Review Novel Dua Barista – Kritik yang disampaikan dengan langsung, tak jarang membuat telinga dan hati jadi panas. Bahkan jika kritik itu disampaikan dengan lembut sekalipun. Well, Grameds pasti pernah merasakan hal tersebut, kan?
Sekarang bayangkan jika yang dikritik adalah hal-hal tabu, seperti poligami, misalnya. Kira-kira akan seperti apa jadinya? Apalagi beberapa tahun ke belakang, banyak sekali masyarakat yang menganggap bahwa poligami itu sunnah Nabi Muhammad SAW.
Entah siapa yang memulai, namun sunnah tentang poligami seringkali terdengar dan juga berkembang dengan pesat. Meskipun sebenarnya, ada hadits-hadits lain yang menyatakan sebaliknya. Tapi hadits-hadits ini justru tidak muncul ke permukaan.
Contohnya seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Dawud, dan Imam Ahmad yang mengungkapkan tentang sisi lain dari sunnah Nabi SAW tentang poligami berikut ini:
Dari Miswar bin Makhramah ra. Ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah di mimbar”. Beliau berkata: “Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin saya untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Saya tidak mengizinkan, Saya tidak mengizinkan, Saya tidak mengizinkan.
Kecuali kalau Ali bin Abi Thalib menceraikan putri saya terlebih dahulu, lalu silahkan menikah dengan putri mereka. Dia (putri saya Fatimah) adalah bagian dari diri saya, sesuatu yang membuat hatinya galau akan membuat hati saya galau juga, dan sesuatu yang menyakitinya akan membuat saya sakit hati juga”. (HR. Shahih Bukhari).
Lantas bagaimana jika kritik terhadap poligami disampai melalui medium novel setebal hampir 500 halaman? Grameds bisa menemukannya dalam Novel Dua Barista karya Najhaty Sharma yang terbit pada awal tahun 2020 kemarin.
Ini adalah novel berlatar belakang pesantren yang menjadi best seller dan dibaca banyak orang. Bahkan cetakan pertama dan keduanya berhasil terjual ribuan eksemplar dalam waktu satu bulan! Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang novel ini supaya Grameds bisa mengetahui bagaimana kualitasnya.
Table of Contents
Profil Penulis Novel Dua Barista
Nazhati Mu’tabiroh atau Najhaty Sharma adalah penulis kelahiaran 30 Juli 1988 yang tumbuh di kawasan pondok pesantren Al-Asnawi, Salamkanci, Bandongan, Magelang. Selain itu, Najhaty juga menamatkan pendidikan di pondok pesantren Salafiyah An-Nur, Purworejo.
Sampai saat ini, Najhaty Sharma telah menghasilkan lima karya tulis, yaitu Antologi Perempuan Tali Jagat, Antologi Morl Code KPFI (Komunitas Penulis Facebook Indonesia), Antologi Cerpen Kupu-Kupu Marrakech, Antologi Solo Lipstik, dan Novel Dua Barista.
Najhaty juga merupakan seorang ibu rumah tangga yang memiliki tiga anak. Dia memiliki kegemaran membaca, traveling, serta berwirausaha.
Belajar Sains Sulit dan Membosankan? Kamu Bisa Belajar Sains dengan Seru dan Menyenangkan Disini!
Detail dan Review Novel Dua Barista
Review Novel Dua Barista terbit pada bulan Januari tahun 2020 dengan tebal 495 halaman. Cetakan pertama novel terbitan Telaga Aksara ini berhasil terjual sampai 3000 lembar. Dan hanya butuh waktu satu bulan untuk sampai kepada cetakan ke-3.
Novel fiksi dengan latar belakang pesantren ini berhasil menyihir ribuan pembacanya melalui karakter tokoh-tokohnya. Terlebih detail tentang kehidupan pesantren juga sangat terasa sehingga pembaca bisa mengetahui beberapa tradisi pesantren.
Judul “Dua Barista” dipilih oleh penulis untuk menggambarkan pernikahan yang pasangan suami dan istrinya menjalani kehidupan dengan status sama. Tanpa ada perbedaan satu sama lain.
Dua Barista sendiri bermula dari tulisan per bab yang diterbitkan di Facebook sampai dengan menjadi novel fenomenal yang kerap diperbincangkan di kalangan pesantren.
Sinopsis
Review Novel Dua Barista menceritakan tentang kehidupan Ahvash dan Mazarina, pasangan suami-istri muda yang cerdas, energik, dan alim. Karena itu, keturunan mereka dipercaya akan menjadi penerus dari pengasuh pesantren keluarganya.
Namun, setelah lima tahun menikah, Mazarina masih belum juga dikaruniai keturunan. Avhash terus berusaha menenangkan istrinya sambil berusaha mencari pertolongan kemana-mana.
Kemudian, Mazarina dinyatakan mengidap penyakit yang membuat dirinya harus menjalani operasi pengangkatan rahim. Ditempa cobaan seperti ini, Mazarina sangat terpukul. Ditambah lagi dengan banyaknya tekanan dari pihak keluarga sang suami yang menginginkan penerus pengasuhan pesantren secepatnya.
Setelah itu wacana poligami muncul ke permukaan. Ahvash tak bisa melakukan apa-apa saat orang tuanya mengajukan Mey sebagai calon istri keduanya. Di sini lah konflik mulai muncul.
Mazarina harus bertahan menyaksikan kemesraan suaminya dengan wanita lain di depan kedua matanya sendiri. Ditambah kemunculan Juan Harvey, sosok dari masa lalu Mazarina yang siap menerimanya sepenuh hati dengan kekurangannya.
Review Isi Novel
Kisah pernikahan Ahvash dan Mazarina pada awalnya tidak jauh berbeda dengan cerita cinta Gus dan Ning pada umumnya. Mereka bertemu melalui perjodohan. Selama empat tahun, mereka berdua menjalani kehidupan bersama. Melewati setiap drama kehidupan dengan saling menguatkan.
Sampai pada akhirnya, Mazarina divonis menderita penyakit tumor rahim yang mengharuskannya melakukan operasi pengangkatan rahim. Sebab jika tidak, tumor ini bisa menjadi kanker rahim.
Saat itu semua harapan Mazarina untuk menimang bayi, mengurus darah dagingnya sendiri, melihat tumbuh kembang anaknya hancur berkeping-keping. Sebagai suami, Ahvash tak pernah berhenti mencoba membahagiakan sang istri dengan berbagai dukungan. Dia mengajak Mazarina untuk bersabar dan menerima kenyataan dengan lapang dada.
Ahvash juga mengajak istrinya untuk memandang dunia ini dengan perspektif yang berbeda. Bahkan dia sering mengajak anak-anak atau sepupunya bermain bersama dengan Mazarina. Akan tetapi, di sisi lain, Ahvash juga mengkhawatirkan perasaan orang tuanya. Terlebih orang tuanya sangat mengharapkan keturunan darinya.
Orang tua Ahvash ingin memiliki keturunan yang dapat mewarisi pesantren keluarga mereka. Sebab Ahvash merupakan anak satu-satunya, maka otomatis kehadiran cucu begitu dirindukan.
Tidak lama, wacana poligami pun muncul di tengah-tengah kehidupan Ahvash dan Mazarina. Nama-nama santri yang menjadi calon istri kedua Ahvash bermunculan. Lalu pilihan pun jatuh kepada Meysaroh, seorang santriwati dari pondok pesantren yang dikelola oleh mereka.
Ahvash tak kuasa menghadapi pilihan yang disodorkan oleh orang tuanya. Pernikahan pun terjadi. Inilah yang menjadi titik awal konflik dalam novel Dua Barista berjalan.
Meysaroh, sebagai istri kedua, memiliki fisik di atas rata-rata yang dianggap sebanding dengan Ahvash. Namun, Ahvash tetap merasa terpaksa untuk mencintai seorang wanita baru yang bukan pilihannya sendiri. Baginya, hal seperti ini tidak semudah membalikan telapak tangan.
Di sisi lain, Meysaroh sebagai istri kedua selalu berlaku sopan dan Mazarina terus berupaya untuk tawakal dan berbaik hati kepada keduanya. Akan tetapi, pada akhirnya masalah tetap muncul dan tidak bisa dihindari sama sekali.
Bagaimana tidak, bahkan dalam perkawinan monogami pasangan suami istri diharuskan untuk berlaku adil. Seperti firman Allah dalam surat An Nisa ayat 3 yang mengingatkan pasangan suami istri untuk tak henti-hentinya berusaha bersikap adil kepada satu orang terlebih dulu. Sebab, jika tidak bisa berlaku adil maka akan ada pihak yang tersakiti. Baik dari pihak istri maupun suami.
Pergulatan batin terus muncul dari setiap harinya. Ahvash, Mazarina, dan Meysaroh diwajibkan menjadi manusia yang baik saat mereka merasakan kemelut hati tanpa henti. Pada dasarnya mereka adalah manusia yang berakhlak dan berpendidikan, namun tetap saja mereka tidak bisa terlepas dari cobaan penyakit hati.
Ujian adil dalam poligami pun mencapai puncaknya saat Mbah Kyai Zainuri datang bersilaturahmi ke ndalem Tegal Klopo. Ahvash yang saat itu sedang berada di rumah meysaroh meminta istrinya menyiapkan sambutan untuk Mbah Kyai Zainuri. Di saat yang sama, ternyata Mazarina juga sedang menyiapkan jamuan di ndalem utama tanpa sepengetahuannya.
Tidak hanya itu saja, berbagai permasalah pun kerap muncul dalam kehidupan rumah tangga mereka bertiga. Termasuk dengan kemunculan Juan Harvey yang mengatakan bahwa dirinya siap menerima dan mencintai Mazarina apa adanya.
Tema dan Penokohan
Review Novel Dua Barista mengangkat tema percintaan dan religi yang ditunjukkan oleh tokoh utamanya, yaitu Ahvash. Lewat Ahvash, penulis memperlihatkan bagaimana percintaan suami-istri yang sesuai dengan syariat Islam. Yakni percintaan yang mengharuskan suami istri untuk saling mengerti dan mengasihi satu sama lain.
Ahvash adalah seorang alumni Al Ahgaff yang menikahi dua orang wanita, yaitu Mazarina dan Meysaroh. Lewat tokoh Ahvash, Najhaty berhasil menunjukkan bagaimana percintaan yang dapat melahirkan berbagai perbuatan terpuji seperti muthola’ah, disiplin dalam semua kegiatan, sabar, dan juga kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya.
Kemudian ada Mazarina Qisthina yang merupakan wanita cerdas berjiwa entrepreneur. Mazarina juga memiliki ketegaran luar biasa dalam menghadapi berbagai cobaan dalam hidupnya. Sebut saja saat harus menjalani operasi pengangkatan rahim.
Dia juga sangat pandai bergaul dengan berbagai kalangan sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang agama tanpa terkesan menggurui. Mazarina juga merupakan seorang wanita yang teguh dan berhasil menghadapi setiap fitnah serta pandangan negatif tentang dirinya.
Selanjutnya ada Meysaroh, gadis lugu yang pandai memasak dan berhati baik. Dia terus berusaha ta’dzim karena merasa pernah menjadi seorang khodimah. Namun di sisi lain, dia juga ingin diakui serta dibalas cintanya. Dalam kehidupan sehari-harinya, Meysaroh sangat pemalu namun pandai mengerjakan pekerjaan domestik seperti memasak, atau menjahit.
Lalu ada juga Badrun yang menjadi khodam kesayangan Ahvash. Menariknya Badrun berhasil membuktikan bahwa seorang lulusan pesantren pun bisa sukses. Sukses dalam arti memiliki penghasilan yang tinggi, berwirausaha sendiri, dan berilmu meskipun tanpa gelar sarjana.
Kelebihan Novel Dua Barista
Salah satu kelebihan utama dari novel Dua Barista adalah kehadiran pesan-pesan kehidupan di dalamnya. Misalnya seorang ibu yang mendoakan agar Mazarina diberikan kekuatan untuk menghadapi poligami dalam pernikahannya.
Ucapan sang ibu tentang anaknya yang tidak kunjung dikaruniai keturunan meski sudah 20 tahun menikah membuat Mazarina menjadi kuat. Pesan ini sekaligus menjadi kritik yang menunjukkan bahwa seorang kyai bisa saja “kalah” dengan orang biasa dalam hal praktek beragama.
Kelebihan lainnya, novel ini juga bisa mendobrak stereotip yang melekat kuat pada perempuan tentang Macak, Masak, dan Manak.
Di sisi lain, novel ini juga menunjukan kehidupan dan budaya pesantren yang tidak banyak dikenal oleh masyarakat. Seperti kegiatan sehari-hari santri, tentang khodam dan khodimah, Gus dan Ning, serta keluarga ndalem.
Ada satu kritik sosial dalam novel ini yang patut Grameds garis bawahi, yaitu tentang tradisi pesantren dan realitas yang terkadang menghambat perkembangan. Terlebih jika putra-putri kyai yang dimuliakan tidak dapat mengartikan penghormatan tersebut dengan baik.
Kelebihan lainnya terletak pada cara penulis yang menunjukkan bahwa Kyai, Gus, Ning, dan Bu Nyai juga merupakan manusia yang bisa melakukan kesalahan.
Grameds juga bisa menemukan ilmu tentang fiqih wanita, maqolah ulama dan hadits, serta mawarits di dalamnya.
Kekurangan Novel Dua Barista
Sementara untuk kekurangannya terdapat pada penggambaran fisik serta latar belakang tokoh-tokohnya yang terlihat seragam dengan novel-novel pesantren lainnya.
Tokoh laki-laki digambarkan memiliki fisik yang hampir sempurna seperti berwajah ganteng, bertubuh tinggi dan atletis. Lalu tokoh wanita digambarkan seperti artis yang cantik dan sempurna.
Penggambaran seperti ini berpotensi membuat pembaca berhalusinasi tentang Gus dan Ning yang sosoknya sempurna.
Di sisi lain, bisa juga pembaca menganggap bahwa proses memilih jodoh di pesantren lebih mementingkan fisik daripada akhlak, adab, serta keilmuan.
Grameds pun bisa menemukan beberapa kesalahan teknis penulisan namun tetap tidak mengurangi kualitas ceritanya. Misalnya tidak adanya tanda titik dan koma dalam percakapan.
Dari segi bahasa, dialog yang berbahasa Jawa tidak disertai dengan arti atau catatan kaki sehingga bisa menyulitkan pembaca yang kurang mengerti bahasa Jawa. Meskipun sebenarnya hal ini tidak mempengaruhi isi serta pesan yang ingin disampaikan penulis.
Terakhir, ada beberapa candaan dengan kaidah ilmu gramatikal bahasa Arab (nahwu) yang kurang bisa dimengerti, terlebih oleh pembaca tanpa latar belakang ilmu bahasa Arab.
Kesimpulan Novel Dua Barista
Novel Dua Barista bisa dibilang menjadi novel yang penuh dengan kritik sosial serta nilai-nilai ajaran islam. Hal ini ditunjukkan dan disampaikan melalui tokoh-tokohnya. Secara keseluruhan, poligami justru bisa dianggap sebagai “medium” penulis menyampaikan kritik dan pesan yang ingin disampaikan.
Misalnya pesan tentang kebersyukuran, keteguhan, kesabaran, keikhlasan, keadilan, dan yang terpenting tentang pernikahan dalam Islam.
Ada juga pesan tersirat mengenai pesantren yang menurut penulis bukan merupakan bisnis prestise sehingga harus mengutamakan kelangsungannya lewat keturunan. Karena pada dasarnya ilmu tidak hanya bisa diwarisi berdasarkan garis keturunan saja tetapi bisa juga melalui garis keilmuan atau sanad.
Satu quote dari kyai yang bisa Grameds jadikan renungan tentang kesombongan dan keangkuhan:
“Kalau kita mau merenung, meneruskan pesantren harus dengan keturunan sedarah bisa jadi bentuk kesombongan terselubung. Amal jariyah tidak harus melalui anak kandung. Bagaimana kalau memang kita tidak berketurunan? Yang kita butuhkan itu itu menghidupkan Islam atau melestarikan kerajaan?
Kalau kita merasa bahwa keturunan kita saja yang mampu mengemban amanah ini, dan orang lain tidak berhak. Lalu apa itu jika bukan kesombongan? Di mana letak keikhlasan kalau feodalisme mengungkung?”
Terkait poligami, novel Dua Barista ini ingin menunjukan bahwa poligami bukanlah perkara mudah. Terlebih jika pelakunya tidak kuat secara mental maupun materi. Poligami tidak bisa dipandang dari sisi enaknya saja. Karena hal ini menuntut materi yang cukup, kesiapan mental, serta keadilan sejati dari laki-laki terhadap seorang istri.
Di sisi lain, novel ini bisa menjadi medium yang tepat untuk mengenalkan budaya pesantren kepada masyarakat umum. Tentunya akan lebih baik jika kedepannya ada buku yang secara spesifik membahas budaya tersebut dengan cara yang menarik dan seru. Sebab pesantren sendiri tidak bisa dipisahkan dari sejarah negeri ini dan kehidupan masyarakat Islam di Indonesia.
Selain itu, review novel Dua Barista juga menjadi bukti bahwa kritik yang disampaikan dengan cara yang tepat bisa lebih diterima serta dipahami oleh masyarakat luas. Bahkan jika hal yang dikritik merupakan hal tabu sekalipun, seperti topik poligami dalam novel ini.
Demikian review novel Dua Barista, Kamu juga bisa membaca buku-buku lainnya dengan mengunjungi Gramedia.com. Gramedia selalu memberikan produk terbaik agar kamu memiliki informasi #LebihDenganMembaca.
Penulis: Gilang Oktaviana
BACA JUGA:
- Rekomendasi Novel Pernikahan Populer
- 8 Rekomendasi Novel Pernikahan karena Dijodohkan
- Rekomendasi Novel Pernikahan Anak SMA yang Penuh Emosi
- Novel Romance Paling Banyak DIbaca di Gramedia Digital
- Rekomendasi Buku Relationship dan Pernikahan Best Seller
- Rekomendasi Novel Romantis Cinta Terbaru Agustus 2022