Sosial Budaya

Rasisme : Pengertian, Penyebab, Akibat, Dan Cara Menanggulanginya

rasisme
Written by Umam

Rasisme : Pengertian, Penyebab, Akibat, Dan Cara Menanggulanginya – Dimulai dari stereotip dan juga hinaan terhadap warna kulit dan bentuk fisik, diskriminasi di sekolah, tempat kerja, bahkan di pengadilan, hingga intimidasi oleh aparat keamanan yang seharusnya mempunyai tugas sebagai pengayom bagi seluruh masyarakat.

rasisme

https://www.pexels.com

Banyaknya gerakan dan protes anti-rasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan yang terbaru yaitu Stop Asian Hate adalah manifestasi dari kemarahan atas adanya diskriminasi rasial yang melanggar hak orang-orang dan telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu dan menyebabkan berbagai macam kesenjangan yang merugikan banyak orang sekarang.

Mari kita kulik lebih dalam mengenai apa yang dimaksud dengan rasisme dan mengapa harus dihilangkan sampai ke akarnya.

Pengertian Rasisme

rasisme

https://www.pexels.com

Rasisme yaitu adanya perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan yang didasarkan oleh warna kulit, suku, ras, serta asal-usul seseorang yang menjadikan adanya batasan atau pelanggaran hak serta kebebasan seseorang.

Rasisme juga kerap kali diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terpisah dengan didasarkan kepada ciri-ciri biologis yang disebut dengan “ras”. Gagasan ini juga meyakini bahwa ada hubungan sebab dan akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, moralitas, kecerdasan, dan juga ciri-ciri budaya serta perilaku yang lainnya, serta menjadikan beberapa ras secara ‘bawaan’ lebih unggul dibandingkan dengan ras yang lain.

Penyebab Munculnya Rasisme

https://www.pexels.com

Lilian Green saorang pendiri sekaligus CEO dari North Star Forward Consulting, organisasi yang memberikan rekomendasi mengenai kebijakan, praktik, dan prosedur untuk melawan opresi sistemik di AS, menyebutkan bahwa rasisme mempunyai empat dimensi yakni dimensi internal, dimensi interpersonal, dimensi institusional dan juga dimensi sistemik.

1. Rasisme internal

Rasisme internal merajuk kepada pikiran, perasaan, dan tindakan dari dalam diri kita sendiri, secara sadar maupun tidak sadar, sebagai individu. Contohnya seperti mempercayai bahwa adanya stereotip ras yang negative atau bahkan menyangkal bahwa rasisme tidak ada.

2. Rasisme interpersonal

Rasisme interpersonal adalah tindakan rasis dari individu atau kelompok ke individu atau kelompok yang lainnya dan dapat mempengaruhi interaksi publik mereka. Misalnya dengan melakukan perilaku negatif seperti diskriminasi, pelecehan dan juga mengatakan kata-kata rasis.

3. Rasisme institusional

Rasisme institusional pada umumnya terdapat dalam institusi dan juga sistem politik, hukum, dan juga ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menyuburkan diskriminasi dengan berdasarkan pada perbedaan ras. Hal ini menyebabkan adanya ketidaksetaraan kemakmuran, pendidikan, pendapatan, perawatan kesehatan, hak-hak sipil, dan juga di berbagai bidang institusional yang lainnya. Misalnya, pada praktik perekrutan yang diskriminatif, tidak mendengarkan bahkan membungkam suara orang dengan ras tertentu di dalam ruangan rapat, atau dalam budaya kerja yang lebih mengutamakan sudut pandang kelompok ras yang dominan.

4. Rasisme sistemik 

Rasisme sistemik melibatkan entitas atau institusi yang berwenang dalam menegakkan kebijakan perihal rasisme, baik yang berada di dalam bidang pendidikan, pemerintahan, perawatan kesehatan, perumahan, dan hal serupa lainnya. Hal ini merupakan efek riak dari ratusan tahun praktik rasisme serta diskriminatif yang masih berlangsung hingga masa kini.

Akibat yang Ditimbulkan

rasisme

https://www.pexels.com

Pemikiran yang rasis dapat membuat seseorang memiliki prasangka buruk terhadap ras tertentu. Prasangka buruk ini dapat memberikan dampak negatif terhadap para korbannya. Bahkan rasisme menjadi awal dari banyaknya peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian kepada kaum Yahudi oleh Nazi.

Berikut beberapa dampak buruk dari rasisme:

1. Kerap kali berujung pada penyiksaan dan perlakuan buruk

Rasisme memandang mereka, orang-orang yang berbeda sebagai bukan manusia, tetapi sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan semena-mena. Di negara yang terbelah konflik rasial, perlakuan buruk bahkan penyiksaan kerap kali menimpa kelompok yang menjadi target dari perilaku rasis.

Misalnya, di Amerika Serikat, meski setengah dari orang yang ditembak dan dibunuh polisi adalah orang berkulit putih, tetapi jumlah orang berkulit hitam yang ditembak tidak proporsional apabila dibandingkan dengan komposisi demografi AS. Jumlah orang kulit hitam kurang dari 13 persen populasi, tetapi jumlah orang berkulit hitam yang dibunuh oleh polisi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan orang berkulit putih.

Tiap-tiap satu juta populasi orang berkulit hitam, ada 30 orang yang tewas ditembak polisi. Jumlah ini berketimpangan dengan statistik yang menyatakan bahwa dalam tiap satu juta populasi orang berkulit putih, 12 orang tewas ditembak polisi. Data ini mengindikasikan adanya dugaan rasisme atau diskriminasi terhadap orang yang memiliki warna kulit lebih gelap.

2. Melanggengkan impunitas

Negara yang lalai serta tidak menganggap dengan serius isu rasisme dapat menjadikan mekanisme yang ada tidak dapat mengidentifikasi serta memperbaiki pola diskriminasi yang telah ada sejak. Di berbagai negara, perlakuan buruk yang dilakukan oleh aparat kerap kali tidak dapat diinvestigasi hingga tuntas. Kalaupun berhasil untuk dituntut dan didakwa, mereka hanya mendapatkan hukuman yang ringan. Begitupun sebaliknya, korban yang melapor ke otoritas berwenang umumnya tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai dari berbagai ancaman dan intimidasi.

Misalnya, di Prancis, menurut data dari Ombudsman Nasional Prancis, pemuda imigran yang berasal dari Arab dan pemuda yang memiliki warna kulit hitam 20 kali lebih mungkin untuk dituduh sebagai kriminal dan digeledah oleh polisi Prancis di jalanan hanya karena para polisi mengira bahwa mereka cocok untuk melakukan tindak kejahatan. Penggeledahan ini merendahkan martabat manusia dan kerap kali berujung pada intimidasi serta kekerasan.

Menurut Madjid Messaoudene, aktivis sekaligus politisi lokal di Prancis, belum ada pelaku kekerasan dari pihak aparat ini yang sudah diadili. Impunitas atau ketiadaan hukuman bagi pelaku menunjukkan sikap negara yang tidak  memiliki komitmen untuk menganggap serius dari adanya isu rasisme sistemik.

3. Dapat menyebabkan terjadinya konflik terbuka

Untuk mempertahankan kekuasaannya, para pemimpin politik kerap kali membangkitkan atau memunculkan kebencian terhadap ras tertentu untuk mengumpulkan kekuatan pada pihak mereka, memandang lawan sebagai bukan manusia yang memiliki hak untuk dihormati seluruh haknya, serta seakan mensahkan terjadinya pelanggaran HAM. Hasilnya, rasisme mencemarkan seluruh aspek dalam kehidupan bermasyarakat, yang juga mencakup sistem keadilan.

Di negara Myanmar, misalnya, kaum minoritas sering menjadi target pelanggaran HAM. PBB memberikan pendapat bahwa ‘pembersihan etnis’ yang disertai dengan genosida banyak terjadi terhadap suku Rohingya. Orang-orang dari suku Rohingya menjadi target perlakuan buruk, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan. Banyak dari anggota militer Myanmar yang diduga membunuh laki-laki, perempuan, dan bahkan anak-anak yang berasal dari suku Rohingya. Mereka juga memperkosa perempuan dan anak-anak, serta membakar desa tempat suku Rohingya tinggal. Orang-orang dari suku Rohingya juga disiksa jika tidak dapat bekerja sesuai dengan harapan. Mereka kerap kali dipukuli, tidak diberi makanan, air, istirahat dan juga pelayanan kesehatan yang memadai, bahkan dibunuh jika ketahuan ingin melarikan diri. Banyak dari mereka yang juga dipaksa kerja tanpa dibayar di dalam proyek konstruksi baru.

4. Menyebabkan kesenjangan akses pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan lainnya

Secara historis, mereka yang secara terbuka mengakui dan mempraktikkan rasisme berpendapat bahwa anggota ras yang memiliki status lebih rendah harus dibatasi pada pekerjaan yang berstatus rendah, sementara anggota ras yang dominan harus mempunyai akses eksklusif ke kekuasaan politik , pekerjaan berstatus tinggi, sumber daya ekonomi, dan juga berbagai hak sipil lainnya.

Walaupun ideologi yang rasis mungkin telah memudar di masa kini, tetapi diskriminasi ras berdasarkan warna kulit banyak yang tetap berlanjut, membuat para korbannya tidak memiliki akses ke pendidikan, pekerjaan, dan berbagai kesempatan lainnya.

Salah satu contohnya di negara Inggris. Pada tahun 2017 pemerintah Inggris mengidentifikasi lebih dari 4000 orang tergabung ke dalam “Gang Matrix”, yaitu daftar nama-nama anak remaja yang dicurigai sebagai anggota geng. Banyak nama yang masuk ke daftar tersebut hanya karena sekadar pernah melihat video dan mendengarkan musik yang dianggap ‘berbahaya’, lantas mereka bisa dianggap berpotensi untuk melakukan tindak kekerasan. Perlu diingat bahwa sebanyak  78% orang di dalam daftar ini mempunyai warna kulit hitam. Padahal, hanya ada 27% pemuda berkulit hitam di dalam daftar tersebut yang terbukti pernah melakukan kejahatan yang serius.

Karena daftar yang “abu-abu” tersebut, banyak anak remaja yang akhirnya mengalami kesusahan untuk mendapat pekerjaan, pendidikan, dan juga tempat tinggal. Dalam hal ini, pada akhirnya, Komisi Informasi Inggris memutuskan bahwa kebijakan daftar Gang Matrix ini telah melanggar aturan privasi data karena pengawasan terhadap mereka dilakukan tanpa adanya surat perintah investigasi.

5. Menjadikan perempuan semakin terdiskriminasi

Beberapa bentuk diskriminasi ras menimpa perempuan dan laki-laki melalui cara yang berbeda-beda.

Ada tindakan rasis yang hampir sepenuhnya dialami oleh perempuan, seperti sterilisasi paksa kepada perempuan di dalam komunitas adat. Terkadang, diskriminasi yang ada di dalam ras menimpa perempuan dengan cara tertentu, misalnya ketika aparat melecehkan atau bahkan memperkosa perempuan untuk melakukan intimidasi kepada sebuah komunitas. Di sisi lain, konsekuensi berbeda untuk perempuan – misalnya ketika pemerkosaan yang terjadi berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan dan juga dapat berupa pengucilan.

Pemerkosaan beberapa kali digunakan sebagai alat atau instrumen penyiksaan dan intimidasi terhadap suatu ras tertentu. Misalnya pada kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998, bias rasial juga diduga menjadi latar belakang dari tindak pemerkosaan terhadap ratusan perempuan beretnis Tionghoa di berbagai lokasi di Indonesia, hingga presiden BJ. Habibie pada masa itu memberikan rekomendasi untuk membentuk Komnas Perempuan. Catatan dari Komnas Perempuan perihal kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998 menyebutkan bahwa, sebagian elemen tentara Indonesia pada kala itu diduga menjadi pelaku.

Kasus yang Terjadi Di Indonesia

rasisme

https://www.pexels.com

Hubungan antara orang Indonesia dengan rasisme dapat ditelusuri sejak masa penjajahan Belanda, ketika Dutch East India Company (Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) menetapkan adanya penggolongan kelas dan juga melegalkannya.

Masyarakat di Indonesia pada kala itu dibagi menjadi tiga golongan. Strata tertinggi yaitu golongan Eropa yang berisi orang-orang dari negara Belanda. Strata kedua diisi oleh golongan Timur Asing yang berisi keturunan Arab dan juga Tionghoa. Lalu, strata terendah saat itu adalah masyarakat asli yang berasal dari Indonesia.

Golongan masyarakat Eropa pada masa itu menganggap bahwa ras mereka lebih unggul dari ras yang lainnya, memiliki derajat yang lebih tinggi dan karena hal tersebut mereka merasa mempunyai hak untuk berlaku semena-mena, misalnya seperti mengeksploitasi golongan yang lainnya. Penggolongan kelas itu makin diperkuat dengan diadakannya penegakan aturan yang diskriminatif pula. Misalnya, orang asli Indonesia tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam stadion sepakbola.

di balik reformasi 1998 - rasisme

Menurut sosiolog Robertus Robet, rasisme memberi jalan masuk yang mulus bagi bangsa-bangsa Eropa untuk menaklukkan orang yang asli dari Indonesia. Bangsa Eropa menaklukkan Indonesia dengan cara menyerang dimensi yang paling dasar dari eksistensi manusia, yaitu fisik dan juga rasnya. Sebutan ‘bangsa kuli’ juga dilekatkan oleh para penjajah pada masyarakat kala itu. Sebutan yang sangat merendahkan itu menjadi strategi penjajah untuk mempermudah penjajah untuk menguasai perekonomian dan perpolitikan di Indonesia.

Setelah lepas dari penjajahan asing, warga Indonesia sendiri tidak lepas dari tindakan dan perilaku diskriminatif. Beberapa insiden yang pernah ramai belakangan ini menguak berbagai perilaku rasis sebagian warga Indonesia kepada warga dari Papua.

Misalnya, pada Agustus 2019, sebuah organisasi masyarakat menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya, organisasi masyarakt tersebut menuduh warga Papua di asrama tersebut membuang bendera ke selokan sebelum perayaan hari kemerdekaan, dan menghina mereka menggunakan kata-kata seperti “monyet,” “babi,” “anjing,” dan “binatang.” Insiden ini membuat orang Papua geram dan turun ke jalanan untuk memprotes tindakan diskriminatif tersebut di beberapa kota. Ironisnya, beberapa peserta aksi tersebut malah justru ditangkap atas dasar tuduhan makar.

Jelang akhir periode Orde Baru, orang-orang dari etnis Tionghoa menjadi sasaran penjarahan serta kekerasan. Menurut Catatan Komnas Perempuan, pada kerusuhan Mei 1998, setidaknya ada 198 perempuan dari etnis Tionghoa menjadi korban pelecehan dan jugs pemerkosaan. Pelanggaran HAM di masa lalu yang menyasar perempuan etnis Tionghoa ini terjadi dengan cara yang sistematis dan meluas, dan juga menjadi tanggung jawab besar bagi negara untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Di dalam kasus yang lainnya, Pemerintah juga menyebutkan bahwa Orang Rimba sebagai Suku Anak Dalam, yang dapat dimaknai sebagai orang terbelakang yang bertempat tinggal di hutan pedalaman. Laporan Bappenas ‘Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif’ tahun 2013 menyatakan bahwa “dalam perspektif pemerintah, Suku Anak Dalam harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program pemberdayaan”.

Terlepas dari apapun niat negara, tetapi stereotip tersebut sebenarnya juga bisa menjadi dalih utuk tindak perampasan wilayah adat bagi perusahaan, apalagi jika dilakukan tanpa adanya konsultasi terlebih dahulu dengan Masyarakat Adat. Dalam hal ini, suku orang rimba bisa kehilangan mata pencharian dan juga tempat tinggal.

Sebagai tambahan, Suku Orang Rimba yang berada di Jambi dan di Sumatera Selatan masih sering mendapatkan perlakuan rasis yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Setidaknya ada 3.500 hektar wilayah adat mereka yang dilepas ke perusahaan sawit sejak  tahun 1986, dan menggusur tempat tinggal mereka hingga saat ini.

Cara Menanggulanginya

  1. Mencari tahu lebih banyak mengenai rasisme
  2. Sebarkan kesadaran perihal bahaya dari rasisme
  3. Memastikan lingkungan sosial kita, seperti tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan, inklusif terhadap berbagai ragam asal-usul dan budaya
  4. Desak negara untuk melindungi warganya dari rasisme melalui berbagai aturan dan kebijakan mengenai anti-rasisme
  5. Dukung penuh pekerjaan lembaga-lembaga yang mendukung kesetaraan dan keadilan bagi semua orang
  6. Beri dukungan dan dengarkan orang-orang yang menjadi korban dari rasisme
  7. Dukung keadilan rasial, yaitu perlakuan adil yang sistematis terhadap orang-orang dari seluruh ras guna untuk menghasilkan peluang yang setara bagi semua orang.

Baca juga :

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.