Bahasa Jawa

Tembung Camboran: Pengertian, Jenis, dan Contohnya

Written by Khansa

Tembung Camboran – Apakah Grameds pernah mendapatkan mata pelajaran Bahasa Jawa ketika duduk di sekolah? Atau bahkan saat ini Grameds tengah menempuh pendidikan di jurusan Bahasa dan Sastra Jawa? Yap, Bahasa Jawa yang mana merupakan salah satu bahasa daerah juga telah dijadikan sebagai disiplin ilmu yang wajib dipelajari oleh peserta didik di sekolah dan termasuk dalam mulok (muatan lokal). Sebenarnya, materi dalam mata pelajaran Bahasa Jawa ini juga hampir sama lho dengan Bahasa Indonesia, perbedaan yang paling ketara adalah dalam Bahasa Jawa terdapat huruf khusus yang disebut dengan aksara Jawa.

Namun kali ini, kita tidak akan membahas mengenai aksara Jawa, melainkan tembung camboran. Tembung camboran jika dalam Bahasa Indonesia itu sama saja dengan kalimat majemuk. Pasti Grameds tidak asing dong dengan materi tersebut! Lalu, apa sih tembung camboran itu? Apa saja jenis-jenis dari tembung camboran? Bagaimana pula morfologi dalam Bahasa Jawa? Nah, supaya Grameds memahami akan hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!

https://www.pexels.com/

Pengertian Tembung Camboran

Jika dalam Bahasa Indonesia terdapat kata majemuk, maka Bahasa Jawa juga memiliki hal demikian yang disebut dengan tembung camboran. Menurut Sasangka (2008), menyatakan bahwa tembung camboran atau kata majemuk ini adalah tembung loro utawa luwih sing digandheng dadi siji lan tembung mau dadi tembung anyar kang tegese uga melu anyar (dua kata atau lebih yang disambung menjadi satu dan kata tersebut nantinya menjadi kata baru yang memiliki makna baru).

Yap, pemajemukan ini adalah proses pembentukan kata baru melalui penggabungan morfem dasar yang mana merupakan hasil keseluruhannya berstatus sebagai kata yang memiliki pola fonologis, gramatikal, dan semantik. Proses pemajemukan juga dapat diartikan sebagai dua kata atau lebih yang menjadi satu secara erat dan menimbulkan penggantian makna baru.

Tidak hanya itu saja, Setiyanto (2007) juga berpendapat bahwa tembung camboran ini adalah dua kata atau lebih yang disambung menjadi satu. Nah, dalam tembung camboran tersebut terdiri atas tembung camboran wutuh (utuh) dan tembung camboran tugel (patahan). Maksud dari tembung camboran wutuh adalah kata majemuk yang mana dibentuk dari bentuk dasar yang memang masih utuh. Sementara tembung camboran tugel adalah kata majemuk yang dibentuk dari bentuk dasar dan masih disingkat lagi.

Jenis-Jenis Tembung Camboran dan Contohnya

1. Tembung Camboran Wutuh (Utuh)

Perlu diketahui ya Grameds bahwa kata “wutuh” itu dalam Bahasa Indonesia berarti “utuh”.  Nah, tembung camboran wutuh adalah jenis tembung camboran yang berasal dari gabungan dua kata dan masing-masingnya masih utuh, tanpa dikurangi maupun dipotong jumlah suku katanya. Contoh:

  • Bala pecah: barang-barang yang mudah pecah
  • Gotong mayit: keluarga yang memiliki tiga anak perempuan
  • Juru kunci: seseorang yang merawat tempat tertentu atau makam
  • Kacamata: alat bantu untuk melihat
  • Kala menjing: jakun di leher laki-laki
  • Maratuwa: mertua
  • Semar mendem: nama makanan
  • Parang rusak: jenis batik
  • Gilir kacang: keluarga yang memiliki anak laki-laki dan perempuan secara bergiliran atau bergantian

Nah, tembung camboran wutuh ini juga dapat menjadi beberapa hal, yakni:

a) Rerangkep Determinatif

Contoh: meja tulis, pitik walik, buku gambar, omah gedhong, ketan ireng, dan lainnya.

b) Baliswara

Yakni satu kata atau lebih yang digabung menjadi satu, namun kata yang berketerangan ada di depan kata yang diterangkan. Contoh: mahasiswa, Pancasila, dasa dharma, kusuma bangsa, perdana menteri

c) Tembung Saroja

Yakni dua kata yang hampir sama maknanya kemudian digabungkan menjadi satu. Contoh: andhap asor (rendah hati), duga prayoga (sopan santun), sayuk rukun (hidup rukun).

d) Yogaswara

Yakni dua kata yang memiliki huruf vokal depan berupa “a” dan vokal belakang berupa “i”. Biasanya yogaswara ini memiliki makna laki-laki dan perempuan. Contoh: mahasiswa-mahasiswi, dewa-dewi, widara-widari, pemudha-pemudhi-, siswa-siswi, dan lainnya.

e) Tembung Kosok Balen (Antonim)

Contoh: gedhe cilik (besar kecil), amba ciut (luas sempit), adoh cedhak (jauh dekat), mangkat mulih (berangkat pulang), dan lainnya.

f) Tembung Nunggal

Yakni dua kata yang beda makna, tetapi sering disebut bersamaan. Contoh: brambang bawang (bawang merah-bawang putih), mrica pala (merica-pala), salam laos (daun salam-lengkuas), lombok uyah (cabai-garam).

2. Tembung Camboran Tugel

Perlu diketahui ya Grameds bahwa kata “tugel” dalam Bahasa Indonesia artinya adalah “potong” atau “penggal”. Maka dari itu, jenis tembung camboran ini merupakan dua kata atau lebih yang digabung menjadi satu, dengan mengurangi atau memenggal jumlah suku katanya. Contoh:

  • Bangjo = Abang + Ijo (Merah hijau)
  • Kosik = mengko + disik (nanti dulu)
  • Pakdhe = bapak + gedhe (Kakak laki-laki dari ayah atau ibu)
  • Dhekwur = endhek + duwur (pendek tinggi)
  • Bulik = ibu + cilik (adik perempuan dari ayah atau ibu)
  • Jiro = siji + loro (satu dua)

Nah, tembung camboran tugel ini juga dapat menjadi beberapa hal. yakni:

a) Tembung Garba 

Yakni berasal dari dua kata yang terbentuk dari proses menyingkat supaya penyebutannya lebih mudah dan ringkas. Contoh: parama + iswara = prameswari (kehidupan yang tenteram dan bahagia).

b) Kerata Basa

Yakni frasa yang dibentuk untuk mengartikan sebuah kata dengan menganggap kata itu sebagai sebuah akronim. Contoh: lunglit = balung + kulit (tulang kulit, artinya orang itu sangat kurus)

3. Tembung Camboran Tunggal

Tembung camboran tunggal adalah kata yang digunakan sebagai kata ganti yang kemudian digabung menjadi satu, tetapi antara kata satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan karena sudah membentuk makna baru. Contoh:

  • Nagasari: nama makanan tradisional
  • Dara muluk: tanda keadaan tengah aman dalam sinyal kentongan, digunakan ketika jaga malam di desa

4. Tembung Camboran Wudhar

Tembung Camboran Wudhar adalah dua kata yang digabung menjadi satu, tetapi setiap kata pembentuknya masih memiliki arti masing-masing. Contoh:

  • Wayang kulit: wayang yang terbuat dari bahan kulit hewan
  • Buku gambar: buku yang khusus digunakan untuk menggambar
  • Pasar malem: pasar yang hanya buka ketika malam hari saja
  • Rumah sakit: tempat khusus (rumah) yang digunakan untuk merawat orang sakit
  • Kamar mandi: ruangan untuk mandi atau membersihkan diri

Memahami Tembung Rangkep (Pengulangan Dalam Bahasa Jawa)

Sama halnya dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa juga memiliki morfologi berupa pengulangan lho… Disebut dengan tembung rangkep. Menurut Setiyanto (2007), tembung rangkep ini adalah kata yang diucapkan dua kali baik itu secara sebagian maupun seluruhnya. Misal: putra-putri, udan-udan (hujan-hujanan). Proses pengulangannya juga hampir sama dengan kata di Bahasa Indonesia, yakni proses pengulangannya berupa peristiwa pembentukan kata dengan cara mengulang bentuk dasar, baik itu sebagian maupun seluruhnya, baik bervariasi fonem maupun tidak.

Tidak hanya itu saja, menurut Sasangka (2010), keberadaan tembung rangkep ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni 1) Dwilingga, yang berupa pengulangan secara keseluruhan; 2) Dwipurwa, yang berupa pengulangan dengan hanya suku kata awal saja; 3) Dwiwasana, yang berupa pengulangan dengan hanya suku kata akhiran saja.

Jenis-Jenis Tembung Rangkep (Pengulangan Dalam Bahasa Jawa)

1) Dwilingga

Yakni bentuk pengulangan yang menggunakan keseluruhan katanya dan diucapkan dua kali. Bentuk dari dwilingga berupa lingga + lingga (bentuk dasar + bentuk dasar). Menurut Sasangka yang juga menjelaskan bahwa jenis tembung rangkep yang satu ini artinya adalah tembung lingga kang dirangkep (kata dasar yang diulang).

Dwilingga terbagi menjadi tiga bentuk yakni dwilingga wutuh, dwilingga salin swara, dan dwilingga yang mengalami imbuhan. Berikut uraiannya.

a) Dwilingga Wutuh, yakni bentuk pengulangan yang berupa kata dasar diulang secara keseluruhan tanpa adanya perubahan sama sekali. Contoh:

  • udan-udan = hujan-hujan
  • celuk-celuk = memanggil-manggil
  • takon-takon = bertanya-tanya

b) Dwilingga Salin Swara, yakni bentuk pengulangan yang berupa kata dasar diulang dengan mengalami perubahan bunyi. Contoh:

  • tokan-takon = berkali-kali tanya
  • celak-celuk = memanggil-manggil
  • wolak-walik = bolak-balik

c) Dwilingga Semu, sebenarnya jenis ini tidak termasuk dalam tembung dwilingga sebab tidak dapat ditemukan tembung lingga (kata dasarnya). Contoh: ondhe-ondhe (nama makanan), anting-anting.

d) Dwilingga yang mengalami imbuhan, yakni bentuk pengulangan yang diberi imbuhan berupa ater-ater, seselan, atau panambang. Contoh:

  • ciwit-ciwitan: cubit-cubitan
  • dialon-alonake: dipelan-pelankan

2) Dwipurwa 

Yakni bentuk pengulangan yang berasal dari suku kata awalnya. Menurut Sasangka (2008), dwipurwa ini adalah tembung kang dumadi saka pangrangkepe purwane tembung lingga utawa pangrangkepe wanda kawitaning tembung (kata yang berasal dari pengulangan dua suku kata atau lebih yang berada di depan). Sementara itu, Setiyanto (2007) juga turut menjelaskan bahwa dwipurwa ini adalah tembung yang diulang purwaning linggane (kata yang diulang berdasarkan pada suku kata depan dari bentuk dasarnya).

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa jenis dwipurwa ini adalah proses pengulangan sebagian atau seluruh suku kata awal pada sebuah kata, disebut juga dengan pengulangan bagian belakang leksem. Contoh:

  • bungah – bubungah – bebungah: senang hati
  • gaman – gagaman – gegaman: senjata
  • lara – lalara – lelara: sakit

c) Dwiwasana

Yakni bentuk pengulangan yang berasal dari suku kata akhir pada sebuah kata dasarnya. Menurut Sasangka (2008) berpendapat mengenai definisi dari dwiwasana ini yakni tembung kang ngrangkep wanda wekasan utama ngrangkep wasanane tembung (kata yang diulang di akhir atau pengulangan pada akhir kata). Maka dari itu, dwiwasana ini adalah kata ulang yang pengulangannya diulang pada bagian akhir dari suku kata bentuk dasar.

Sementara itu menurut Setiyanto (2007), dwiwasana adalah kata yang dilekati oleh suku kata belakang dari sebuah kata dasar. Contoh:

  • cekik – kik = cekikik ‘tertawa terbahak-bahak’
  • cenges – cengesnges – cengenges ‘tertawa-tawa’

Memahami Afiksasi Dalam Bahasa Jawa

Grameds pasti sudah tahu dong akan afiksasi jika dalam Bahasa Indonesia? Nah, dalam Bahasa Jawa juga ada afiksasi seperti itu, tetapi memiliki nama dan penjabaran yang berbeda. Misalnya pada prefiks atau awalan disebut dengan ater-ater, pada infiks disebut dengan seselan, pada sufiks disebut dengan panambang, dan konfiks disebut dengan imbuhan bebarengan. Nah, berikut adalah uraiannya!

a) Ater-Ater (Prefiks atau Awalan)

Ater-ater atau yang sama saja disebut dengan prefiks ini adalah imbuhan yang terdapat pada sebelah kiri atau di depan awalan dari sebuah kata dasar. Nah, jika di dalam bahasa Jawa maka ater-ater terdiri atas:

  • ater-ater anuswara, yakni berupa -m, -n, ng-, ny-
  • ater-ater swara irung (suara sengau), yakni berupa dak-, ko-, di-, ka-, ke-, sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-, kapi-, a-, ma, pan-, pam-, pang-, dan lain sebagainya.

Contoh Ater-Ater Anuswara

  • m- + waca = maca ‘membaca’
  • n- + jaluk = njaluk ‘meminta’
  • ng- + ombe = ngombe ‘meminum’
  • ny- + cekel = nyekel ‘memegang’

Contoh Ater-Ater Swara Irung

  • dak- + pangan = dakpangan ‘saya makan’
  • ko- + jupuk = kojupuk ‘kamu ambil’
  • di- + balang = dibalang ‘dilempar’
  • ka- + utus = kautus ‘diutus’
  • ke- + siram = kesiram ‘tidak sengaja menyiram’
  • sa- + iji = saiji ‘hanya satu’
  • pa- + warta = pawarta ‘berita’
  • pi- + wulang = piwulang ‘yang diajarkan’
  • pra- + lambang = pralambang ‘merupakan, adalah’
  • tar- + tamtu = tartamtu ‘tertentu’
  • kuma- + ayu = kumayu ‘centil’
  • kapi- + lare = kapilare ‘terlalu kekanak-kanakan’
  • a- + wujud = awujud ‘punya wujud’

b) Seselan (Infiks)

Seselan atau infiks ini adalah afiks yang terletak di tengah dalam bentuk dasar. Seselan menjadi proses pengimbuhan afiks atau imbuhan yang disisipkan di tengah morfem. Dalam Bahasa Jawa, seselan ini terdiri atas -um, -in, -er, dan -el-. Contoh:

  • singkir + -um- = sumingkir ‘menyingkir’
  • tulis + -in- = tinulis ‘ditulis’
  • gandhul + -er- = gerandhul ‘menggantung dalam jumlah banyak’
  • titi + -el- = teliti ‘teliti’

c) Panambang (Sufiks atau Akhiran)

Dalam Bahasa Jawa, sufiks atau akhiran ini disebut dengan panambang. Panambang adalah proses pengimbuhan afiks atau imbuhan yang diletakkan di akhir morfem. Beberapa jenis panambang dalam Bahasa Jawa ada: -i, -a, -e, -en, -an, -na, -ana, -ane, -ake, -ne, -ku, dan -mu.

Sementara itu, menurut Sasangka (2008) menyebutkan bahwa panambang ini adalah imbuhan sing dumunung ing buri tembung (imbuhan yang terletak di belakang kata). Contoh:

  • antem + -i = antemi ‘pukuli’
  • tuku + -a = tukua ‘ayo dibeli’
  • kembang + -e = kembange ‘bunganya’
  • sapu + -en = sapunen ‘perintah untuk menyapu’
  • tandur + -an = tanduran ‘tanaman’
  • jupuk + -na = jupukna ‘tolong ambilkan’
  • gebug + -ana = gebukana ‘permintaan untuk memukul’
  • silih + -ake = silihake ‘dipinjamkan’
  • lirik + -ne = lirikanne ‘lirikannya’
  • klambi + -mu = klambimu ‘baju milikmu’
  • umah + -ku = umahku ‘rumah milikku’

d) Imbuhan Bebarengan (Konfiks)

Menurut Sasangka (2008), imbuhan bebarengan ini adalah imbuhan yang berwujudkan ater-ater (prefiks) dan panambang (sufiks). Imbuhan bebarengan jika dalam Bahasa Indonesia disebut dengan konfiks.

Imbuhan bebarengan ini nantinya akan ditempatkan di antara kata dasar. Pada dasarnya, konfiks adalah imbuhan tunggal yang terjadi dari adanya perpaduan di awalan dan akhiran sehingga mampu membentuk satu kesatuan. Imbuhan yang meliputi dalam imbuhan bebarengan ini adalah:

  • ka-/-an
  • ke-/-en
  • pa-/-an
  • pra-/-an
  • A-/-ake
  • di-/-i
  • di-/-a
  • di-/-ana
  • sa-/-e
  • dan masih banyak lagi.

Contoh Imbuhan Bebarengan

  • ka- + pinter + -an = kapinteran ‘kecerdikan’
  • ke- + cilik + -en = kecilikan ‘terlalu kecil’
  • pa- + pring + -an = papringan ‘tempat yang ada bambu-bambunya’
  • pra- + tapa + -an = pratapaan ‘tempat untuk bertapa’
  • m- + lumpat + -i = mlumpati ‘melompati’
  • ng- + lamar + -a = nglamara ‘memerintah supaya melamar’
  • ny- + silih + -ake = nyilihake ‘meminjamkan’
  • m- + laku + -e + mlakune ‘jalannya’
  • di- + salin + -ana = disalinana ‘digantikan’

Nah, itulah ulasan mengenai apa itu tembung camboran dan sistem morfologi dalam Bahasa Jawa yang ternyata hampir sama dengan Bahasa Indonesia. Apakah Grameds dapat menyebutkan contoh lain dari tembung camboran?

Baca Juga!

About the author

Khansa

Khansa adalah seorang Content Writer yang telah berkarir sejak tahun 2021 dan dunia kepenulisan selalu menarik baginya. Dengan menulis Khansa dapat membuka wawasan dan pandangan baru tentang topik-topik menarik, terutama dunia kuliner.

Kontak media sosial Linkedin saya Khansa Amira