Sosial Budaya

Makna Filosofis dan Keunikan Rumah Adat Sulawesi Selatan

Written by Umam

Rumah Adat Sulawesi Selatan – Sebagai salah satu provinsi yang telah lama dihuni, Sulawesi Selatan memiliki budaya yang amat kaya. Salah satunya adalah rumah adat. Rumah adat dari beberapa suku ini menandakan warisan nenek moyang yang masih terus terjaga sampai sekarang. Sulawesi Selatan memiliki lima jenis rumah adat yang unik-unik.

Kekayaan budaya yang dibangun oleh para pendahulu mereka sejak ribuan tahun lalu ini sangat penting untuk diketahui. Rata-rata rumah adat di sana memiliki konsep rumah panggung dengan tinggi sekitar 3 meter.

Jenis-jenis Rumah Adat Sulawesi Selatan dan Karakteristiknya

Untuk mengetahui lebih banyak tentang rumah adat Sulawesi Selatan, berikut adalah ulasannya.

1. Rumah Adat Tongkonan dari Suku Toraja

Istilah Tongkonan berasal dari suku Toraja yaitu “tongkon” yang artinya duduk. Rumah adat ini merupakan rumah adat dari suku Toraja, yang menetap di pegunungan bagian utara Sulsel.

Bentuk rumahnya menyerupai perahu kerajaan China. Bentuk tersebut sekaligus menjadi pengingat, bahwa nenek moyang suku Toraja dulu datang ke Sulawesi Selatan memakai perahu. Rumah adat ini, selain dipakai sebagai rumah juga digunakan untuk melaksanakan upacara-upacara adat.

Rumah adat Tongkonan dibangun memakai kayu yang didirikan di atas tumpukan kayu. Jenis kayu yang dipakai adalah kayu Uru, salah satu yang paling mudah ditemukan di Sulawesi. Selain itu, pembangunan juga dilakukan tanpa unsur logam, bahkan paku juga sangat jarang dipakai untuk membangun Tongkonan.

Lalu sama seperti rumah adat lainnya, ada ornamen atau hiasan yang menjadi ciri khas Tongkonan. Warna merah, hitam, dan kuning adalah warna dominan yang dipakai ora Toraja untuk mempercantik Tongkonan.

Dalam masyarakat, rumah adat suku Toraja juga dikenal sebagai pusat pemerintahan. Istilah yang dipakai adalah Toma’ Parenta. Rumah ini termasuk salah satu rumah yang megah, sehingga dulu hanya orang-orang bangsawan saja yang bisa membuat rumah Tongkonan.

Karena berkonsep rumah panggung, maka bagian bawah biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat memelihara hewan ternak. Ciri khas terakhir yang tak kalah unik yaitu adanya patung kepala kerbau di bagian atas rumah dengan warna yang berbeda-beda.

Ternyata, kepala kerbau yang ada di rumah Tongkonan juga menjadi penanda status sosial pemilik rumah. Semakin banyak kepala kerbau yang dipasang, semakin tinggi pula status sosial orang tersebut di masyarakat. Kemudian, karena suku Toraja masih memiliki kepercayaan pada leluhur mereka, proses pembangunan rumah pun tidak sembarangan.

Mereka harus mengikuti pakem-pakem atau syarat yang telah ditetapkan oleh para nenek moyangnya. Seperti rumah harus menghadap ke utara, sebagai awal kehidupan. Lalu bagian belakang menghadap ke selatan sebagai akhir dari kehidupan.

Beli Buku di Gramedia

2. Rumah Adat Balla dari Makassar

Rumah adat kedua adalah yang berasal dari Makassar, yaitu rumah adat Balla. Suku Makassar ini menghuni Sulawesi Selatan bagian pesisir barat daya. Seperti rumah adat lainnya, Balla dulunya juga menjadi rumah bagi para bangsawan.

Bangunan rumahnya juga memiliki konsep tradisional rumah panggung. Pembagian arsitekturnya dibagi menjadi tiga, yaitu atap, inti rumah, dan kolong. Bahan material yang dipakai adalah berbagai macam kayu, sementara atapnya memakai ijuk atau jerami.

Rumah Balla ditopang oleh 10 buah tiang penyangga. Rumah ini dikenal luas dan besar, dengan ketinggian sekitar 3 meter, jadi ruangan dalamnya pun luas dan besar. Ruang teras Balla disebut dengan dego-dego, lalu ruang tamu disebut paddaserang dallekang. Lalu ruang bagian tengah akan dipakai sebagai ruang keluarga, dan kamar tidur berada di bagian paling belakang. Untuk kamar tidur di belakang ini dikhususkan bagi anak perempuan.

Atap rumah Balla berbentuk pelana, yang ujungnya lancip menghadap ke bawah. Untuk bagian atap, selain dari ijuk juga bisa dari bambu, rumbia, atau nipah. Lalu bagian pucuknya ada segitiga yang disebut sebagai Timbaksela.
Segitiga yang tidak bersusun ini menandakan rumah orang biasa, sementara yang disusun bertingkat menandakan pemiliknya adalah seorang bangsawan. Jika Timbaksela lebih dari tiga, tandanya si pemilik rumah adalah bangsawan yang memiliki jabatan pemerintahan.

3. Rumah Adat Saoraja dari Suku Bugis

Berikutnya adalah rumah adat dari Suku Bugis, yaitu Saoraja. Rumah adat Suku Bugis lebih banyak mendapat pengaruh Islam. Anda bisa melihatnya dari arah rumah yang selalu menghadap kiblat. Dalam proses pembangunannya pun rumah Bugis tidak memakai paku, melainkan dengan kayu atau besi.

Ada dua jenis rumah Saoraja, satu Saoraja untuk kalangan bangsawan, dan rumah Bola untuk rakyat biasa. Meski begitu, namun keduanya memiliki unsur-unsur yang sama. Berikut adalah 3 unsur bagian pada rumah adat Saoraja:

– Kalle Bala, atau pembagian ruangan. Ada ruang tamu, kamar tidur, dan dapur.
– Rakkeang atau dalam bahasa Bugis berarti bagian yang dipakai untuk menyimpan benda-benda pusaka. Selain itu, tempat ini juga dipakai menyimpan makanan.
– Passiringan atau Awasao, yaitu ruang yang hampir mirip dengan gudang, dipakai sebagai tempat menyimpan peralatan tani, sekaligus sebagai kandang hewan ternak.

Rumah Bugis ini juga memakai konsep rumah panggung yang dibuat dari bahan berbagai jenis kayu. Ciri khasnya ada pada atap yang berbentuk pelana dengan timpalaja yang jumlahnya disesuaikan dengan status sosial pemilik rumah. Timpa Laja atau gevel ini adalah bidang segitiga antara dinding dengan pertemuan atap.

Beli Buku di Gramedia

4. Rumah Adat Suku Luwuk

Keempat yaitu rumah adat bagi Suku Luwuk. Suku asli dari Luwuk yaitu suku Saluan, suku Banggai, dan suku Balantak. Meskipun suku Banggai telah berdiri, namun masih banyak yang mendiami kota Luwuk.

Dahulu, rumah adat suku Luwuk adalah rumah yang dihuni oleh raja Luwuk. Bahan utama pembuat rumah adalah 88 tiang kayu. Rumah ini memiliki bentuk segiempat dengan ukiran pada pintu dan jendela yang dibuat sama. Adapun ornamen pahatan yang biasa ditemukan pada pintu, jendela, maupun tangga disebut dengan Parengreng. Parengreng ini menjadi lambang kehidupan yang tidak terputus.

5. Rumah Adat Boyang dari Suku Mandar

Rumah adat Sulawesi Selatan yang terakhir adalah rumah adat dari Suku Mandar, yaitu rumah adat Boyang. Suku Mandar ini dikenal menempati sebagian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Beberapa orang mengenal mereka melalui perayaan adatnya yaitu Sayyang Pattu’du atau kuda menari dan Passandeq, tradisi mengarungi laut dengan cadik. Rumah adat suku Mandar ini juga merupakan rumah panggung yang ditopang oleh tiang-tiang dari kayu.

Rumah Boyang sebenarnya hampir sama dengan rumah Bugis. Hanya saja, teras atau lego rumah Boyang jauh lebih luas dan besar. Atapnya juga berbentuk unik, seperti ember yang miring ke arah depan.

Hal unik lain dari rumah Boyang ini terletak pada peletakan tiang yang tidak ditancapkan ke tanah, melainkan diletakkan di atas batu datar guna mencegah pelapukan. Rumah ini memiliki dua tangga, satu di bagian depan dan satu lagi di belakang.

Sesuai ketentuan adat, tangga-tangga tersebut harus berjumlah ganjil, antara 7-13 anak tangga. Lalu untuk dinding rumahnya menggunakan papan kayu yang diukir memakai ukiran khas Mandar, Sulawesi Selatan.
Filosofi Rumah Adat Masing-masing Suku di Sulawesi Selatan

Setiap rumah adat, tentu memiliki filosofi yang membuatnya berbeda dengan rumah lainnya. Berbagai hal mulai bahan yang dipakai sampai hitungan jumlah apapun, pasti memiliki makna sendiri.

Begitu juga dengan rumah adat suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan. Meski hampir keseluruhan memiliki konsep rumah panggung, namun setiap rumah juga mempunyai aturan dan makna masing-masing. Berikut adalah beberapa makna filosofi pada masing-masing rumah adat di sana:

1. Makna Filosofis Rumah Tongkonan

Seperti yang sudah disebutkan di atas, tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti tempat duduk atau menduduki. Nama ini diambil karena dulunya, Tongkonan menjadi tempat para bangsawan Toraja berkumpul dan berdiskusi.

Lalu di bagian depan rumah, terdapat hiasan dengan 2 macam motif, yaitu pa’manuk londong atau ayam jantan, dan pa’barre allo atau pancaran sinar matahari yang bulat. Kedua ukiran tersebut selalu dipasang bersamaan di depan rumah.

Pa Manuk londong atau ayam jantan ini memiliki makna kebenaran atau katonganan dan keadilan atau sanda salunna. Lalu ayam jantan juga dapat mengetahui perputaran matahari atau untandai allo, termasuk mengukur siang dan malam atau ussuka’ bong.

Kedua, makna pa barre allo, menunjukkan energi dan kekuatan yang dibutuhkan untuk membangun keadilan. Jadi, dengan adanya hiasan atau patung tersebut, diharapkan setiap penghuni rumah dapat memiliki sikap sesuai dengan makna setiap patung. Di bawah motif ini akan ada daun sirih yang dijadikan persembahan utama dalam acara adat.

Rumah adat Tongkonan terdiri dari 3 lapisan yang berbentuk segi empat. Bentuk segi empat ini melambangkan empat kehidupan manusia yang terdiri dari kelahiran, kehidupan, pemujaan, dan kematian.

Segi empat yang dipakai juga menjadi simbol arah mata angin, yaitu timur, barat, selatan, dan utara. Rumah yang harus menghadap ke utara yang menggambarkan kehidupan juga menjadi ciri khas sekaligus aturan adat setempat.
Adapun 3 bagian rumah adat Tongkonan di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Bagian atas atau Rattiang Banua

Bagian pertama ini dipakai sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka. Benda pusaka yang disimpan tentu mempunyai kesakralan sekaligus menjadi harta berharga bagi Suku Toraja. Lalu bagian atap. Tongkonan terbuat dari bambu yang disusun dan diikat memakai ijuk serta rotan. Karena memakai ijuk dan rotan, atapnya sangat kuat dan dapat bertahan sampai ratusan tahun.

b. Kale Banua

Bagian kedua atau bagian tengah adalah Kale Banua. Bagian ini kemudian juga dibagi lagi menjadi tiga bagian. Di bagian utara, terdapat Tengalok yang fungsinya sebagai ruang tamu dan ruang tidur untuk anak-anak.

Selain itu, kadang-kadang ruang ini juga digunakan untuk menaruh tempat sesaji. Lalu pada bagian tengah, ada ruang Sall yang dipakai sebagai ruang pertemuan keluarga, dapur, tempat makan, dan juga tempat disemayamkannya keluarga yang meninggal.

Bagi masyarakat, keberadaan jasad di ruangan ini dianggap biasa, bahkan menjadi tanda mereka dekat dengan para leluhur. Lalu bagian terakhir adalah ruang khusus untuk kepala keluarga.

c. Suluk Banua

Terakhir adalah ruang bagian bawah rumah atau suluk banua. Tempat ini biasa dipakai untuk hewan peliharaan dan menjadi tempat menyimpan alat-alat pertanian.

Kemudian, untuk ornamen atau hiasan yang dipakai oleh orang Toraja biasanya menggunakan 4 jenis warna, yaitu putih, hitam, kuning, dan merah. Keempat warna ini tentu saja dipilih bukan tanpa alasan, namun karena memiliki makna masing-masing.

Untuk warna putih dipilih sebagai lambang kesucian dan warna tulang. Lalu warna kuning menjadi lambang anugerah Sang Maha Kuasa, atau disebut Puang Matua oleh masyarakat Toraja. Sementara itu warna merah melambangkan kehidupan, dan hitam sebagai lambang kematian.

2. Makna Filosofis Rumah Balla

Balla Lampoa khas suku Makassar juga dibuat dengan konsep rumah panggung. Rumah Balla Lampoa ini memiliki puncak atap berbentuk segitiga, biasa disebut dengan Timbaksela. Timbaksela ini dianggap unik, sebab menjadi penanda bagi status sosial pemilik Balla.

Jika tidak bersusun, maka pemilik rumah adalah rakyat biasa. Namun apabila Timbaksela tersusun 3 ke atas, artinya rumah Balla dimiliki oleh bangsawan. Jika lebih dari 3, misal 5, berarti pemilik rumah adalah bangsawan yang memiliki jabatan di pemerintah setempat.

Rumah adat Balla memiliki dua macam tangga, yaitu sapana dan tukak. Perbedaannya terdapat pada jumlah anak tangga dan bahan yang dipakai. Sapana menggunakan bambu dengan tiga anak tangga lebih yang dianyam. Sementara tukak dibuat menggunakan kayu. Sapana ini digunakan khusus bagi para bangsawan, dan tukak digunakan oleh rakyat biasa.

3. Makna filosofis rumah Bugis

Selanjutnya ada makna yang terkandung pada rumah adat Sulawesi Selatan dari suku Bugis, yaitu sebagai berikut:

1. Bonting langit, yaitu bagian atap rumah yang diberi rongga. Inilah tanda perkawinan di atas langit, yang dilakukan We Tenriabeng, saudara kembar dari Sawerigading, permaisuri Remmang ri Langi atau biasa dikenal Hulontalangi (raja pertama dari Gorontalo).
2. Ale kawaq, yaitu bagian tengah rumah yang menggambarkan kondisi dari bumi pertiwi.
3. Buri liy, yaitu bagian kolong atau bawah rumah yang menjadi lambang dunia bawah tanah dan laut. Tempat ini dijadikan sebagai tempat memelihara hewan ternak.
4. Makna filosofis rumah adat suku Luwuk

Karakteristik utama rumah Suku Luwuk ada pada bentuk dan ukuran pintunya yang sama. Jadi, menurut sejarah, rumah adat Suku Luwuk berasal dari Raja Luwuk. Di mana tiang penyangga berjumlah 88 dengan bahan dasar dari kayu.

Seperti rumah adat lainnya, ada penanda kelas sosial pada rumah adat Luwuk. Ornamen yang disebut dengan pangreng memiliki makna filosofis sebagai hidup menjalar sulur atau hidup yang tidak terputus-putus. Rumah ini memiliki tiga atau lima puncak, yang biasa disebut bubungan. Bubungan inilah yang menjadi tanda kasta setiap pemilik rumah.

5. Makna filosofis suku Mandar

Terakhir adalah rumah adat suku Mandar, yaitu rumah Boyang. Rumah ini terdiri dari dua macam, rumah Boyang Adaq da rumah Boyang Beasa. Boyang Adaq dikhususkan bagi rumah adat para bangsawan, sementara rumah Boyang Beasa digunakan bagi masyarakat biasa.

Di rumah Boyang Adaq, akan dipasang berbagai ornamen atau hiasan tertentu yang menjadi penanda status sosial kebangsawanan yang dimiliki keluarga. Rumah ini juga dibuat dengan bubungan yang tinggi, di mana jika semakin tinggi menandakan semakin tingginya tingkat kebangsawanan.

Itulah tadi beberapa rumah adat Sulawesi Selatan yang harus Anda ketahui sebagai upaya melestarikan budaya. Selain itu, masih banyak hal tentang Sulawesi Selatan yang tak kalah menarik.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.