Agama Islam

Gharimin Adalah Orang yang Memiliki Hutang dan Berhak Menerima Zakat

Gharimin Adalah
Written by Yufi Cantika

Gharimin adalah – Sobat Grameds, Zakat merupakan salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh umat Islam karena merupakan rukun Islam yang keempat. Pembayaran zakat adalah wajib bagi setiap orang yang hartanya telah mencapai nishab, haul, dan kondisi lainnya.

Dikutip dari buku Panduan Muslim Sehari-hari karangan DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA dan Saiful Hadi El-Sutha, Zakat berasal dari kata zakaa-yazkuu-zakaatan yang berarti suci, tumbuh, baik dan berkembang.

Sedangkan konsep zakat menurut istilah adalah sekumpulan dana yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim yang hartanya telah mencapai nishab bagi yang berhak menerimanya. Perintah zakat tercantum dalam ayat 11 surat At-Taubah.

فَإِن تَابُوا۟ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخْوَٰنُكُمْ فِى ٱلدِّينِ ۗ وَنُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya: “Jika mereka bertaubat, shalat dan membayar zakat, maka (mereka) adalah saudara-saudaramu dalam agama yang sama. Dan Kami jelaskan ayat-ayatnya kepada orang-orang yang mengetahuinya.”

Pembayaran zakat fitrah adalah wajib bagi umat Islam kecuali 8 orang yang termasuk dalam mustahiq. Sebab, ada ayat Al-Qur’an yang membahas tentang golongan orang yang berhak menerima zakat yaitu firman Allah SWT pada Surat At Taubah ayat 60 yang artinya:

“ Sesungguhnya zakat itu hanya untuk golongan orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang mempunyai hutang (Gharimin), untuk orang yang berjuang di jalan Allah dan untuk orang yang sedang melakukan perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”

Namun, tidak semua muslim yang terlilit hutang disebut gharimin. Ada beberapa kriteria untuk menentukan gharim berdasarkan tujuan berhutang. Lalu apa sebenarnya Gharimin itu dan bagaimana ketentuan Zakat Gharimin? Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.

Pengertian Gharimin

Gharimin Adalah

Sumber: Griya Yatim dan Dhuafa

Gharimîn adalah istilah dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang. Secara etimologi, gharimin berarti orang yang berhutang. Sebagai salah satu penerima zakat, para ahli ulama berbeda pendapat dalam menentukan siapa itu gharim. Berikut beberapa pendapat para ahli ulama dalam mengartikan gharimin.

Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki

Menurut Hanafi dan Maliki, gharimin adalah orang yang berhutang tetapi tidak memiliki nisab (harta) lebih besar dari hutangnya. Mendefinisikan gharimin dalam pengertian ini relevan dengan kaum fakir.

Karena menurut Hanafi dan Maliki, fakir adalah syarat untuk semua pengertian zakat, kecuali amil dan ibnu sabill. Jadi, jika dia memiliki harta yang bisa dikembalikan, dia tidak termasuk dalam ghārim.

Gharimin Adalah

Syarat ghārimān untuk dapat menerima zakat adalah mereka beragama Islam, mandiri, bukan Bani Hasyim dan hutangnya bukan untuk tujuan maksiat seperti minum, berjudi dan sebagainya.

Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali

Menurut Syafi’i dan Hambali, gharimin adalah orang-orang Muslim yang berhutang. Kedua mazhab ini membagi ghārim menjadi dua kelompok, yaitu:

Orang yang berhutang uang untuk kepentingan keluarga atau orang yang mereka cintai. Artinya, ia meminjam milik orang lain untuk menenangkan fitnah (pergolakan dan kekacauan) yang terjadi di antara orang yang dicintai, baik fitnah itu antara dua kelompok atau individu. Buktinya ada di sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang muslim dari Qabishah bin Mukhariq, yang artinya:

Mengenai Qabishah Bin Mukhariq, dia berkata: “Saya membawa beban yang berat, lalu saya pergi ke Rasulullah saw, untuk menanyakan apa beban itu.”

Beliau bersabda: “Tunggu wahai Qabishah datang kepada kami dalam zakat dan kami akan memberikannya kepada engkau. Beliau berkata lagi: “Wahai Qabishah, tidaklah halal zakatnya kecuali tiga golongan, pertama, orang yang memikul beban, kemudian halal baginya untuk meminta hingga selesai, sehingga ia berhenti untuk mengemis.” (HR Muslim)

Golongan pertama ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

Orang yang menanggung diyat pembunuhan. Zakat diberikan kepadanya, kaya atau miskin, untuk menanggung hutang guna menghilangkan gangguan (fitnah) yang ada dalam keluarga dan di kalangan pemeluk Islam. Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

Zakat diberikan meskipun dia kaya. Karena dia berhutang untuk kebaikan keluarga. Ini seperti hutang diyat pembunuhan. Pendapat ini dilontarkan oleh imam Syafi‘i, zakat bukan diberikan oleh seseorang yang kaya. Tetapi, karena hutang itu adalah harta yang ditanggungnya bukan pada pembunuhan. Itu disamakan dengan mengambil kepemilikan barang saat membeli dan menjual.

Pendapat ini diungkapkan oleh para pengikut mazhab imam syafi’i, tetapi tidak disebutkan siapa yang berpendapat demikian. Orang yang berhutang demi kebaikan dirinya sendiri. Asalkan dia miskin dan tidak akan digunakan untuk maksiat.

Berbeda dengan dua mazhab sebelumnya, dua. Mazhab itu memahami Lafadh Ghīrim dalam dua golongan. Pertama, orang berhutang untuk kepentingannya dirinya sendiri. Syaratnya, mereka harus miskin.

Kelompok pertama ini sama dengan pendapat dua mazhab sebelumnya. Dua orang yang berkomitmen untuk kebaikan umat Islam, seperti menanggung kematian pembunuhan dan mendamaikan dua kelompok yang bertikai.

Tidak ada persyaratan kemiskinan yang ketat untuk kelompok kedua ini, yang seperti dijelaskan di atas, bergantung pada tingkat manfaat yang diterima. Ini menunjukkan bahwa Syafi’i dan Hambali memahami arti kata ghīrim secara lebih luas. Mereka termasuk dalam konsep orang gharim yang dalam kondisi tertentu berhutang sesuatu untuk dirinya sendiri dan untuk kepentingan orang lain.

Menurut Ulama Tafsir

Menurut al-Tabari

Menurut al-Tabari, ghīrimān adalah orang yang berhutang yang tidak mampu membayar hutangnya karena tidak memiliki harta. Syaratnya, utang tersebut tidak dimaksudkan untuk tujuan maksiat dan mubazir.

Dengan mengacu pada penyebab utang tersebut,  Tabari mengutip beberapa riwayat yang menguatkan pendapatnya. Kisah-kisah yang diceritakannya berisi takdir pertemuan orang yang berhutang. Riwayat-riwayat ini terutama didasarkan pada sahabat. Riwayat-riwayat tersebut adalah:

Banyak orang terlilit hutang karena bencana alam seperti kebakaran rumah dan banjir. Mereka berhutang untuk menghidupi dirinya sendiri, bukan orang yang berhutang karena pemborosan.

Menurut al-Qurthubi

Al-Qurthubi mengatakan, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan ghārim adalah ketidakmampuan orang yang berhutang untuk melunasi utangnya. Menurutnya, istilah ghīrim juga termasuk orang kaya yang berhutang. Jika seseorang memiliki hutang dan tidak memiliki harta untuk membayar, maka dia tergolong ghārim dan fakir.

Dia bisa mendapatkan zakat dari dua senior. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw, yang artinya, dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata:

Pada zaman Rasulullah saw, ada seorang laki-laki yang tertimpa musibah dengan buah yang dibelinya, membuatnya sangat terlilit hutang, maka Nabi saw bersabda kepadanya:

“Lakukan amal untuknya. “Orang-orang memberinya sedekah, tetapi jumlah sedekah yang tersedia tidak cukup untuk melunasi utangnya.”

Rasulullah saw bersabda terhadap orang yang memberi hutang: “Ambillah apa yang ada tersebut, tidak ada lagi untukmu kecuali itu.” (HR. Muslim)

Penjelasan ghārim di atas adalah bagi mereka yang berhutang uang untuk keuntungan pribadi. Selanjutnya, menurut Al-Qurthubi, zakat juga dapat diberikan kepada seorang yang memiliki hutang untuk kepentingan dua orang atau dua kelompok yang berkonflik.

Ia menerima zakat sesuai dengan beban utang yang dibawanya. Karena jika ia membayar kembali hutang tersebut dari hartanya, maka hartanya akan habis. Dalam hal ini, dia mengikuti pendapat Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian gharimin menurut Al-Qurthubi mencakup dua kelompok, yaitu:

Orang yang terlilit hutang untuk kepentingan pribadi, meskipun tidak mampu membayar hutang atau orang kaya yang terlilit hutang. Orang yang kekurangan uang untuk mendamaikan dua orang atau dua kelompok yang berkonflik.

Gharimin Adalah

Berdasarkan penjelasan di atas untuk mengetahui arti kata gharimin, Qurthubi menggunakan hadits dan pendapat para ulama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode penalaran yang digunakannya adalah penalaran bayani.

Menurut Muhammad Rasyid Ridha

Muhammad Rasyid Ridha membagi Gharimin menjadi dua bagian, yaitu:

Orang yang tidak dapat membayar hutangnya karena tidak memiliki harta. Syaratnya bukanlah rasa bersalah atas maksiat dan pemborosan, melainkan rasa bersalah untuk menghilangkan pertikaian antara kedua kelompok tersebut.

Sudah umum di antara orang Arab, bahwa ada perang di antara mereka yang mengharuskan dia dibunuh atau seseorang akan datang untuk membantu; berdonasi dengan mendukung semua diats, sehingga pertikaian akan berakhir.

Diduga kuat kelompok kedua ini tidak terbatas pada orang miskin, tetapi tampaknya diperbolehkan untuk orang kaya. Artinya gharim dalam surat al-Taubah ayat 60 mencakup orang kaya yang terlilit hutang, dengan ketentuan bahwa hutang itu untuk menghilangkan pertengkaran antara dua orang atau dua kelompok.

Karena seseorang tidak dapat menanggung biaya mendamaikan dua pihak yang berkonflik jika dia tidak kaya.

Muhammad Rasyid Ridha mendasarkan pendapatnya pada dua hadits, yaitu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dari Anas dan hadits oleh Muslim yang diriwayatkan oleh Qatīdah bin Mukhīriq seperti yang sudah disebutkan di atas.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa metode penalaran yang digunakan Rasyid Ridha untuk menentukan makna ghārimin adalah dalil bayānā. Ia menggunakan hadits untuk menjelaskan makna ghārimin. Selain itu, ia juga menggunakan ‘urf masyarakat Arab untuk mempertegas makna gharimin yang didefinisikan

Menurut Muhammad Ali Al-Sayis

Muhammad Ali Al-Sayis  dalam menetapkan makna gharimin dengan mengutip pendapat ulama Hanafiah dan Syafi’iyah serta dalil-dalil yang dikemukakan oleh kedua mazhab tersebut. Ulama Hanafiah dan Syafi’iyah berbeda pendapat, tapi Muhammad Ali Al-Sayis memperkuat suatu pendapat tersebut terhadap dua pendapat ulama.

Syarat Seseorang yang Disebut Gharimin

Gharimin Adalah

Sumber: Okezone

Menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir, ia menyebutkan beberapa syarat orang yang disebut Gharimin, berikut dalilnya:

Pertama, orang yang taubat dari maksiat dan itu menyebabkan dia harus terlibat oleh banyak hutang.

Lajnah Daimah menambahkan bahwa yang berhak atas zakat, termasuk al-Gharim, adalah mereka yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, termasuk pangan, sandang, dan papan.

Di salah satu fatwanya dinyatakan:

كأبيه ولأولاده أو زوجته ، أو سيارة يكد ( يعمل ) عليها لينفق من كسبه منها على نفسه، ومن تلزمه نفقته مثلا، وليس عنده مايسدد به الدين : استحق أن يُعطى من مال الزكاة ما يستعين به على قضاء دينه

“Ketika seseorang terlilit hutang karena harus membangun rumah untuk ditinggali, atau membeli pakaian untuk dipakai, atau untuk menghidupi seseorang yang menjadi kewajibannya, seperti ayah, anak atau pasangannya. 

Atau dia membeli mobil untuk digunakan bekerja agar dapat menghidupi dirinya dan keluarganya meskipun dia tidak memiliki harta untuk membayar hutangnya, maka dia berhak atas harta zakat untuk membayar hutangnya.” (Fatwa Lajnah Daimah, 10/9).

Kedua, orang yang menanggung hutang karena menyelesaikan sengketa, sehingga sampai menghabiskan hartanya. Orang sejenis ini, berhak mendapatkan zakat.

Dalilnya adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilaly,

“Saya menanggung hutang, lalu saya pergi ke Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta bantuan.”

“Tunggu, sampai zakat tersedia, biarkan saya memerintahkannya untuk diberikan kepada Anda.”  Jawab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian ketika uang zakat itu datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ

“Wahai Qabishah, mengemis itu tidak halal, kecuali salah satu dari ketiganya, (diantaranya):

Orang yang bertugas menyelesaikan sengketa dapat meminta, dan ketika dia dapat membayarnya, dia tidak dapat meminta-minta lagi.” (Diriwayatkan oleh Muslim 2451 dan Abu Daud 1642)

Ketiga, orang yang bangkrut karena bisnis dan harus terlibat hutang.

Sahabat Abu Said, radhiyallahu ‘anhu, mengatakan bahwa pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang saudagar yang mengalami musibah, barang dagangannya rusak. Pada akhirnya, dia terlilit hutang. Kemudian Nabi (sallallahu ‘alayhi wa sallam) memerintahkan para sahabatnya: “Beri dia zakat.”

Banyak sahabat yang memberikan zakat, namun jumlah itu tidak cukup untuk menutupi hutangnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada orang yang berhutang kepadanya.

خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلاَّ ذَلِكَ

“Ambillah milik orang itu, dan kamu tidak berhak mengambil yang lain.” (HR. Muslim 4064, Abu Daud 3471 dan lainnya).

Kedudukan Gharimin dalam Fiqih

Zakat adalah cara bagi umat Islam dan ibadah untuk mempererat hubungan antar manusia dengan membantu kesulitan orang lain, termasuk mereka yang tidak mampu membayar hutangnya.

Menurut fiqh, membantu orang yang berhutang dengan harta zakat berarti telah mencapai dua tujuan utama, yaitu:

  • Bangun persahabatan dengan orang yang memiliki hutang.
  • Adanya hutang membuat orang itu bingung cara menyelesaikannya. Oleh karena itu, Islam membantunya dengan menutupi hutangnya dan memenuhi kebutuhannya.
  • Menjalin silaturahmi dengan orang yang memiliki hutang dan bantu mereka untuk kepentingan mereka.
  • Di sisi lain, tujuan zakat gharimin adalah untuk menghilangkan riba dari seorang yang memiliki hutang. Sehingga ia tidak perlu menjual kebutuhan pokoknya yang akan membuat hidupnya semakin sulit.

Dalam Islam, posisi gharim penting untuk diperhatikan. Sebab, efek utang tidak hanya terkait dengan kedamaian pribadi, tetapi juga dengan kemajuan moral dan kehidupan seseorang.

Meskipun demikian, Islam selalu menganjurkan menghindari hutang, misalnya dengan melakukan hal-hal berikut:

  • Latih anak atau keluarga Anda untuk hidup sederhana dan menghindari pemborosan.
  • Selalu berusaha untuk tidak berhutang.
  • Jika Anda berada dalam keadaan darurat hutang, maka usahakan benar-benar menepati janji Anda untuk melunasinya.
  • Pada dasarnya gharimin adalah orang yang tidak mampu menunaikan kewajibannya membayar zakat karena hutang. Oleh karena itu, mereka berhak atas zakat gharim. Namun, tidak semua kasus hutang muslim dapat digolongkan dalam kategori ini.

Penutup

Demikian ulasan mengenai pengertian gharimin dan kriterianya. Buat Grameds yang ingin lebih tahu tentang gharimin lainnya kamu bisa mengunjungi Gramedia.com untuk mendapatkan buku-buku terkait.

Sebagai #SahabatTanpaBatas, Gramedia selalu memberikan produk terbaik, agar kamu memiliki informasi terbaik dan terbaru untuk kamu. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Penulis: Ziaggi Fadhil Zahran

BACA JUGA:

Doa Membayar dan Menerima Zakat Fitrah Beserta Artinya

Pengertian Zakat Mal: Syarat dan Cara Menghitungnya

10 Tujuan Zakat serta Pengertian, Kedudukan, dan Manfaatnya!

Bacaan Niat Doa Zakat Fitrah Ketika Membayar Zakat Fitrah

Ketahui Siapa Saja yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika