Bahasa Indonesia Sastra

Pengertian Sastra Populer: Sejarah, Ciri, dan Perbedaannya dengan Sastra Adiluhung

Written by Rahma Fiska

Pengertian Sastra Populer – Apakah Grameds menyadari bahwa dunia sastra itu sangat luas? Yap, tanpa disadari oleh banyak orang, perkembangan sastra justru berpengaruh langsung terhadap perkembangan budaya, sebab keduanya sama-sama menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek di dalamnya.

Atas seiring perkembangan budaya yang makin populer ini, juga tentu saja akan menjadikan sastra sebagai sebuah sastra populer. Apabila membahas mengenai sastra populer, sebenarnya hal tersebut kerap Grameds temui kok di dalam kehidupan sehari-hari. Contoh dari sastra populer adalah Dilan: Dia adalah Dilanku tahun 1990.

Lalu, sebenarnya apa sih sastra populer itu? Bagaimana perkembangan sastra populer di Indonesia ini? Nah, supaya Grameds dapat memahami hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!

https://www.pexels.com/

Pengertian Sastra Populer

Sebenarnya, pembicaraan mengenai sastra populer ini dapat melebar hingga kemana-mana. Secara harfiah, popular literature apabila diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia yakni sastra populer. Sayangnya, ternyata banyak orang yang tidak setuju dengan penerjemahan tersebut, sebab “sastra” dalam konteks bahasa Indonesia justru diartikan sebagai tulisan yang adiluhung dan tidak dapat diartikan sebagai “literature” begitu saja karena konotasinya berbeda. Namun saat ini, dengan berkembangnya masyarakat yang mana mereka menjadi lebih pragmatis, maka kata “literatur” ini juga dapat digunakan untuk mengacu pada popular literature atau sastra populer ini.

Hakikat dari sebuah sastra populer dapat disimpulkan menjadi beberapa hal, yakni sebagai berikut:

  1. Suatu karya sastra dapat disebut sebagai karya adiluhung karena kualitasnya dianggap memenuhi kriteria karya sastra yang baik sekaligus populer di kalangan masyarakat.
  2. Suatu karya sastra populer yang ditulis untuk memenuhi selera publik dapat “naik” menjadi adiluhung karena ternyata mengandung nilai-nilai kesastraan yang tinggi.
  3. Suatu karya sastra populer dapat dianggap demikian dengan terbatasnya pada ruang dan waktu (mengikuti tren).
  4. Kesuksesan karya sastra populer dapat dilihat dari jumlah penjualannya, sementara kesuksesan karya sastra adiluhung dilihat dari penghargaan sastranya.

Nah, dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sebuah sastra populer adalah tulisan yang berisikan kehidupan manusia sehari-hari dan diterima oleh banyak masyarakat (berdasarkan pada penjualannya). 

Beli Buku di Gramedia

Apakah Semua Tulisan Dapat Disebut Sebagai Sebuah Sastra?

Dalam bahasa Inggris, sastra disebut dengan “literature”, sehingga jika berkaitan dengan sastra populer maka disebut dengan “popular literature”.

Banyak sastrawan berusaha mendefinisikan mengenai apa itu sastra. Beberapa diantaranya adalah Sumardjo & Saini (1997: 3-4) berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Dari pendapat tersebut dapat disebut bahwa sebuah sastra akan memiliki unsur-unsur berupa pikiran,pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa.

Tidak hanya itu, Saryono (2009) juga berpendapat bahwa sastra mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang non empiris-supernatural. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman hidup yang berkaitan dengan kehidupan manusia, sehingga dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia.

Jadi, ungkapan pengalaman manusia dalam bentuk teks (bahasa) yang disampaikan secara ekspresif ini kemudian dapat disebut sebagai sastra, yang nantinya turut dapat dihubungkan dengan karya seni. Sebuah sastra supaya dapat disebut sebagai “karya sastra” juga harus memenuhi standar “keindahan”.

Standar keindahan ini mengacu pada penggunaan bahasa dalam tulisannya, apakah bahasa biasa atau bahasa yang istimewa. Adanya standar tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan akan “bagaimana jika pemakaian bahasa dalam sastra tersebut adalah biasa saja atau bahasa dalam kehidupan sehari-hari, tetapi justru digemari oleh masyarakat banyak?” 

Nah, hal inilah yang terlihat dalam novel-novel populer yang kerap diperbincangkan dan digandrungi oleh banyak kalangan masyarakat, yang mana bahasa dalam novel-novel populer tersebut adalah bahasa biasa atau bahasa sehari-hari. Lalu, berkembang lagi pertanyaan mengenai “apakah novel populer itu tidak bisa dianggap sebagai sebuah karya sastra karena penggunaan bahasanya yang biasa saja? Apabila demikian halnya, apakah itu berarti karya sastra hanya diperuntukkan untuk tulisan-tulisan adiluhung yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat kelas atas saja?

Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sebuah karya sastra harus memiliki sebuah kriteria tertentu, tidak hanya sekadar pada bahasa tulisannya saja, yang kemudian disepakati secara umum. Sebab dari adanya kriteria yang tidak menentu justru dapat menjadikan masyarakat banyak menganggap bahwa sastra populer telah berkembang di zaman sekarang, sementara “sastra yang sebenarnya” sudah mati.

Beli Buku di Gramedia

Sejarah Perkembangan Sastra Populer

Perlu diketahui bahwa keberadaan sastra populer atau popular literature ini sejak zaman dahulu selalu ditempatkan berada di bawah sastra adiluhung atau high literature. Hal tersebut karena adanya anggapan bahwa nilai sastra dalam sebuah sastra populer lebih rendah dari sastra adiluhung. Hal yang menyebabkan kualitas dari sebuah sastra populer lebih rendah kadar sastranya dibandingkan dengan sastra adiluhung, salah satunya adalah sastra populer cenderung diciptakan secara cepat dan tergesa-gesa demi memenuhi tuntutan pasar tanpa memperhatikan nilai sastra yang termuat di dalamnya.

Apabila di Indonesia, biasanya sastra populer ini disebut dengan karya picisan, sementara di negara Amerika Serikat, disebut dengan lowbrow literature, dime novel, atau tulisan picisan.

Sejarah Perkembangan Sastra Populer di Dunia

Pada tahun 1960-an, keberadaan sastra mulai berkembang secara pesat dan tidak dianggap sebagai tulisan picisan lagi, terutama di Amerika Serikat. Bahkan pada kala itu, telah terdapat berbagai metode dan teori guna menelaah berbagai karya sastra populer ini. Terdapat pandangan bahwa sastra populer ini sebenarnya merupakan genre khusus dalam sebuah budaya populer yang sama nilainya dengan budaya adiluhung.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu karya novel juga dapat disebut sebagai sastra populer, terutama pada bagian tema, cara penyajian teknik bahasa, dan penulisan yang kebanyakan mengikuti selera masyarakat. Tidak hanya itu saja, di Amerika Serikat, keberadaan sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga bertindak sebagai barometer dari perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakatnya.

Sastra populer dapat dikatakan sangat mencerminkan adanya kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga kenyataan yang terjadi di kehidupan sehari-hari ini dapat dijadikan indikator munculnya sebuah sastra populer. Dalam sejarah Amerika, sastra populer yang pertama kali muncul, masuk dalam kategori “do-it-yourself” pada sekitar abad ke-18 dan ke-19. Buku-buku dalam kategori tersebut memang sering dijadikan bacaan sehari-hari oleh masyarakat Amerika pada kala itu. Buku sastra populer lain yang terkenal adalah non-fiksi karya Stephen Covey berjudul Chicken Soup yang hingga saat ini telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Dalam perkembangan sejarah sastra Inggris, ada William Shakespeare yang dianggap sebagai pelopor budaya tinggi, kemudian ada juga Charles Dickens dengan karyanya yang berjudul Oliver Twist. 

Beli Buku di Gramedia

Sejarah Perkembangan Sastra Populer di Indonesia

Di Indonesia, keberadaan sastra populer diasumsikan sebagai kesusastraan Indonesia modern yang berkembang setelah Indonesia menerima kebudayaan Eropa modern, yakni pada abad ke-17 hingga ke-19. Pada masa tersebut, telah terbit juga surat kabar berbahasa Melayu. Dari hal itu, menunjukkan bahwa di kalangan bangsa Indonesia sudah banyak yang dapat membaca huruf Latin, yang mana kebanyakan mereka mempelajarinya dari pendidikan Barat, sehingga dapat disimpulkan bahwa surat kabar tersebut juga termasuk dalam hasil kebudayaan Barat.

Tahun 1930-an

Pada tahun 1930-an, sastra populer mulai muncul di kehidupan masyarakat yakni dengan terbitnya cerita berjudul “Sobat Anak-Anak” karya Liem Kim Hok. Pada kala itu, memang kebanyakan sastra populer memiliki genre cerita roman Medan dan roman Melayu-Tionghoa. Dalam roman Medan, sesuai namanya maka kebanyakan terbit di kota Medan, Padang, Bukittinggi, dan sekitar pulau Sumatera. Kemudian, dalam roman Melayu-Tionghoa, kebanyakan terbit di kota Surabaya, Malang, Kediri, dan beberapa kota di Pulau Jawa. Tidak hanya itu saja, roman Melayu-Tionghoa ini juga banyak diterbitkan di Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Flores.

Ciri-ciri dari sastra populer pada masa ini adalah beberapa hal berikut:

  • Tema ceritanya mengenai kehidupan para nyai, cerita gaib, cerita percintaan, hingga cerita silat.
  • Beberapa karya sastra memuat ideologi tertentu, salah satunya paham komunis yang ditulis oleh R.M. Tirto Adhi Soerjo.
  • Menggunakan bahasa yang ringan, yakni Melayu rendah yang kerap digunakan oleh masyarakat sehari-hari.
  • Diterbitkan di luar Balai Pustaka.

Contoh beberapa roman picisan pada masa ini adalah Lukisan Poedjangga (Medan, 1939-1942), Roman Indonesia (Padang, 1939-1940), Dunia Pergerakan (Solo, 1940-1941), dan masih banyak lagi. Sayangnya, pada masa ini perkembangan sastra populer juga kian surut sebab adanya pergolakan politik terutama ketika masa peralihan antara pemerintahan Jepang ke Indonesia. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamasikan, perkembangan sastra populer mulai muncul kembali.

Tahun 1950-an

Pada masa ini, sudah banyak novel dan cerpen yang mana didominasi oleh berbagai tema percintaan, detektif, dan koboi, dengan bumbu sensualitas. Bahkan ada juga sastra yang menjadi curahan hati para anak muda setelah mengalami penindasan, sehingga kebanyakan menggunakan bahasa informal.

Beli Buku di Gramedia

Tahun 1970-an

Pada masa ini keberadaan sastra populer menjadi tren di kalangan masyarakat banyak karena memenuhi kebutuhan pembaca akan pengalaman baru. Kebanyakan pembaca sudah memiliki latar belakang pendidikan yang baik untuk dapat memahami sastra populer dan memiliki banyak waktu luang untuk kegiatan membaca, dengan mayoritas pembaca adalah perempuan.

Tidak hanya itu saja, keadaan ekonomi Indonesia juga sudah mulai membaik sehingga teknologi percetakan juga mulai berkembang dan berpengaruh pada daya beli masyarakat terhadap buku sastra. Keberadaan sastra populer telah dipandang sebagai hal penting karena dianggap sebagai fenomena besar terutama dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia modern.

Meskipun keadaan ekonomi Indonesia sudah mulai membaik, tetapi cerita-cerita dalam sastra populer pada masa ini masih didominasi oleh masalah kegelisahan batin hingga masalah rumah tangga yang bersumber dari belum mapannya situasi budaya. Namun, justru pada masa ini, sastra populer telah tumbuh secara subur, terutama pada cerita petualangan dan cinta remaja.

Contoh sastra populer pada masa ini adalah Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira, Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha, dan masih banyak lagi.

Tahun 1980-an

Pada masa ini, sastra populer kebanyakan mengangkat cerita tentang kehidupan remaja mulai dari pergaulan hingga cinta monyet mereka. Penggunaan bahasanya juga lebih serius dan baku. Sayangnya, pada masa ini justru keberadaan sastra populer menjadi redup akibat adanya persaingan dengan perkembangan sinetron.

Contoh sastra populer pada masa ini adalah Olga Sepatu Roda dan Lupus karya Hilman Hariwijaya, Jejak-Jejak Jejaka karya Zara Zettira, Balada Si Roy karya Gola Gong.

Tahun 2000-an

Pada masa ini, keberadaan sastra populer berkembang lagi dengan tema, karakter tokoh, dan konflik yang lebih beragam. Penyampaian bahasanya juga ringan, khas gaya bahasa anak remaja sebab pada masa ini juga telah berkembang adanya chicklit dan teenlit.

Dalam perkembangan sastra populer di Indonesia, beberapa penulis terkenal telah banyak menghasilkan karya sastra yang mengeksplorasi tentang seks dan kekerasan, sebut saja ada Motinggo Busye, D. Iskandar, Mira W.D, dan masih banyak sekali. Hal tersebut menjadikan adanya anggapan bahwa sastra populer memang diperuntukkan sebagai hiburan saja, berbeda dengan sastra adiluhung yang dijadikan sebagai sarana pembelajaran nilai-nilai kehidupan dan mengeksplorasi estetika manusia.

Pada tahun 2003, terbitlah novel berjudul Area X karya Eliza Vitri Handayani yang menceritakan tentang ribonucleic acid (berhubungan dengan genetik) dan makhluk ruang angkasa. Banyak spekulasi yang menyatakan bahwa sejak itulah perkembangan sastra populer di Indonesia mulai melesat. Meskipun ada juga beberapa orang yang melihat sastra populer sebagai upaya menangkap fenomena yang terjadi di masyarakat dan ditulis oleh penulis dengan menekankan kreativitas.

Pada awal tahun 2000-an juga bberkembang beberapa jenis novel seperti chicklit, teenlit, dan metropop. Ketiga jenis tersebut sempat dianggap oleh beberapa kelompok tertentu sebagai karya yang tidak layak disejajarkan dengan karya sastra pendahulunya. Diantara karya-karya sastra populer tersebut nyatanya tergolong dalam jajaran best seller, misalnya Cintapuccino karya Icha Rahmanti, Eiffel I’m In Love karya Rahma Arunita, Jomblo karya Adhitya Mulya, dan lain-lain.

Dari adanya novel-novel tersebut, dapat dilihat bahwa dalam kesusastraan Indonesia, tidak terdapat adanya perbedaan yang mencolok antara sastra adiluhung dengan sastra populer. Asumsi tersebut semakin didukung karena Indonesia tidak seperti Amerika yang mana sebagai negara industri, sehingga novel dan penulis masih berperan penting dalam keberadaan sastra populer.

Beli Buku di Gramedia

Ciri-Ciri Sastra Populer

  • Memiliki banyak pembaca, terutama di kalangan remaja.
  • Tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens, sebab memiliki alur cerita yang ringan.
  • Dikategorikan sebagai sastra hiburan dan komersial, karena berkaitan dengan selera orang banyak.
  • Disukai oleh masyarakat umum karena sejalan dengan tren budaya yang ada.
  • Bersifat sementara dan mudah berganti ketika tren sudah berganti. Maka dari itu, sastra populer cepat dilupakan oleh pembaca apalagi ketika muncul karya sastra populer yang sejalan dengan tren.
  • Lebih mengejar selera pembaca dan bersifat komersial.
  • Menjadi bagian dari industri budaya karena diproduksi oleh massa secara luas untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

Beli Buku di Gramedia

Perbedaan Sastra Populer dengan Sastra Adiluhung

Sastra populer tentu saja berbeda dengan sastra adiluhung, terutama dalam tema ceritanya. Meskipun begitu, sastra populer juga dapat “naik” menjadi sastra adiluhung apabila ternyata isi ceritanya memenuhi standar, terutama yang mempunyai tema kemanusiaan secara mendalam.

Nah, berikut adalah perbedaan sastra populer dan sastra adiluhung menurut Jakob Sumardjo.

Menurut Jakob Sumardjo

No. Sastra Populer Sastra Adiluhung
1. Mengandalkan alur cerita dan tema, misalnya kasih asmara. Unsur-unsur sastra disusun dengan baik, terutama penggunaan tema yang berupa kemanusiaan.
2. Bersifat sementara. Selalu ada pembaharuan.
3. Menggunakan bahasa populer yang mengikuti tren. Menggunakan bahasa standar.
4. Berfungsi sebagai hiburan. Berfungsi sebagai penyempurnaan diri dan sosial.
5. Dapat sekali baca. Dapat dibaca berkali-kali.

Beli Buku di Gramedia

Sumber:

Adi, Ida Rochani. (2016). Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baca Juga!

About the author

Rahma Fiska

Saya fiska sangat senang dengan dunia menulis. Saya juga sudah menghasilkan beberapa tulisan, salah satunya pada website gramedia.com. Saya senang menulis tentang sastra