Psikologi

Eccedentesiast Adalah: Definisi, Dampak Pada Kesehatan Mental

Written by Sevilla Nouval

Eccedentesiast Adalah – Banyak orang berpikir bahwa istilah eccedentesiast ini berkaitan dengan hal-hal di bidang medis, padahal sebenarnya tidak. Istilah eccedentesiast ini adalah sebuah istilah populer dan dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyembunyikan rasa sedih yang dialaminya di balik senyuman. Singkatnya, eccedentesiast ini adalah pura-pura bahagia gitu lho! Apakah Grameds pernah mengalaminya?

Sayangnya, perilaku ini jika terus-menerus dilakukan justru berpengaruh pada kesehatan mental lho! Yap, kebiasaan pura-pura tersenyum padahal hatinya sedang porak-poranda sangat tidak dianjurkan oleh banyak ahli kesehatan. Itulah mengapa saat ini gencar dilakukan kampanye love yourself yang mana salah satunya adalah dengan mem-validasi segala emosi dan perasaan yang kita alami. Jadi, apapun perasaan yang kamu alami saat ini, mulai dari sedih, marah, kesal, jengkel, senang, bahagia, hingga baper itu semuanya adalah valid ya! Lantas, apa sih eccedentesiast itu sebenarnya? Bagaimana dampak perilaku eccedentesiast ini pada kesehatan mental kita, terutama para remaja? Apakah dengan berpura-pura bahagia dapat disebut sebagai mekanisme pertahanan ego? Nah, supaya Grameds memahami hal-hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!

https://www.pexels.com/

Apa Itu Eccedentesiast?

Jika melihat pada Urban Dictionary, istilah eccedentesiast ini bermakna sebagai ‘seseorang yang menyembunyikan kesedihannya di balik sebuah senyuman.’ Dengan kata lain, orang yang berperilaku eccedentesiast ini tidak suka menunjukkan rasa sedih yang tengah dialaminya, sehingga dirinya akan ‘bersembunyi’ di balik topeng senyumannya, seolah tidak terjadi hal apapun. Tidak hanya itu saja, orang yang berperilaku demikian cenderung akan mengupayakan banyak hal supaya dirinya terlihat bahagia oleh orang lain, meskipun sebenarnya ada banyak permasalahan yang terjadi di dalam hidupnya.

Jangan berpikir bahwa perilaku eccedentesiast ini hanya dialami oleh para remaja yang tengah menghadapi masa perubahan hormon, sebab ternyata orang dewasa juga mengalami hal ini lho… Terlebih lagi jika seseorang itu kurang memahami bagaimana menyampaikan emosinya, sehingga akan cenderung memilih pura-pura bahagia saja. Seperti halnya quote tentang “Orang yang paling banyak tertawa adalah orang yang tengah menyembunyikan rasa sedih yang amat sangat”. Coba lihat dirimu sendiri, apakah pernah berperilaku eccedentesiast ini, baik ketika tengah bersekolah, bekerja atau nongkrong dengan teman-teman lain. Coba lihat juga temanmu yang paling sering tertawa akan hal-hal receh, apakah dirinya benar-benar tertawa, atau hanya tengah menyembunyikan rasa sedihnya saja?

Ciri umum seseorang yang tengah mengalami perilaku eccedentesiast ini adalah kehilangan minatnya pada aktivitas atau hal-hal yang sebelumnya sangat digemari. Mengapa begitu? Sebab dalam dirinya terdapat perasaan bersalah atas kejadian yang membuatnya sedih, sehingga akan berlanjut ke perasaan tidak berharga hingga putus asa. Saking sedihnya, hal-hal yang sebelumnya digemari sampai tidak dapat membuatnya bahagia lagi.

Istilah eccedentesiast ini hampir sama dengan smiling depression, yang mana merupakan gangguan mental dan kerap dialami oleh banyak orang di seluruh muka bumi ini.

Dampak Perilaku Eccedentesiast Pada Kesehatan Mental

https://www.pexels.com/

Sayangnya, jika dilakukan secara terus-menerus justru perilaku ini dapat mempengaruhi dengan kesehatan mental. Hal ini disebabkan karena justru dapat membuat diri semakin tertekan dan tidak bebas mengekspresikan emosi yang dirasakannya. Padahal sebenarnya, mau rasa sedih atau rasa bahagia, semuanya patut diekspresikan sebaik mungkin supaya tidak ‘mengendap’ di otak secara terus-menerus. Tanpa Grameds sadari, kesehatan mental itu dapat berpengaruh juga lho dengan kesehatan fisik. Nah, berikut ini dampak perilaku eccedentesiast yang begitu berpengaruh pada kesehatan mental!

1. Memberikan Lebih Banyak Tekanan Pada Dalam Diri

Sebenarnya, afirmasi alias pemberian pernyataan-pernyataan positif kepada diri sendiri itu adalah hal penting dan wajib dilakukan. Afirmasi ini dapat dianggap sebagai bagian dari self help yang dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri. Maka dari itu, jika Grameds sering mengalami rasa cemas atau grogi, misalnya sebelum melakukan presentasi di depan kelas, akan lebih baik jika memberikan afirmasi positif terhadap diri sendiri yang menyatakan bahwa dirimu bisa melakukan presentasi semaksimal mungkin.

Sayangnya, seseorang yang tengah berperilaku eccedentesiast ini kerap menyadari bahwa afirmasi-afirmasi tersebut tidak akan sesuai dengan kenyataan, sehingga perasaannya justru akan menjadi negatif. Alam bawah sadarnya seolah menolak afirmasi-afirmasi tersebut dan dirinya akan merasa lebih tertekan.

2. Menghindari Kenyataan yang Ada

Eccedentesiast selalu berkenaan dengan senyuman palsu, sehingga justru akan menjadi pola menghindari dari perasaan yang dialami sesungguhnya. Ada baiknya jika Grameds mengekspresikan bagaimana emosi hari ini. Tidak apa-apa menangis, marah, atau kesal, sebab memang itulah emosi yang dirasakan.

3. Memperpanjang Masalah

Perilaku eccedentesiast ini berarti diri kita akan tetap tersenyum (dalam keadaan berpura-pura) padahal tengah mengalami masalah yang ada. Hal itu justru berdampak pada sulitnya menyelesaikan masalah. Kondisi ini nantinya akan menghambat orang-orang di sekitar yang mencoba membantumu.

Untuk hal ini, ada baiknya untuk menceritakan betapa peliknya permasalahan itu kepada orang-orang terdekat saja, supaya hati, jiwa, dan pikiranmu terasa lebih ‘plong’. Memang tidak semua orang-orang tersebut akan turut mencarikan solusi, tetapi yang terpenting adalah masalah itu tidak kamu pendam sendirian.

4. Meningkatkan Risiko Mengembangkan Kebiasaan Buruk

Dilansir dari sehatq.com, ternyata terdapat sebuah studi yang menunjukkan bahwa banyak karyawan yang terus-menerus berperilaku eccedentesiast sepanjang bekerja, sehingga setelah pulang kerja mereka akan minum alkohol dalam porsi banyak untuk melampiaskan rasa sedihnya. Apabila hal itu dilakukan secara terus-menerus, justru akan berkembang menjadi kebiasaan buruk ‘kan?

5. Dapat Berbahaya Bagi Suatu Hubungan yang Tengah Dijalaninya

Sadarkah Grameds jika berperilaku eccedentesiast ini secara terus-menerus justru akan membuat hubunganmu dengan pasangan menjadi di ambang kehancuran? Yap, dengan menyembunyikan kesedihan yang dialami justru akan membuat pasangan kita berpikir bahwa mereka tidak cukup baik untuk dipercaya oleh diri kita. Jika sudah begitu, hubunganmu dengan pasangan akan mulai retak karena tidak saling percaya, padahal dalam menjalin sebuah hubungan itu, saling percaya satu sama lain adalah kunci langgengnya suatu hubungan.

Akan terasa menyakitkan dan sedih yang semakin amat sangat apabila masalah pelik yang dialami belum selesai, ditambah dengan renggang atau hancurnya hubungan kita. Dampaknya, kesehatan mental kita akan tidak baik-baik saja dan dirimu dapat mengalami depresi yang cukup parah.

Mekanisme Pertahanan Ego Dalam Bentuk Pura-Pura Bahagia

https://www.pexels.com/

Sebenarnya, eccedentesiast atau berpura-pura bahagia ini tidak hanya dialami oleh remaja saja, bahkan orang-orang dewasa juga dapat merasakannya. Sayangnya, perilaku eccedentesiast yang dilakukan oleh para remaja biasanya akan dianggap sebagai ‘alay’, padahal para remaja juga dapat mengalami masalah dan kecemasan yang sama peliknya dengan orang-orang dewasa. Tidak hanya itu saja, banyak orang yang juga secara tidak sadar mengabaikan dan memendam perasaan yang dialaminya, sebab menganggap bahwa hal-hal seperti itu tidak perlu diingat dan cukup dilupakan saja. Pada kenyataannya, padahal dengan mengabaikan perasaan-perasaan menyakitkan justru akan membuat diri kita semakin tertekan dan masalah juga tidak terselesaikan.

Berdasarkan jurnal penelitian berjudul “Mekanisme Pertahanan Ego Dalam Bentuk Pura-Pura Bahagia di Kalangan Generasi Z dan Y” oleh Hillary Wixie Reandsi dkk, menyatakan bahwa generasi Z (saat ini tengah berusia di bawah 26 tahun) dan generasi Y (saat ini berusia antara 26-37 tahun), justru menjadikan perilaku pura-pura bahagia sebagai mekanisme pertahanan ego dalam diri mereka.

Sebenarnya, memendam perasaan-perasaan yang menyakitkan adalah hal wajar dan menjadi bentuk penyesuaian diri terhadap keadaan atau realitas yang tengah dihadapinya. Namun, jika hal tersebut sering dilakukan dan bahkan menjadi kebiasaan sehari-hari justru akan menjadikannya sebagai perilaku neurosis. Sedikit trivia, perilaku neurosis adalah gangguan yang didasari oleh unsur kecemasan atau psikologis yang lemah sehingga selalu bertingkah laku mempertahankan diri dari gangguan-gangguan dengan tujuan untuk menghindari atau mengurangi rasa cemas.

Menurut jurnal penelitian tersebut, istilah mekanisme pertahanan ego (ego defense mechanism) yang dicanangkan oleh Sigmund Freud ini adalah suatu strategi yang dipakai individu untuk bertahan melawan ekspresi impuls id, serta menentang tekanan superego. Mekanisme tersebut nantinya diperlukan terutama ketika  impuls-impuls dari Id mengalami konflik satu sama lain atau impuls itu mengalami konflik dengan nilai dan kepercayaan dalam superego atau bila ada ancaman dari luar yang dihadapi ego, sehingga meredakan kecemasan.

Sementara itu menurut Clark, mekanisme pertahanan ego ini didefinisikan sebagai gangguan ketidaksadaran dari realitas yang bertujuan untuk mengurangi efek yang menyakitkan dan konflik melalui respon otomatis dan sudah menjadi kebiasaan.

Mekanisme pertahanan ego membantu individu dalam mengatasi kecemasan dan mencegah terancamnya ego. Pertahanan ego atau ego defense merupakan tingkah laku normal karena ia memiliki nilai adaptif bila tidak menjadi gaya hidup dalam menghadapi realitas. Mekanisme pertahanan ego memiliki dua karakteristik, yang pertama adalah menyangkal realitas dan yang kedua adalah mengganti realitas (distort reality). Mekanisme pertahanan ego ini beroperasi pada taraf alam bawah sadar (unconsciousness) dan dimanifestasikan dalam bentuk tingkah laku.

Pada jurnal penelitian tersebut menggunakan metode penelitian deskriptif dan dilakukan dengan cara survey online di beberapa akun sosial media. Berhubung sampel penelitian adalah mereka yang masuk dalam generasi Z dan Y, maka pemilihan survey online di media sosial dapat dianggap sebagai cara jitu. Berdasarkan hasil survey online tersebut, generasi Y jarang menyadari bahwa dirinya tengah merasa sedih dan jarang menangis. Tidak hanya itu saja, generasi Z justru lebih banyak menyimpan perasaan cemas ketika tengah mengalami masalah, dengan hasil persentase sebanyak 40,50%!

Hal yang membuktikan bahwa generasi Z dan Y sering menjadikan eccedentesiast alias pura-pura bahagia sebagai mekanisme pertahanan ego adalah dengan menjawab “Tidak apa-apa” ketika tengah merasa sedih dan ada teman yang bertanya “kenapa”, adalah dengan tingginya persentase. Untuk generasi Z ada 71,40% sementara generasi Y adalah 70%! Alih-alih menceritakan masalahnya, mereka lebih memilih menjawab “Tidak apa-apa”.

Dalam jurnal penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 51,20% dari total 84 responden generasi Z berada pada taraf kadang-kadang menyadari bahwa dirinya sedang merasa sedih. Sementara, pada responden yang tergolong dalam generasi Y dari total 10 responden memiliki skor seimbang antara point jarang menyadari dan sering menyadari sebanyak masing-masing 20% dengan point kadang menyadari dan selalu menyadari sebanyak masing-masing 30%. Hal ini dapat terjadi karena ada pengaruh kematangan usia perkembangan individu. Sebab pada usia remaja hingga peralihan ke masa dewasa, seseorang cenderung masih berada pada masa pencarian jati dirinya. Maka, wajarlah jika pada usia remaja hingga dewasa awal seseorang masih sering keliru membedakan antara perasaan sedih dengan perasaan lainnya.

Dari beberapa hasil survey online yang telah dilakukan itu, menunjukkan bahwa mayoritas responden menyetujui bahwa mekanisme pertahanan ego adalah sesuatu yang wajar dilakukan, sebab memang hal tersebut merupakan bawaan dari bawah alam sadar manusia, hanya saja jika hal tersebut dilakukan secara terus menerus, akan memberikan dampak yang kurang baik.

Nah, itulah ulasan mengenai apa itu eccedentesiast alias berpura-pura bahagia yang tentu saja sangat berpengaruh pada kesehatan mental. Apabila Grameds mengalami masalah yang pelik, ada baiknya untuk segera menceritakan dengan orang terdekat ya. Tidak harus keluarga kok, dapat juga dengan teman-teman atau pasangan, supaya segera mendapatkan bantuan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sekalipun masalah itu tidak selesai dalam sekejap, tetapi yang terpenting perasaanmu plong karena tidak menyimpan terlalu banyak beban di pikiran. Jangan sepelekan masalah kesehatan mental ya, jika berkenan, ada baiknya untuk segera berkonsultasi ke psikolog untuk mendapatkan perawatan yang lebih terjamin.

Sumber: 

Reandsi, H. W., Lewoleba, M. P., Sirait, Y. Y. T., & Situmorang, D. D. B. (2020). Mekanisme pertahanan ego dalam bentuk pura-pura bahagia di kalangan generasi Z dan Y.

Baca Juga!

About the author

Sevilla Nouval

Saya hampir selalu menulis, setiap hari. Saya mulai merasa bahwa “saya” adalah menulis. Ketertarikan saya dalam dunia kata beriringan dengan tentang kesehatan, khususnya kesehatan mental. Membaca dan menulis berbagai hal tentang kesehatan mental telah membantu saya menjadi pribadi yang lebih perhatian dan saya akan terus melakukannya.

Kontak media sosial Instagram saya Sevilla