyabit rumput di ladang dan membuat pagar rumah. Namun, arit kemudian diubah menjadi alat bela diri yang digunakan oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.

Celurit diyakini berasal dari legenda Sakera/Sakerah. Dia adalah seorang mandor tebu dari Pasuruan yang menjadi salah satu tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Dia dikenal selalu membawa atau mengenakan celurit dalam aktivitas sehari-hari, terutama sebagai alat pertanian atau perkebunan.

Dia berasal dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Dikarenakan selalu melakukan perlawanan, Sakera akhirnya ditangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Jazadnya kemudian dimakamkan di daerah paling selatan Kota Bangil atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, Kabupaten Pasuruan.

Celurit dibagi menjadi dua jenis, yaitu celurit kembang turi dan celurit wulu pitik (bulu ayam). Sementara itu, ragam ukuran celurit dikenal dengan ukuran 5 (paling kecil) dan ukuran 1 (paling besar). Bilah celurit dapat dibuat dari berbagai jenis besi, misalnya besi stainless, besi bekas rel kereta api, besi jembatan, besi mobil, dan baja.

Celurit memiliki hulu (gagang) yang terbuat dari kayu, di antaranya kayu kembang, kayu stingi, kayu jambu klutuk, kayu temoho, dan sebagainya. Ujung hulunya terdapat tali sepanjang 10 sentimeter–15 sentimeter yang digunakan untuk mengantung atau mengikat celurit. Biasanya, di bagian ujung hulu terdapat cerukan sedalam 1 sentimeter–2 sentimeter.

Sarung celurit terbuat dari kulit kerbau yang tebal atau kulit sapi. Sarung celurit hanya dijahit 3/4 dari ujung celurit untuk memudahkan mencabut celurit. Umumnya, sarung celurit dihiasi dengan ukiran atau ornamen sederhana.

3. Keris

Keris merupakan senjata tradisional yang umumnya dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat Jawa. Keris memiliki berbagai bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada yang berbilah lurus. Keris umumnya diukur di bagian gagang dan sarungnya.

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah, misalnya keris di daerah Jawa ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai, tetapi ditempatkan di depan pada masa perang.

Bagian keris secara umum terdiri atas wilah, warangka, dan hulu. 

Wilah (Bilah Keris)

Wilah merupakan bagian utama dari keris yang terdiri atas bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan. Pada pangkal wilahan terdapat pesi yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Panjang pesi antara 5-7cm, dengan penampang sekitar 5–10 sentimeter. Pesi berbentuk bulat panjang seperti pensil.

Warangka (Sarung Keris)

Warangka merupakan sarung keris yang mempunyai fungsi tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Warangka umumnya dibuat dari kayu jati, cendana, timoho, dan kemuning. Bentuk warangka ada dua jenis, yaitu warangka ladrang dan warangka gayaman.

Warangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalnya menghadap raja dan acara resmi keraton lainnya. Warangka ini digunakan dengan cara menyelipkan gandar keris di stagen (lipatan sabuk) pinggang bagian belakang. Sementara itu, warangka gayaman dipakai untuk keperluan harian. Cara menggunakannya ditempatkan di bagian depan (dekat pinggang) atau pinggang belakang.

Hulu (Pegangan Keris)

Dalam bahasa Jawa, pegangan keris disebut gaman. Pegangan keris dihiasi dengan bermacam-macam motif. Bahan yang digunakan untuk membuat pegangan biasanya dari aneka bahan, yaitu gading, tulang, logam, dan kayu. Umumnya, pegangan keris Jawa terdiri atas sirah wingking (kepala bagian belakang), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan), weteng, dan bungkul.

Senjata keris di Yogyakarta sangat dihormati dan dikeramatkan oleh masyarakat. Keris di Yogyakarta diberi gelar yang berbeda-beda, misalnya Kanjeng Kyai Ageng Baru, Kanjeng Kayi Agung, dan Kanjeng Kayi Gagapatan.

4. Rencong

Rencong merupakan senjata tradisional sejenis belati yang bentuknya menyerupai huruf L. Rencong memiliki makna filosofi religius dan keislaman. Gagangnya yang berbentuk huruf Arab diambil dari padanan kata Bismillah.

Gagang rencong yang melekuk kemudian menebal di bagian sikunya berbentuk huruf Ba. Gagang tempat genggaman berbentuk huruf Sin. Bentuk-bentuk lancip yang menurun ke bawah di bagian pangkal besi dekat gagangnya berbentuk huruf Mim. Pangkal besi lancip di dekat gagang yang menyerupai lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya melambangkan huruf Lam, dan bagian bawah yang sedikit melekuk ke atas berbentuk huruf Ha. Dengan demikian, keseluruhan huruf “Ba, Sin, Mim, Lam, dan Ha” mewujudkan kalimat Bismillah.

Kalimat ini merupakan lambang yang memperlihatkan karakteristik rakyat Aceh yang sangat berpegang teguh kepada kemuliaan ajaran Islam. Rencong mulai dipakai pada 1514–1528, yaitu ketika Sultan Ali Mughayat Syah memerintah kerajaan Aceh.

Sejak zaman dahulu, rencong memiliki fungsi berikut ini.

  • Sebagai perhiasan pakaian yang diselipkan di pinggang;
  • Sebagai seni ukir dan alat kesenian, seperti dipakai dalam pertunjukan tari Seudati;
  • Sebagai perkakas yang digunakan sebagai pelubang rumbia;
  • Sebagai senjata perang untuk menghadapi musuh-musuh peperangan yang ingin menjajah Aceh.

Umumnya, rencong dibuat dari besi putih, kuningan, dan tanduk kerbau. Rencong yang digunakan raja atau sultan biasanya terbuat dari gading sebagai sarungnya dan emas murni untuk bagian belahnya. Sementara itu, rencong-rencong lainnya terbuat dari tanduk kerbau atau kayu sebagai sarungnya dan kuningan atau besi putih sebagai belatinya. Rencong jenis besi putih dinyakini memiliki banyak khasiat karena dapat mengusir makhluk halus, seperti halnya jin dan setan yang mencoba untuk mengganggu.

Rencong adalah simbol keberanian dan kegagahan masyarakat Aceh. Bagi siapa saja yang memegang rencong, akan merasa lebih berani menghadapi musuh. Pada masa sekarang, senjata ini memang sudah tidak relevan untuk digunakan sebagai senjata penyerang.

Namun, rencong saat ini masih relevan sebagai sebuah simbol dari keberanian, ketagguhan, dan kejantanan dari masyarakat Aceh. Inilah yang menyebabkan rencong dipakai dalam beberapa acara, misalnya upacara pernikahan. Pemakaian benda ini lebih mengarah kepada simbolisasi dari keberanian seorang laki–laki dalam memimpin keluarga setelah menikah.

Rencong terdiri atas empat jenis, yaitu rencong meupucok, rencong meucugek, rencong meukuree, dan rencong pudoi.

Rencong meupucok

Rencong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam dari gading atau emas. Gagang rencong ini kelihatan kecil di bagian bawah dan mengembang membesar di bagian atasnya. Bagian pangkal gagang dihiasi pucok rebung (emas bermotif tumpal) serta diberi permata ditampuk gagang.

Panjang rencong ini sekitar 30 sentimeter. Sarung rencong juga dibuat dari gading dan diberi ikatan dengan emas. Rencong jenis ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masalah adat dan kesenian.

Rencong meucugek

Disebut rencong meucugek karena bagian gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk penahan dan perekat yang
dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek. Cugek ini melengkung ke bagian belakang mata rencong kira-kira
15 sentimeter, sehingga dapat berbentuk siku-siku. Cugek diperlukan supaya mudah dipegang dan tidak mudah lepas ketika menikam ke badan lawan atau musuh.

Rencong meukuree

Mata rencong meukuree diberi hiasan tertentu, seperti gambar ular dan bunga. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan beragam macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong ini lantas disimpan lama dan awalnya akan membentuk kuree (sejenis aritan). Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong, semakin banyak pula kuree yang terdapat di mata rencong tersebut. Kuree ini juga dianggap mempunyai kekuatan magis.

Rencong pudoi

Pudoi dalam masyarakat Aceh berarti sesuatu yang dianggap masih kurang atau masih ada yang belum sempurna. Hal ini dapat dilihat dari gagang rencong ini. Gagangnya hanya lurus dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudoi atau yang belum sempurna adalah bentuk gagang rencong tersebut.

5. Golok

Golok merupakan senjata tradisional masyarakat Betawi. Dahulu, masyarakat Betawi menggunakan golok sebagai penghias pinggang, baik di dalam maupun di luar rumah untuk menjaga diri dari serangan penjahat. Keberadaan senjata ini dalam masyarakat Betawi dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa Barat yang melingkupinya.

Perbedaan di antara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan penamaannya. Sementara itu, kualitas di antara kedua daerah tersebut tidaklah berbeda jauh. Hal ini dikarenakan pandai besi yang membuatnya mayoritas mengacu di tempat-tempat yang berada di Ciomas, Banten dan Cibatu, Sukabumi.

Masyarakat Betawi membagi golok menjadi empat, yaitu golok gobang, golok betok dan badik badik, serta golok ujung turun.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Karakteristik, Ragam, dan Fungsi 5 Senjata Tradisional Khas Masyarakat Indonesia. Grameds juga dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang senjata tradisional lainnya di Indonesia. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait Senjata Tradisional

 

About the author

Gaby

Hai, saya Gabriel. Saya mengenal dunia tulis menulis sejak kecil, dan saya tahu tidak akan pernah lepas dari itu. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya untuk bisa turut memberikan informasi melalui tulisan saya. Saya juga sangat menulis dengan tema kesenian. Dengan seni, hidup akan jadi lebih berwarna.

Kontak media sosial Instagram saya Gabriela