Sosial Budaya

Rumah Adat Papua: Jenis, Fungsi, Keunikan, dan Filosofi

Written by Umam

Rumah Adat Papua – Keunikan budaya Papua tidak hanya terletak pada pakain adatnya. Rumah adat asli Papua juga memiliki keunikan tersendiri. Sebagaimana ciri khas, Papua bahan rumah adatnya didominasi oleh bahan-bahan dari alam sehingga dapat dipastikan ramah lingkungan. Tapi Grameds, rumah adat Papua ternyata bukan hanya rumah Honai yang sering kita lihat lho. Ada beberapa jenis lainnya yang perlu kita kenali. Apa saja itu? Yuk kita simak ulasan di bawah ini.

Jenis dan Filosofi Rumah Adat Papua

Rumah adat Papua memiliki keunikan yang sangat mudah untuk dikenali. Terbuat dari bahan-bahan alam, keberadaan rumah ini tidak dikhawatirkan merusak keseimbangan alam. Justru sebaliknya, rumah adat Papua pada umumnya ramah lingkungan. Keasrian dan kealamian rumah adat daerah paling timur Indonesia tersebut memberikan kesan tradisional yang menentramkan.

Grameds, rasanya kita tidak perlu berlama-lama di pendahuluan. Kita langsung tancap gas saja mengulas rumah adat Papua ya.

1. Rumah Honai

Siapa yang tidak kenal dengan rumah ini? Di Papua, seluruh Indonesia, sudah familiar dengan rumah Honai yang merupakan rumah adat Papua. Rumah ada Papua satu ini merupakan yang paling dikenal dan paling sering dijadikan “duta” rumah adat Papua.

Jika ditinjau dari segi bahasa, penamaan rumah ini terdiri dari dua kata. Hun berarti laki-laki dewasa dan Ai artinya rumah. Sehingga rumah Honai merupakan rumah yang diperuntukkan untuk laki-laki dewasa. Dengan demikian, sebenarnya rumah Honai ini dikhususkan untuk para laki-laki saja.

Rumah ini akan banyak Anda temukan di lembah dan pegunungan bagian tengah Papua dan oleh penduduk lokal sekitar, rumah ini masih dijadikan tempat tinggal hingga saat ini. Suku Dani merupakan suku yang paling banyak tinggal di dalam rumah ini.

Dinding rumah ini berbentuk melingkar dan terbuat dari kayu kokoh yang disusun berdiri. Kayu tersebut diruncingkan salah satu ujungnya lalu ditancapkan ke dalam tanah sehingga dapat berdiri.

Rumput atau jerami dijadikan pelapis dasar lantai. Tiangnya terbuat dari kayu yang kuat dank eras agar kuat menyangga beban rumah.

Rumah ini hanya memiliki satu pintu tanpa disertai jendela. Secara keseluruhan, tinggi rumah ini hanya mencapai 2,5 meter dan luasnya hanya 5 meter saja. Tidak terlalu besar bahkan cenderung sempit. Jika dilihat dari kejauhan, rumah ini memiliki bentuk seperti jamur raksasa.

Bentuk atapnya yang kerucut tumpul dimaksudkan untuk mengurangi hawa dingin yang menghampiri rumah dan agar air hujan dapat segera turun tanpa harus membasahi dinding rumah. Atap ini terbuat dari tumpukan daun sagu, jerami kering, atau ilalang.

Ilalang atau jerami yang digunakan sebagai atap rumah mungkin saja terlihat rapuh dan lemah. Namun tajamnya ujung ilalang memberikan makna orang Papua adalah orang-orang yang mandiri, kritis, kuat, dan mudah menyesuaikan diri.

Di dalam rumah Honai, Suku Dani tidak menyediakan kursi, sofa, atau semacam tempat duduk lainnya. Jika ada tamu, maka tamu tersebut duduk di atas alas rumput atau jerami bersama tuan rumah. Tujuannya adalah untuk membentuk kebersamaan.

Ukuran rumah Honai yang sempit bukan tanpa alasan. Pasalnya, rumah ini pada umumnya berada di pegunungan Papua yang memiliki hawa dingin. Karena itulah, rumah ini dibuat pendek dan sempit agar dapat menahan dinginnya hawa di sana. Agar temperatur di dalam rumah semakin hangat, di tengahnya terdapat tempat pembakaran api unggun.

Keunikan rumah adat Papua satu ini bukan hanya dari segi bentuknya, melainkan juga dari fungsinya. Siapa yang menyangka bahwa rumah mungil ini terdiri dari dua lantai? Masing-masing lantai mempunyai fungsi yang berbeda.
Lantai pertama biasanya digunakan sebagai tempat tidur. Sementara jika ingin bersantai, makan, dan melakukan aktivitas keluarga lainnya, pemilik rumah akan naik ke lantai dua.

Jika malam hari tiba, maka rumah akan menjadi gelap. Adanya tempat pembakaran di tengah- tengah rumah lantai pertama juga menjadi sumber penerangan.

Selain dijadikan tempat tinggal, rumah adat Papua ini juga digunakan untuk menyimpan berbagai peralatan berburu maupun perang, menyusun strategi perang, menyimpan segala macam simbol dan peralatan yang telah diwariskan oleh para leluhur, bahkan hingga menyimpan jenazah yang telah diawetkan menjadi mumi. Tidak jarang pula, anak laki-laki berlatih di rumah ini agar saat dewasa menjadi pria yang kuat dan dapat melindungi sukunya.

Rumah ini biasanya didirikan secara berkelompok. Jika Anda menemukan satu rumah Honai, maka bisa dipastikan di dekatnya akan ada rumah Honai lainnya. Hal ini karena sebuah keluarga membutuhkan lebih dari satu rumah untuk tempat tinggal banyaknya anggota keluarga. Berapa orang yang bisa tinggal di dalamnya? Bisa lima sampai sepuluh orang.

2. Rumah Ebei

Rumah Ebei memiliki bentuk yang sama dengan rumah Honai. Satu hal mendasar yang membedakannya adalah siapa yang menempatinya. Rumah Ebei ditempati oleh para perempuan dewasa. Namun demikian, anak laki-laki yang belum beranjak dewasa diperbolehkan tinggal di rumah ini untuk beberapa saat. Setelah mereka dewasa, mereka diharuskan pindah ke rumah Honai.

Kata Ebei terdiri dari dua kata, yakni Ebe dan Ai. Ebe artinya tubuh dan Ai berarti perempuan. Secara Bahasa, rumah Ebei berarti tubuh perempuan. Maksudnya adalah perempuan merupakan tubuh kehidupan bagi setiap orang sebelum dilahirkan di dunia.

Di rumah ini, perempuan yang beranjak dewasa dan siap menikah akan diajari berbagai macam hal agar siap menjadi istri sekaligus ibu yang baik. Di rumah ini juga, para wanita Papua melakukan berbagai macam aktivitas seperti membuat kerajinan tangan, memasak, menjahit, dan lain-lain.

Rumah ini memiliki beberapa filosofi penting bagi masyarakat Papua. Rumah Ebei yang berbentuk lingkaran seakan menandakan bahwa suku Dani (yang mendirikan rumah Ebei dan Honai) memiliki persatuan dan kesatuan yang solid. Kesolidan persatuan dan kesatuan di antara mereka menjadikan mereka sehati dan memiliki satu pemikiran yang sama-sama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Terakhir, rumah ini merupakan sebuah symbol bagi suku Dani untuk menunjukkan harkat dan martabat mereka.

3. Rumah Hunila

Rumah adat Papua selanjutnya adalah rumah Hunila yang juga berada di daerah keberadaan suku Dani. Jangan kaget ya, Grameds. Rumah ini mempunyai ukuran yang sangat panjang dan lebih luas. Di dalamnya berisi banyak macam bahan makanan dan peralatan masak.

Pantas saja karena rumah Hunila dijadikan sebagai dapur umum. Sebagaimana dapur umum lainnya, tempat tersebut menjadi pusat produksi makanan untuk seluruh silimo dan beberapa rumah Honai. Beberapa rumah Honai dan Ebei biasanya memiliki satu rumah Hunila yang digunakan bersama.

Bahan makanan yang sering dimasak oleh para wanita Papua adalah sagu dan ubi (dibakar). Setelah memasak, makanan akan diantar kepada keluarganya masing-masing dan Pilamo.

4. Rumah Wamai

Masih rumah adat yang dibangun oleh suku Dani, rumah Wamai termasuk salah satu rumah adat Papua. Banyaknya macam rumah yang dibangun oleh suku Dani menunjukkan bahwa suku ini sudah mempunyai kehidupan yang terstruktur.

Sebelumnya kita sudah membahas rumah Honai khusus untuk laki-laki dewasa, rumah Ebei khusus untuk perempuan dewasa, dan Hunila yang digunakan sebagai dapur umum. Karena kehidupan suku Dani yang terstruktur tersebut mereka memiliki rumah tersendiri yang difungsikan sebagai kandang hewan ternak. Beberapa hewan yang sering dimasukkan ke dalam rumah Wamai adalah ayam, kambing, babi, dan anjing.

Jika diperhatikan dari luar, rumah Wamai mirip dengan rumah Honai. Namun demikian, dinding rumah Wamai tidak semuanya melingkar. Beberapa sumber menyebutkan, terkadang dinding rumah ini berbentuk persegi atau persegi panjang. Ukurannya pun juga tidak sama antara satu rumah dengan lainnya. Bentuk dan ukuran yang fleksibel tersebut untuk menyesuaikan dengan banyaknya ternak yang hendak ditampung di dalam rumah tersebut.

5. Rumah Kariwari

Kali ini kita beralih ke rumah adat suku lainnya, yakni suku Tobati-Enggros. Rumah Kariwari namanya. Memang tidak bisa dipungkiri rumah adat Papua memiliki keunikan yang mengasyikkan untuk digali. Dari foto di atas, apa yang paling menjadi perhatian utama Grameds? Ya, atapnya sangat menarik untuk kita salami lebih jauh.

Rumah adat Papua yang satu ini memiliki atap yang berbentuk limas segi delapan. Bahkan sampai bertingkat tiga. Bentuk segi delapan memiliki beberapa arti. Pertama, bentuk segi delapan tersebut dipercaya dapat memperkuat rumah tersebut dari segala macam cuaca. Apalagi di saat hawa dingin dan angin berhembus kencang. Kedua, bentuk octagon yang ujungnya lancip tersebut untuk melambangkan kedekatan manusia dengan Tuhan dan para leluhur yang telah mendahului.

Namun jangan salah, rumah ini bukan untuk dijadikan tempat tinggal masyarakat Papua. Bukan pula untuk rumah kepala suku. Bahkan rumah ini tidak memiliki fungsi hukum maupun politik. Rumah ini dibangun untuk tujuan pendidikan dan ibadah. Maka tidak heran jika rumah ini menjadi tempat sakral dan suci bagi suku Tobati-Enggros.

Rumah ini umumnya dibangun di dekat Teluk Yotefa dan Danau Sentani, Jayapura. Karena lokasinya yang dekat dengan garis pantai tersebut, rumah adat Papua ini dibangun tegak lurus dengan gelombang air laut.

Selain itu, rumah Kariwari dibangun dengan pola linier secara sejajar yang susunannya dua baris rumah berhadapan dan berjejer di sepanjang pantai. Untuk alasan keamanan dan kedekatan hubungan keluarga, jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya diatur tidak terlalu jauh.

Dengan ketinggian rumah 20-30 meter, rumah ini dibagi menjadi tiga tingkat yang masing-masing tingkat memiliki satu ruangan. Lantai pertama digunakan untuk mendidik remaja laki-laki agar siap menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab, terampil, dan kuat. Jika anak laki-laki telah memasuki usia minimal yaitu dua belas tahun, mereka dikumpulkan dan dikader bagaimana mencari nafkah, bertanggung jawab pada keluarga, memiliki hidup yang mandiri, berburu, memahat, membuat senjata, teknik berperang, bercocok tanam ,dan lainnya.

Lantai kedua digunakan untuk pertemuan para kepala suku atau tokoh adat untuk membicarakan sesuatu yang penting. Sementara lantai ketiga digunakan khusus untuk sembahyang dan memanjatkan selaksa doa kepada Tuhan Yang Maha kuasa dan para leluhur.

Rumah Kariwari ini dibuat dari kayu dan daun dari pohon sagu, bambu, kayu besi, atau pohon lainnya yang banyak dijumpai di tanah Papua. Sementara itu, kerangka utama rumah yang terbuat dari kayu-kayu tersebut diikat menggunakan tali rotan pilihan. Yang menakjubkan, kerangka rumah ini hanya memerlukan delapan batang kayu.

6. Rumah Rumsram

Rumah adat selanjutnya adalah rumah Rumsram yang dibangun oleh suku Biak Numfor di area pantai utara Papua. Jika Grameds perhatikan, atap rumah adat Papua yang satu ini berbentuk seperti perahu yang terbalik. Desain ini dipengaruhi oleh profesi mereka yang kebanyakan sebagai pelaut.

Rumah ini bukan untuk ditinggali, namun digunakan sebagai tempat untuk mendidik anak laki-laki yang sudah dianggap sudah dapat berpikir. Biasanya saat seorang anak laki-laki berusia enam sampai delapan tahun, ia akan diberi pendidikan Rumsram yang dilakukan di rumah Rumsram.

Pendidikan ini dilakukan agar anak laki-laki siap menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab, mandiri, kuat, dan siap menjadi kepala keluarga. Pelajaran yang diberikan seperti membuat perahu, membuat perisai, teknik berperang, memahat, dan lainnya. Oleh karena itu, para wanita tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah ini.

Dari segi konstruksi, tinggi rumah ini mencapai enam sampai delapan meter dengan terbagi menjadi dua lantai. Di lantai pertamalah, diselenggarakan pendidikan Rumsram untuk laki-laki. Di lantai tersebut mereka bisa belajar dengan bebas karena ruangannya terbuka dan tanpa dinding pembatas.

Dinding rumah ini terbuat dari bambu air dan pelepah sagu sementara lantainya dilapisi kulit kayu. Atap yang berbentuk perahu terbalik tersebut dibuat dari bahan daun sagu yang telah dikeringkan.

Rumah adat ini sedang diupayakan untuk lestari oleh pemerintah daerah setempat. Salah satu contoh yang menjadi bukti keseriusan pemerintahan setempat adalah adanya rencana untuk menerbitkan Peraturan Gubernur (Perbup) yang mewajibkan gedung pemerintah dan swasta beratapkan perahu terbalik.

7. Rumah Pohon

Suku pedalaman Papua juga memiliki rumah adat tersendiri yang unik. Adalah suku Korowai yang kita maksud. Dengan menyesuaikan kondisi alamnya, mereka membuat rumah di atas dahan pohon yang terletak pada ketinggian 15-50 meter. Yang takut sama ketinggian, perlu berfikir ulang deh untuk naik ke atas sana.

Ancaman serangan binatang buas dan makhluk ghaib yang jahat bernama Laleo, memaksa suku Korowai berpikir mendalam bagaimana caranya dapat berlindung dari ancaman-ancaman yang tidak diinginkan tersebut.

Perlu diketahui, Laleo merupakan makhluk jahat yang diyakini memiliki bentuk seperti mayat hidup dan berkeliaran di malam hari. Suku Korowai percaya, semakin tinggi rumah mereka, semakin aman dari gangguan roh jahat.

Bagaimana caranya orang-orang suku Korowai keluar masuk ke dalam rumah tersebut? Tak ada pilihan selain memanjat.

8. Rumah Kaki Seribu

Adalah suku Arfak yang banyak tinggal di Kabupaten Manokwari yang membangun rumah adat ini. Dijuluki rumah Kaki Seribu karena rumah ini memiliki tiang penyangga di bawah rumah dalam jumlah yang sangat banyak. Sekilas akan mirip seperti hewan kaki seribu. Kata seribu dianggap sudah dapat mewakili arti “banyak”.

Luas rumah ini sekitar 8 x 6 meter dengan ketinggian 1-1,5 meter dari permukaan tanah. Dengan ketinggian tersebut, rumah ini dianggap aman dari serangan hewan buas. Untuk mengurangi hawa dingin yang mengelilingi daerah setempat, rumah ini disiasati tidak memiliki jendela. Sehingga udara hanya dapat masuk melalui pintu.

Jenis rumah ini adalah rumah panggung yang khas dengan corak Manokwari. Rumah juga disebut sebagai Mod Aki Aksa (Igkojei) dalam Bahasa lokal. Saat ini rumah pohon diharapkan banyak orang untuk masuk ke dalam daftar UNESCO.

9. Rumah Jew

Sebagai suku yang dikenal memiliki anggota banyak, suku Asmat juga memiliki rumah adat Papua sendiri. Rumah Jew namanya. Berupa rumah panggung dan berbentuk persegi panjang yang luasnya 10 x 15 meter, rumah ini sama sekali tidak menggunakan paku sebagai penghubung antar kayunya. Kayu-kayu tersebut hanya dihubungkan oleh akar-akar rotan pilihan.

Rumah ini hanya boleh ditinggali oleh laki-laki yang belum menikah. Anak laki-laki yang belum berusia sepuluh tahun dan perempuan tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya. Sehingga rumah ini juga dikenal sebagai rumah Bujang.

Di dalam rumah tersebut para lelaki bujang belajar banyak hal dari bujang yang lebih senior maupun laki-laki yang sudah berkeluarga. Apa saja yang mereka pelajari? Di sana, mereka belajar bagaimana caranya mengolah sumber daya, mengembangkan keterampilan, pendidikan budaya seperti memukul tifa, menari, dan menyanyi.

Tidak hanya itu, rumah ini juga sering digunakan untuk bermusyawarah tentang urusan kehidupan warga, mendamaikan perselisihan antar warga, merencanakan pesta adat, rapat adat, perdamaian, perang, bahkan untuk penyelenggaraan upacara-upacara adat.

Grameds, menarik sekali bukan bahasan mengenai rumah adat Papua ini? Jika ingin mengetahui lebih jauh tentang budaya dan rumah adat, Gramedia siap lho menjadi #SahabatTanpaBatas dengan menyediakan buku-buku pilihan kami.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Beli Buku di Gramedia

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.