in

7 Tari Tradisional Aceh Beserta Fakta dan Penjelasannya

Pertunjukan tari Saman di sekitar Candi Borobudur (Fajriboy/Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported).

Tari Tradisional Aceh – Aceh adalah kawasan yang kaya akan budaya, mulai dari seni musik, upacara adat, hingga bangunan bersejarah. Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara.

Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama). Persentase penduduk muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.

Aceh juga memiliki kesenian dan budaya tradisional yang mampu menarik perhatian para turis, salah satunya berupa tarian tradisional. Tarian adat daerah Aceh merupakan aset bangsa di bidang kesenian Nusantara.

Jika dibandingkan dengan tarian tradisional lainnya di seluruh penjuru Nusantara, tari tradisional yang ada di Aceh mempunyai ciri khas yang unik. Sebab, tarian wilayah Indonesia bagian barat ini menyuguhkan sejumlah makna yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, yaitu mengeskpresikan emosi dan budaya lokalnya.

Tari tradisional masyarakat Aceh dikatakan merupakan cerminan jati diri yang harus dipahami oleh semua orang, bukan hanya warga yang tinggal di wilayah Aceh saja. Berdasarkan data dari media.acehprov.go.id, Aceh memiliki 184 tarian yang tersebar di kota dan kabupatennya. Tarian-tarian tersebut mempunyai gerakan dan keunikannya masing-masing yang mampu memesona siapa saja yang menyaksikannya.

Lantas, apa saja tari-tarian tradisional dari Aceh? Berikut akan disajikan penjelasan mengenai beberapa tarian tradisional Aceh dan fakta untik di baliknya, yang diambil dari situs Perpustakaan Digital Budaya Indonesia yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Tari Tradisional Aceh

1. Tari Saman

Tari Tradisional Aceh
Pertunjukan tari Saman di sekitar Candi Borobudur (Fajriboy/Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported).

Tari Saman merupakan salah satu media untuk menyampaikan pesan atau dakwah. Masyarakat setempat menyebut jika tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.

Sebelum pertunjukan Saman dimulai, tampil seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat sebagai pembuka untuk mewakili masyarakat setempat (disebut keketar oleh masyarakat setempat), yang memberikan nasihat-nasihat kepada para pemain dan penonton.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Lagu dan syair pengungkapannya dilantunkan secara bersama-sama dan berkesinambungan. Pemainnya terdiri atas laki-laki yang masih muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut juga dapat dipentaskan atau dipertandingkan antara grup tamu dengan dua grup. adapun penilaiannya dititikberatkan kepada kemampuan masing-masing grup dalam mengikuti gerak, tari, dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.

Tarian Saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian, yaitu tepuk tangan dan tepuk dada. Ketika menyebarkan agama Islam, Syekh Saman diduga mempelajari tarian Melayu kuno, kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair dakwah Islam demi memudahkan dakwahnya. Tari ritual yang bersifat religius ini dalam konteks kekinian masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan.

Tari ini termasuk salah satu tarian yang cukup unik, karena hanya menampilkan gerak tepuk tangan dan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, dan surang-saring (semua gerakan tersebut menggunakan bahasa Gayo).

2. Tari Ratéb Meuseukat

Tari Tradisional Aceh
Tari Ratéb Meuseukat (Perpustakaan Digital Indonesia/Public domain Indonesia).

Nama tari Ratéb Meuseukat berasal dari bahasa Arab, yaitu ratéb asal kata ratib (artinya ibadat) dan meuseukat asal kata sakat (artinya diam). Gerak dan gaya tarian ini diciptakan oleh Wan Rakibah, anak perempuan dari ulama besar Al Qutb Wujud Habib Abdurrahim bin Sayid Abdul Qadir Al-Qadiri Al-Jailani yang dikenal dengan Habib Seunagan.(Nagan Raya), sedangkan ratéb-nya (syair) diciptakan oleh Teungku Chik di Kala, seorang ulama di Seunagan, yang hidup pada abad ke-XIX.

Isi dan kandungan syairnya terdiri atas sanjungan dan puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhamamad Saw. Tari ini dimainkan oleh sejumlah perempuan dengan menggunakan pakaian adat Aceh. Tari tersebut banyak berkembang di daerah Meudang Ara Rumoh Baro di Kabupaten Aceh Barat Daya.

Pada awalnya, tari Ratéb Meuseukat dimainkan sesudah mengaji pelajaran agama pada malam hari. Hal ini tidak terlepas dari fungsinya sebagai media dakwah. Permainannya dilakukan dengan posisi duduk dan berdiri. Pada akhirnya, tari ini juga dipertunjukkan dalam upacara keagamaan, hari-hari besar, upacara perkawinan, dan lain-lainnya yang tidak bertentangan dengan agama Islam.

Saat ini, tarian tersebut telah dikenal oleh masyarakat di wilayah lain. Hal tersebut dikarenakan keindahan, kedinamisan, dan kecepatan gerakannya. Namun, tarian itu sering disalahartikan sebagai tari Saman dari suku Gayo, padahal kedua tarian ini memiliki perbedaan yang sangat jelas.

Perbedaan utama antara tari Ratéb Meuseukat dengan tari Saman ada tiga, yaitu:

  • Tari Saman menggunakan bahasa Gayo, sedangkan tari Ratéb Meuseukat menggunakan bahasa Aceh.
  • Tari Saman dibawakan oleh laki-laki, sedangkan tari Ratéb Meuseukat dibawakan oleh perempuan.
  • Tari Saman tidak diiringi oleh alat musik, sedangkan tari Ratéb Meuseukat diiringi oleh alat musik, yaitu rapa’i dan geundrang.

Tari Tradisional Aceh

3. Tari Guel

Seorang bocah berkostum tari Guel (Fajriboy/Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported).

Tari Guel merupakan salah satu khazanah budaya Gayo di Aceh. Guel sendiri berarti “membunyikan”. Tarian ini memiliki kisah panjang dan unik, khususnya di daerah dataran tinggi Gayo. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan jika tarian ini merupakan gabungan dari seni sastra, musik, dan tari.

Dokumentasi dan literatur tentang tarian ini memang sedikit. Inilah yang menyebabkan tari Guel dalam perkembangannya timbul tenggelam, meskipun menjadi tari tradisi, terutama dalam upacara adat tertentu. Guel merupakan apresiasi terhadap wujud alam dan lingkungan, yang dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama.

Kekompakan antara paduan seni satra, musik, dan gerak dalam tarian memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman dan perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel memiliki filosofi berdasarkan sejarah kemunculannya. Pada rentang tahun 1990-an, tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah peneliti dalam dan luar negeri.

4. Tari Didong

Tari Tradisional Aceh
Penari Didong pada masa Hindia Belanda (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen/Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures).

Tari Didong merupakan sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, musik, dan sastra. Didong muncul sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini berkembang di Takengon dan Bener Meriah. Didong sering dipentaskan pada hari-hari besar Islam. Salah seorang seniman yang peduli terhadap kesenian ini adalah Abdul Kadir To’et.

Pada awalnya, Didong digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, tetapi juga bertujuan agar pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas kehidupan para nabi dan tokoh sesuai dengan ajaran Islam.

Tarian ini mengandung nilai-nilai religius, keindahan, dan kebersamaan. Para ceh dalam ber-didong tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius saja, tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu, dan berperilaku baik. Seorang ceh merupakan seniman yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam.

Pementasan Didong diawali dengan penampilan didong jalu (dua kelompok Didong) di suatu arena pertandingan. Tarian tersebut biasanya dipentaskan di tempat terbuka, terkadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Para seniman dalam hal ini akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya.

Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orde Baru), keindahan alam, maupun kritik-kritik mengenai kelemahan dan  kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, biasanya terdiri atas anggota masyarakat yang memahami Didong secara mendalam

5. Tari Seudati

Tari Seudati yang dipertunjukkan di Samalanga, Bireuen (1907) (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen/Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures).

Tari Seudati merupakan salah satu tarian tradisional yang biasanya ditarikan oleh sekelompok penari laki-laki dengan gerakan yang khas dan enerjik. Tarian tersebut diiringi oleh lantunan syair dan suara hentakan para penari. Tarian ini merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di daerah Aceh dan sering ditampilkan di berbagai acara, baik acara adat, acara pertunjukan, dan acara budaya.

Tari Seudati ini awalnya sering difungsikan sebagai media dakwah. Namun sekarang tarian ini juga difungsikan sebagai tarian pertunjukan. Nama Tari Seudati ini berasal dari kata “Syahadat”, yang berarti “bersaksi”.

Atau dalam Islam diartikan sebagai pengakuan terhadap Tuhan dan Nabi. Hal tersebut juga berkaitan dengan syair-syair yang dilantunkan dalam mengiringi tarian ini. Syair tersebut biasanya berisi tentang kehidupan dan ajaran agama. Selain itu setiap gerakan dalam Tari Seudati ini juga tentu memiliki nilai-nilai dan makna khusus di dalamnya.

Tari Seudati ini biasanya dimainkan oleh para penari pria. Penari tersebut biasanya berjumlah 8 orang penari utama yang terdiri dari satu orang syeh, satu pembantu syeh, dua apeet wie, satu apeet bak dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu dalam tarian ini juga terdapat dua orang lain yang bertugas sebagai pelantun syair yang disebut aneuk syahi.

Gerakan dalam tari Seudati ini sangat khas, enerjik, dan lugas. Gerakan dalam tarian ini didominasi oleh gerakan tangan dan kaki serta didukung dengan pola lantai yang bervariasi. Gerakan yang paling menonjol biasanya gerakan tepuk dada, ketipan jari, jerak tangan dan hentakan kaki yang dilakukan dengan lincah, cepat dan harmonis. Sehingga tak jarang membuat penonton terkagum-kagum menyaksikan pertunjukan tari Seudati ini.

6. Tari Rapa’i Geleng

Tari Tradisional Aceh
Tari Rapa’i Geleng yang ditampilkan oleh Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) di Mesir (Si Gam/Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported).

Tari Rapa’i Geleng merupakan sebuah tarian etnis Aceh yang berasal dari wilayah Aceh Bagian Selatan tepatnya Manggeng, yang sekarang masuk kawasan Kabupaten Aceh Barat Daya. Rapa’i Geleng dikembangkan oleh seorang anonim di Aceh Barat Daya.

Permainan Rapa’i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair yang dinyanyikan, kostum dan gerak dasar dari unsur Tari Rateb Meuseukat.

Jenis tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada 12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi. Kostum yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah.

Tarian Rapai Geleng memiliki tiga babak, yaitu:

  1. Saleuem (salam)
  2. Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
  3. Lani (penutup)

Gerakan tarian ini diikuti tabuhan rapa’i yang berirama satu-satu, lambat, lama kemudian berubah cepat diiringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan. Gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat.

Pada dasarnya, ritme gerak pada tarian rapai geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatra, berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi kehidupan agama, politik, sosial dan budaya mereka.

7. Tari Bines

Para penari Bines di Gayo Lues (Iwan IUI/Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International).

Tari Bines merupakan tarian tradisional yang berasal dari kabupaten Aceh Tenggara Tarian Bines berkembang di Aceh Tengah kemudian dibawa ke Aceh Timur. Menurut sejarah tarian ini diperkenalkan oleh seorang ulama bernama “Syekh Saman” dari Tanoh Alas dalam rangka berdakwah. Tari ini ditarikan oleh para wanita dengan cara duduk berjajar sambil menyanyikan syair yang berisikan dakwah atau informasi pembangunan. Para penari melakukan gerakan dengan perlahan kemudian berangsur-angsur menjadi cepat dan akhirnya berhenti seketika secara serentak.

Tari tradisional Aceh ini juga merupakan bagian dari Tari Saman saat penampilannya. Hal yang menarik dari tari Bines adalah beberapa saat mereka diberi uang oleh pemuda dari desa undangan dengan menaruhnya di atas kepala perempuan yang menari.

Tari Bines biasanya di akhir acara akan di adakan pengambilan bunga dari kepala yang dalam istilah Gayo adalah Nuet Tajuk. Waktu pengambilan bunga, penari Bines biasanya diberikan uang sebagai ganti bunganya sebagai harga untuk bunga tersebut.

Tari Bines merupakan tradisi berkesenian para perempuan Gayo Lues yang memang tidak diperbolehkan menari Saman yang keras dan dinamis. sebagai gantinya diciptakan tari yang cocok dengan jiwa dan karakter perempuan yang lebih lembut dan anggun. Beberapa unsur yang melekat pada tari Bines dan tidak bisa dipisahkan, yaitu penari, gerak tari, syair, penangkat, dan busana tari.

Jumlah penari pada umumnya berjumlah genap bisa 6, 8, 10, 12 hingga 16 orang. Mereka membawakan ragam gerak yang sama dan dilakukan secara serempak dari awal hingga akhir.

Adapun ragam gerak yang biasa ditampilkan secara garis besar antara lain Surang saring: dimaksudkan bahwa dari awal hingga akhir tarian ini dibawakan secara serempak dengan ragam gerak yang tidak berbeda antara penari satu dengan yang lain; Alih: gerak tangan yang berubah dari tepuk tangan ke gerak tangan yang lain; Langkah: gerak langkah untuk membentuk pola lantai huruf U dan berbanjar; Tepok: bertepuk tangan ; Kertek: gerakan petik jari.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai 7 Tari Tradisional Aceh: Fakta dan Penjelasannya. Tarian-tarian tersebut umumnya semakin memudar seiring perkembangan zaman.

Untuk itulah, sahabat-sahabat Grameds marilah kita bersama-sama menjaga dan melestarikan budaya nenek moyang kita. Jangan sampai kita kalah dengan budaya dari luar Indonesia yang kini lebih dikenal secara global, seperti Anime, Korean Pop, dan Gangnam Style Dance.

Grameds juga dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang kondisi sosial di wilayah Aceh. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia selalu memberikan produk-produk terbaik. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Baca juga terkait Tari Tradisional Aceh:



ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."

logo eperpus

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Written by Evanda

Karya saya di bidang ini mencakup berbagai artikel, e-novel, cerpen, hingga beberapa puisi yang mulai saya pelajari. Tak ketinggalan, saya juga tentunya (dan semestinya) gemar membaca, termasuk membaca berbagai sumber untuk karya tulis saya, maupun karya-karya orang lain yang menginspirasi. Saya juga sangat senang dengan dunia seni.