in

Review Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati

Grameds pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya patah hati. Mungkin kamu pernah tak sengaja mengalaminya, atau bahkan sering patah hati? Semoga engga ya, Grameds. Patah hati adalah hal yang tidak bisa dipungkiri, pasti akan dialami manusia.

Patah hati sendiri bukan hanya seputar percintaan saja, tetapi juga bisa dalam lingkup pertemanan, keluarga, pekerjaan, dan sebagainya yang melibatkan interaksi dengan orang lain. Patah hati biasanya terkait dengan perasaan cinta, sayang, rasa peduli, juga mungkin berkaitan dengan ekspektasi diri sendiri.

Perasaan patah hati menimbulkan berbagai emosi dan reaksi yang bisa berkelanjutan. Seorang yang patah hati pastinya akan merasa sedih, kecewa, marah, dan mungkin bisa tertanam menjadi rasa benci, dendam, atau bahkan trauma. Rasanya, tidak ada orang yang ingin merasakan patah hati. Namun, apakah kamu pernah berpikir bahwa patah hati itu diperlukan manusia? Kenapa begitu?

Buku yang berjudul Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati ini akan membahas tentang alasannya. Bukan secara teoritis, lebih ringan dikemas dalam versi yang santai dan bersifat reflektif. Pastinya akan ada beberapa hal yang bisa kita petik dari membaca buku ini.

Buat Grameds yang sering patah hati dan galau, buku terbitan Gradien Mediatama ini sangat cocok untuk kalian. Daripada berlarut-larut dalam kesedihan, mendingan baca buku karya Pandudunia ini. Biar lebih terasa dekat saat baca karyanya, kita kenalan dulu ya dengan Pandudunia.

Profil Pandudunia – Penulis Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati

Pandudunia adalah sosok penulis muda berbakat yang juga dikenal sebagai content creator, stand-up comedian, sekaligus penyiar radio. Ia aktif membagikan berbagai aktivitas dan pemikirannya di media sosial, terutama di TikTok, tempat ia kerap menyuguhkan konten-konten yang relatable—sering kali membuat penonton tertawa, namun tak jarang juga menyelipkan rasa haru yang menyentuh.

Melalui gaya bercerita yang lugas dan penuh emosi, Pandudunia berhasil membangun kedekatan dengan para pengikutnya. Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati menjadi karya keduanya bersama Gradien Mediatama, menyusul kesuksesan buku pertamanya Lagi-Lagi Aku yang Ngalah, ’Kan? yang banyak mencuri perhatian pembaca muda.

Kalau kamu ingin mengenal lebih dekat sosok Pandu dan menikmati konten-kontennya yang hangat sekaligus menghibur, yuk ikuti dia di media sosial:

Instagram: @pandudunia

TikTok: @pandudunia_

Sinopsis Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati

Jika hari ini hatimu sedang patah, maka izinkan dirimu untuk merayakannya. Beri ruang untuk berhenti sejenak, bernapas lebih pelan, dan benar-benar memahami apa yang sedang kamu rasakan. Selama ini, mungkin kamu terlalu terbiasa merayakan momen bahagia, sementara kesedihan sering kali kamu abaikan. Padahal, rasa sedih pun layak diberi ruang—untuk dirayakan, untuk dipahami.

Kalau hari ini terasa jauh lebih melelahkan dan menyebalkan dibandingkan hari-hari sebelumnya, tidak apa-apa. Mungkin ini memang waktunya kamu menjalani yang disebut sebagai Hari Patah Hati.

Setelah berkali-kali menyangkal, bahkan mungkin sampai ratusan atau ribuan kali, bahwa perpisahan itu benar-benar terjadi, kini tiba waktunya kamu menyadari—bahwa saat ini, kamu memang sedang sendiri. Setiap orang punya cara dan waktunya masing-masing untuk pulih, dan itu tidak apa-apa. Tapi semoga, setelah ini, kamu bisa melewatinya tanpa terus berputar di tempat yang sama.

Kelebihan dan Kekurangan Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati

Pros & Cons

Pros
  • Relatable untuk berbagai pembaca.
  • Gaya bahasa yang santai dan tidak kaku.
  • Memberikan sudut pandang yang baru tentang patah hati.
  • Memberi dukungan emosional.
  • Bersifat Reflektif.
  • Berisi kutipan-kutipan galau yang menarik. 
Cons
  • Terasa repetitif.

Kelebihan Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati

Salah satu kelebihan utama dari Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati adalah bagaimana buku ini terasa sangat relatable bagi berbagai kalangan pembaca. Dari judulnya saja, sudah tergambar bahwa buku ini membahas tema yang sangat universal: patah hati. Siapa pun—entah yang sedang berada di masa-masa sulit, baru saja melewatinya, atau mungkin sudah lama berdamai—dapat menemukan bagian dari dirinya di setiap halaman.

Pandudunia berhasil menulis dengan cara yang begitu akrab, seolah sedang bercerita langsung kepada pembaca, membuat setiap emosi yang dituangkan dalam buku ini terasa nyata dan mudah terbayangkan.

Sebagai seorang penulis muda yang juga aktif sebagai content creator dan komedian, Pandu punya ciri khas dalam menyampaikan pesan—yaitu gaya bahasa yang santai, tidak kaku, dan mudah dipahami. Hal ini membuat buku ini terasa ringan dibaca, meskipun isinya menyentuh hal-hal yang emosional dan mendalam.

Tidak ada kalimat yang terasa menggurui atau terlalu puitis secara berlebihan, melainkan justru mengalir seperti percakapan dari seorang teman yang memahami betul apa yang sedang kamu rasakan.

Lebih dari sekadar bacaan yang mengisi waktu luang, buku ini juga memberikan sudut pandang baru terhadap pengalaman patah hati. Pandu tidak hanya menyampaikan kesedihan, tetapi juga mengajak pembaca untuk memahami bahwa patah hati bukan akhir dari segalanya. Melalui refleksi dan narasi yang jujur, buku ini justru membuka jalan untuk menerima kenyataan dan menemukan makna di balik rasa sakit.

Di sinilah kekuatan buku ini terasa—ia menjadi teman yang memberi dukungan emosional, bukan hanya pelipur lara sesaat. Ia mengingatkan bahwa menangis hari ini tidak apa-apa, tapi jangan biarkan dirimu terjebak di sana selamanya.

Buku ini juga bersifat reflektif, mengajak pembaca untuk merenungkan kembali hubungan, perpisahan, dan proses penyembuhan. Pandu menyelipkan banyak pesan moral yang menguatkan, seolah-olah berkata, “Kamu akan baik-baik saja. Ini bagian dari tumbuh.” Tak hanya itu, kutipan-kutipan galau yang ditulis pun penuh makna, kadang menohok, kadang menenangkan—dan tak jarang bisa digunakan untuk mengekspresikan perasaan, bahkan mungkin menyentil mereka yang pernah menyakiti.

Semua ini menjadikan buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati bukan hanya kumpulan tulisan tentang kesedihan, tetapi juga catatan penuh empati, keberanian, dan harapan.

Kekurangan Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati

Meskipun Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati memiliki banyak kelebihan, buku ini tetap memiliki beberapa kekurangan yang patut dicatat, terutama bagi pembaca yang mengharapkan sesuatu yang benar-benar baru atau segar dalam membahas tema patah hati. Salah satu kekurangan utamanya adalah isi yang cenderung repetitif.

Beberapa bagian dalam buku ini terasa berulang, baik dari segi pesan maupun cara penyampaiannya. Hal ini bisa membuat sebagian pembaca merasa kurang tertantang atau bahkan kehilangan ketertarikan saat membacanya secara terus-menerus dalam satu waktu.

Pesan Moral Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati

Buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati mengajak kita untuk lebih jujur dan terbuka menerima setiap perasaan yang muncul, termasuk rasa sakit dan patah hati. Alih-alih menolak atau menghindari, buku ini mengingatkan bahwa emosi yang kita rasakan adalah bagian alami dari manusia dan penting untuk dirasakan sepenuhnya agar bisa sembuh. Lebih dari itu, buku ini juga menegaskan bahwa setiap pengalaman, sekesal atau sesakit apa pun, selalu menyimpan hikmah dan pelajaran berharga. Justru dari luka terdalam itu, kita belajar menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan mampu menjalani hidup dengan hati yang lebih lapang.

Grameds, sekian artikel sinopsis dan ulasan buku Barangkali Kita Memang Perlu Hari Patah Hati karya Pandudunia. Udah gak usah galau, yuk langsung saja pesan buku ini sekarang di Gramedia.com! Sebagai #SahabatTanpaBatas, kami selalu siap memberikan informasi dan produk terbaik untuk kamu.

Rekomendasi Buku

1. Tentang Hari yang Aku Doakan Semoga Tak Pernah Datang itu

Tentang Hari yang Aku Doakan Semoga Tak Pernah Datang itu

Bertemu dan pada akhirnya harus berpisah dengan seseorang yang kita sayangi tentu saja akan meninggalkan duka yang mendalam. Tahap denial dan penyesalan akan datang silih berganti sepanjang proses penerimaan, bersamaan dengan tahap berharap dia akan kembali: kembali ke sisi, kembali bersama, kembali saling mencintai.

Namun, terkadang sebuah perpisahan yang terjadi adalah juga sebuah kebaikan untuk masing-masing pihak. Tidak selamanya menjadi bersama itu akan berujung bahagia. Mungkin dengan berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing akan membawa kita menuju kebahagiaan yang lain—yang melebihi saat masih bersama dulu.

Tentang hari yang aku doakan semoga tak pernah datang itu … mungkin akan menjadi sebuah penyesalan dan juga pengharapan bahwa kau dan aku akan mendapatkan bahagia dengan jalannya masing-masing.

2. Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Ale, seorang pria berusia 37 tahun memiliki tinggi badan 189 cm dan berat 138 kg. Badannya bongsor, berkulit hitam, dan memiliki masalah dengan bau badan. Sejak kecil, Ale hidup di lingkungan keluarga yang tidak mendukungnya. Ia tak memiliki teman dekat dan menjadi korban perundungan di sekolahnya.

Ale didiagnosis psikiaternya mengalami depresi akut. Bukannya Ale tidak peduli untuk memperbaiki dirinya sendiri, ia peduli. Ale telah berusaha mengatasi masalah-masalah yang timbul dari dirinya agar ia diterima di lingkungan pertemanan. Namun usahanya tidak pernah berhasil. Bahkan keluarganya pun tidak mendukungnya saat Ale membutuhkan sandaran dan dukungan.

Atas itu semua, Ale memutuskan untuk mati. Ia mempersiapkan kematiannya dengan baik. Agar ketika mati pun, Ale tidak banyak merepotkan orang. Dua puluh empat jam dari sekarang, ia akan menelan obat antidepresan yang dia punya sekaligus. Sebelum waktu itu tiba, Ale membersihkan apartemennya yang berantakan, makan makanan mahal yang tak pernah ia beli, pergi berkaraoke dan menyanyi sepuasnya hingga mabuk.

Saat 24 jam itu tiba, Ale telah bersiap dengan kemeja hitam dan celana hitam, bak baju melayat ke pemakamannya sendiri. Ia kenakan topi kecurut ulang tahun dan meletuskan konfeti yang ia beli untuk dirinya sendiri. “Selamat ulang tahun yang terakhir, Ale.”

3. To Heal A Broken Heart

To Heal a Broken Heart

Nina merasa dunianya hancur. Alan, tunangannya, telah berselingkuh, padahal pernikahan mereka tinggal menghitung bulan. Di sisi lain, Owen kebingungan karena ia tidak mengenal siapa lelaki yang bersama Alicia, adiknya. Dugaannya, lelaki itu merupakan kekasih adiknya. Kenyataan bahwa Alan berselingkuh dengan Alicia membuat Nina dan Owen selalu bersitegang. Akan tetapi, sebuah gelombang perasaan dirasakan oleh Owen. Nina tidak percaya Alan sempat berkelit tentang perselingkuhannya dengan Alicia. Namun, kenyataan bahwa lelaki itu makin terpuruk sepeninggalnya dan terus memintanya kembali, juga berjanji akan berubah, membuat Nina merasa goyah. Pada saat yang sama, Owen mengakui perasaannya. Nina pun terombang-ambing dalam dilema besar. Kepada siapakah Nina harus mempercayakan hatinya yang patah?”

Written by Z. Hanifah

Halo, saya Z. Hanifah, berperan sebagai editor artikel di Gramedia. Selain sebagai pekerjaan, membaca dan menulis adalah hobi utama saya. Keahlian riset saya membantu saya menyusun konten yang bermanfaat dan berkualitas di blog ini.