in

Biografi Sultan Ageng Tirtayasa: Riwayat Hidup dan Perjuangannya

Biografi Sultan Ageng Tirtayasa – Sahabat Gramed, tahukah kalian dengan sosok pahlawan yang satu ini? Namanya memang tidak terlalu populer seperti halnya pahlawan-pahlawan yang lain, seperti halnya Thomas Matulessy, Ki Hadjar Dewantara, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, dan Tuanku Imam Bonjol.

Namun, di tangan dirinyalah Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya. Ketika berkuasa, perannya tidak hanya sebatas memajukan kesultanan. Dia dikenal gigih menentang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Hal itulah yang menyebabkan dirinya dicap sebagai musuh bebuyutan Belanda.

Dia adalah Tirtayasa dari Banten atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Dia merupakan Sultan Banten Keenam yang naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir, yang wafat pada 10 Maret 1651.

Sebelumnya, dia telah diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya yang wafat terlebih dahulu pada 1650.

Untuk lebih jelas dalam mengenal sosok yang satu ini, mari kita simak bersama-sama penjelasan singkat mengenai riwayat hidup dari Sultan Ageng Tirtayasa berikut.

Riwayat Keluarga Sultan Ageng Tirtayasa

Lukisan Sultan Ageng Tirtayasa karya Kang Alam.

Sultan Ageng Tirtayasa merupakan julukan terkenal yang diberikan kepada Sultan Abdul Fattah. Ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa adalah Sultan Banten Kelima yang bernama Sultan Abdul Ma’ali Ahmad bin Sultan Abdul Mufakhir bin Sultan Maulana Muhammad Nashrudin bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah (lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati Cirebon).

Ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa dikenal dengan sebutan Sultan Faqih, Sultan Kulon, Pangeran Anom atau Pangeran Ratu. Adapun gelar Sultan Ma’ali Ahmad yang dimiliki oleh ayahnya itu didapatkan ketika Sultan Makkah berkunjung ke Banten pada 1638.

Saat itu, kakek Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Khadir sedang memerintah Banten (1596– 1651). Jadi, Sultan Ageng Tirtayasa adalah cucu dari Sultan Fakhir Mahmud Abdul Khadir.

Ibu dari Sultan Ageng Tirtayasa bernama Ratu Marta Kusuma, salah seorang putri dari Pangeran Jayakarta. Saudara-saudara Sultan Ageng Tirtayasa yang seibu kandung dengannya adalah Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor, dan Pangeran Radja, sedangkan saudara-saudaranya yang berbeda ibu (dari Ratu Wetan) adalah Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten, dan Ratu Tinumpuk.

Tirtayasa lahir pada 1637 ketika dengan nama Pangeran Surya. Nama tersebut diambil dari bahasa Sanskerta yang artinya “matahari terbit”. Selain mempunyai wajah yang tampan, dirinya sejak kecil merupakan seorang anak yang cerdas, lincah pergaulannya, dan sopan melebihi saudara-saudaranya yang lain.

Kedua orang tuanya beranggapan bahwa dia merupakan satu-satunya tumpuan calon yang cocok menjadi pewaris takhta Kesultanan Banten.

Menurut hukum waris Kesultanan Banten, pengganti Sultan Abdul Mufakhir adalah Sultan Abu Al-Mu’ali. Namun, karena dia meninggal mendahului ayahnya pada 1650, pemangku jabatan Kesultanan Banten secara otomatis beralih kepada Sultan Ageng Tirtayasa.

Tirtayasa lantas diangkat sebagai pemimpin Kesultanan Banten dengan gelar Sultan Abdul Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin atau Pangeran Ratu Ing Banten, sebagai sultan keenam.

Istri dan Anak-Anak Sultan Ageng Tirtayasa

Menurut cerita yang berkembang di daerah Banten, Tirtayasa memiliki banyak istri. Beberapa di antaranya adalah Nyai Gede dan Ratu Nengah.

Nyai Ratu Gede adalah seorang putri penggawa yang kecantikannya telah menarik perhatian Tirtayasa. Sultan jatuh hati kepada Nyai Ratu Gede ketika dia membawa alat perhiasan kerajaan dalam upacara perayaan kerajaan.

Adapun istrinya yang bernama Ratu Nengah merupakan putri Pangeran Kasunyatan. Perkawinan dengan istri keduanya itu dilakukan setelah istri pertamanya meninggal dunia.

Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 30 orang anak, yaitu:

  1. Sultan Abu Nashar Abdulqahar atau Sultan Haji;
  2. Pangeran Arya Purbaya;
  3. Pangeran Arya Tubagus Abdul Alim;
  4. Pangeran Arya Tubagus Ingayadadipura;
  5. Raden Sugiri;
  6. Tubagus Rajasuta;
  7. Tubagus Rajaputra;
  8. Tubagus Husen;
  9. Raden Mandaraka;
  10. Raden Saleh;
  11. Raden Rum;
  12. Raden Mesir;
  13. Raden Muhammad;
  14. Raden Muhsin;
  15. Tubagus Wetan;
  16. Tubagus Muhammad Athif;
  17. Tubagus Abdul;
  18. Tubagus Kulon;
  19. Arya Abdulalim;
  20. Ratu Raja Mirah;
  21. Ratu Ayu;
  22. Ratu Kidul;
  23. Ratu Marta;
  24. Ratu Adi;
  25. Ratu Umu;
  26. Ratu Hadijah;
  27. Ratu Habibah;
  28. Ratu Fatimah;
  29. Ratu Asyqoh;
  30. Ratu Nasibah.

Beberapa anak-anak dari Sultan Ageng Tirtayasa yang mencapai usia dewasa adalah Sultan Abu Nashar Abdulqahar dan Pangeran Arya Purbaya.

Masa Kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa

Patung Sultan Ageng Tirtayasa.

Tirtayasa dilantik menjadi sultan pada 1651. Dia menggantikan kakeknya yang meninggal pada tahun itu juga. Sosok yang seharusnya menjadi penggantinya adalah ayahnya. Namun, kekuasaan secara otomatis beralih kepadanya karena ayahnya lebih dulu meninggal daripada kakeknya.

Untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah-daerah Banten yang tersebar luas, seperti Lampung, Solebar, Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah penggawa-penggawa dan dalam waktu tertentu diharuskan datang ke Banten.

Mereka diperintahkan untuk berkumpul di Kediaman Mangkubumi di Kemuning yang berada di seberang sungai agar melaporkan keadaan daerah masing-masing.

Biasanya, setelah itu para pejabat istana juga dibawa menghadap sultan di Istana Surosowan untuk menerima petunjuk dan pesan-pesan agar disampaikan kepada rakyat daerah masing-masing.

Demikian pula pengaturan dan pelatihan angkatan perang juga diserahkan kepada Mangkubumi dan Pangeran Madura yang diserahi tugas mengatur dan mengawasi prajurit Banten.

Adapun senjata perang seperti senapan, meriam, keris, dan tombak sudah ada yang dapat dibuat sendiri, sedangkan senjata jenis lainnya dibeli dari Batavia dan wilayah lain.

Rumah senopati dan penggawa ditempatkan sedemikian rupa, supaya mereka dapat lebih cepat mengontrol keadaan prajuritnya. Hal inilah yang menyebabkan letaknya tidak terlalu jauh dari istana untuk mempermudah penyampaian instruksi dari sultan, apabila negara dalam keadaan
darurat.

Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa Tirtayasa adalah seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Ini sudah dibuktikan sewaktu masih menjabat sebagai putra mahkota. Dia yang mengatur gerilya terhadap kedudukan Belanda di Batavia.

Seperti juga kakeknya, Tirtayasa tidak melupakan hubungan diplomatik dengan Muttasharifat Hejaz yang mewakili Kekhalifahan Islam Turki Usmani.

Hubungan diplomatik itu merupakan sebuah keharusan untuk memperkokoh kekuatan umat Islam dalam menentang segala macam ekspansi dunia Barat ke Timur Jauh.

Tirtayasa di sinilah mengadakan musyawarah antara beberapa pembesar kerajaan, seperti Pangeran Madura, Pangeran Mangunjaya, dan Mas Dipaningrat untuk menentukan sosok yang akan mewakili Banten pergi ke Timur Tengah.

Santri Betot akhirnya ditunjuk untuk pergi ke ibu kota Muttasharifat Hejaz, dengan rombongan sebanyak tujuh orang. Delegasi tersebut akan melaporkan pergantian sultan di Banten dan menceritakan mengenai kondisi kepulauan Nusantara, khususnya hubungan antara Kesultanan Banten dengan kekuasaan VOC.

Untuk memperdalam pengetahuan rakyat Banten tentang agama Islam, diminta pula Sharif Makkah agar mengirim guru agama ke Banten.

Utusan Kesultanan Banten itu kembali dari Makkah dengan membawa sepucuk surat dan tiga orang utusan Sharif Makkah yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan Haji Salim. Melalui Sharif Makkah itulah, Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Abdul Fattah.

Adapun Santri Betot yang membawa sejumlah besar hadiah dari Makkah kemudian diberi nama Haji Fattah, demikian juga tujuh orang yang mengiringinya turut diberikan penghargaan.

Untuk lebih memantapkan pemerintahannya, Tirtayasa mengadakan pembaruan, antara lain mengurangi kekuasaan Dewan Agung, yang merupakan penasihat dari para sultan sebelumnya.

Semua keputusan pemerintah dilakukannya sendiri dan dibantu oleh para penasihat dekatnya saja. Pada 1674, untuk meningkatkan keamanan, dia memerintahkan agar para anggota Dewan Agung dipindahkan ke Istana Surasowan yang berada di dekat pantai yang berada di Teluk Banten.

Jika dipandang dari sudut politik, upaya tersebut menunjukkan kesiapan dan kematangannya untuk tidak bergantung kepada siapa pun, termasuk kepada para petinggi negara. Tindakannya yang dilaksanakannya memperlihatkan pula bahwa Kesultanan Banten sudah mampu mandiri, yang tentunya karena ditunjang oleh masalah ekonomi.

Hubungan erat dengan wilayah lain juga dilakukannya, antara lain dengan Lampung, Selebar, Bengkulu, Cirebon, Karawang, Sumedang, dan Mataram. Selain untuk mempererat persahabatan juga menggalang pertahanan dan kekuatan dalam menghadapi Belanda, setidaknya mempersempit ruang gerak musuh jika terjadi peperangan.

Usaha lain yang dilaksanakan untuk kemakmuran negerinya adalah membuat saluran antara Pontang dan Tanahara agar dapat dilayari kapal dan dapat mengairi daerah sekitarnya hingga tumbuh menjadi daerah penghasil pangan bagi Banten.

Hasil panen berlimpah dan disimpan di dalam rumah maupun gudang-gudang umum sebagai persediaan bahan perbekalan. Pada masa ini, Banten mampu mengeluarkan mata uang emas yang
mengindikasikan menjadi negara yang makmur.

Pembangunan fisik di dalam kota tidak dilupakannya. Istana Surasowan diperkuat dengan menara pengawas di keempat sisinya, serta dilengkapi dengan 66 buah meriam yang diarahkan ke segenap penjuru.

Selain itu, dia juga membangun perkampungan dan perluasan lahan pertanian di kawasan perbatasan Banten dan Jayakarta. Selain sebagai pertahanan, tujuannya agar tersedia persediaan tenaga tempur jika terjadi peperangan dengan Belanda.

Masjid Agung Banten merupakan salah satu peninggalan dari Kesultanan Banten.

Keadaan Banten semenjak diperintah oleh Tirtayasa menjadi lebih baik, baik di bidang politik, sosial-budaya, terutama perekonomiannya. Dalam bidang perdagangan, Banten juga mengalami perkembangan yang pesat dan cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia.

Ketika menjadi raja, Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan beberapa strategi untuk memulihkan kembali Banten sebagai bandar perdagangan internasional. Beberapa strategi tersebut antara lain:

  1. Mengundang para pedagang dari Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis berdagang di Banten;
  2. Meluaskan interaksi dagang dengan bangsa Tiongkok, India, dan Persia;
  3. Mengirim beberapa kapal dengan maksud mengganggu pasukan VOC;
  4. Membuat saluran irigasi sepanjang sungai di ujung Jawa sampai Pontang yang ditujukan sebagai persiapan suplai perang dan pengairan sawah.

Sebagai seorang yang taat beragama, dia sangat antipati terhadap Belanda. Penyerangan secara gerilya yang dilancarkannya melalui darat dan laut untuk mematahkan kubu pertahanan Belanda yang bermarkas di Batavia. Aksi penyerangan diarahkan kepada kapal-kapal dagang kompeni merupakan kendala yang sangat membahayakan bagi pihak Belanda.

Menjelang masa tuanya, Tirtayasa yang semula berkedudukan di Surasowan mendirikan istana di daerah Pontang dekat Tirtayasa, yang dimaksudkan sebagai tempat peristirahatan, serta sebagai benteng pengintaian terhadap kawasan Tangerang dan Batavia.

Semenjak itulah, dia dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan juga membangun istana yang terbuat dari bata, bahan baku yang tahan lama dan aman dari risiko kebakaran dan gangguan lainnya.

Disebutkan pula bahwa Sultan Ageng Tirtayasa memiliki banyak barang-barang dari berbagai penjuru dunia, antara lain lemari kaca dari Jepang, cermin dan jam buatan Eropa. Barang mewah ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, yang dimungkinkan karena pesatnya perdagangan yang berlangsung di Banten saat itu.

Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.

Tirtayasa kemudian menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar di Nusantara.

Ketika situasi konflik semakin memanas, Sultan Ageng Tirtayasa menitahkan Sultan Haji menjadi orang yang mengurus masalah dalam negeri Banten pada 1671. Namun, terkait masalah dengan luar negeri menjadi urusan Sultan Ageng Tirtayasa sendiri.

Pengangkatan Sultan Haji ini membawa keuntungan bagi Belanda. Pihak Belanda kemudian ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Berkat dukungan dari Belanda, Sultan Haji justru merebut kekuasaan Banten dan menjadi raja di Istana Surosowan pada 1681.

Namun, sebagai imbal balik atas dukungan yang diberikan oleh Belanda, Sultan Haji harus menandatangani perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut antara lain:

  1. Kesultanan Banten harus memberikan daerah Cirebon kepada VOC;
  2. VOC mengambil alih monopoli lada di Banten;
  3. Pasukan Kesultanan Banten yang ada di Pantai Priangan harus ditarik mundur;
  4. VOC meminta 600.000 ringgit jika Banten nantinya mengingkari perjanjian yang telah disebutkan.

Kelakuan Sultan Haji ini membuat rakyat Banten tidak mengakuinya sebagai pemimpin, bahkan mereka saat itu selalu ingin melakukan perlawanan terhadap Sultan Haji dan VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa beserta rakyat yang mengikuti jalurnya berniat mengambil kembali Kesultanan Banten. Pada 1682, Sultan Haji mulai terdesak oleh serangan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dan Istana Surasowan pun dikepung.

Namun, VOC ternyata datang memberikan bantuan kepada Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin. Pasukan Sultan Ageng pun dipukul mundur saat itu dan mereka dijadikan sebagai buronan.

Dia dan para pengikutnya kemudian melarikan diri ke Rangkasbitung dan melakukan perlawanan selama kurang lebih setahun lamanya.

Kematian dan Penghargaan

Pada 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjarakan di Batavia oleh pihak Belanda. Dia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Kompleks Permakaman Raja-Raja Banten yang berada di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.

Atas jasa-jasanya yang diberikan kepada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1 Agustus 1970.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan tinggi negeri di Banten, yaitu Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Riwayat Kehidupan Sultan Ageng Tirtayasa. Menghargai jasa para pahlawan, seperti halnya Sultan Ageng Tirtayasa tidak hanya dengan mengenang dalam hati dan berterima kasih, melainkan juga dengan meneladani sikap dan perbuatan mereka.

Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang para pahlawan-pahlawan yang lain, mulai dari latar belakang kehidupannya, pendidikan, dan riwayat perjuangannya.

Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia agar bisa memaknainya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Penulis: Fandy Aprianto Rohman

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."

logo eperpus

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Written by Fandy Aprianto Rohman

Dunia sastra selalu berkembang dan mengikuti perkembangan teknologi. Saat ini, sastra mampu hidup di dunia apa pun, bahkan mampu masuk ke dunia industri kreatif, sehingga sastra dapat lebih bersifat kekinian.