Food

Proses Pembuatan Tempe dan Rahasia Dibaliknya

Sejarah Perkembangan, Khasiat, Kandungan, dan Proses Pembuatan Tempe
Written by Nandy

Proses Pembuatan Tempe (bahasa Jawa: ꦠꦺꦩ꧀ꦥꦺ, translit. Témpé) sebagai makanan khas Indonesia yang terbuat dari fermentasi kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai “ragi tempe”.

Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B, dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif.

Secara umum, tempe berwarna putih karena pertumbuhan miselia kapang yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Degradasi komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe memiliki rasa dan aroma khas. Berbeda dengan tahu, tempe terasa agak masam.

Tempe banyak dikonsumsi di Indonesia, tetapi sekarang telah mendunia. Kaum vegetarian di seluruh dunia banyak yang telah menggunakan tempe sebagai pengganti daging. Akibatnya, saat ini tempe tidak hanya diproduksi di Indonesia tetapi juga di banyak tempat di dunia. Berbagai penelitian di sejumlah negara, seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat.

Indonesia juga sekarang berusaha mengembangkan galur (strain) unggul Rhizopus untuk menghasilkan tempe yang lebih cepat, berkualitas, atau memperbaiki kandungan gizi tempe. Beberapa pihak mengkhawatirkan kegiatan ini dapat mengancam keberadaan tempe sebagai bahan pangan milik umum karena galur-galur ragi tempe unggul dapat didaftarkan hak patennya sehingga penggunaannya dilindungi undang-undang (memerlukan lisensi dari pemegang hak paten). Simak informasi berikut terkait proses pembuatan tempe!

Sejarah dan Perkembangan Tempe

proses pembuatan tempe

Tempe yang sedang dibungkus.

Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari Tiongkok atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, dalam tatanan budaya makan masyarakat suku Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.

Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16 (Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19) telah ditemukan kata “tempe”, misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan. Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa—mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16.

Kata “tempe” berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut.

Selain itu, terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa proses pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan. Kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Selanjutnya, teknik proses pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.

resep komplit olahan tempe - proses pembuatan tempe

1. Tempe di Indonesia

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg.

Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe. Menurut Onghokham, tempe yang kaya protein telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang padat dan berpenghasilan relatif rendah.

Namun, nama “tempe” pernah digunakan di daerah perkotaan Jawa, terutama Jawa tengah, untuk mengacu kepada sesuatu yang bermutu rendah. Istilah seperti “mental tempe” atau “kelas tempe” digunakan untuk merendahkan dengan arti bahwa hal yang dibicarakan bermutu rendah karena murah seperti tempe. Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sering memperingatkan rakyat Indonesia dengan mengatakan, “Jangan menjadi bangsa tempe”. Baru pada pertengahan 1960-an pandangan mengenai tempe ini mulai berubah.

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, terjadi sejumlah perubahan dalam proses pembuatan tempe di Indonesia. Plastik (polietilena) mulai menggantikan daun pisang untuk membungkus tempe, ragi berbasis tepung (diproduksi mulai 1976 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan banyak digunakan oleh Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia, Kopti) mulai menggantikan laru tradisional, dan kedelai impor mulai menggantikan kedelai lokal.

Produksi tempe meningkat dan industrinya mulai dimodernisasi pada tahun 1980-an, sebagian berkat peran serta Kopti yang berdiri pada 11 Maret 1979 di Jakarta dan pada tahun 1983 telah beranggotakan lebih dari 28.000 produsen tempe dan tahu. Produksi tempe juga mulai menggunakan starter komersial yang menggantikan daun waru sebagai inokulan, hal ini menyebabkan menurunnya kualitas tempeh yang tadinya memiliki tekstur putih lebih berbulu dan wangi lebih harum yang sering ditemukan di tempeh asal Malang dan Purwakarta.

Ini disebabkan karena varian dominan pada tempe tersebut adalah Rhizopus arrhizus dan Rhizopus delemar. Malang terletak pada dataran tinggi dan tempeh yang menggunakan Rhizopus oligosprus menghasilkan tempe dengan kepadatan rendah dan lebih beralkohol, sedangkan Rhizopus arrhizus memiliki suhu optimum lebih rendah dan menjadi lebih dominan.

Standar teknis untuk tempe telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia dan yang berlaku sejak 9 Oktober 2009 adalah SNI 3144:2009. Dalam standar tersebut, tempe kedelai didefinisikan sebagai “produk yang diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan, dan berbau khas tempe”.

Pada September 2021, produk pangan olahan Indonesia tempe dari Superfood akan masuk ke pasar Jepang melalui salah satu distributor besar Jepang Kobe Bussan Co.Ltd. Hal ini merupakan hasil penandatanganan kontrak repeat order antara PT Arumia Kharisma Indonesia dengan Kobe Bussan Co.Ltd dengan volume hingga 13,8 ton yang akan didistribusikan untuk wilayah Kansai dan Kanto Jepang, yang dilaksanakan pada Rabu (29/9/2021). Tempe Indonesia saat ini telah merambah pasar Jepang.

2. Tempe di Luar Indonesia

Tempe dikenal oleh masyarakat Eropa melalui orang-orang Belanda. Pada tahun 1895, Prinsen Geerlings (ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda) melakukan usaha yang pertama kali untuk mengidentifikasi kapang tempe. Perusahaan-perusahaan tempe yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh para imigran dari Indonesia.

Melalui Belanda, tempe telah populer di Eropa sejak tahun 1946. Sementara itu, tempe populer di Amerika Serikat setelah pertama kali dibuat di sana pada 1958 oleh Yap Bwee Hwa, orang Indonesia yang pertama kali melakukan penelitian ilmiah mengenai tempe. Di Jepang, tempe diteliti sejak tahun 1926, tetapi baru mulai diproduksi secara komersial sekitar tahun 1983. Pada 1984, sudah tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang. Di beberapa negara lain, seperti Republik Rakyat Tiongkok, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika, tempe sudah mulai dikenal di kalangan terbatas.

Khasiat dan Kandungan dalam Tempe

Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain.

Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur.

Dibandingkan dengan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe. Secara kimiawi, hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis.

Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (kembung perut).

Mutu gizi tempe yang tinggi memungkinkan penambahan tempe untuk meningkatkan mutu serealia dan umbi-umbian. Hidangan makanan sehari-hari yang terdiri dari nasi, jagung, atau tiwul akan meningkat mutu gizinya bila ditambah tempe.

Berdasarkan penjelasan yang ada dalam buku berjudul Tempe: Persembahan Indonesia untuk Dunia yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (2012), nilai gizi yang ada di dalam tempe antara lain:

1. Asam Lemak

Tempe yang dibuat dengan cara fermentasi menghasilkan asam lemak tak jenuh majemuk. Asam lemak ini bisa menurunkan kolesterol serum dan menetralkan dampak negatif dari sterol di dalam tubuh.

2. Vitamin

Setidaknya, diketahui ada dua kelompok vitamin dalam tubuh. Pertama, vitamin larut air berupa vitamin B kompleks. Kedua, kelompok vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Selain kedua kelompok tersebut, jenis vitamin lainnya yang ada di dalam tempe adalah vitamin B1, B2, B6, B12, asam pantotenat, dan asam nikotinat.

3. Mineral

Tempe mengandung mineral makro dan mikro yang cukup banyak. Beberapa mineral yang dimiliki tempe, yaitu besi, tembaga, fosfor, insoitol, kalsium, dan magnesium.

4. Antioksidan

Kandungan tempe selanjutnya adalah antioksidan dalam bentuk isoflavon yang terdiri atas daidzein, glisitein, dan genistein.

Sementara itu, menurut Data Komposisi Pangan Indonesia, komposisi nilai gizi dalam 100 gram tempe, yaitu air, energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, kalsium, fosfor, besi, natrium, kalium, tembaga, seng, beta karoten, thiamin, riboflavin, dan niasin.

resep kreatif olahan tempe - proses pembuatan tempe

Proses Pembuatan Tempe

Tempe bisa dioleh menjadi beragam jenis masakan. Biasanya tempe digoreng, disayur, atau ada juga yang mengkonsumsi tempe mentah dengan tambahan sambal terasi. Namun sebenarnya bolehkah tempe dikonsumsi saat masih mentah?

Menurut penuturan di laman sehatq.com, makan tempe saat masih mentah tidak disarankan. Hal tersebut sesuai juga dengan penjelasan dalam Journal of Applied Microbiology, yang menyebutkan bahwa tempe sebaiknya dikonsumsi saat sudah matang. Pengolahannya bisa dengan cara digoreng, rebus, atau panggang.

Proses pemasakan diperlukan untuk membunuh bakteri dan kontaminasi saat proses fermentasi. Dengan kata lain, manfaat tempe mentah belum bisa dipastikan secara ilmiah, bahkan tempe mentah berisiko menyebabkan gangguan kesehatan karena adanya bakteri patogen.

Terdapat berbagai metode proses pembuatan tempe. Namun, teknik pembuatan tempe di Indonesia secara umum terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan, perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, dan fermentasi.

Pada tahap awal proses pembuatan tempe, biji kedelai direbus. Tahap perebusan ini berfungsi sebagai proses hidrasi, yaitu agar biji kedelai menyerap air sebanyak mungkin. Perebusan juga dimaksudkan untuk melunakkan biji kedelai supaya nantinya dapat menyerap asam pada tahap perendaman.

Kulit biji kedelai dikupas pada tahap pengupasan agar miselium fungi dapat menembus biji kedelai selama proses fermentasi. Pengupasan dapat dilakukan dengan tangan, diinjak-injak dengan kaki, atau dengan alat pengupas kulit biji.

Setelah dikupas, biji kedelai direndam. Tujuan tahap perendaman ialah untuk hidrasi biji kedelai dan membiarkan terjadinya fermentasi asam laktat secara alami agar diperoleh keasaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fungi. Fermentasi asam laktat terjadi dicirikan oleh munculnya bau asam dan buih pada air rendaman akibat pertumbuhan bakteri Lactobacillus.

Bila pertumbuhan bakteri asam laktat tidak optimum (misalnya di negara-negara subtropis, asam perlu ditambahkan pada air rendaman. Fermentasi asam laktat dan pengasaman ini ternyata juga bermanfaat meningkatkan nilai gizi dan menghilangkan bakteri-bakteri beracun.

Proses pencucian akhir dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang mungkin dibentuk oleh bakteri asam laktat dan agar biji kedelai tidak terlalu asam. Bakteri dan kotorannya dapat menghambat pertumbuhan fungi.

Inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum, yaitu ragi tempe atau laru. Inokulum dapat berupa kapang yang tumbuh dan dikeringkan pada daun waru atau daun jati (disebut usar; digunakan secara tradisional), spora kapang tempe dalam medium tepung (terigu, beras, atau tapioka; banyak dijual di pasaran), ataupun kultur R. oligosporus murni (umum digunakan oleh pembuat tempe di luar Indonesia).

Inokulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  • Penebaran inokulum pada permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan lalu dikeringkan, akhirnya dicampur merata sebelum pembungkusan.
  • Inokulum dapat dicampurkan langsung pada saat dalam proses perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu dikeringkan.

Setelah diinokulasi, biji-biji kedelai dibungkus atau ditempatkan dalam wadah untuk fermentasi. Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan (misalnya daun pisang, daun waru, daun jati, plastik, gelas, kayu, dan baja), asalkan memungkinkan masuknya udara karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Bahan pembungkus dari daun atau plastik biasanya diberi lubang-lubang dengan cara ditusuk-tusuk sebelum dijadikan produk.

Biji-biji kedelai yang sudah dibungkus dibiarkan untuk mengalami proses fermentasi. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji kedelai, menyatukannya menjadi tempe. Fermentasi dapat dilakukan pada suhu 20 °C–37 °C selama 18–36 jam. Waktu fermentasi yang lebih singkat biasanya untuk tempe yang menggunakan banyak inokulum dan suhu yang lebih tinggi, sementara proses tradisional menggunakan laru dari daun biasanya membutuhkan waktu fermentasi sampai 36 jam.

Di Ponorogo, ada tempe yang menjadi ciri khas, yaitu tempe Ngrayun. Tempe Ngrayun memiliki ciri khas yaitu bentuknya persegi dan tipis, serta dibungkus dengan daun pisang dan daun jati. Proses dalam membuat tempe Ngrayun ini yaitu kedelai yang sudah dibersihkan, lalu disiram dengan air mendidih, setelah itu dibiarkan selama 2 hari. Setelah 2 hari kedelai-kedelai tersebut cuci dan digiling, lalu dibungkus, dan tempe pun sudah jadi dalam 2 hari.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai sejarah perkembangan, khasiat, kandungan, dan proses pembuatan tempe. Teknik pembuatan tempe di Indonesia secara umum terdiri atas tahapan perebusan, pengupasan, perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, serta fermentasi.

Berikut ini rekomendasi buku dari Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang proses pembuatan tempe beserta kandungan gizi di dalamnya agar bisa memaknainya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

BACA JUGA:

 

About the author

Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya