Hukum

Pengertian Subjek Hukum dan Konsepnya Menurut Ahli!

Pengertian Subjek Hukum
Written by ziaggi

Pengertian subjek hukum – Sudah menjadi pemahaman umum bahwa hukum adalah suatu sistem yang pasti di mana pelaksanaan berbagai kekuasaan ada di lembaga-lembaga. Untuk menjalankan rangkaian kekuasaan tersebut, disarankan perlu adanya undang-undang yang juga mensyaratkan adanya subjek hukum sebagai sarana dan prasarana pelaksanaan hukum.

Berbicara tentang konsep dasar hukum, ada konsep dasar yang menjadi tema sentral dari semua konsep hukum, yaitu subjek hukum. Konsep ini menjadi tema sentral karena hukum pada dasarnya berkaitan dengan hubungan interpersonal.

Perlu diketahui bahwa istilah subjek hukum berasal dari bahasa Belanda recht subject yang berarti pembela hak dan kewajiban. Bagi mereka yang dianggap subjek hukum, mereka adalah manusia dan badan hukum.

Memang, hukum tidak memiliki muatan untuk mengatur masalah tersebut, karena dari segi penerapannya, bukan hanya konsep dasar. Selain subjek hukum, menurut Logemann faktor lainnya adalah hubungan, waktu dan benda.

Pendapat Logemann tersebut segera menekankan pentingnya konsep subjek hukum, karena merupakan konsep dasar sekaligus unsur bidang penegakan hukum. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa sangat penting untuk mengetahui pengertian subjek hukum. Jika sobat Grameds ingin mempelajari subjek hukum, mari simak penjelasan berikut.

Pengertian Subjek Hukum

Pengertian Subjek Hukum

Sumber: Gramedia.com

Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pengemban (dapat mempunyai) hak dan kewajiban. Dalam kamus ilmu hukum disebut juga dengan “orang” atau “pembela hak dan kewajiban”. Subyek hukum berhak bertindak menurut cara-cara yang ditentukan atau dibenarkan oleh hukum.

Berbicara tentang pentingnya topik hukum, tidak mungkin untuk tidak menyebutkan pendapat para ahli sebagai berikut.

Utrecht mendefinisikan subjek hukum sebagai pembela hak, yaitu orang atau badan yang menurut hukum berhak menjadi pembela hak.

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Selanjutnya pendapat Subekti menegaskan bahwa subjek hukum adalah pembawa hak atau subjek hukum, yaitu manusia.

Purbacaraka dan Soekanto menjelaskan bahwa subjek hukum adalah bagian yang berkaitan dengan sistem hukum. Ciri-ciri subjek hukum antara lain:

  1. Mandiri karena mempunyai kemampuan penuh untuk bersikap tindak;
  2. terlindung karena (dianggap) tidak mampu bersikap tindak;
  3. perantara yang walaupun berkemampuan penuh sikap tindakan dibatasi, sebatas kepentingan pihak yang ditengahi (diantarai).

Para ahli hukum ketika bertukar pendapat tentang masalah hukum selalu dikaitkan dengan hak dan kewajiban. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta misalnya. Keduanya mengatakan bahwa subjek hukum adalah pemilik atau pembawa hak dan kewajiban.

Sedikit berbeda dengan Kusumaatmadja dan Sidharta, E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang berpendapat bahwa pelaku hukum adalah pemegang hak. Dari sudut yang sedikit berbeda, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa orang, bukan subjek hukum, adalah pemegang hak, dan karena itu tidak memiliki hak, tidak akan ada kendala dan lain-lain.

Pengertian Subjek Hukum

Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban. Ini sejalan dengan apa yang dibayangkan Kelsen. Kelsen mengemukakan bahwa antara subjek hukum dengan hak dan kewajibannya terdapat satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari norma hukumnya.

Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa manusia bukan subjek hukum, tetapi sebagai pembawa hak, jadi tanpa hak tidak ada kewajiban, dan sebagainya. Van Apeldoorn, mengatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki otoritas hukum dianggap sebagai subjek hukum.

Manusia sebagai Subjek Hukum

Manusia (natuurlijk persoon). Menurut ketentuan hukum, setiap manusia secara kodrati atau secara alami telah menjadi subjek hukum. Anak-anak dan balita juga dianggap subjek hukum. Manusia dianggap sebagai subjek hukum sejak lahir sampai mati.

Bahkan seorang bayi yang masih dalam kandungan dapat dianggap sebagai badan hukum jika ada usaha atau kepentingan yang mengharuskannya. Namun, beberapa kelompok yang dianggap oleh undang-undang sebagai subjek hukum “tidak mengatakan” undang-undang tersebut.

Oleh karena itu, untuk melakukan perbuatan hukum, mereka harus diwakili atau didukung oleh orang lain, seperti anak di bawah umur, anak di bawah umur atau bujangan dan orang-orang dalam remisi seperti orang bermasalah, pemabuk, orang yang boros.

Kedua, otoritas hukum, yaitu kemampuan untuk menjadi subjek hukum, yaitu sebagai pembela hak dan kewajiban. Sehubungan dengan yurisdiksi sebagai subjek hukum, orang pada dasarnya memiliki yurisdiksi kecuali undang-undang menentukan lain.

Hapsari mengatakan bahwa menurut hukum yang dinyatakan tidak mampu menggugat meliputi anak di bawah umur, orang yang dinyatakan pailit dan anak didik.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa hukum Indonesia mengakui bahwa setiap manusia tunduk pada hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUH Perdata yang mengatur bahwa penikmatan hak warga negara tidak tergantung pada hak negara.

Implikasi dari pasal ini adalah apakah kedudukan seorang (warga negara) sebagai subjek hukum tidak ditentukan oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara. Manusia diakui sebagai subjek hukum sejak lahir sampai mati.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, terdapat berbagai ketentuan usia minimal seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau memperoleh hak, yaitu:

  1. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa untuk melakukan perbuatan hukum di bidang harta benda, usia 21 tahun atau telah menikah (kawin) atau pernah kawin/nikah.
  1. Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, usia 19 tahun bagi pria dan usia 16 tahun bagi wanita.
  1. Pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua atau walinya untuk melakukan perkawinan.
  1. Pasal 45 KUHPidana, belum dapat dipidana seseorang yang belum berusia 16 tahun. Hakim berdasarkan Pasal 46 KUH Pidana dapat menjatuhkan hukuman dengan tiga kemungkinan, yaitu mengembalikan kepada orang tua si anak, memasukkan dalam pemeliharaan anak negara, atau menjatuhkan pidana tetapi dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilanggar dan dipenjara di penjara khusus anak-anak.
  1. Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), hak seseorang untuk memilih adalah usia 17 tahun atau sudah/pernah kawin pada waktu pendaftaran pemilih.
  1. Pasal 2 ayat (1) butir d PP No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi menyebutkan bahwa usia untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah
  • SIM C dan SIM D pada usia 16 tahun;
  • SIM A pada usia 17 tahun;
  • SIM B1 dan SIM B2 pada usia 20 tahun
  1. Pasal 33 Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1977 tentang Kependudukan, usia 17 tahun atau sudah/pernah menikah/kawin, wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Badan Hukum sebagai Subjek Hukum

Bryan A Garner. (dalam Hapsari, 2014: 79) menjelaskan bahwa dalam kepustakaan Inggris, istilah yuridis sering disebut dengan istilah legal entity, juristic person, atau artificial person.

Mengenai badan hukum sebagai subjek hukum, Hapsari menjelaskan bahwa badan hukum disamakan dengan individu. Implikasinya adalah korporasi dapat digugat atau digugat.

Selain itu, syarat ini mengandung arti bahwa ada atau tidaknya suatu badan hukum tidak hanya tergantung pada kehendak anggotanya, tetapi juga pada ketentuan undang-undang.

Pengertian Subjek Hukum

Chidir Ali (dalam Hapsari, 2014:84) menjelaskan bahwa setiap badan hukum yang dapat dianggap bertanggung jawab harus memiliki empat elemen kunci berikut.

Aset mereka dipisahkan dari badan hukum lainnya. Ada tujuan idealis tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Memiliki kepentingan tersendiri dalam lalu lintas hukum.

Ada badan pengawas reguler sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan aturan tata caranya sendiri.

Contoh Badan Hukum

Menurut Hapsari, berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata, ada 4 jenis badan hukum dengan contoh sebagai berikut.

  • Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah. Untuk yang termasuk dalam kategori ini adalah badan hukum publik, seperti provinsi, kabupaten, kotamadya dan lain-lain.
  • Badan hukum yang diakui pemerintah, seperti gereja atau organisasi keagamaan lainnya.
  • Badan hukum yang diberi wewenang oleh pemerintah.
  • Badan hukum yang dibentuk oleh perorangan, seperti perseroan terbatas (PT) atau Commanditaire Vennootschap (CV).

Konsep Subjek Hukum Menurut Teori Hans Kelsen

1. Suatu Konstruksi Fiktif

Kelsen mengatakan, gagasan tradisional tentang subjek hukum memberikan beban berat kepada masyarakat hukum sebagai pelaku aktif dalam pembuatan dan penegakan hukum. Jadi, menurut Kelsen, subjek dari kekuatan itu ada di dalam dirinya, yang disebut; otoritas hukum.Badan hukum merupakan konsepsi masyarakat yang fiktif, dengan cara masyarakat ini tidak mengacu pada realitas sosiologis tetapi pada sistem normatif. Ini bukan aturan tiap-tiap individu.

Dengan demikian, setiap individu dapat bertindak sebagai subjek hukum karena ia yang membuat dan menerapkan hukum, dan juga dapat menjadi subjek hukum karena ia juga yang akan menghormati hukum.

Seperti yang kita lihat di sini, teori tradisional dan Hans Kelsen sama-sama menyatakan bahwa sumber kekuasaan berasal dari masyarakat. Namun, Kelsen berbeda dari teori tradisional dalam interpretasinya terhadap masyarakat.

Bagi Kelsen, orang-orang di sini fiktif. Oleh karena itu, Kelsen berpendapat bahwa konsep subjek hukum juga cenderung fiktif. Mengapa? Hal ini karena tidak mungkin seorang individu menuntut suatu hak, padahal setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, bahkan dalam bidang hukum perdata.

Sebab, jika diasumsikan ada hak yang dimiliki oleh satu orang, berarti ada kewajiban pihak lain. Dengan demikian, suatu hak dapat dimiliki oleh seseorang atas dasar norma-norma objektif, seperti hukum, tetapi bukan atas kehendak subjek hukum itu sendiri.

Penjelasan yang lebih sederhana adalah bahwa keberadaan subjek hukum dengan hak-haknya ditentukan hanya oleh hukum positif dan bukan karena subjek hukum yang sebenarnya dianggap ada. Untuk alasan ini, Kelsen menganggap subjek hukum ini sebagai sesuatu yang bersifat fiktif. Badan hukum fiktif ditentukan keberadaannya oleh suatu badan (masyarakat) yang juga dianggap fiktif oleh Kelsen.

Jadi, apakah teori tradisional lebih baik menjelaskan pertanyaan ini? Menurut Kelsen, menafsirkan subjek hukum dengan hak dan kewajibannya menurut teori tradisional hanya menimbulkan antagonisme. Menurut teori ini, kewajiban timbul setelah pelaksanaan hak. Hak secara subyektif melekat pada individu, karena pada dasarnya setiap individu ingin bebas, sedangkan kewajiban terikat oleh hukum positif, yang sebenarnya selalu terikat pada setiap orang.

Menurut Kelsen, teori murninya dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme hak dan kewajiban. Hal itu dilakukan dengan meniadakan konsep “orang” sebagai perwujudan norma hukum yang kompleks, dalam arti mengurangi kewajiban dan hak yang diberikan oleh undang-undang terhadap peraturan-peraturan melanggar undang-undang yang mengandung sanksi.

Dengan kata lain, Kelsen membuat proposisi seperti ini: “mengubah hukum yang mengandung hak menjadi hukum umum”. Atau lebih sederhananya, Kelsen menginginkan agar semua hak yang dipegang oleh subjek hukum tunduk pada aturan umum.

Dengan demikian tidak ada dualitas antara hak dan kewajiban subjek hukum. Memang menurutnya, keinginan subyektif seperti yang dikenal dalam teori tradisional memiliki niat buruk atau buruk. Pendekatan yang dikemukakan Kelsen ini tidak dimaksudkan untuk menghindari niat buruk atau niat tidak sehat, melainkan berpedoman pada niat objektif dan universal, tidak terpengaruh oleh politik atau moralitas.

2. Manipulasi dan Fiksi

Sebelum memikirkan wacana di atas, kita harus kembali ke uraian di atas, karena yang disebut subjek hukum hanyalah upaya konstruktif belaka. Bahkan bisa dikatakan bahwa upaya mengkonstruksi itu cukup sulit untuk diterima secara wajar karena bisa cenderung fiktif, dalam arti hanya dibikin-bikin.

Kepalsuan ini ditegaskan oleh Kelsen ketika menjelaskan bahwa orang perseorangan adalah bagian dari subjek hukum. Struktur artifisial ini muncul ketika individu secara kodrati dibentuk menjadi badan hukum, yang sebenarnya tidak ada dan hanya dapat eksis karena alasan ilmiah dalam hukum, misalnya: dalam putusan hakim.

Artinya, subjek hukum, meskipun ia adalah orang dalam arti hidup sebagai makhluk, sebenarnya dianggap ada karena ia diciptakan untuk ada. Jadi karya ini, tidak disebut fiksi, menurut Kelsen, menurut konstruksi buatan manusia.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Kelsen selanjutnya menjelaskan siapa yang dapat mendirikan badan hukum, yaitu lembaga penegak hukum. Pengertian ini serupa dengan apa yang dicita-citakan oleh teori tradisional, yaitu bahwa masyarakat hukum dapat membentuk badan hukum.

Jadi kedua pandangan itu memandang subjek hukum sedikit banyak sebagai entitas fiktif, dalam artian diciptakan sekurang-kurangnya oleh masyarakat.

Intinya, seperti disebutkan di bagian sebelumnya, adalah bahwa ketika subjek hukum diterima sebagai karya fiksi yang dihasilkan komunitas, di sini harus dimunculkan refleksi kritis tentang keberadaan.

Bagaimana keberadaan kekuasaan ada dalam masyarakat dengan kekuatan yang ada dalam masalah hukum? Sekali lagi, mengapa perlu dipikirkan? Ini karena bias yang penting; Masyarakat hukum, sayangnya bersifat fiktif, memiliki hak untuk mengkonstruksi subjek hukum secara fiktif. Dalam ekspresi satir, fiksi mendefinisikan fiksi. Bagaimana itu bisa terjadi?

Pertanyaan penting di atas dilontarkan berdasarkan fenomena terkini dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perbuatan yang sebagian pihak sepakati sebagai penyimpangan seksual, seperti lesbianisme dan sejenisnya, dapat dituntut secara pidana.

Sedangkan menurut Kelsenian, pemidanaan diterapkan secara objektif, karena tidak boleh ada hak dan kewajiban yang dapat sepenuhnya dilakukan oleh seseorang, sebut saja lesbian. Dengan kata lain, menurut teori tradisional, tidak ada hak bagi setiap orang untuk dituduh melakukan penyimpangan seksual. Dengan demikian, kewajiban juga dibebaskan bagi setiap orang yang juga dianggap menyimpang secara seksual oleh masyarakat.

Di sisi lain, objek hukum Kelsen dengan hak dan kewajibannya adalah struktur yang cenderung fiksi.

Misalnya, bagaimana janin dikonstruksi secara fiktif, sehingga dianggap sebagai subjek hukum , dan karena itu memiliki semua hak dan kewajiban, dan dapat menerapkan tindakan hukuman untuknya? Bagaimana jika kemudian diketahui bahwa janin adalah hasil hubungan yang berdosa menurut agama tertentu? Apakah dengan alasan tersebut maka janin dapat dinyatakan bukan subjek hukum? Juga, apa perbedaan antara janin yang membangun dirinya secara fiktif sebagai bagian dari konsep yang melibatkan masalah hukum dan lesbian karena pada akhirnya keduanya membangun satu sama lain dalam patung fantasi? Hal yang sama berlaku untuk narapidana yang mengklaim ganja sebagai obat.

Pengertian Subjek Hukum

Teori tradisional dalam hal ini menjawab, karena masyarakatlah yang menentukannya. Dan di dalam masyarakatlah ada kekuatan yang menciptakan struktur beberapa subjek hukum, yang melihat – sebagai contoh yang menggoda, misalnya, karena akan dikritik oleh semua orang bahwa penyimpangan seksual adalah bagian dari kejahatan.

Oleh karena itu, individu yang dianggap menyimpang secara seksual harus dihukum dan, sebab itu, subjek hukum tersebut, tidak diberikan hak dan kewajiban.

Penutup

Demikian ulasan mengenai pengertian subjek hukum dan konsepnya. Buat Grameds yang mau memahami tentang pengertian subjek hukum lainnya, kamu bisa mengunjungi Gramedia.com untuk mendapatkan buku-buku tentang hukum taklifi

Sebagai #SahabatTanpaBatas, Gramedia selalu memberikan produk terbaik, agar kamu memiliki informasi terbaik dan terbaru untuk kamu. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Penulis: Ziaggi Fadhil Zahran

Baca juga:

Pengertian Hukum Acara Pidana: Fungsi, Tujuan, dan Asas-asasnya

Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli hingga Asas-Nya!

Pengertian Hukum Dagang, Sejarah, Peran dan Sumber Hukumnya

Pengertian Denda Hingga Pasal-Pasal Tentang Denda

Hukum: Pengertian, Tujuan, Fungsi, Unsur dan Jenis

About the author

ziaggi