in

Review Novel They Both Died at the End: Memaknai Arti Kehidupan

Tidak ada satupun yang terus berjalan, tapi apa yang kita tinggalkan untuk orang lain membuat kita terus hidup.

Sebuah kutipan dari novel terlaris Adam Silvera tersebut adalah satu dari banyak kutipan yang berhasil membuat hati para pembacanya hancur berkeping-keping atas alur ironis dan pedih yang menjadi tema novel They Both Died at the End ini.

Novel terbitan tahun 2017 ini masih banyak diperbincangkan dan mendapatkan banyak antusias positif dari para penggemar novel young adult. Sejak membaca sinopsisnya yang singkat dan sederhana saja kita sudah dibuat terpikat dan penasaran untuk membaca seperti apa isi cerita buku setebal 384 halaman ini.

Kendati telah diluncurkan pada 2017 lalu, novel dengan cover biru ini kembali ramai pada 2020 karena kemunculannya di jejaring TikTok yang akhirnya membuat eksistensi novel They Both Died at the End ini menjadi kembali dikenal masyarakat luas.

Tidak heran apabila novel karya Adam Silvera ini menduduki jajaran pada daftar New York Times Best Seller yang mendapatkan nilai penjualan fantastis juga. Selain itu novel yang dirilis oleh penerbit HarperTeen ini merupakan novel ketiga milik Adam Silvera yang juga ramai dicintai oleh para pembaca.

They Both Died at the End juga telah mendapatkan sejumlah penghargaan atau dari kritikus novel dari media besar di Amerika seperti Publishers Weekly, Booklist, School Library Journal dan Kirkus Review. Tidak berhenti disitu saja, novel ini juga mendapat tanggapan baik dari para pengamat buku di The Bulletin The Center of Children’s Book, Common Sense Media, American Review, Buzzfeed dan masih banyak lainnya.

Semakin besarnya gaung novel ini juga menunjukan semakin besar prestasi serta penghargaan yang telah didapatkan Adam Silvera. Mulai dari tahun 2017 hingga 2021 novel karya Silvera ini masih terus meraih penghargaan Best Young Adult Books of the Year oleh Amazon dan Buzzfeed pada 2017. Pada 2019 lalu Buzzfeed menyatakan bahwa They Both Died at the End ini masih menjadi novel young adult terbaik sepanjang dekade versi mereka.

Novel ketiga karya Adam Silvera ini juga diadaptasi dalam serial TV milik HBO dengan durasi tayang satu setengah jam, di bawah rumah produksi besar yakni Warner Bros.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Tentang Penulis Novel They Both Died at the End

Adam Silvera adalah seorang penulis yang berasal dari South Bronx, New York. Penulis kelahiran 1990 ini sudah aktif menulis sejak 2015, yang ditandai dengan buku pertamanya yang berjudul More Than Happy Not.

Silvera terkenal dengan novel-novel young adultnya yang digemari oleh pembaca khususnya di Amerika dan beberapa novelnya juga terjual hingga negara lain. Awal karir menulis Silvera ini sebenarnya sudah dimulai sejak dirinya menyadari bahwa menulis adalah passionnya.

Silvera muda sudah memiliki hobi menulis saat usianya sekitar 10 atau 11 tahun, kala itu dirinya masih sekedar menulis fan fiction. Berasal dari kecintaannya terhadap bidang tulis menulis, ditambah latar belakang sang ibu yang juga merupakan pekerja sosial, membuat Silvera memiliki begitu banyak ide dan motivasi dalam menuliskan karya-karya yang mengangkat isu sosial.

Tentang hubungan dengan sesama manusia dan juga hubungan manusia terhadap dirinya sendiri, menjadi highlight penting yang mendorong munculnya ide cemerlangnya. Silvera juga pernah menjadi seorang barista, penjual buku dan pembicara tentang self awareness.

Tumbuh besar di lingkungan penuh buku bacaan, juga pengetahuannya yang semakin luas mengenai isu sosial dan self awareness membuat dirinya semakin menemukan jati dirinya dan mulai untuk menulis sebuah novel.

Dia juga mengaku bahwa pernah mengalami masa sulit yang menyebabkannya depresi, namun hal tersebut akhirnya mampu dilalui Silvera dan kembali menata kehidupannya. Silvera juga secara terbuka mengaku bahwa dirinya adalah seorang gay.

Hal ini justru mendapatkan tanggapan baik di banyak pembaca. Bahkan dia pernah mendapatkan penghargaan pada 50th Anniversary LGBTQ First Parade, serta masuk dalam jajaran 50 tokoh yang memimpin bangsa menuju kesetaraan, penerimaan dan martabat bagi semua orang.

Buku pertamanya, More Than Happy Not (2015) mampu melejitkan nama Adam Silvera ke jajaran penulis teratas Amerika karena novelnya mampu memasuki daftar New York Times Best Seller. Kemudian disusul dengan buku keduanya, History is All You Left Me (2017), They Both Died at the End (2017), What If It’s Us (2018), dan Here’s to Us (2021).

Selain novel, Silvera juga menuliskan serial Infinity Son dan Infinity Reaper, serta beberapa cerita pendek seperti Because You Love to Hate Me, Don’t Call Me Crazy, dan Color Outside the Lines. Beberapa karyanya juga diadaptasi ke serial TV oleh HBO Max.

Sinopsis Novel They Both Died at the End

 

They Both Died at the End menceritakan perjalanan kisah dua orang yang tidak saling mengenal dengan vonis yang sama, bahwa keduanya akan meninggal dalam kurun 24 jam.

Buku dibuka dengan cerita Mateo sang karakter utama, yang divonis akan mati pada kurun 24 jam kedepan oleh Death Cast. Yang merupakan sebuah perusahaan terkenal dengan prediksinya akan kematian seseorang.

Sejarahnya yang masih menjadi misteri tentang perusahaan tersebut tidak menurunkan kepercayaan orang-orang akan vonis yang mereka berikan. Sebab sudah terbukti selama tujuh tahun belakangan Death Cast ini selalu tepat dalam memberikan ancangan waktu kematian seseorang  dan selalu pada waktu dibawah 1×24 jam semenjak diumumkan.

Selain waktunya, Death Cast tidak akan memberikan rincian lain mengenai bagaimana seseorang akan meninggal dan dimana tempatnya. Begitu juga dengan yang terjadi pada Mateo. Dirinya sendiri masih tidak percaya mendapati bahwa hidupnya akan segera berakhir dalam waktu dekat.

Mateo kini menjadi Deckers, sebutan bagi mereka yang divonis kematian oleh Death Cast. Dirinya sebenarnya hanya ingin menghabiskan saat-saat terakhirnya di kamar saja. Namun dia menyadari bahwa dia ingin menjadi manusia yang benar-benar hidup meskipun hanya satu hari.

Setelah pemikiran panjang, Mateo akhirnya mengunduh aplikasi Last Friend yang merupakan sebuah aplikasi untuk mendapatkan teman di hari akhir mereka. Aplikasi tersebut memang dibuat untuk para deckers yang merasa kesepian dan supaya tida terlalu sedih dalam menghabiskan hari terakhir mereka.

Disisi lain ada Rufus, seorang pria yang tengah melampiaskan kemarahannya pada pacar baru sang mantan kekasihnya, Aimee. Tepat saat itu, dirinya menerima telpon dari Death Cast yang menyatakan bahwa hidupnya akan berakhir dalam 24 jam.

Masih dalam ketegangan emosi, Rufus akhirnya menerima saran kawan-kawannya untuk melupakan semua permasalahan dan tidak terlalu menganggap pernyataan Death Cast tersebut. Rufus bersama gengnya The Plutos yang beranggotakan Malcolm, Tagoe, Aimee dan dirinya kembali ke panti asuhan dan memutuskan untuk membuah sebuah pemakaman untuk Rufus.

Akan tetapi tengah berada dalam persiapan pemakaman, polisi mendatanginya dan akan menangkapnya atas tuduhan penyerangan yang dilakukannya terhadap Peck. Hal ini membuat Rufus seketika melarikan diri, karena dirinya tidak ingin menghabiskan waktu terakhirnya di kantor polisi.

Selama berada dalam pelarian Rufus akhirnya mengunduh Last Friend untuk mencari kawan sesama decker sepertinya. Disanalah Rufus bertemu dengan Mateo. Keduanya memutuskan untuk pergi dan menghabiskan waktu bersama.

Perjalanan dimulai dari Mateo dan Rufus yang mengunjungi rumah sakit tempat ayah Mateo dirawat, ayahnya sedang koma dan Mateo memutuskan meninggalkan surat untuk sang ayah untuk berpamitan.

Kemudian perjalanan keduanya berlanjut menemui lidia, sahabat Mateo dan juga mereka bertemu Penny putri baptisnya. Disana Mateo tidak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi, dia hanya sekedar meninggalkan sejumlah uang pada amplop yang diberikan pada anaknya.

Disisi lain, Rufus mendapatkan kabar bahwa kawan-kawannya justru tertangkap polisi karena ikut membantu Rufus saat melarikan diri. Mengetahui hal tersebut, akhirnya Rufus menceritakan latar belakang kehidupannya.

Bahwa dirinya menjadi sebatang kara sejak orang tua dan adiknya mendapatkan telepon dari Death Cast pada waktu yang sama. Baik Mateo dan Rufus menjadi saling terbuka seiring berjalannya waktu, keduanya saling menceritakan kisah hidup mereka.

Rufus yang memiliki keinginan menjadi seorang fotografer mulai mengabadikan momen terakhir hidupnya melalui post foto di instagram. Berbeda dengan kebiasaannya Rufus kini memilih menggunakan foto berwarna di feeds instagram yang memiliki makna mendalam.

Sedangkan Mateo membuat bangunan dari lego dimana benda tersebut rupanya membantu keduanya selamat dari sebuah ledakan yang ada di gym. Usai dari peristiwa tersebut, keduanya sempat mampir ke makam ibu Mateo dimana dirinya membuat makam khusus bersebelahan dengan mendiang sang ibu.

Perjalanan masih berlanjut, keduanya pergi ke Make-A-Moment dimana itu merupakan tempat yang dibuat khusus untuk para deckers menghabiskan waktu terakhir mereka supaya lebih berkesan. Di tempat itu baik Mateo dan Rufus mencoba segala tantangan yang selama ini mereka takuti, berbagai jenis wahana memacu adrenalin, melakukan tur dunia singkat dan segala hal yang menyenangkan.

Ada banyak momen yang berhasil diabadikan Rufus dengan ponselnya, mereka juga berjanji untuk bertemu dengan kawan Rufus The Plutos di sebuah klub khusus deckers. Melalui banyaknya momen yang telah dilalui seharian membuat perasaan sayang tumbuh di dalam hati Mateo dan Rufus, hal ini membuat keduanya saling mengakui.

Tidak berhenti disana, di klub pun terjadi banyak peristiwa yang mungkin membuat keduanya tewas, namun lagi-lagi mereka berhasil selamat. Hingga pada akhir novel Mateo dan Rufus menghabiskan waktu bersama di kamarnya, saat itu lah rupanya Mateo lupa bahwa dia menggunakan kompor yang rusak dan seketika seluruh bangunan meledak begitu saja terbakar.

Rufus sendiri masih selamat, sambil mencoba membawa jasad Mateo yang rusak, dirinya masih berusaha untuk meminta medis menyelamatkan kawan terakhirnya. Mau tidak mau, Rufus harus merelakan kematian Mateo, dan setelah melakukan hal terakhir Rufus memilih berjalan lurus ke jalan raya tanpa melihat. Rufus mati tertabrak mobil di jalanan seketika.

Kelebihan Novel They Both Died at the End

Membaca dari judulnya saja Grameds, mungkin sudah tau akhirnya akan seperti apa namun meskipun begitu hal ini justru membuat kita semakin penasaran dan ingin membaca kisah perjalanan dua kawan tersebut.

Adam Silvera dengan jenius memilih judul yang menggelitik dan mampu menarik rasa penasaran para pembaca. Mengangkat tema cerita yang unik dalam menggambarkan perjalanan singkat di sepanjang novel tidak membuat They Both Died at the End ini menjadi membosankan.

Ada banyak kejutan dalam alur cerita sehingga membuat para pembaca merasakan variasi cerita yang pas. Sejak dari judulnya kita sudah diperlihatkan gambaran endingnya akan seperti apa, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan kisah perjalanan dua tokoh ini menjadi sesuai prediksi.

Dengan cerita berfokus ke dua karakter utama tersebut membuat pembaca menjadi dekat dengan tokohnya. Selain itu adanya pengenalan dan pemaparan yang baik dari sisi penulis membuat kita bisa memahami sudut pandangnya dengan baik.

Kekurangan Novel They Both Died at the End

Sebagai buku ketiga Adam Silvera, novel ini menjadi salah satu karya yang paling ditunggu sehingga besar kemungkinan orang berekspektasi besar pada karyanya kali ini. Hanya saja meskipun endingnya sudah terjawab berdasarkan judul, akan tetapi sepertinya Silvera bisa memberikan penutup cerita yang jauh lebih baik lagi.

Mengingat ada begitu banyak peristiwa yang membuat dua tokoh utamanya ‘hampir mati’ sehingga seharusnya kematian kedua karakter utama tersebut bisa jauh lebih tragis. Sesuai jenis dan tema novelnya yang sudah ironis serta menyayat perasaan pembacanya.

Penulis mungkin ingin supaya kita fokus pada kisah Mateo dan Rufus ini, sehingga hanya benar-benar kisah dua orang tersebut yang dijabarkan. Sedangkan, Death Cast sebagai benang merah yang begitu kuat untuk menyambungkan cerita semua karakter dalam novel tidak memiliki penjelasan lebih luas lagi.

Pembaca hanya tahu bahwa Death Cast ini mampu memprediksi secara akurat tentang kematian seseorang, namun tidak terdapat latar belakang yang pasti tentang perusahaan tersebut sehingga terasa kurang nyata.

Akan tetapi hal tersebut tidak menutupi kualitas novel, karena terbukti novel They Both Died at the End bisa menembus jutaan copy dan mendapatkan kategori best seller. Grameds, jika tertarik dengan kisah young adult ini, dapatkan novelnya dan simpulkan pendapatmu tentang novel ini yuk!

Nilai Moral dalam They Both Died at the End

Memang benar, bahwa semua manusia akan menghadapi kematian dan kehidupan di dunia memang akan mencapai batasnya. Namun apa jadinya jika manusia bisa mengetahui kapan dia akan mati? Apa jadinya jika kita tahu bahwa dunia yang kita lihat sekarang akan sepenuhnya berakhir dalam waktu dekat?

Silvera, cukup cerdas mengambil premis ini sebagai inti cerita yang membuat kita menyadari karakteristik masing-masing dan bahkan berkaca dari karakter tersebut. Sebagian manusia memilih terus berusaha menjadi lebih baik, dengan meninggalkan manfaat untuk yang masih hidup. Sebagian lainnya, memilih lari dan tidak menerima kenyataan.

Membaca novel miliki Adam Silvera ini mengajarkan hal paling mendasar tentang kehidupan yang mungkin sering kita lupakan, yakni kehidupan adalah tentang bagaimana cara menjalaninya dan bukan apa yang telah dicapai.

Dari Mateo kita mempelajari bahwa sebuah kehidupan baru bisa dikatakan demikian saat kita mampu meninggalkan manfaat untuk orang lain. Hal pertama yang Mateo lakukan adalah mengucapkan salam pamit pada sang ayah yang koma, dan masih berusaha memberikan dukungan finansial untuk sang putri.

Sedangkan dari Rufus kita tahu bahwa meskipun dia pernah menjalani hidup penuh emosi, namun masih ada waktu untuk berubah menjadi pribadi yang baik dan meninggalkan manfaat bagi orang di sekitarnya. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat.

Selama perjalanan menuju akhir hayatnya, Mateo dan Rufus mempelajari banyak hal yang mungkin mereka lupakan. Bagaimana caranya ikhlas, menerima kenyataan, mengendalikan emosi, jujur pada diri sendiri, menghargai diri sendiri, orang lain dan kesempatan. Mereka sadar, tidak ada kata terlambat untuk terus membawa kebaikan.

Novel ini seolah menjadi pesan yang ingin Silvera sampaikan bahwa pentingnya menghargai sesama manusia, menghargai kesempatan dan waktu yang diberikan pada kita. Sebab, kita tidak pernah kapan waktu kita akan berhenti.

Written by Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya Nandy