Sosial Budaya

Mengenal Rumah Adat Bali yang Menakjubkan dan Sarat Filosofi

Written by Umam

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan seni dan budayanya. Bali menjadi salah satu provinsi yang memiliki ragam budaya, bahkan terkenal sampai mancanegara. Keragaman budaya inilah yang akhirnya membuat banyak wisatawan berkunjung ke Indonesia, khususnya ke Bali. Tak hanya seni budayanya saja, Bali juga terkenal dengan wisata alamnya yang eksotis nan menakjubkan. Kota ini juga semakin terkenal lagi dengan adanya rumah adat Bali yang terjaga sampai saat ini.

Nah, bagi Anda yang hendak mengeksplor Bali lebih jauh, penting untuk mengetahui apa saja rumah adat Bali dan bagaimana filosofinya. Untuk itu, simak artikel ini sampai selesai untuk memperoleh keseluruhan informasinya rumah adat Bali ya.

Filosofi yang Melekat pada Rumah Adat Bali

Rumah adat Bali selain kaya dengan macam-macam bangunan dan ruangannya, juga memiliki filosofi unik. Jadi, dalam setiap pembuatan rumah terdapat sebuah kepercayaan yang menyertai setiap langkahnya. Baik itu tentang bentuk, ukuran, letak, maupun filosofi yang menyertainya. Nah, bagi masyarakat Bali, ada filosofi yang menyebutkan bahawa di dalam hidup akan tercipta sebuah keharmonisan.

Syaratnya yaitu adanya tiga aspek yang dipenuhi, yaitu palemahan, pawongan, dan parahyangan. Maka dari itu, ketika membangun sebuah rumah atau hunian, ketiganya harus ada, yang biasa disebut dengan istilah Tri Hita Karana. Pawongan memiliki arti penghuni rumah, kemudian palemahan diartikan sebagai adanya hubungan baik antara orang yang menjadi penghuni dengan lingkungan rumah yang ditinggali.

Adapun arsitektur tradisional rumah Bali sendiri memiliki hiasan dan ukiran, perabotan, dan pemberian warna yang beragam. Semua itu memiliki arti masing-masing dan tidak sembarangan diterapkan. Ada ketentuan dan artinya sendiri-sendiri. Ragam hias tersebut digunakan untuk mengungkapkan keindahan simbol-simbol dan sebagai alat komunikasi. Selain itu, ragam hiasan yang dipakai juga menggunakan fauna yang diaplikasikan dalam bentuk patung. Patung-patung ini nantinya juga memiliki simbol-simbol dalam pengadaan ritual.

Jadi, ketika Anda jalan-jalan ke Bali, terutama ke perumahan-perumahan di sana, tak usah heran jika masih banyak sesajen di sana-sini. Sesaji ini biasanya akan ditaruh di wadah berupa janur dan kembang dengan dupa yang menyala. Begitu juga dengan Pura, yang bangunannya bisa ditemui di mana saja. Bahkan di perkantoran atau pertokoan pun Anda bisa melihat ada Pura.

Rumah adat Bali ini dibangun dengan aturan Asta Kosala Kosali, yang syarat akan makna dan filosofi, dan hampir mirip dengan budaya China. Makanya, ketika membangun rumah adat, masyarakat Bali akan memperhatikan sudut dan arah. Karena dalam kepercayaan masyarakat Bali, arah memiliki arti penting dalam kehidupan suku Bali. Adapun yang dianggap paling suci atau keramat adalah ketika membangun rumah di arah gunung.

Kenapa? Sebab gunung dianggap sesuatu yang amat keramat. Sehingga arahnya juga keramat, yang biasa disebut dengan istilah Kaja. Nah, sebaliknya, hal-hal yang dianggap tidak suci akan dihadapkan ke arah laut, atau dikenal dengan istilah Kelod. Hal tersebut juga menjadi patokan ketika membangun Pura desa. Karena dianggap suci, maka pura desa akan dihadapkan ke arah gunung atau Kaja, sementara pura dalem atau kuil yang berhubungan dengan kematian, akan dihadapkan ke laut atau Kelod.

Hal-hal tersebut memang telah diatur oleh masyarakat adat Bali. Dalam setiap kehidupan, bahkan dalam hal pembangunan rumah adat, mereka akan selalu berpatokan pada kehidupan agama dan adatnya. Sehingga wajar saja ketika setiap aktivitas yang mereka lakukan dilandaskan pada aturan-aturan tertentu.

Beli Buku di Gramedia

Macam-Macam Rumah Adat Bali dan Keunikannya

Rumah adat Bali memiliki arsitektur khusus, di mana bangunannya memiliki struktur, fungsi, dan juga ornamen yang sudah dipakai turun-temurun. Bahkan menurut masyarakat, bangunan rumah mereka sudah tercantum dalam kitab suci Weda. Hunian di sana juga diibaratkan sebagai miniatur alam semesta. Rumah adat di sana memiliki dua bagian, yaitu Gapura Candi Bentar dan rumah hunian.

Gapura Candi Bentar ini adalah rumah adat Balinya. Ada aturan khusus tentang pembangunan rumah adat tradisional Bali, yaitu meliputi arah, letak bangunan, dimensi pekarangan, konstruksi bangunan, dan juga struktur bangunan.

Semua itu disesuaikan dengan ketentuan agama setempat. Adapun Gapura ini menjadi ciri khas utama dari rumah adat Bali. Gapura ini menjadi tempat masuk utama ke halaman rumah dan selalu ada di setiap rumah adat Bali. Lalu setelah melewati gapura, akan ada Pura (tempat ibadah umat Hindu), yang terletak terpisah dari bangunan lainnya.

Selain itu, ada beberapa unsur penting pula yang harus diperhatikan ketika membangun rumah adat Bali. Seperti adanya patokan dalam pembagian ruang. Sejarah telah menyatakan bahwa aturan penempatan lahan diatur oleh Kitab Weda (Asta Kosala Kosali).

Dimana rumah adat Bali menjadi miniatur alam semesta, atau Bhiana Agung. Artinya menjadi tempat beraktivitas manusia atau Bhuana Alit. Pembangunannya juga memiliki panduan sudut, seperti sudut timur dan utara yang dianggap lebih suci dibanding sudut selatan dan barat.

Untuk mengetahui keeksotisan Bali lebih jauh, Anda bisa membaca buku Gramedia berjudul Bali the Journey in Heaven on Earth atau dapatkan dengan klik disini.

Rumah adat Bali juga terdiri dari beberapa macam bangunan, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Angkul-Angkul

Angkul-angkul ini menjadi bagian dari rumah adat Bali yang menjadi pintu masuk rumah utama. Fungsinya sendiri hampir sama dengan Gapura Candi Bentar. Namun Angkul-angkul lebih berfungsi sebagai pintu masuk. Adapun pembeda antara angkul-angkul dengan Gapura Candi Bentar yaitu ada pada atap yang menghubungkan kedua bangunan yang letaknya sejajar.

2. Aling-Aling

Bangunan kedua adalah aling-aling. Sesuai dengan namanya, bangunan ini menjadi pembatas antara angkul-angkul dengan halaman suci. Bangunan rumah adat Bali ini dipercaya memiliki aura yang positif, sehingga ada dinding pembatas yang disebut penyengker. Di dalam bangunan akan disediakan ruangan untuk beraktivitas para penghuninya. Beberapa orang bahkan juga menggunakan patung untuk menjadi aling-aling, atau penyengker.

3. Pura Keluarga

Bangunan ketiga adalah pura keluarga. Umumnya, bangunan ini difungsikan sebagai tempat berdoa dan beribadah. Setiap rumah adat Bali pasti memiliki bangunan ini. Selain disebut Pura Keluarga, bangunan ini juga disebut sebagai bangunan Pamerajan, atau Sanggah. Letaknya ada di sudut sebelah timur laut dari rumah hunian.

Nah, selain ketiga bangunan tersebut, rumah adat ini juga memiliki pembagian ruangan tersendiri. Berikut ini adalah beberapa struktur ruangan beserta fungsinya yang perlu Anda ketahui:

4. Rumah Adat Bale Manten

Adapun ruangan yang ada di bangunan rumah adat ini dikhususkan untuk kepala keluarga atau anak gadis. Letaknya harus ada di sebelah utara. Bentuk ruangannya persegi panjang dengan bale-bale di bagian kiri dan kanannya. Dalam keluarga Bali, Bale Manten ini diperuntukkan bagi anak gadis di keluarganya sebagainya bentuk perhatian.

5. Bale Dauh

Selain Bale Manten, ada Bale Dauh yang digunakan oleh masyarakat Bali sebagai tempat khusus untuk menerima tamu. Ruangan ini juga difungsikan sebagai tempat tidur bagi anak remaja laki-laki.

Bale Dauh bentuknya sama dengan Bale Manten, yaitu persegi panjang. Akan tetapi, letaknya berada di bagian dalam ruangan, tidak di sudut. Untuk posisinya sendiri di sisi barat dan lantainya harus lebih rendah dibanding Bale Manten. Lalu ciri khas lainnya, tiang penyangga di Bale Dauh ini jumlahnya berbeda antara satu rumah dengan rumah lainnya.

6. Bale Sekapat

Ketiga ada Bale Sekapat, yang lebih mirip dengan gazebo dengan empat tiang. Tempat ini biasanya digunakan sebagai ruang bersantai bagi anggota keluarga. Dengan Bale Sekapat ini diharapkan setiap anggota keluarga akan lebih akrab satu sama lain. Selain itu, tempat ini juga diharapkan membuat hubungan antar anggota keluarga terjalin lebih harmonis.

7. Bale Gede

Selanjutnya ada Bale Gede, yang juga berbentuk persegi panjang dengan 12 tiang. Ruangan ini memiliki fungsi sebagai tempat upacara adat. Jadi, karena fungsinya cukup sakral, tempatnya harus lebih tinggi dari Bale Manten. Bagian rumah adat ini harus memiliki ukuran yang jauh lebih besar dibanding bangunan lainnya. Sebab selain untuk ritual adat, Bale Gede juga dipakai untuk berkumpul dan menyajikan makanan khas Bali, termasuk pula untuk membakar sesaji.

8. Jineng atau Klumpu

Lalu ada Jineng atau Klumpu, yang memiliki ukuran sedang dan menggunakan material berupa kayu. Ciri khasnya ada pada posisinya yang lebih tinggi dan dirancang seperti goa. Lalu atapnya terbuat dari jerami kering.

Akan tetapi, Jineng saat ini sudah cukup jarang ditemukan di rumah adat Bali dengan bahan tradisional. Jineng saat ini lebih banyak dibangun memakai material pasir, semen, dan batu bata. Atapnya pun tak lagi memakai jerami, melainkan genteng.

Bangunannya dibuat cukup tinggi, sebab difungsikan untuk menyimpan gabah yang sudah kering. Dengan adanya ruangan ini, gabah pun akan terhindar dari serangan burung dan juga jamur yang biasa muncul di tempat lembab. Lalu untuk bagian bawahnya biasa dipakai untuk menyimpan gabah yang belum sempat dijemur.

9. Pawaregen

Selanjutnya masih ada pawaregen, yaitu istilah untuk dapur pada rumah adat Bali. Dapur atau Pawaregen ini memiliki ukuran sedang, dan terletak di sebelah barat laut atau selatan dari rumah utama. Ada dua area di ruangan ini, pertama untuk memasak, dan yang kedua untuk menyimpan alat-alat dapur. Untuk cara memasaknya pun masih tradisional, dengan memakai kayu bakar.

10. Lumbung

Terakhir, ada Lumbung, yaitu sebuah bangunan kecil yang dibuat sebagai tempat untuk menyimpan makanan pokok. Makanan pokok yang biasanya disimpan untuk jangka waktu lama yaitu padi dan jagung.

Beragam Ukiran dan Hiasan untuk Rumah Adat Bali

Dalam agama Hindu, ada sistem kasta yang menyertai setiap pemeluknya, Maka dari itu, sesuai dengan sistem kasta, pembangunan rumah pun tidak bisa disamaratakan. Selain kasta, faktor ekonomi yang berbeda-beda antar keluarga juga menjadi pertimbangannya.

Bagi masyarakat biasa, rumah adat yang dibangun biasa terbuat dari tanah liat atau peci. Sementara para bangsawan akan memakai tumpukan bata sebagai pondasi dasar rumah mereka. Lalu atasnya akan menggunakan genting.

Selain adanya aturan tersebut, di rumah adat Bali juga terdapat berbagai hiasan dan ukiran. Arsitektur rumah adatnya memang dibuat sedemikian rupa dengan memakai ukiran dan pahatan sebagai pelengkapnya.
Adapun hiasan untuk rumah ini biasa diambil dari kehidupan manusia, tumbuhan, ataupun binatang. Nah, berikut ini adalah berbagai hiasan dan ukiran yang ada di setiap sisi rumah adat Bali:

Keketusan

Motif pertama adalah tumbuhan dengan lengkungan bunga serta daun yang besar dan lebar. Biasanya keketusan akan ditempatkan di tempat yang luas, seperti halaman rumah atau di bagian depan bangunan-bangunan adat. Ada banyak jenis keketusan yang biasa dipakai, seperti bunga tuwung, wangsa, bun-bun, dan keketusan lainnya.

Kekarangan

Selanjutnya adalah kekerangan, yaitu pahatan atau motif hiasan seperti tumbuhan yang lebat dengan daun terurai ke bawah seperti rumpun perdu. Hiasan semacam ini biasa ditempatkan di sudut batas bagian atas atau biasa disebut karang simbar. Lalu ada pula di sendi tugek yang disebut dengan karang suring.

Pepatran

Lalu ada pepatran, yang merupakan hiasan rumah adat Bali dengan motif bunga-bunga. Contohnya yaitu patra sari yang biasa ditemui di bidang sempit seperti tiang-tiang dan blandar. Jenis patra lainnya seperti pid-pid, patra pal, patra sulur, patra ganggong, dan juga patra samblung. Semua hiasan tersebut dibuat berberet memanjang.

Dalam rumah adat Bali, hiasan yang dipakai juga memakai warna-warna asli, yang menggunakan warna bahan dari alam. Selain memakai warna asli dari alam, ada pula warna asli buatan, seperti warna merah, biru, dan kuning. Adapun keseluruhan ragam hiasan yang dipakai di setiap bangunan umumnya berupa ukiran, pepulasan, tatahan, lelengisan, dan pepalihan.

Selain menggunakan motif hiasan berupa flora, ada pula hiasan dengan fauna. Biasanya gambar-gambar fauna akan diukirkan di dinding-dinding atau bidang ukir lainnya. Untuk jenisnya umumnya memakai cerita rakyat atau legenda yang beredar di masyarakat Bali.

Hiasan fauna ini juga bisa diaplikasikan dalam bentuk patung yang memiliki corak abstrak, bercorak ekspresionis, atau bercorak realis. Fauna dalam bangunan juga biasa dipakai sebagai hiasan pada sendi alas tiang, seperti memakai bentuk garuda, atau singa bersayap dan bentuk lainnya.

Adapun dalam masyarakat Bali, hiasan dalam bentuk fauna difungsikan sebagai simbol ritual, yang ditampilkan dalam bentuk patung pratima. Lalu untuk ragam hiasan fauna juga memiliki nama masing-masing, seperti kekurangan, yang memiliki bentuk gajah dan juga binatang khayalan yang primitif.

Ragam hiasnya antara lain yaitu karang sae, karang goak, karang bentulu, karang boma, dan karang tapel. Ada pula patung dengan bentuk dewa-dewa imajinasi, atau bisa pula berbentuk patung garuda, kura-kura, lembu, kera, singa, atau naga.

Nah, itulah tadi beberapa hal mengenai rumah adat Bali yang kaya akan seni dan budaya. Selain itu, rumah adat di sana juga memiliki filosofi yang sangat dalam. Setiap hal yang berkaitan dengan pembangunan rumah adat telah diatur dan disesuaikan dengan kepercayaan masyarakat Bali, termasuk kepercayaan agama. Sehingga semuanya serba teratur dan penuh makna. Bahkan sampai ke ragam hiasan yang ada di dalam rumah adat pun memiliki arti dan aturan tersendiri.

Hal tersebut menandakan bahwa Bali memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam. Sehingga sangat penting bagi generasi berikutnya untuk tetap melestarikannya. Nah, bagi Anda yang ingin mempelajari lebih jauh tentang Bali, Anda bisa membaca buku Gramedia berjudul Ensiklopedia Mini Rumah Adat Nusantara dan juga Kebalian Konstruksi Dialogis Identitas Bali. Dapatkan kedua e-book tersebut melalui link ini dan ini.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Link buku terkait:

Beli Buku di Gramedia

Beli Buku di Gramedia

Beli Buku di Gramedia

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.