Hukum

Pengertian Hukum Taklifi dan Berbagai Jenis Hukumnya yang Ada!

Pengertian Hukum Taklifi
Written by ziaggi

Pengertian hukum taklifi – Halo sobat Grameds, apakah kalian mengetahui hukum Islam? Secara terminologi (istilah), hukum islam adalah ajaran Allah tentang mukallaf berupa permintaan (perintah, larangan), anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan atau takhyir (kemampuan untuk memilih antara yang harus dilakukan atau yang harus tidak dilakukan), atau wad’i (menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau halangan).

Jika makna hukum relevan dengan Islam, maka hukum Islam adalah sejumlah aturan dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, mengatur perilaku manusia yang diakui, dipercaya, dan dihormati oleh umat Islam.

Dari segi terminologi, Menurut bapak Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa hukum Islam adalah kumpulan upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariah pada kebutuhan masyarakat. Sementara itu, An-Na’im berpendapat bahwa hukum Islam termasuk urusan kepercayaan, ibadah (ritual), moralitas dan hukum.

Uraian ini menunjukkan bahwa hukum Islam mencakup berbagai persoalan kehidupan manusia, baik urusan dunia maupun urusan akhirat. Sumber utama hukum Islam adalah wahyu ilahi dan akal manusia. Identitas ganda hukum Islam ini ditemukan dalam dua nama Arabnya, syari’ah dan fiqih.

Syari’ah memiliki hubungan yang lebih besar dengan wahyu ilahi, sedangkan fiqih adalah produk akal manusia atau pengetahuan tentang istilah-istilah Syari’ah yang sebenarnya diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Oleh karena itu, hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama, ketentuan (hukum) Islam jelas dan rinci, seperti urusan ibadah, perkawinan, ketentuan waris, dll. Bagian ini adalah wilayah syari’ah. Kedua, ketentuan Islam dibangun melalui pembusukan akal. Bagian ini adalah wilayah fiqih.

Dalam hukum Islam, ada dua jenis hukum yang diberlakukan bagi mukallaf (mereka yang telah memenuhi syarat untuk menaati hukum), yang pertama adalah taklifi dan yang kedua adalah wadh’i.

Hukum ini digunakan oleh mukallaf sebagai dasar panduan untuk ibadah. Hukum taklifi secara kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan secara terminologi adalah perintah Allah berupa pilihan dan permintaan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini berkaitan langsung dengan perbuatan seorang mukallaf (baligh dan akal sehat).

Syarat tersebut disebabkan karena hukum taklifi mewajibkan mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan dengan pasti. Pembahasan hukum taklifi merupakan salah satu dari sekian banyak kajian Ushul Fiqh. Padahal, salah satu tujuan utama pembahasan Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum taklifi secara pasti.

Oleh karena itu, kedudukan hukum taklifi‘ begitu penting dalam pembahasan hukum islam. Maka artikel ini akan membahas tentang pengertian hukum taklifi, jenis-jenis, dan fungsi menurut ajaran agama islam. Jika sobat Grameds belum mengetahui tentang hukum taklifi, ayo simak penjelasannya!

Pengertian Hukum Taklifi

Pengertian Hukum Taklifi

Sumber: Tirto.id

Hukum taklifi adalah hukum yang mempunyai makna tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan diantara yang dikerjakan maupun yang ditinggalkan. Dengan kata lain hukum taklifi adalah yang dituntut melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat dan tidak memperbuat.

Hukum taklifi adalah kitab (firman) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik secara bentuk tuntunan kebolehan, atau menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau mani’.

Hukum tersebut juga mencakup tata cara, larangan, dan izin seorang mukallaf. Misalnya, shalat adalah wajib bagi semua umat Islam, zina dilarang dan tidur diperbolehkan.

Istilah halal, haram, wajib, sunnah, dll. merupakan bagian dari hukum taklifi dalam Islam. Pemaksaan hukum ditujukan terhadap umat Islam. Mukallaf adalah orang dewasa atau cukup tua dan pantas (tidak gila atau hilang kesadaran). Dengan kata lain, anak kecil atau orang yang mengalami gangguan jiwa akut hingga pikirannya terganggu tidak menjadi beban hukum taklifi.

Hukum sangat penting untuk mengukur kepercayaan setiap orang. Oleh karena itu, hukum bersifat mutlak dan harus dipatuhi serta ditegakkan tanpa henti.

Pengertian Hukum Taklifi

Hukum taklifi sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya adalah hukum yang berlaku dan harus dipatuhi dalam Islam bagi mereka yang telah dikenai syarat-syarat hukum taklifi, yaitu sudah dewasa atau sudah berakal baligh, karena hukum taklifi berkaitan dengan perintah dan larangan Allah. SWT.

Hukum ini pada dasarnya berkaitan dengan perintah Allah SWT. Yang penting adalah mengatur orang sehingga mereka harus melakukan sesuatu, menyelesaikannya, dan meninggalkannya. Karena akar amal dari perilaku manusia berasal dari melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian, hukum ini bersumber dari semua hukum syara atau hukum yang bersumber dari landasan hukum.

Jenis-Jenis Hukum Taklifi

Golongan Hanafiah membagi hukum taklifi menjadi tujuh jenis, yaitu dengan membagi firman untuk melakukan suatu perbuatan dengan syarat yang pasti menjadi dua bagian, yaitu fardhu dan ijab.

Menurut golongan ini, jika suatu perintah didasarkan pada dalil qath’i, seperti dalil Al-Qur’an dan hadits mutawatir, maka perintah itu disebut fardhu. Namun, jika perintahnya berdasarkan dalil zhanni maka disebut ijab. Begitu juga larangannya.

Jika larangan itu didasarkan pada dalil-dalil yang konyol, maka disebut karahah tahrim. Dengan pembagian seperti itu, golongan Hanafi membagi hukum taklifi menjadi fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb dan ibahah.

Walaupun golongan kedua ini membagi hukum taklifi menjadi tujuh jenis, namun pada umumnya para ulama sepakat membagi hukum tersebut menjadi lima jenis sebagaimana yang tersebut di atas.

Kelima jenis hukum tersebut mempunyai pengaruh terhadap perbuatan mukallaf dan akibat ini dikenal oleh para ahli fikih sebagai al-ahkam al-khamsah, yaitu wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Berikut penjelasannya:

1. Wajib (Ijab)

Para ahli ushul memberikan pengertian wajib menurut syara, yaitu apa yang dituntut oleh syara agar dilakukan oleh mukallaf atas permintaan yang tegas dan akan diganjar pahala dan jika diabaikan akan mendapatkan dosa, ijab ini dapat diketahui dengan lafal atau dengan tanda-tanda lain (qarinah).

Wajib yang ditentukan dapat dilihat melalui lafal seperti dalam bentuk lafaz amar (perintah) dalam firman Allah: “… dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha:14).

Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu  ” (QS. Al-Baqarah: 183).

Pengertian Hukum Taklifi

Dilihat dari banyak segi, wajib dibagi menjadi empat. Ditinjau dari sudut pandang tertentu apakah perbuatan tersebut itu wajib atau tidak, wajib dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Wajib Mu’ayyan adalah sesuatu yang perbuatannya telah ditentukan,contohnya seperti membaca surat al-Fatihah dalam shalat.
  2. Wajib Mukhayyar, yaitu mereka yang dapat memilih salah satu dari sekian banyak jenis perbuatan yang ditentukan. Misalnya, sumpah kafarat menawarkan tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau membebaskan para budak.

Dilihat dari segi waktu untuk melakukannya dan waktu yang tersedia untuk melakukan apa yang dibutuhkan. Wajib ini dapat dibagi menjadi dua kategori,yaitu:

  1. Wajib Muwassa, yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan apa yang diwajibkan lebih luas atau lebih lama dari waktu pelaksanaan kewajiban ini. Misalnya, shalat Dzuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat Dzuhur jauh lebih besar daripada waktu yang digunakan untuk melaksanakan shalat Dzuhur. Sangat penting bahwa itu dapat dilakukan di awal waktu atau di tengah waktu atau di akhir waktu. Menurut para ulama, jika muwassa’ diharuskan dilakukan di tengah atau di akhir waktu, seseorang harus berniat setelah waktunya tiba (awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya sampai waktu yang diinginkan sebagai pengabaian waktu.
  2. Wajib Mudhayyaq, yaitu mereka yang memiliki waktu luang yang sama atau sama dengan waktu untuk menunaikan kewajiban ini, seperti puasa Ramadhan. Puasa itu sendiri menempati semua hari di bulan Ramadhan. Inilah mengapa kewajiban mudhayyaq tidak dapat ditunda dalam waktu yang tersedia untuk pelaksanaannya.

Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, dibagi menjadi dua bagian:

  1. Wajib Ain adalah syarat-syarat untuk melakukan satu perbuatan setiap mukallaf dan tidak dapat diganti dengan yang lain, seperti kewajiban melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji. Kewajiban ini disebut juga dengan fardu ‘ain.
  2. Wajib Kifayah adalah kewajiban yang dikenakan pada sekelompok orang dan jika seseorang memenuhi permintaan dianggap terpenuhi, dan jika tidak ada yang melakukannya, kelompok tersebut melakukan kejahatan seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat jenazah, pembangunan rumah sakit, sekolah, dll.

Dilihat dari segi rasio (jumlah) dan bentuk kerugian dibagi menjadi dua:

  1. Wajib Muhaddad, adalah apa yang ditentukan oleh syara’ berupa perbuatan yang diminta dan mukallaf dianggap lalai memenuhi permintaan itu sebelum melaksanakannya seperti yang diminta oleh syara’ atau sebaliknya merupakan kewajiban yang kadarnya atau kuantitas telah ditentukan.  Misalnya shalat, zakat dan pelunasan hutang. Shalat lima langkah memiliki waktu, jumlah rakaat, rukun dan syarat. Zakat telah didefinisikan untuk jenis-jenis barang yang harus disediakan dan jumlah zakat yang harus dibayarkan. Wajib muhaddad jika tidak dilaksanakan akan menjadi hutang dan dapat dirampas.
  2. Wajib Ghairu Muhaddad adalah perbuatan wajib dan pilihan, yang tidak menentukan cara pelaksanaan dan tenggat waktu atau kewajiban yang tidak menentukan jumlah batasan, seperti infaq fi sabilillah, membantu orang yang ingin membantu, saling membantu, dll.

Wajib ghairu muhaddad, jika tidak dipaksakan, tidak menjadi hutang dan tidak dapat dipaksakan. Menurut Amir Syarifuddin dalam ushul fiqh mengatakan bahwa hukum taklifi paksaan adalah: Meminta untuk melakukan sesuatu yang aman, artinya sesuatu yang jika dilakukan akan mendapat pahala dan jika menyerah akan diancam oleh Allah SWT, dikenal dengan istilah “wajib”.

2. Sunnah (Mandub)

Para ahli ushul mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mandub adalah apa yang disyaratkan syara untuk membuat mukallaf, tetapi syaratnya tidak terlalu ketat , tidak ada terkena hukuman atau dosa (‘iqab).

Perbuatan mandub dapat dikenali dari lafal yang dicantumkan dalam teks seperti kata sunah atau dianjurkan atau diberikan sebagai peringatan tetapi ada indikasi bahwa itu diwajibkan tidak meluas dari teks itu sendiri.

Ulama mazhab Hanafi menyamakan pengertian sunnah dan nafal dengan mandub, menurut mereka ada tiga jenis mandub, yaitu:

  1. Sunnah Hadyi adalah perbuatan yang ditahbiskan untuk melakukan perbuatan-perbuatan wajib seperti adzan dan shalat berjamaah. Orang yang meninggalkan perbuatan yang seperti ini dikatakan tersesat dan tercela dan kalau seandainya seisi kampung bersepakat meninggalkannya maka mereka dapat diperangi.
  2. Sunnah Zaidah adalah semua perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan sebagai sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti jejak nabi sebagai manusia biasa seperti makan, minum, tidur dll. dan jika tindakan itu dilakukan maka menjadi baik bagi mukallaf dan jika dihilangkan tidak dapat dikatakan makruh.
  3. Sunnah Nafal adalah perbuatan yang dianjurkan dilakukan selain perbuatan wajib dan sunnah seperti shalat sunat. Jika Anda bisa melakukan ini, Anda akan pahala jika Anda berhenti, Anda tidak akan dihukum, tidak pula dicela.

Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:

  1. Sunnah ‘ain, adalah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk dilakukan, misalnya shalat sunnah rawatib.
  2. Sunnah kifayah adalah segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah satu saja dari suatu kelompok, misalkan seperti mengucapkan salam, mendoakan orang bersin, dan lain sebagainya.

3. Haram (Tahrim)

Para ulama ushul mengatakan bahwa apa yang diatur oleh syara dilarang, yang tidak dapat dilakukan dalam kondisi yang keras.” Dengan kata lain, itu dilarang dan jika Anda melakukannya dan Anda akan dihukum, dan jika ditinggalkan Anda akan mendapat pahala.

Secara garis besar, Haram terbagi menjadi dua bagian:

  1.  Haram Lidzatihi adalah haram dalam perbuatan itu sendiri atau haram dalam substansinya. Haram seperti itu pada dasarnya dilarang sejak awal. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dll.
  2. Haram Li ghairihi, haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang belakangan. Misalnya, jual beli yang semula dibolehkan menjadi haram, ketika azan salat Jumat terdengar. Demikian pula puasa wajib Ramadhan yang semula menjadi haram karena puasa menimbulkan rasa sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Hal yang sama berlaku untuk orang lain.

Ulama mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua jenis, yang dilihat berdasarkan kekuatan dalil yang mendukungnya:

  1. Haram yang ditetapkan oleh Dalil Qath adalah Al Quran, Sunnah Mutawatir dan Ijma Harm. Haram yang ditetapkan dengan dalil qath ini adalah kebalikan dari fardhu. Misalnya larangan zina seperti yang dijelaskan dalam surat Al Isra ayat 32.
  2. Haram yang ditetapkan dengan dalil-dalil zanni seperti hadits ahad dan kias dan haram seperti ini bertentangan dengan wajib atau juga karahiyatul tahrim. Misalnya, laki-laki dilarang memakai perhiasan emas dan kain sutera.

Menurut Amir Syarifuddin ia mengatakan bahwa hukum taklifi tentang haram yaitu :Tuntutan untuk meninggalkan secara jelas, yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat dosa dari Allah Swt dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”.

Ulama hanafiyah mendefinisikan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pasti dapat ditetapkan oleh dalil dalil zhanni yang disebut karahah tahrim.

4. Makruh (Karahah)

Menurut ulama Ushul, Makruh adalah apa yang dibutuhkan syara untuk dilakukan, tetapi tidak bersifat haram atau dengan kata lain, sesuatu yang diharamkan namun tidak akan dosa jika dilakukan. Misalnya merokok, makan makanan yang menimbulkan bau tak sedap, dll.

Umumnya para ulama membagi makruh menjadi dua bagian:

  1. Makruh Tanzih, yaitu semua tindakan yang dihilangkan lebih baik daripada dilakukan.
  2. Makruh Tahrim, yaitu semua perbuatan yang dilarang tetapi pembenaran larangannya adalah zhanni, bukan qath’i. Misalnya bermain catur, makan ikan, dan makan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).

Menurut Amir Syarifuddin, hukum taklifi tentang makruh berbunyi: Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.

5. Mubah (Ibahah)

Apa arti Mubah menurut ulama Ushul: “apa yang memberi mukallaf kebebasan untuk memilih apakah akan melakukannya atau tidak.”

Mubah dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: 36, yang syara nya menjelaskan kemampuannya untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat

  1. Kemampuannya tidak dijelaskan, tetapi syara’ menyatakan bahwa ia dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi mereka yang melakukannya
  2. Sama sekali tidak dijelaskan dengan baik bahwa kebolehan melakukan hal seperti itu, hal tersebut berakar pada kaidah Bara’atul Ashliyah.

Menurut Amir Syarifuddin ia mengatakan bahwa hukum taklifi tentang mubah adalah sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Oleh karena itu, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan,. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang.

Hukum dalam jenis ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”. Contohnya: melaksanakan perburuan setelah melaksanakan tahallul dalam ibadah haji dan lain-lain.

Penutup

Demikian ulasan mengenai pengertian hukum taklifi beserta jenis-jenisnya. Buat Grameds yang mau memahami tentang pengertian hukum taklifi lainnya, kamu bisa mengunjungi Gramedia.com untuk mendapatkan buku-buku tentang hukum taklifi

Sebagai #SahabatTanpaBatas, Gramedia selalu memberikan produk terbaik, agar kamu memiliki informasi terbaik dan terbaru untuk kamu. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Penulis: Ziaggi Fadhil Zahran

Baca juga:

Memahami Hukum Waris Islam: Syarat, Rukun, dan Cara Pembagiannya yang Adil

Memahami 4 Sumber Hukum Islam yang Telah Disepakati Lebih Dalam

Pengertian Ittiba: Dasar Hukum, Tujuan, Jenis, dan Kedudukannya Dalam Syariat Islam

Pembagian Warisan Dalam Islam: Tata Cara, Syarat, dan Ketentuannya

Mad Farqi: Definisi, Cara Membaca, Contoh, dan Hukum Bacaan Mad Lainnya

About the author

ziaggi