Istilah Kesehatan Relationship

Masochist Adalah: Definisi Beserta Perspektif HAM dan Perundang-Undangan di Indonesia

Written by Adinda Rizki

Masochist Adalah – Saat ini, banyak orang yang tidak memahami definisi dari istilah masochist ini, tetapi sering menggunakannya supaya terlihat keren. Namun yang sebenarnya adalah masokis ini menjadi salah satu bentuk penyimpangan seksual lho… bahkan dapat berisiko kematian pasangannya. Secara tidak langsung, perundang-undangan di negara kita telah mengatur bahwa aksi masochist ini sangat dilarang sebab melanggar peraturan. Lantas, apa sih masochist itu? Bagaimana perspektif HAM dan Undang-Undang di Indonesia dalam melihat aksi masochist ini? Nah, supaya Grameds memahami hal-hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!

https://pixabay.com/

Apa Itu Masochist?

Istilah “masokis” ini awalnya berasal dari nama seorang penulis berkebangsaan Austria pada abad ke-19, yakni Leopold von Sacher-Masoch. Dalam novel-novel yang dituliskan olehnya, cukup sering menyebutkan karakter yang memiliki obsesi terhadap kombinasi antara kegiatan seks dengan rasa sakit. Itulah yang mendasari definisi dari masokis, yakni sebuah kelainan seseorang dimana seseorang akan merasa bergairah jika dirinya disakiti atau bahkan direndahkan (secara lisan) oleh pasangannya. Dalam arti yang lebih luas, masokis ini mengacu pada sebuah pengalaman menerima kenikmatan atau kepuasan dari penderitaan yang amat sakit.

Tak banyak yang tahu bahwa masokis ini termasuk pada bagian parafilia, yang mana kelainan ini akan berkenaan dengan dorongan, perilaku, dan keinginan untuk membangkitan gairah seksual yang kuat melalui perilaku seks menyimpang. Seringnya, kelainan seksual ini dikaitkan dengan perilaku sadisme, sebab pelakunya memang akan melakukan hal-hal sadis selama berhubungan seksual untuk mendapatkan kepuasan seksual, secara timbal balik. Dalam artian, pelaku sadisme akan mendapatkan kepuasan gairah seksual melalui upaya menyakiti pasangannya, sementara pasangannya akan merasa puas pula setelah dirinya disakiti maupun direndahkan (secara lisan).

Perlu diperhatikan bahwa aktivitas masokis ini dapat menimbulkan kematian. Dari sekian aktivitas masokisme, yang paling berbahaya adalah hipoksifilia. Dalam aktivitas hipoksifilia ini, penderita akan terangsang secara seksual dengan kurangnya konsumsi oksigennya. Mulai dengan menggunakan kantong plastik, jerat tali, hingga bahan kimia yang dapat menekan dada sehingga pernafasan pun akan terganggu dan menyebabkan kematian.

Berhubung pelaku masokis ini menyukai hal-hal yang menyakitkan untuk memperoleh kepuasan secara seksual, maka dirinya pun juga akan melakukan hal-hal yang jarang dilakukan kebanyakan orang. Misalnya dengan mengikat atau menyakiti dirinya sendiri ketika tengah berfantasi seks atau masturbasi. Sementara itu, pelaku masokis jika akan berhubungan seksual, maka dirinya akan meminta pasangannya untuk mengikat, menutup mata, hingga mencambuknya supaya lebih terangsang. Masokis ini disebut sebagai kelainan seksual yang ternyata terjadi sejak masa kanak-kanak hingga remaja dan biasanya dialami oleh perempuan.

Ciri khas dari masokis adalah suka menyakiti dirinya sendiri. Terkait dengan hal tersebut, masokisme terbagi atas 2 hal yakni masokis moril dan masokis eros. Masokis moril ini mengacu pada seseorang yang memiliki kenikmatan bawah sadar ketika ada seseorang yang menyakiti perasaannya. Ketika disakiti perasaannya, dirinya tentu saja akan menangis dan nampak sedih, tetapi justru kesedihan itu membuatnya merasa “senang”. Sementara itu, masokis eros berkenaan dengan hal-hal yang bersifat fisik dan tidak dalam aktivitas seksual saja.

Masochist Menjadi Kelainan Seksual yang Mengancam Nyawa

Bagi Grameds yang sudah cukup umur dan pernah menonton film Fifty Shades of Gray, pasti menyadari bahwa film tersebut menunjukkan kelainan seksual berupa masokisme. Berhubung kelainan seksual ini kerap dijadikan tema dalam sebuah film, pasti banyak yang menganggap hal itu untuk dimaklumi saja. Padahal sebenarnya, jika dilihat dari segi kejiwaan, justru kelainan seksual ini dapat sangat berbahaya bahkan dapat mengancam nyawa, baik dirinya sendiri maupun pasangan seksualnya.

Perilaku masokis ini kerap kali mewujudkan fantasi seksualnya dengan cara melukai dirinya sendiri. Sehingga tak jarang, dirinya akan menyayat kulit atau membakar dirinya sendiri demi mendapatkan kepuasan seksual. Memang sih, seringkali pelaku menyadari bahwa fantasi seksualnya tersebut hanya berlaku dalam upaya “bermain peran” saja ketika tengah melakukan hubungan seksual. Namun, tak jarang bahwa kekerasannya itu akan semakin naik level hingga tahap asfiksiasi auteorotik.

Sedikit trivia saja nih, asfiksiasi auteorotik ini merupakan subtipe dari masokisme seksual, yang mana pelakunya memang dengan sengaja membuat dirinya sendiri tercekik atau kehabisan nafas. Biasanya, para pelaku masokis di level asfiksia ini akan membungkus kepalanya dengan plastik hingga kehabisan oksigen. Lalu, ada juga yang melingkarkan tali tambang hingga celana dalamnya ke leher hingga tercekik. Hal tersebut tentu saja dapat menyebabkan kurang atau habisnya pasokan oksigen dari dalam tubuh sehingga kesulitan bernafas dan meninggal dunia.

Masochist Dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana di Indonesia

Menurut artikel penelitian yang ditulis oleh Inna Fauziatal Ngazizah dan Maria Ulfa Fatmawati dengan judul Sadomasokisme di Indonesia Perspektif HAM dan Hukum Pidana ini menyatakan bahwa ternyata aksi masochist yang termasuk dalam bentuk sadomasokisme telah masuk pada tindakan yang dilarang oleh hukum pidana sekaligus melanggar Hak Asasi Manusia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi lapangan, kemudian analisis dengan metode deskripsi-analisis.

Apakah Grameds tahu apa itu sadomasokisme? Sadomasokisme ini merupakan perilaku kejam, ganas, atau kasar yang justru memberikan kepuasan seksual kepada pelaku. Jadi, dapat dikatakan bahwa kepuasan seksual akan diperoleh dengan menyakiti atau disakiti oleh orang yang disayanginya, baik secara jasmani maupun rohani. Aksi ini justru menjadi bentuk gangguan mental lho… yang mana membuat penderitanya akan mendapatkan kepuasaan saat menyakiti atau disakiti oleh pihak lain. Jika berdasarkan istilah, maka sadomasokisme ini berasal dari dua pengertian yakni “sadisme” dan “masokisme”. Sadisme sendiri adalah bentuk penyimpangan seksual dengan mendapatkan kepuasan, melalui adanya penyiksaan yang diberikan kepada pasangan. Sementara itu, masokisme adalah bentuk kepuasan seksual yang diterimanya dari pasangan.

Dalam agama Islam, para ulama telah sepakat untuk melarang adanya hubungan suami istri dengan segala bentuk kekerasan. Hal yang diperlukan bagaimana dapat mewujudkan hubungan yang saling menjunjung kesamaan dengan dasar penghargaan dan kasih sayang. Nah, pendapat ulama tersebut juga hampir selaras dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 5 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan empat cara. Pertama adalah kekerasan fisik dapat berupa pemukulan, pencubitan, penjambakan, benturan dan lain sebagainya. Kedua adalah kekerasan psikis, seperti body shaming, hinaan, celaan, berkata kasar. Ketiga adalah kekerasan seksual. Keempat adalah penelantaran rumah, seperti meninggalkan rumah tanpa informasi sebab dan alasannya.”

Pada penelitian ini, mengambil sumber dari penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan dengan judul “Penyimpangan Seksual Dalam Hubungan Suami Istri Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)” oleh Mawardi. Dalam jurnal terdahulu tersebut, membahas pula tentang penyimpangan seksual dalam hubungan suami istri dalam perspektif hukum Islam dan UU No. 23 Tahun 2004, disini hanya menjelaskan bahwasannya bentuk penyimpangan seksual dalam hubungan suami istri berupa sadisme seksual dan menyetubuhi pada dubur istri yang biasanya dilakukan oleh pasangan homoseksual. Hal ini dalam Pasal 8 Huruf A UU No. 23 Tahun 2004 termasuk tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan dalam agama Islam tidak diperbolehkan karena hal ini menimbulkan mudharat, penganiayaan, dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam serta bertentangan dengan tujuan agama Islam yaitu Rahmatan lil alamin yang artinya membawa rahmat bagi alam semesta.

Yap, keberadaan sadisme dan masochist ini menjadi bentuk fantasi seksual yang melibatkan adanya penyiksaan dalam hubungan seksual. Bagi penderita masochist ini, mereka akan puas mendapat perlakuan siksaan dari pasangannya, mulai dari dicambuk hingga ditetesi lilin panas. Maka dari itu, pasangan dari seorang sadistic dan masochist pasti dalam praktiknya akan saling memberi dan menerima rasa sakit untuk merangsang libido seksual mereka. Bahkan tak jarang, pasangan ini akan saling bertukar peran antara sadistic dan masochist ketika berhubungan seksual.

Tindakan masochist yang patut mendapatkan perhatian dari HAM adalah hipoksifilia. Hipoksifilia adalah gairah seksual dengan mengalami oksigen yang terbatas dengan media tali, kantong plastic, kompresi dada yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam beberapa waktu (Noermala Sari, 2006: 625). Ciri masokisme memiliki bentuk yang sama dengan ciri sadistic.

Faktor penyebab perilaku masochist adalah perilaku orang tua, rasa bersalah dan rasa cinta yang mendalam pada pasangannya. Perilaku orang tua timbul sewaktu masa kanak-kanak yang pernah dipukul oleh orang tuanya pada wilayah erogen dan mendapatkan kepuasan karena perlakuan itu. Sehingga menyebabkan kejadian tersebut terjadi secara berulang. Rasa bersalah seseorang terhadap pasangannya akan menjadikannya berusaha keras untuk dia mendapatkan maaf oleh pasangannya sekalipun mendapatkan rasa penderitaan. Rasa cinta yang mendalam menjadi awal perilaku masochist mendapatkan kenikmatan dalam kegiatan seksual.

Tindakan sadomasokisme ini menjadi bentuk kekerasan dalam suatu hubungan dua orang dalam relasinya. Tercatat, sudah banyak kekerasan di rumah tangga hingga tahun 2018, yakni sekitar 1046 kasus aduan. Jumlah tersebut meningkat pada setiap tahunnya dan sekitar 22 kasus adalah kekerasan seksual, dengan uraian sebagai berikut:

  • Korban dipaksa melaksanakan kegiatan seksual menggunakan perantara alat bantu. Ancaman dilakukan oleh pasangan apabila tidak mengikuti kemauannya.
  • Korban mengalami pendarahan alat kelaminnya disebabkan pasangannya menggunakan benda atau aksesoris pada alat kelaminnya.
  • Korban dipaksa melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang memiliki penyakit kelamin.
  • Korban dipaksa melakukan hubungan tidak lazim. Hubungan tidak lazim yang dimaksud salah satu orang dari pasangan tersebut mempunyai kecenderungan penyimpangan seksual sebelum melakukan hubungan seperti dipukul terlebih dahulu.
  • Korban mengalami penyiksaan dalam hubungan seksual.

Kasus kekerasan yang diuraikan diatas menjadi perhatian dari aspek perlindungan yang masih kurang karena hampir setiap hari kasus kekerasan dalam rumah tangga masih terjadi. Sekalipun dalam pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 amandemen kedua menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”

KUHP menguraikan penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dalam suatu hubungan memiliki unsur sanksi yang lebih besar bila dibandingkan tindak pidana penganiayaan yang biasa dilakukan yang tidak memiliki hubungan hukum, sebagaimana yang diuraikan dalam pasal 351 sampai dengan pasal 355 KUHP. Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut adalah:

  1. Kekerasan fisik, langsung dalam pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan kekerasan seksual dan kekerasan fisik secara langsung.
  2. Kekerasan psikis, perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya dan rasa tidak percaya diri.
  3. Kekerasan seksual, perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan dengan tidak wajar.

Bentuk di atas menjadi bagian dari karakter sadomasokisme. Kekerasan yang dilakukan atau yang diterima oleh salah satu pasangan pada dasarnya dapat dipidanakan jika perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Tolak ukurnya adalah perbuatan yang dilakukan mendatangkan korban atau pihak yang dirugikan. Kekerasan fisik menjadi lebih bermasalah apabila korban kekerasan tidak dapat menunjukkan bukti fisik akibat kekerasan yang telah dilakukan oleh pasangannya.

Sumber:

Fauzi, I., & Fatmawati, M. U. (2020). Sadomasokisme di Indonesia Perspektif HAM dan Hukum Pidana. TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 3(2), 171-188.

https://doktersehat.com/

https://www.sehatq.com/

Baca Juga!

About the author

Adinda Rizki

Saya sudah tertarik dengan dunia menulis sejak usia belia, walaupun saat itu saya hanya bisa menulis cerita-cerita pendek saja. Lewat menulis pula, saya jadi mengetahui banyak kosakata yang belum pernah saya tahu/dengar sebelumnya. Saya senang menulis dengan tema-tema seperti kesehatan, dan juga tentang Korea.

Kontak media sosial Linkedin saya Adinda Rizki