Sosial Budaya

4 Upacara Adat Jawa Timur Yang Wajib Kamu Ketahui!

Written by Umam

4 Upacara Adat Jawa Timur Yang Wajib Kamu Ketahui – Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku dan budaya. Sehingga ada banyak sekali upacara adat dan berbagai tradisi di Tanah Air, termasuk di provinsi Jawa Timur. Upacara adat di Jawa Timur banyak sekali yang memiliki keterkaitan dengan pertanian dan sumber mata air. Upacara adat ini biasa dilaksanakan sebangai bentuk rasa syukur kepada para leluhur maupun Tuhan Yang Maha Esa. Berikur, beberapa upacara adat Jawa Timur yang masih ada hingga saat ini.

1. YADNYA KASADA

https://www.hipwee.com/

Salah satu suku yang berada dekat dengan Gunung Bromo yaitu suku Tengger mempunyai sebuah ritual khusus yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Ritual ini biasa disebut dengan Yadnya Kasada.

Upacara Yadnya Kasada sendiri dilakukan sebagai sarana untuk menyampaikan rasa syukur. Upacara Yadnya Kasada dilakukan dengan cara membuat tumpeng dan membawa hasil bumi yang nantinya akan disajikan ke kawah puncak Gunung Bromo pada tiap bulan Kasada hari ke-14 menurut penanggalan Jawa.

Selain itu, tak hanya sekadar masyarakat suku Tengger saja yang melaksanakan ritual ini. Namun, ritual ini juga juga dibantu oleh pihak pemerintah dari Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

SEJARAH YADNYA KASADA

Sejarah dari Gunung Bromo tak bisa dipisahkan dari kisah pasangan Jaka Seger dan Rara Anteng. Asal muasal nama dari suku Tengger sendiri juga diambil dari nama pasangan tersebut.

Jaka Seger dan Rara Anteng pada mulanya membangun pemukiman yang kemudian mereka berdua memerintah di kawasan Tengger. Mereka pun kerap kali disebut sebagai Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, yang memiliki arti yaitu “Penguasa Tengger yang Budiman”.

Dalam kehidupan pernikahannya, pasangan ini tidak dikarunai dengan seorang anak pun. Maka dari itu Jaka Seger dan Rara Anteng melakukan semadi kepada Sang Hyang Widhi. Ketika mereka sedang melakukan semadi, tiba-tiba muncul suara gaib yang mengatakan bahwa semadi mereka akan terkabul tetapi dengan satu syarat, yaitu apabila mereka telah mendapatkan keturunan, anak yang terakhir harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.

Pasangan Jaka Seger dan Rara Anteng menyanggupi persyaratan tersebut, lalu didapatkannya lah 25 orang anak. Akan tetapi, naluri orang tua tetaplah tidak tega apabila kehilangan anak walaupun hanya salah satu.

Singkat cerita, tibalah waktunya untuk mengorbankan anak terakhir dari Jaka Seger dan Rara Anteng, tetapi pasangan tersebut memilih untuk mengingkari janjinya. Dewa menjadi marah dan mengancam akan menurunkan bencana dan malapetaka. Kemudian, terjadilah sebuah bencana, keadaan langit menjadi gelap gulita dan kawah dari Gunung Bromo menyemburkan api.

T

Tiba-tiba, Kesuma anak bungsu mereka, hilang dari pandangan karena terjilat api dan masuk ke dalam kawah Bromo. Bersamaan dengan hilangnya Kesuma muncul kembali suara gaib yang mengatakan “Wahai, saudara dan saudariku yang kusayangi, aku telah dikorbankan oleh kedua orang tua kita dan Sang Hyang Widhi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah dengan damai dan tentram, sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan supaya kalian pada setiap bulan Kasada pada hari ke-14 memberikan sesaji kepada Sang Hyang Widhi di kawah Gunung Bromo”.

Lalu, setelah kejadian tersebut, kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat suku Tengger. Selain itu, tiap satu tahun sekali juga diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

TRADISI UPACARA ADAT YADNYA KASADA

Melihat dari cerita sejarah, ritual Yadnya Kasada pada bulan Kasada di hari ke-14 pada penanggalan Jawa ini dilakukan dengan harapan supaya masyrakat terhindar dari berbagai macam musibah dan marabahaya dengan cara menyampaikan persembahan kepada Sang Hyang Widhi di kawah puncak Gunung Bromo.

Ritual ini diikuti oleh masyarakat keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger yang menempati wilayah Tengger di 4 lokasi Kabupaten, yakni Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, dan Malang.

Sesaji yang diberikan kepada Sang Hyang Widhi di kawah puncak Gunung Bromo umumnya berupa aneka makanan, aneka hewan ternak, dan juga hasil bumi yang diberikan secara suka rela. Persembahan ini berguna untuk menunjukan rasa syukur atas rezeki yang telah diterima oleh masyarakat suku Tengger.

Sesaji dan barang persembahan yang dilarung di kawah puncak Gunung Bromo ini nantinya akan diperebutkan oleh banyak orang, setelah masyarakat suku Tengger memanjatkan doa memohon keselamatan serta keberkahan.

Berbagai makanan dan lauk pauk yang merupakan bagian dari sesaji akan diletakan di bibir kawah, lalu ditancapkan dupa di atasnya. Pada saat sesaji dilemparkan ke dalam kawah, banyak orang yang telah bersiap di lereng kawah puncah Gunung Bromo dengan membawa alat berupa jaring yang digunakan untuk memperebutkan sesaji.

Diketahui bahwa dalam beberapa bulan terakhir pada tahun 2019, aktivitas dari Gunung Bromo dinilai cukup aktif dan pernah meletus pada bulan Februari 2019 dengan mengeluarkan berbagai material vulkanik.

Meski demikian, ritual Yadnya Kasada ini tetap dilakukan oleh masyarakat suku Tengger di kawah puncak Gunung Bromo. Pada masa itu, status Gunung Bromo sendiri masih waspada level II yang dapat membuat masyarakat masih memungkinkan untuk melaksanakan upaca tersebut.

2. UPACARA KEDUK BEJI

Foto: na_yunna1711/Instagram

Upacara Adat Keduk Beji yaitu upacara adat yang dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan sendang (danau) di daerah Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Keduk Beji berasa dari dua kata, yaitu Keduk dan Beji. Keduk yang artinya yaitu membersihkan, sedangkan Beji adalah nama dari tempat yang dibersihkan.

Sendhang Beji dipercaya oleh masyarakat daerah Tawun sebagai tempat yang sakral.  Sumber air Sendhang Beji ini digunakan untuk mengairi lahan pertanian serta menjadi penyuplai air pemandian di tempat wisata Tawun. Di samping Sendhang Beji, terdapat sebuah makam leluhur dari desa Tawun.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Sendhang Beji menyimpan berbagai kekuatan yang mistis, sehingga tempat ini harus dijaga dan dikeramatkan. Maka dari itu, masyarakat melakukan upacara penghormatan supaya tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan seperti bencana dan marabahaya.

SEJARAH UPACARA KEDUK BEJI

Menurut legenda, pada abad ke-15 di daerah Padas (yang saat ini disebut Kasreman), Ki Ageng Metawun, seorang pengembara yang sedang melewati daerah tersebut menemukan sebuah sendang. Ki Ageng memiliki dua anak. Anak yang pertama dinamakan Seconegoro dan yang kedua diberi nama Ludrojoyo. Anak pertamanya, Seconegoro saat sudah dewasa menjadi seorang senopati Mataram, sedangkan anak keduanya, Ludrojoyo tinggal di desa dan memperhatikan nasib para petani.

Para petani merasa bahwa suplai air di sawah mereka sangat kurang karena posisi sendang berada di tempat yang lebih rendah. Akhirnya pada hari Kamis Kliwon, Ludrojoyo bersemadi dengan cara merendamkan diri di dalam air sendang. Pada waktu tengah malam, tiba-tiba suasana henting berubah menjadi menyeramkan. Cahaya bulan yang awalnya terang menjadi tertutup oleh awan yang tebal dan muncul suara ledakan yang keras.

Ketika masyarakat sekitar datang berbondong-bondong menuju ke Sendhang Beji, Raden Ludrojoyo sudah menghilang dan tidak ada di tempat ia bersemadi sebelumnya. Bersamaan dengan kejadian tersebut, sendang juga telah berpindah posisi ke tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Lalu, masyarakat melakukan gotong royong untuk menguras air di sendang tersebut, tetapi hasilnya nihil. Mereka masih tak dapat menemukan Ludrojoyo.

Maka dari itu, hingga saat ini warga masyarakat Kasreman masih menghormati peristiwa tersebut dengan mengadakan tradisi Keduk Beji.

TRADISI UPACARA KEDUK BEJI

Upacara Adat Keduk Beji berlangsung selama lima hari, dimulai dari hari Kamis Kliwon hingga Selasa Kliwon.

Pada hari Kamis, masyarakat akan mengadakan kegiatan selamatan panggang tumpeng di kediaman orang yang merupakan keturunan asli Tawun. Pada, hari Jumat Legi semua masyarakat dari empat padukuhan akan berkumpul menjadi satu di Sarehan Sentono untuk melakukan selamatan bersama.

Pada hari selanjutnya, Sabtu Pahing akan diadakan kegiatan Gugur Gunung, yaitu masyarakat bersama-sama bergotong royong membersihkan seluruh lingkungan desa. Lalu, pada minggu pon masyarakat beristirahat dan tidak ada kegiatan yang berhubungan dengan Sendhang Beji satupun.

Acara diadakan kembali pada hari Senin Wage, masyarakat membuat gunungan di halaman Sendhang Beji. Selain itu, masyarakat juga memasang hiasan-hiasan janur di pendopo Sendhang Beji, serta melakukan mandi bersama yang diikuti oleh warga sekaligus kepala desa dan dimulai pada pukul 17.00 WIB.

Berikutnya, pada hari Selasa Kliwon, pukul 05.00 WIB warga mengadakan acara selamatan sambil menyembelih kambing. Puncak acaranya dimulai pada pukul 09.00 WIB, masyarakat bersama-sama melakukan bersih desa di wilayah sekitar sendang. Setelah itu, baru melakukan kegiatan pembersihan Sendhang Beji yang dilakukan oleh seluruh warga yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Adapun ritual yang dilakukan dalam Upacara Adat Sendhang Beji ini yaitu mandi lumpur, penyilepan, serta pemberian sesaji. Ritual mandi lumpur dilakukan oleh para pemuda, sambil membersihkan setiap sudut dar sendhang tersebut. Pada pukul 00.00 WIB, barulah diadakan ritual penyilepan atau penyelaman. Akan ada orang yang dipilih untuk melakukan ritual ini dan biasanya merupakan seorang juru kunci atau keturunan asli dari sesepuh desa.

Juru kunci tersebut akan mengenakan pakaian Kebesaran, dilumuri menggunakan bedak, dan diberi penanda berupa janur pada bagian lengan dan kepala. Selanjutnya, sang juru kunci akan membakar dupa dan menyelam selama beberapa menit di dalam Sendhang Beji.

Ia menyelam sembari memasukkan sesaji berupa air tape ketan ke dalam sebuah kendi kecil yang terletak di pusat sumber air dalam sebuah gua. Makna dan filosofi dari ritual-ritual ini yaitu sebagai bentuk ungkapan syukur atas berkah yang telah diberikan melalui sumber mata air tersebut.

3. LARUNG SEMBONYO

https://prokopim.trenggalekkab.go.id/

Upacara Adat Larung Sembonyo merupakan upacara adat sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat lokal di daerah Pantai Prigi. Pantai Prigi berada di kota Trenggalek, Provinsi Jawa Timur. Tradisi ini masih dilakukan oleh masyarakat sekitar Pantai Prigi, Trenggalek sebagai bentuk dari rasa syukur atas hasil laut yang disediakan oleh alam.

Upacara Adat Larung Sembonyo ini juga telah menjadi bagian dari kebudayaan lestari yang dikenal dari kota Trenggalek.

SEJARAH UPACARA LARUNG SEMBONYO

Sejarah yang menjadi latar belakang dari Upacara Adat Larung Sembonyo adalah adanya sebuah peristiwa gaib.

Sejarah ini dimulai dari adanya acara pernikahan Tumenggung Yudha Negara yang berasal dari Kerajaan Mataram. Tumenggung Yudha Negara merupakan utusan dari Kerajaan Mataram untuk melakukan perluasan lahan atau yang dikenal dalam istilah Jawa yaitu babad alas.

Tumenggung Yudha Negara dipercaya sebagai seorang kesatria yang mempunyai kekuatan sakti dan luar biasa dalam bertempur dan melakukan babad alas. Ketika melakukan perluasan lahan, Tumenggung Yudha Negara tidak sendirian. Ia dibantu oleh saudara-saudaranya.

Namun, saudara-saudara dari Tumenggung Yudha Negara hanya diberi mandat untuk menjaga dan membuka lahan baru di wilayah yang mereka singgahi, sedangkan Tumenggung Yudha Negara diberikan mandat untuk melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah Prigi.

Pada masa itu, wilayah Pantai Prigi dikenal dengan kekuatan gaibnya yang tidak mudah untuk ditaklukkan. Setelah melakukan kegiatan semadi dan meditasi, akhirnya para penguasa gaib dari wilayah tersebut setuju untuk menyerahkan wilayah tersebut kepada Tumenggung Yudha Negara.

Akan tetapi, daerah tersebut tidak diberikan dengan cuma-cuma, syarat yang diberikan yaitu Tumenggung Yudha Negara harus menikahi seorang putri yang bernama Putri Gambar Inten yang merupakan bangsa lelembut.

Pernikahan antara dua dunia ini dilaksanakan pada Senin Kliwon, yang saat ini pun diperingati sebagai hari pelaksanaan Upacara Adat Larung Sembonyo.

TRADISI UPACARA LARUNG SEMBONYO

Setelah peristiwa gaib tersebut dilaksanakan, Tumenggung Yudha Negara dapat membuka lahan baru di wilayah Prigi. Pantai Prigi pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat tinggal dan juga sebagai tempat mencari nafkah. Maka dari itu, masyarakat setempat merasa bersyukur atas wilayah dan hasil laut yang melimpah dengan melaksanakan upacara adat.

Upacara adat tersebut dinamakan Upacara Adat Larung Sembonyo yang dilaksanakan setiap hari Senin Kliwon di Desa Tasik Madu, Prigi. Sembonyo diambil dari nama mempelai tiruan berbentuk boneka dan dibuat menggunakan tepung beras ketan. Adonan tepung beras ketan dibentuk menyerupai sepasang mempelai dan diletakkan di atas perahu untuk dilarung.

Perlengkapan yang digunakan dalam Upacara Adat Larung Sembonyo juga dilengkapi dengan sesaji dan seserahan seperti dalam upacara perkawinan adat Jawa. Upacara adat Larung Sembonyo juga kerap kali dikenal dengan nama lain yakni Bersih Laut, Sedekah Laut, dan Mbucal Sembonyo.

4. KEBO-KEBOAN

https://news.detik.com/

Kebo-keboan merupakan salah satu upacara adat Suku Osing, desa Banyuwangi, provinsi Jawa Timur. Dalam upacara ini akan ditampilkan kebo-keboan atau manusia yang dirias menyerupai seekor kerbau. Upacara Kebo-keboan merupakan bentuk atas rasa syukur masyarakat suku Osing terhadap hasil panen yang mereka dapatkan. Disamping itu, upacara ini juga memiliki fungsi sebagai upacara bersih desa supaya masyarakat terhindar dari berbagai macam bahaya.

SEJARAH UPACARA KEBO-KEBOAN

Upacara Ritual Kebo-keboan dilakukan di dua desa saja yakni di desa Aliyan dan desa Alasmalang. Desa Aliyan adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Rogojampi, sedangkan desa Alasmalang terletak di Kecamatan Singojuruh. Upacara Kebo-keboan mempunyai sejarah yang panjang dan berkaitan dengan cerita Buyut Karti. Buyut Karti adalah tokoh yang hidup pada abad ke-18 Masehi. Saat itu, ada ancaman berupa wabah penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Hingga pada suatu hari, Buyut Karti mengaku mendapatkan mimpi atau wangsit untuk mengadakan upacara bersih desa. Dalam wangsit tersebut, seluruh peserta yang berpartisipasi dalam upacara tersebut harus berdandan menyerupai seekor kerbau.

Di kemudian hari, penggunaan hewan kerbau ini diartikan bahwa hewan tersebut merupakan “teman” dari para petani dalam menggarap sawah. Buyut Karti lalu menyampaikan wangsit yang ia terima itu kepada masyarakat sekitar. Setelah disepakati, Buyut Karti dengan beberapa petani lalu berdandan menyerupai kerbau dan hal tersebut kemudian menjadi tradisi yang dilakukan hingga saat ini.

TRADISI UPACARA KEBO-KEBOAN

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, upacara adat Kebo-keboan ini dilakukan di dua desa, yaitu desa Aliyan dan desa Alasmalang. Secara umum pelaksanaan upacaranya sama, tetapi tetap ada beberapa perbedaan di antara dua desa ini. Di Desa Alasmalang, upacara kebo-keboan tak hanya sekadar sebagai upacara adat saja tetapi juga sebagai daya tarik bagi para wisatawan. Sementara di desa Aliyan, upacara kebo-keboan relatif lebih sakral, kental aturan adatnya, dan dilakukan dengan lebih terstruktur.

1. Pelaksanaan Di Desa Alasmalang

Upacara kebo-keboan di desa Alasmalang secara umum dilaksanakan dengan tiga tahap.

Tahap pertama, berupa selamatan dengan menggunakan dua belas tumpeng beserta lauk-pauk, jenang sengkolo, dan tujuh porsi jenang suro. Tumpeng tersebut kemudian dimakan bersamaan di sepanjang jalan desa. Disamping itu, para tetua desa juga melakukan ritual di berbagai tempat yang dianggap keramat seperti Watu Laso, Watu Gajah, dan Watu Tumpeng.

Tahap kedua, yakni mengarak tiga puluh manusia yang telah didandani menyerupai kerbau untuk mengelilingi empat penjuru desa yang dipimpin olrh tokoh adat. Di belakang arak-arakan manusia kerbau, terdapat sebuah kereta yang digunakan oleh Dewi Sri. Dewi Sri adalah lambang dewi padi dan kesuburan.

Tahap ketiga sekaligus yang terakhir yakni penanaman benih padi yang dilakukan oleh manusia kerbau di sawah.

2. Pelaksanaan Di Desa Aliyan

Pelaksanaan upacara kebo-keboan di desa Aliyan dilakukan dengan lima tahap.

  1. Tahap pertama atau tahap persiapan, yakni pemasangan umbul-umbul wana-warni di sepanjang jalan desa.
  2. Tahap kedua, yakni membuat kubangan yang lokasinya telah disesuaikan rute arak-arakan manusia kerbau. Kubangan tersebut sebagai lambang dari tempat persemaian padi yang nantinya akan menghasilkan butir-butir beras.
  3. Tahap ketiga, yakni pembuatan gunungan dari hasil bumi. Gunungan ini dibuat dari berbagai hasil bumi seperti buah-buahan yang menjadi lambang dari kesejahteraan.
  4. Tahap keempat, yakni ider bumi yaitu mengarak manusia kerbau ke seluruh penjuru desa.
  5. Tahap kelima, yakni tahap penutup yang disebut dengan ngurit. Ngurit yaitu seorang tokoh yang berperan sebagai Dewi Sri memberikan benih padi kepada ketua adat. Oleh ketua adat, benih itu nantinya akan diberikan kepada para petani untuk ditanam.

Baca juga :

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.