in , ,

Cara Menghadapi Anak Tantrum dengan Efektif: Panduan Lengkap untuk Orang Tua

cara menghadapi anak tantrum – Hai, Grameds! Pernahkah kamu berada di situasi di mana si kecil tiba-tiba menangis keras, menjerit, atau berguling di lantai karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan?

Mungkin di pusat perbelanjaan, di rumah, atau bahkan di tempat umum yang ramai? Jika iya, tenang saja karena kamu tidak sendirian. Banyak orang tua mengalami hal yang sama, dan kondisi ini dikenal dengan istilah tantrum.

Tantrum adalah bagian alami dari proses tumbuh kembang anak, terutama di usia 1–5 tahun. Namun, meskipun wajar, menghadapi anak tantrum tetap bisa membuat stres dan menguras emosi.

Oleh karena itu, penting bagi setiap orang tua untuk memahami cara menghadapi anak tantrum dengan tepat, bukan hanya agar anak tenang kembali, tapi juga agar mereka belajar mengelola emosi sejak dini.

Yuk, Grameds, kita bahas bersama secara lengkap dan mendalam bagaimana menghadapi, memahami, serta mencegah tantrum agar hubungan antara orang tua dan anak tetap hangat dan harmonis.

Cara Menghadapi Anak Tantrum dengan Efektif

Tantrum terkadang bikin orang tua kesal dan lelah, namun perlu strategi agar emosi anak bisa diredam. Berikut langkah-langkah yang bisa Grameds lakukan:

1. Tetap Tenang dan Jangan Panik

Kunci pertama menghadapi anak tantrum adalah mengendalikan diri sendiri. Emosi anak mudah menular. Semakin panik atau marah orang tua, semakin parah pula reaksi anak. Jadi, tarik napas dalam-dalam dan usahakan tetap tenang.

Ketika Grameds menunjukkan ketenangan, anak akan merasa lebih aman dan perlahan mengikuti energi positif tersebut. Hindari membentak atau memarahi anak, karena itu hanya akan membuat mereka merasa takut dan tidak dipahami.

2. Biarkan Anak Menyalurkan Emosi

Grameds mungkin tergoda untuk segera menghentikan tangisan anak. Namun, memaksa anak diam sering kali malah memperpanjang tantrum.

Biarkan anak menyalurkan emosinya sampai mereda. Dalam fase ini, peran Grameds adalah menjadi pendengar yang tenang.

Terkadang, cukup dengan duduk di dekatnya tanpa berkata apa-apa, anak akan mulai merasa lebih aman dan akhirnya berhenti menangis sendiri. Setelah mereka tenang, barulah Grameds bisa mengajaknya bicara.

3. Gunakan Bahasa yang Sederhana dan Lembut

Setelah tantrum mulai mereda, bantu anak mengenali perasaan mereka dengan bahasa yang sederhana. Misalnya:

“Kakak marah karena nggak boleh main gadget, ya?”

“Mama ngerti kok, kamu lagi sedih.”

Dengan begitu, anak merasa dipahami dan mulai belajar memberi nama pada emosi mereka. Ini langkah awal menuju kecerdasan emosional yang baik.

4. Ajak Anak Mengalihkan Perhatian

Jika tantrum mulai meningkat, cobalah mengalihkan perhatian anak dengan aktivitas lain. Misalnya membaca buku, menggambar, atau bermain permainan yang mereka sukai. Pengalihan ini membantu anak fokus pada hal positif dan melupakan pemicu emosinya.

5. Beri Pujian Saat Anak Mulai Tenang

Jangan lupa memberikan apresiasi setelah anak mulai bisa menenangkan diri. Pujian kecil seperti:

“Mama bangga kamu bisa tenang lagi.”

“Wah, kamu hebat banget bisa sabar.”

Pujian positif seperti ini membangun rasa percaya diri anak dan memperkuat perilaku baik. Anak jadi tahu bahwa mereka dihargai bukan karena tidak marah, tapi karena berusaha mengendalikan diri.

Mengenal Tantrum Pada Anak

Perbedaan Tantrum dan Marah pada Anak

Banyak orang tua sering mengira tantrum dan marah itu sama, padahal keduanya berbeda baik dari sisi penyebab, bentuk emosi, maupun cara menanganinya. Yuk kita bahas perbedaannya secara jelas dan mudah dipahami.

Aspek Tantrum Marah
Pengertian Tantrum adalah ledakan emosi yang tidak terkontrol, biasanya disertai tangisan keras, teriakan, berguling di lantai, atau memukul benda. Ini adalah reaksi emosional spontan karena anak belum bisa mengelola atau mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Marah adalah emosi alami yang muncul ketika seseorang merasa kecewa, tersakiti, atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Anak masih bisa sadar dan mengontrol diri saat marah ringan.
Usia Umum Terjadi Paling sering terjadi pada balita (1–5 tahun) karena kemampuan bicara dan regulasi emosinya belum matang. Bisa terjadi di segala usia, bahkan pada anak yang sudah lebih besar atau remaja.
Bentuk Reaksi Biasanya melibatkan perilaku fisik ekstrem, seperti menangis histeris, menjerit, menendang, atau melempar barang. Anak kehilangan kendali penuh. Reaksi marah bisa berupa ekspresi wajah kesal, suara meninggi, atau menolak berbicara. Tapi anak masih bisa dikendalikan atau diajak bicara.
Kesadaran Diri Anak Saat tantrum, anak tidak sepenuhnya sadar akan tindakannya. Mereka terbawa emosi dan sulit mendengar nasihat orang lain. Saat marah, anak masih sadar dengan apa yang ia lakukan, meski emosinya kuat. Mereka bisa merespons ajakan bicara jika dilakukan dengan lembut.
Lama Waktu Terjadi Umumnya berlangsung 5–15 menit, tapi bisa lebih lama jika tidak ditangani dengan tenang. Setelah reda, anak sering tampak lelah. Marah bisa berlangsung lebih singkat dan reda setelah anak merasa dimengerti atau keinginannya dijelaskan.
Cara Mengatasinya Orang tua perlu tetap tenang, memberi ruang, dan memvalidasi emosi anak. Fokusnya adalah membantu anak belajar mengenal emosi. Ajak anak berkomunikasi, bantu mereka mengungkapkan apa yang membuat kesal, dan ajarkan cara menyelesaikan masalah dengan kata-kata.

Jadi, Grameds:

Tantrum adalah ledakan emosi tanpa kontrol, biasanya karena anak belum mampu menyalurkan perasaan dengan kata-kata.

Sedangkan marah adalah emosi normal yang bisa muncul kapan saja, tapi masih bisa dikendalikan dan disalurkan dengan cara yang tepat.

Kesalahan yang Harus Dihindari Saat Anak Tantrum

Kadang, tanpa sadar, orang tua justru melakukan hal-hal yang memperburuk situasi. Yuk, Grameds, hindari kesalahan umum ini:

1. Membentak atau Menghukum Anak Saat Tantrum

Ketika anak sedang tantrum, mereka sebenarnya tidak sedang “melawan” orang tua, tapi sedang kewalahan dengan emosinya sendiri. Otak bagian depan (yang mengatur logika dan kendali diri) belum berkembang sempurna, jadi mereka belum bisa berpikir rasional.

Namun sayangnya, banyak orang tua yang spontan membentak, memukul, atau mengancam agar anak cepat diam.

Contohnya:

“Berhenti nangis! Kalau enggak, Mama tinggal di sini!”

atau “Kamu ini nakal banget, ya! Mau dihukum?”

Dampak pada anak:

  • Anak takut bukan karena sadar kesalahannya, tapi karena merasa terancam.
  • Mereka belajar bahwa emosi itu salah dan tidak boleh ditunjukkan.
  • Dalam jangka panjang, anak bisa menjadi tertutup, penakut, atau suka memendam perasaan.
  • Di sisi lain, ada juga anak yang meniru gaya marah orang tua dan tumbuh menjadi pribadi yang mudah meledak dan agresif saat kesal.

Cara yang seharusnya:

  • Alih-alih membentak, Grameds bisa berkata dengan tenang:

“Mama tahu kamu marah karena mainannya rusak. Yuk, Mama bantu cari cara supaya kamu bisa memperbaikinya.”

  • Nada lembut membantu anak merasa dipahami, bukan disalahkan.

2. Menyerah Demi Menghentikan Tangisan

Grameds pasti pernah berada di situasi seperti ini: anak menangis kencang di mal, semua orang memperhatikan, dan akhirnya Grameds menyerah lalu membelikan mainan atau permen hanya supaya anak berhenti menangis.

Sekilas ini terasa seperti solusi cepat, tapi sebenarnya justru menanamkan kebiasaan buruk.

Dampak pada anak:

  • Anak belajar bahwa tantrum adalah cara efektif untuk mendapatkan apa yang mereka mau.
  • Setiap kali keinginannya ditolak, mereka akan mengulangi perilaku itu lagi.

Di masa depan, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kurang sabar, sulit menerima penolakan, dan merasa semua harus berjalan sesuai keinginannya.

Contohnya:

Anak berteriak karena ingin beli es krim sebelum makan. Orang tua menyerah dan membelikan. Besoknya, anak mengulang hal yang sama karena tahu “strategi” itu berhasil.

Cara yang seharusnya:

Tegas tapi lembut. Misalnya:

“Mama tahu kamu mau es krim, tapi kita makan dulu, ya. Setelah itu baru boleh.”

Dengan cara ini, anak belajar tentang batasan dan kesabaran, tapi tetap merasa didengarkan.

3. Mempermalukan Anak di Depan Orang Lain

Kadang karena malu di depan orang banyak, orang tua jadi spontan memarahi atau mempermalukan anak yang sedang tantrum.

Contohnya:

“Aduh, malu banget Mama punya anak kayak kamu!”

“Lihat tuh, semua orang jadi lihat kamu! Malu nggak?”

Padahal, bagi anak kecil, ucapan seperti ini sangat menyakitkan dan bisa meninggalkan bekas di hati mereka.

Dampak pada anak:

  • Anak merasa tidak berharga dan malu dengan dirinya sendiri.
  • Mereka jadi takut menunjukkan perasaan di depan orang lain.
  • Dalam jangka panjang, bisa tumbuh rasa rendah diri dan sulit percaya diri.
  • Anak belajar menekan emosi, bukan mengelolanya, yang nanti bisa muncul dalam bentuk stres atau perilaku agresif saat lebih besar.

Cara yang seharusnya:

Jika anak tantrum di tempat umum, Grameds bisa bawa anak ke tempat yang lebih tenang tanpa banyak bicara di depan orang lain.

“Ayo, sayang, kita cari tempat yang sepi dulu, ya. Mama tahu kamu kesal, tapi kita ngobrolnya di sana aja.”

Dengan begitu, anak tetap merasa dihormati dan Grameds bisa menenangkan mereka tanpa tekanan sosial dari sekitar.

4. Mengabaikan Sepenuhnya Tanpa Empati

Beberapa orang tua mengira solusi terbaik adalah diam saja dan membiarkan anak tantrum sampai lelah sendiri. Padahal, ini bisa jadi bumerang jika dilakukan tanpa empati.

Memang benar, anak perlu waktu untuk menenangkan diri, tapi mengabaikan total tanpa menunjukkan kehadiran justru membuat anak merasa ditinggalkan.

Contohnya:

Anak menangis kencang di kamar, tapi orang tua membiarkannya sendirian tanpa kata-kata, tanpa pelukan, tanpa perhatian.

Dampak pada anak:

  • Anak merasa tidak aman secara emosional.
  • Mereka bisa berpikir bahwa perasaan mereka tidak penting.
  • Dalam jangka panjang, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain atau menyembunyikan perasaan.

Cara yang seharusnya:

Berikan ruang dengan kehadiran lembut.

“Mama di sini, ya. Kalau kamu udah siap, kita bisa ngobrol.”

Kalimat sederhana seperti ini memberi anak rasa aman sehingga mereka tahu bahwa orang tuanya tidak meninggalkan mereka, hanya menunggu sampai siap berbicara.

Inti dari Semuanya: Anak Butuh Dirasakan, Bukan Dihentikan

Grameds, setiap kali anak tantrum, hal paling dibutuhkan sebenarnya bukan solusi cepat, tapi pemahaman dan validasi emosi.

Ketika anak merasa dimengerti, mereka perlahan akan belajar bahwa:

“Aku bisa marah, tapi aku juga bisa tenang lagi.”

Sebaliknya, jika anak sering dibentak, dipermalukan, atau diabaikan, mereka akan belajar:

“Perasaanku salah.”

“Aku tidak boleh menunjukkan emosi.”

Dan itu bisa menjadi beban emosional hingga dewasa.

 

Apa Itu Tantrum?

Tantrum adalah ledakan emosi yang terjadi ketika anak merasa frustrasi, marah, lelah, atau tidak mampu mengekspresikan perasaan dengan kata-kata. Kondisi ini sangat umum terjadi pada balita karena pada usia tersebut kemampuan komunikasi mereka masih berkembang.

Saat anak belum bisa menyampaikan apa yang mereka rasakan, satu-satunya cara mereka bereaksi adalah melalui tangisan, teriakan, atau bahkan memukul dan melempar barang.

Secara psikologis, tantrum merupakan bentuk ekspresi emosi yang belum terkontrol. Bukan karena anak “nakal”, melainkan karena mereka sedang belajar memahami emosi mereka sendiri. Itulah sebabnya, tugas utama orang tua bukan memarahi atau menghentikan tantrum secara paksa, melainkan membimbing anak agar mampu mengelola emosinya dengan sehat.

Penyebab Anak Tantrum

Grameds, sebelum kita tahu cara menghadapinya, penting juga memahami apa yang biasanya menyebabkan anak tantrum. Beberapa penyebab umum antara lain:

Anak belum bisa mengungkapkan emosi dengan kata-kata

Balita sering merasa frustrasi ketika mereka tidak bisa mengungkapkan apa yang mereka inginkan. Misalnya, mereka ingin minum susu tapi tidak tahu bagaimana mengatakannya dengan jelas.

Kelelahan atau lapar

Kondisi fisik yang tidak nyaman, seperti lelah atau lapar, bisa memicu tantrum dengan cepat. Sama seperti orang dewasa, anak juga bisa kehilangan kesabaran saat tubuh mereka lemah.

Keinginan yang tidak terpenuhi

Saat orang tua menolak permintaan seperti mainan, makanan, atau aktivitas tertentu, anak bisa merasa kecewa dan marah, lalu melampiaskannya melalui tantrum.

Ingin menarik perhatian

Kadang anak melakukan tantrum untuk mendapatkan perhatian, terutama jika mereka merasa kurang diperhatikan atau cemburu terhadap saudara kandungnya.

Perubahan rutinitas

Anak-anak sangat menyukai rutinitas yang konsisten. Perubahan kecil seperti jam tidur yang berbeda atau tempat baru bisa membuat mereka gelisah dan berujung pada tantrum.

Dengan mengenali penyebabnya, Grameds akan lebih mudah memahami konteks di balik perilaku anak dan bisa merespons dengan lebih sabar.

Buku Tanya Jawab Anak Cerdas: Emosi

Tips Mencegah Tantrum di Masa Depan

Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati, bukan begitu, Grameds? Berikut beberapa langkah yang bisa membantu mengurangi frekuensi tantrum:

Buat rutinitas harian yang konsisten.

Anak merasa aman ketika mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jam tidur, makan, dan bermain yang teratur bisa mengurangi stres emosional.

Ajarkan anak mengenali emosi.

Ajak anak mengenal berbagai perasaan: senang, sedih, marah, takut, dan kecewa. Grameds bisa menggunakan permainan atau buku cerita untuk membantu mereka memahami konsep emosi.

Berikan pilihan kepada anak.

Anak sering tantrum karena merasa tidak punya kendali. Beri mereka pilihan kecil seperti, “Kamu mau pakai baju warna biru atau merah?” Dengan begitu mereka belajar mengambil keputusan dengan cara positif.

Perhatikan tanda awal sebelum tantrum muncul.

Jika anak mulai menunjukkan tanda gelisah atau rewel, segera arahkan ke aktivitas tenang seperti menggambar atau membaca buku favorit.

Tunjukkan contoh pengendalian emosi.

Anak belajar dengan meniru. Ketika Grameds marah tapi tetap bicara dengan tenang, anak akan meniru pola itu dalam situasi serupa.

Kapan Harus Meminta Bantuan Profesional?

Meskipun tantrum adalah hal normal, ada kalanya Grameds perlu berkonsultasi dengan profesional, terutama jika:

  • Tantrum terjadi terlalu sering (lebih dari 3–4 kali per hari).
  • Anak menjadi agresif, melukai diri sendiri atau orang lain.
  • Tantrum masih berlanjut hingga usia di atas 7 tahun.
  • Anak sulit berkomunikasi atau tidak merespons saat diajak bicara setelah tantrum.

Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya Grameds berkonsultasi ke psikolog anak. Dengan bantuan profesional, penyebab tantrum bisa dipahami lebih dalam, dan Grameds akan mendapatkan strategi yang sesuai dengan karakter si kecil.

Kesimpulan

Grameds, menghadapi anak tantrum memang bukan hal mudah. Tapi ingat, tantrum bukan tanda bahwa anak nakal atau orang tua gagal. Justru tantrum adalah bagian penting dari proses belajar mengelola emosi.

Kunci utamanya adalah kesabaran, empati, dan konsistensi. Tetap tenang, dengarkan anak, dan bantu mereka menamai perasaan yang muncul. Hindari membentak atau memanjakan, dan selalu beri apresiasi atas usaha mereka menenangkan diri.

Jika dilakukan dengan cinta dan kesadaran, setiap tantrum bisa menjadi momen berharga bagi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat secara emosional.

Dan tentu saja, Grameds bisa memperdalam pemahaman tentang pengasuhan, kecerdasan emosional, serta tumbuh kembang anak melalui berbagai buku parenting terbaik di Gramedia.com

Jadi, tetaplah tenang, penuh cinta, dan terus belajar bersama anak, ya, Grameds!

Written by Vania Andini