Sosial Budaya

Mengenal Hari Pasaran Jawa dan Asal-Usul Penanggalan Jawa

Cara Menghitung Weton
Written by Umam

Mengenal Hari Pasaran Jawa dan Asal-Usul Penanggalan Jawa – Sahabat Grameds, apakah kalian masih ingat tentang hari pasaran Jawa saat pelajaran di sekolah dasar? Ketika kami masih duduk di bangku sekolah dasar, dahulu ada pelajaran bahasa daerah yang memuat secara khusus mengenai bahasa dan budaya Jawa. Kami tidak tahu, apakah pada zaman serba milenial ini masih ada pelajaran tentang itu, terutama yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

Pada era sekarang budaya bangsa banyak yang hilang dan tak dipelajari secara saksama, padahal budaya tersebut adalah salah satu harta dari nenek moyang atau leluhur kita yang patut dilestarikan. Nah, Sahabat Grameds artikel kali ini akan membahas secara khusus tentang budaya dalam masyarakat Jawa, yaitu tentang sistem penanggalan Jawa.

Asal-Usul Penanggalan Jawa

Sultan Agung atau Susuhunan Agung.

Sistem penanggalan ini awalnya digunakan secara resmi oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahan yang mendapat pengaruhnya. Saat itu, terdapat dua sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram, yaitu kalender Masehi dan kalender Jawa. Kalender Masehi digunakan agar urusan administrasi kerajaan dapat selaras dengan kegiatan sehari-hari masyarakat umum, sedangkan kalender Jawa digunakan sebagai patokan penyelenggaraan upacara-upacara adat kerajaan.

Kalender Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645). Sultan Agung adalah raja ketiga dari Kesultanan Mataram. Saat itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India. Kalender Saka didasarkan dari pergerakan matahari (solar), berbeda dengan kalender Hijriah atau kalender Islam yang didasarkan kepada pergerakan bulan (lunar). Oleh karena itu, perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh kerajaan tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.

Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat diselenggarakan bersamaan. Untuk itulah, diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriah. Sistem penanggalan inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan.

Kalender ini meneruskan tahun Saka, tetapi melepaskan sistem perhitungan yang lama dan menggantikannya dengan perhitungan berdasarkan pergerakan bulan. Dikarenakan pergantian tersebut tidak mengubah dan memutus perhitungan dari tatanan lama, pergeseran peradaban ini tidak mengakibatkan kekacauan, baik bagi masyarakat maupun bagi catatan sejarah.

Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan beberapa sistem, yaitu sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sedikit dari sistem penanggalan Julian yang merupakan dari bagian budaya Barat. Jadi, lahirnya sistem penanggalan Jawa merupakan kolaborasi dari penanggalan-penanggalan tersebut.

Dekret Sultan Agung itu berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram, yaitu seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan (Banyuwangi). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.

Sistem penanggalan yang dipelopori oleh Sultan Agung ini juga disebut penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan mengitari bumi. Walaupun mengadopsi sistem penanggalan Hijriah, terdapat perbedaan hakiki antara sistem perhitungan penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriah.

Perbedaan yang mendasar adalah pada saat penetapan pergantian hari ketika pergantian sasi (bulan). Candrasangkala Jawa menetapkan bahwa pergantian hari ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap, yaitu pada saat matahari terbenam (surup antara 17.00–18.00), sedangkan pergantian hari ketika pergantian bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan melalui hilal dan rukyat.

Siklus Hari Pasaran dalam Penanggalan Jawa

Simbol siklus pasaran dalam kalender Jawa.

Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pañcawara (pancawara), sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Siklus yang masih dipakai sampai saat ini adalah saptawara (siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari), sedangkan yang lain masih dipakai di Pulau Bali dan di Tengger.

Saptawara atau padinan terdiri atas tujuh hari dihubungkan dengan sistem bulan-bumi. Siklus tujuh hari ini bersamaan dengan siklus mingguan dalam kalender Masehi, yaitu Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Solah (gerakan) dari bulan terhadap bumi berikut adalah nama dari ketujuh nama hari tersebut.

  • RaditeNgahad, melambangkan meneng (diam);
  • SomaSenen, melambangkan maju;
  • HanggaraSelasa, melambangkan mundur;
  • BudaRebo, melambangkan mangiwa (bergerak ke kiri);
  • RespatiKemis, melambangkan manengen (bergerak ke kanan);
  • SukraJemuwah, melambangkan munggah (naik ke atas);
  • TumpakSetu, melambangkan tumurun (bergerak turun).

Adapun pancawara terdiri atas Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar), Pon (Palguna), dan Wage (Cemengan). Pancawara juga biasa disebut sebagai pasaran. Siklus ini dahulu digunakan oleh para pedagang untuk membuka pasar sesuai hari pasaran yang ada. Inilah yang menyebabkan sekarang banyak dikenal nama-nama pasar yang menggunakan nama pasaran tersebut, seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing, Pasar Pon, dan Pasar Wage.

Hari-hari pasaran merupakan posisi patrap (sikap) dari bulan sebagai berikut.

  • Kliwon • Kasih, melambangkan jumeneng (berdiri);
  • Legi • Manis, melambangkan mungkur (berbalik arah ke belakang);
  • Pahing • Jenar, melambangkan madep (menghadap);
  • Pon • Palguna, melambangkan sare (tidur);
  • WageCemengan, melambangkan lenggah (duduk).

Selain pancawara dan saptawara, masih ada siklus enam hari yang disebut sadwara atau paringkelan. Walaupun terkadang masih digunakan dalam pencatatan waktu, paringkelan tidak digunakan dalam menghitung jatuhnya waktu upaca-upacara adat di keraton. Paringkelan terdiri atas Tungle, Aryang, Warungkung, Paningron, Uwas, dan Mawulu.

Siklus Bulan dalam Penanggalan Jawa

Seperti halnya dalam penanggalan lainnya, kalender Jawa juga memiliki 12 bulan. Bulan-bulan tersebut memiliki nama serapan dari bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa, yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Umur tiap bulan berselang-seling antara 30 dan 29 hari.

Berikut disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriah dengan nama-nama Arab, tetapi beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta seperti Pasa, Séla, dan kemungkinan juga Sura, sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu.

Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar). Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan Hijriah, seperti Pasa yang berkaitan dengan puasa Ramadan, Mulud yang berkaitan dengan Maulid Nabi pada bulan Rabiulawal, dan Ruwah yang berkaitan dengan Nisfu Sya’ban saat amalan dari roh selama setahun dianggap dicatat.

No Penanggalan Jawa Lama Hari
1. Sura 30
2. Sapar 29
3. Mulud atau Rabingulawal 30
4. Bakda Mulud atau Rabingulakir 29
5. Jumadil awal 30
6. Jumadil akir 29
7. Rejeb 30
8. Ruwah (Arwah, Saban) 29
9. Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan) 30
10. Sawal 29
11. Séla (Dulkangidah, Apit)*) 30
12. Besar (Dulkahijjah) 29/30
Total 354/355

Nama-nama bulan tersebut adalah sebagai berikut.

  • Warana • Sura, artinya rijal;
  • Wadana • Sapar, artinya wiwit;
  • Wijangga • Mulud, artinya kanda;
  • Wiyana • Bakda Mulud, artinya ambuka;
  • Widada • Jumadilawal, artinya wiwara;
  • Widarpa • Jumadilakir, artinya rahsa;
  • Wilapa • Rejeb, artiya purwa;
  • Wahana • Ruwah, artinya dumadi;
  • Wanana • Pasa, artinya madya;
  • Wurana • Sawal, artinya wujud;
  • Wujana • Séla, artinya wusana;
  • Wujala • Besar, artinya kothong.

Keterangan:

Nama alternatif bulan Dulkangidah adalah Sela atau Apit. Nama-nama ini merupakan peninggalan nama-nama Jawa Kuno untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai Apit Lemah. Séla berarti batu; yang berhubungan dengan lemah yang berarti adalah “tanah”.

Penampakan bulan dalam penanggalan Jawa sebagai berikut.

  • Tanggal 1 bulan Jawa, bulan terlihat sangat kecil-hanya seperti garis, ini dimaknakan dengan seorang bayi yang baru lahir, yang lama-kelamaan menjadi lebih besar dan lebih terang;
  • Tanggal 14 bulan Jawa dinamakan dengan purnama sidhi, bulan terlihat penuh melambangkan orang dewasa yang telah bersuami atau beristri;
  • Tanggal 15 bulan Jawa dinamakan dengan purnama, bulan terlihat masih, penuh tetapi sudah ada tanda ukuran dan cahayanya sedikit berkurang;
  • Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan dengan panglong, ini dimaknakan dengan seseorang yang sudah mulai kehilangan daya ingatannya;
  • Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan dengan sumurup, ini dimaknakan dengan seseorang yang  sudah mulai diurus hidupnya oleh orang lain atau kembali layaknya seorang bayi;
  • Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan dengan manjing, ini dimaknakan dengan manusia kembali ke tempat asalnya lagi.
  • Sisa hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat ketika manusia akan mulai dilahirkan kembali ke kehidupan dunia yang baru.

Siklus Tahun dalam Penanggalan Jawa

Satu tahun dalam kalender Jawa memiliki umur 354 3/8 hari. Untuk itulah, terdapat siklus delapan tahun yang disebut sebagai windu. Dalam satu windu terdapat delapan tahun yang masing-masing memiliki nama tersendiri, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Tahun Ehe, Dal, dan Jimakir memiliki umur 355 hari dan dikenal sebagai tahun panjang (Taun Wuntu), sedangkan sisanya 354 hari dikenal sebagai tahun pendek (Taun Wastu). Pada tahun panjang tersebut, bulan Besar sebagai bulan terakhir memiliki umur 30 hari.

Selain itu, terdapat siklus empat windu berumur 32 tahun, yaitu nama hari, pasaran, tanggal, dan bulan akan tepat berulang atau disebut tumbuk. Keempat windu dalam siklus itu diberi nama Kuntara, Sangara, Sancaya, dan Adi. Tiap windu tersebut memiliki lambang sendiri, yaitu Kulawu dan Langkir. Masing-masing lambang berumur delapan tahun, sehingga siklus total dari lambang berumur 16 tahun.

Pun demikian, masih ada perbedaan perhitungan antara tahun Jawa dan tahun Hijriah. Tiap 120 tahun sekali, akan ada perbedaan satu hari dalam kedua sistem penanggalan tersebut. Inilah yang membuat pada saat itu tahun Jawa diberi tambahan satu hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup.

Sampai awal abad 21, telah terdapat empat khurup, yaitu Khurup Jumuwah Legi/Amahgi (1555 J–1627 J/1633 M–1703 M), Khurup Kemis Kliwon/Amiswon (1627 J–1747 J/1703 M–1819 M), Khurup Rebo Wage/Aboge (1867 J–1987 J/1819 M–1963 M), dan Khurup Selasa Pon/Asapon (1867 J–1987 J/1936 M–2053 M).

Nama khurup yang berlangsung mengacu kepada jatuhnya hari pada 1 bulan Sura tahun Alip. Pada Khurup Asapon, tanggal 1 bulan Sura tahun Alip akan selalu jatuh hari Selasa Pon selama kurun waktu 120 tahun.

Wuku dan Neptu

Terkait dengan penanggalan Jawa, dikenal pula periode waktu yang dianggap menentukan watak dari anak yang dilahirkan, seperti halnya astrologi yang terkait dengan kalender Masehi. Periode ini disebut Wuku dan ilmu perhitungannya disebut sebagai Pawukon. Terdapat 30 Wuku yang masing-masing memiliki umur 7 hari, sehingga satu siklus Wuku memiliki umur 210 hari yang disebut Dapur Wuku.

Selain Wuku, terdapat juga Neptu yang digunakan untuk melihat nilai dari suatu hari. Ada dua macam Neptu, yaitu Neptu Dina dan Neptu Pasaran. Neptu Dina adalah angka yang digunakan untuk menandai nilai hari-hari dalam saptawara, sedangkan Neptu Pasaran digunakan untuk menandai nilai hari-hari dalam pancawara. Nilai-nilai ini digunakan untuk menghitung baik buruknya hari terkait kegiatan tertentu dan perwatakan seseorang yang lahir pada hari tersebut.

Kalender Sultan Agungan yang dimulai pada Jumat Legi tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 J, atau 1 Muharram 1043 H, atau 8 Juli 1633. Peristiwa ini terdapat pada Windu Kuntara Lambang Kulawu dan ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Jemparingen Buta Galak Iku (panahlah raksasa buas itu).

Sejak saat itu, Kesultanan Mataram dan penerusnya mampu menyelenggarakan perayaan-perayaan adat seirama dengan hari-hari besar Islam. Upacara-upacara tradisi seperti Garebeg tidak menjadi halangan bagi perkembangan Islam, tetapi malah dimanfaatkan sebagai syiar agama itu sendiri.

Sistem penanggalan baru ini merupakan upaya seorang pemimpin yang berpandangan jauh ke depan untuk menggabungan dua arus peradaban pada masa itu, sebuah rekonsilasi antara gelombang kebudayaan Islam dengan peradaban pra Islam. Peradaban baru yang kini dikenal sebagai Mataram Islam.

Implementasi Kalender Jawa

Saat ini, kalender Jawa digunakan untuk menentukan berbagai kegiatan penting, seperti kegiatan menentukan hari baik untuk pernikahan, kegiatan menentukan hari untuk khitanan, kegiatan untuk menentukan acara kematian, kegiatan menentukan pendirian rumah, dan juga kegiatan untuk menentukan hari baik untuk berpergian.

Masyarakat umum, khususnya Jawa, beranggapan bahwa mereka harus menentukan hari baik terlebih dahulu untuk melaksanakan berbagai kegiatan, misalnya kegiatan pernikahan haruslah ditentukan terlebih dahulu hari baiknya agar calon pasangan yang akan menikah nantinya tidak akan memperoleh kejadian buruk, baik itu sebelum menikah atau setelah menikah.

Masyarakat memandang bahwa kalender Jawa itu memiliki nilai kesakralan. Adapun ciri-ciri kesakralan itu adalah dihormati manusia, menimbulkan rasa takut, dijunjung tinggi, ditandai sifat ambigu, manfaatnya tidak dapat dinalar, memberikan adanya kekuatan, serta menekankan tuntunan dan kewajiban bagi para penganut dan pemujanya.

Terkait dengan adanya kepercayaan dan juga keyakinan terhadap suatu hal di dalam kalender Jawa, semua itu tergantung dengan pandangan masing-masing individu masyarakat yang menilai. Kami selaku redaktur hanya dapat mengambil sisi positif dari adanya kalender Jawa Islam di dalam kehidupan yang sudah kotemporer ini.

Berbagai tindakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat dalam menyirakan adanya kalender Jawa merupakan sebuah folkways (kebiasaan) terkait masalah-masalah di kehidupan sosial, sebuah mores (tata kelakuan) terkait kehidupan sosial, dan juga sebuah tradition (adat).

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Asal-Usul, Siklus, dan Implementasi Sistem Penanggalan Jawa. Grameds juga dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang kebudayaan lainnya yang masih tetap dilestarikan di Indonesia. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

BACA JUGA:

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.