Biografi

Biografi Tuanku Imam Bonjol: Latar Belakang Kehidupan dan Riwayat Perjuangannya

Biografi Tuanku Imam Bonjol: Latar Belakang Kehidupan dan Riwayat Perjuangannya
Written by Fandy A

Biografi Tuanku Imam Bonjol – Masyarakat Minang selama ini dikenal sebagai suku dengan adat yang tak lapuk dek hujan tak lekang dek panas (memiliki pendirian kuat dan tidak berubah-ubah). Tidak hanya itu, suku yang biasa menyebut dirinya urang awak ini telah melahirkan banyak generasi emas dalam sejarah bangsa Indonesia maupun sejarah dunia.

Salah satu tokoh yang banyak kita kenal adalah sang proklamator, Mohammad Hatta. Tidak hanya menjadi pelopor kemerdekaan, Hatta juga terkenal sebagai ahli diplomasi yang disegani. Selain itu, dia juga dikenal dengan kesederhanaannya yang mengagumkan. Tidak berlebihan kalau gelar pahlawan disematkan kepadanya.

Namun, Hatta bukanlah satu-satunya urang awak yang dihormati dan diabadikan dalam mata uang Republik Indonesia (RI). Tokoh berikutnya yang dikenal adalah Muhammad Syahab atau lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.

Sosok yang satu ini sudah tidak lagi asing di telinga. Dia merupakan seorang ulama, pemimpin, dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam Perang Padri pada 1803–1838. Dia menjadi sosok yang sangat alot ditaklukkan oleh Belanda saat itu.

Siapa sebenarnya sosok Imam Bonjol yang dikenal santun dan tidak kenal kompromi terhadap Belanda tersebut? Berikut pemaparan biografi singkat dari sosok tersebut.

Latar Belakang Kehidupan Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol.

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung pada 1 Januari 1772 dengan nama Muhammad Syahab. Dia selanjutnya dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Syekh Muhammad Said Bonjol atau Inyik Bonjol.

Bonjol sendiri merupakan suatu kampung yang berada di daerah Sumatra Barat. Kampung ini terkenal karena Muhammad Syahab dilahirkan dan berjuang bersama-sama dengan seluruh lapisan masyarakat di tempat itu. Mereka saling bekerja sama menentang penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Syahab adalah seorang ulama, pejuang, dan tokoh yang dituakan oleh masyarakat. Dia menjadi tempat meminta nasihat, petunjuk, dan mengadu segala hal, baik yang berkenaan dengan masalah keagamaan maupun kedunian. Hal inilah yang menyebabkan dirinya memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan, Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam menunjuknya sebagai imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Kehidupan Imam Bonjol mencerminkan keteladanan dan kesederhanaan. Patutlah jika Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama memilih dirinya untuk ditulis biografinya, dengan harapan perjuangannya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup oleh generasi selanjutnya.

Imam Bonjol adalah putra tunggal dari pasangan Bayanuddin Syahab dan Hamatun. Ayahnya merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Bonjol dilahirkan di kalangan keluarga pedagang dan senang merantau. Inilah yang menyebabkan dirinya pernah dikirim ke Malaysia untuk mendapatkan pendidikan formal Sekolah Rakyat Desa (setingkat Sekolah Dasar) pada 1779.

Setelah dewasa, dia belajar agama Islam kepada Syekh Ibrahim Kumpulan di Bonjol pada 1809–1814. Selanjutnya, antara tahun 1818 dia memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah di Bonjol. Dia juga tertarik mempelajari budi bahasa yang luhur, tingkah laku, dan kearifan.

Dia mempunyai beberapa orang istri, tetapi hanya satu yang mendampinginya hingga meninggal, yaitu Hajjah Solehah. Melalui pernikahannya dengan Solehah, dia dikaruniai 10 orang anak, yaitu lima orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan. Anak-anaknya adalah Hasan, Hasyim, Harun al-Rasyid, Syahrudin, Djusnah, Sawwadjir, Hasanah, Rofiah, Cholidi, dan Nur Baiti.

Kebiasaan Imam Bonjol yang patut untuk dicontoh adalah sebagai berikut.

  1. Terbiasa tidur di masjid, tetapi hampir 2/3 dari waktunya dihabiskan untuk beribadah dan mengajar;
  2. Selalu mengenakan jubah dan serban putih;
  3. Sering mengurangi waktu tidur pada malam hari untuk berkhalwat kepada Allah SWT;
  4. Memakan dengan lauk sederhana;
  5. Setiap orang yang datang kepadanya dilayani dengan baik, tanpa membedakan siapa pun.

Imam Bonjol mempunyai keahlian di bidang ilmu tasawuf dan ilmu fikih. Selain itu, dia juga mempunyai keahlian di bidang pengobatan tradisional. Dia dikenal di kalangan masyarakat mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang sering dikatakan misterius. Sebelum menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut, dia melakukan salat istikharah dan berdoa kepada Tuhan, sehingga para pasiennya juga sembuh seolah-olah secara misterius juga.

Peran Tuanku Imam Bonjol

1. Sebagai Guru

Imam Bonjol mendidik dan mengajar di setiap surau, masjid, dan pesantren yang dia bangun di setiap perkampungan, sekaligus menjadi pemimpin para jemaahnya. Setelah berjalan lancar, dia kemudian menyerahkannya kepada murid yang paling dipercayainya. Pekerjaan tersebut dilakukannya dengan penuh keikhlasan.

2. Sebagai Tokoh Panutan

Sebagai tokoh panutan, dia sangat dekat dengan masyarakat, begitu juga sebaliknya. Inilah yang membuatnya sangat memperhatikan kehidupan masyarakatnya, baik kehidupan jasmaniah maupun kehidupan rohaniahnya. Jika dia melihat anggota masyarakatnya yang susah kehidupannya, akan dibantunya dan dianjurkan untuk mencari penghasilan yang lebih menguntungkan.

3. Sebagai Pejuang

Sebagai putra bangsa yang hidup sejak zaman penjajahan Belanda, dia telah berniat berjuang melawan melalui media agama Islam dengan mendirikan Tarekat Naqsyabandiyah. Melalui tarekat tersebut, dia mengajarkan kepada murid-muridnya tentang pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan penjajahan.

Imam Bonjol dan Perang Padri

Imam Bonjol adalah pahlawan nasional perintis kemerdekaan, seorang ulama, dan pemimpin Perang Padri yang menentang penjajahan Belanda di bumi Minangkabau pada abad ke-19. Gerakan Padri muncul di Minangkabau setelah tiga orang pulang haji dari Makkah pada 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.

Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh ikut mendukung keinginan ketiga orang haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan kemudian meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan, tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring hal itu, beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Puncaknya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung pada 1815 dan pecahlah peperangan di Koto Tangah.

Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Berdasarkan catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, dia menyebutkan hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.

Dikarenakan terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung tidak pasti, Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada 21 Februari 1821, meskipun dia sebenarnya saat itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.

Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Sultan Tangkal Alam Bagagar kemudian diangkat sebagai Regent Tanah Datar.

Belanda akhirnya terlibat dalam perang karena diundang oleh Kaum Adat. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Pada 8 Desember 1821, datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi di kawasan yang telah dikuasai tersebut.

Fort van der Capellen.

Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda kemudian membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.

Pada 10 Juni 1822, pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Selanjutnya, Kapten Goffinet menderita luka berat dalam pertempuran di Baso pada 14 Agustus 1822 hingga akhirnya meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822, pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar pada 16 April 1823. Sementara itu, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff pada 1824.

Namun, raja terakhir Minangkabau ini akhirnya meninggal dunia pada 1825 dan dimakamkan di Pagaruyung. Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.

Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam, yaitu Koto Tuo dan Ampang Gadang. Pasukan itu kemudian juga menduduki Biaro dan Kapau, tetapi Laemlin akhirnya meninggal dunia di Padang pada Desember 1824 karena luka-luka yang dideritanya dalam pertempuran.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh, sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu, Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri, yang waktu itu telah dipimpin oleh Imam Bonjol, untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat, sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.

Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini didasari oleh keinginan kuat penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan darek (pedalaman Minangkabau).

Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Sejarawan Inggris, Christine Dobbin, menyebutnya lebih kepada perang dagang dikarenakan hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara itu, Belanda di sisi lain ingin mengambil alih atau memonopoli kopi.

Belanda kemudian melemahkan kekuatan lawan dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Mereka menyerang nagari Pandai Sikek, salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Pasukan Belanda kemudian membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock untuk memperkuat kedudukannya.

Sejak tahun 1833, mulai muncul kompromi perlawanan bersama di pihak lain antara Kaum Adat dan Kaum Padri. Pada 11 Januari 1833, beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, sehingga membuat keadaan menjadi kacau. Disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa dan ratusan tentara pribumi terbunuh.

Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Belanda kemudian mengasingkannya ke Batavia, meskipun dia menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda. Pemerintah Hindia Belanda di sini tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.

Menyadari hal itu, Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Pemerintah Hindia Belanda lantas mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang pada 1833. Isinya berupa pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.

Pemerintah Hindia Belanda juga berdalih bahwa kedatangan pasukannya untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya. Inilah yang membuat  penduduk diwajibkan menanam kopi dan harus menjualnya kepada Belanda. Namun, hal itu tidak dihiraukan oleh Kaum Padri dan masyarakat Minangkabau.

Kegagalan penaklukan itu benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens. Dia kemudian mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius pada awal tahun 1837 untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol. Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.

Selanjutnya, Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri atas berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, dan 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Ada juga nama inlandsche (pribumi) seperti Kapiten Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero, dan lain-lainnya.

Pasukan dari Batavia didatangkan terus sebagai tambahan kekuatan tentara Belanda. Pada 20 Juli 1837, pasukan itu tiba dengan Kapal Perle di Padang, yang meliputi sejumlah orang Eropa dan Sepoys serta serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda. Mereka direkrut dari Ghana dan Mali, yang terdiri atas 1 sergeant, 4 korporaals, dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.

Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dilancarkan oleh pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar selama kurang lebih 6 bulan lamanya. Pasukan infantri dan kavaleri juga terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan.

Pada 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi akhirnya jatuh dan Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan pada 16 Agustus 1837. Namun, Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah. Namun, pasukannya ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Hal ini dikarenakan mereka telah bertempur melawan Belanda secara terus-menerus selama lebih dari tiga tahun.

Imam Bonjol akhirnya menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Biografi Tuanku Imam Bonjol: Latar Belakang Kehidupan dan Riwayat Perjuangannya. Menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, seperti halnya Pangeran Diponegoro tidak hanya dengan mengenang dalam hati dan berterima kasih, melainkan juga dengan meneladani sikap dan perbuatan mereka.

Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang para pahlawan-pahlawan yang lain, mulai dari latar belakang kehidupannya, pendidikan, dan riwayat perjuangannya.

Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia agar bisa memaknainya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Buku Autobiografi
Buku Biografi Ir. Soekarno
Buku Biografi Jackma
Buku Biografi Jokowi
Buku Orang Sukses

Biografi RA Kartini
Biografi Cut Nyak Dien
Biografi Gus Dur
Biografi Ki Hajar Dewantara
Biografi Pattimura
Biografi Ir. Soekarno
Biografi WR Supratman
Biografi Jendral Soedirman

Penulis: Fandy Aprianto Rohman

BACA JUGA:

About the author

Fandy A

Mengetahui hal-hal terbaru sangatlah menarik dan juga tidak ketinggalan dengan informasi terbaru. Ada banyak informasi terbaru yang selalu menarik untuk ditulis, salah satunya adalah biografi.