in

5 Film Biopik Yang Mengangkat Kisah Hidup Para Penulis Buku

telegraf.co.id

5 Film Biopik Para Penulis Buku – Mengadaptasi buku menjadi film sudah sangat sering dilakukan oleh para pembuat film. Ketersediaan materi cerita, popularitas cerita, hingga adanya potensi penonton dari pembaca bukunya adalah sebagian dari banyaknya motif di balik proyek film-film adaptasi buku ini.

Banyak yang berhasil secara komersial dan kualitas, tapi tak sedikit pula film-film tersebut flop di pasaran dan dicemooh kritikus.

Lantas, bagaimana dengan film yang mengangkat penggalan kisah hidup para penulis buku? Apakah kisah hidup dan popularitas sang penulis dapat menjamin biopik-biopiknya bisa diterima dengan baik oleh penonton maupun kritikus film?

Seperti halnya film adaptasi buku, tentu bukan hanya itu faktor-faktor yang menentukan keberhasilan sebuah film biopik.

Namun, paling tidak, gambaran yang saling melengkapi tentang determinan-determinan kesuksesan biopik para penulis bisa terlihat dari lima film berikut.

Film Biopik Yang Mengangkat Kisah Hidup Penulis Buku

1. Capote

Lima
Philip Seymour Hoffman sebagai Truman Capote. (Sumber foto: A Film Odyssey)

Disutradarai Bennett Miller pada 2005, film biopik Truman Capote ini mengisahkan proses penulisan In Cold Blood.

Inilah novel nonfiksi fenomenal yang menuturkan secara prosais dan detail tentang pembunuhan empat orang anggota keluarga Herbert Clutter oleh Richard “Dick” Hickock dan Perry Smith di Holcomb, Kansas pada 1959.

Seperti bukunya, film Capote juga menekankan pada relasi yang terjalin antara Truman Capote dengan dua pelaku pembunuhan.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Film ini pun mampu menampilkan latar belakang psikologis dan motif pembunuhan dari dua pelakunya, selain juga menangkap kehidupan keluarga Clutter dan latar sosial di Holcomb.

Para kritikus film ramai-ramai memuji akting Philip Seymour Hoffman sebagai Truman Capote, yang juga menulis novel Breakfast at Tiffany’s.

Berkat aktingnya tersebut, ia kemudian memenangkan Piala Oscar pada 2006. Dari segi box office, Capote meraih 50 juta dolar AS, sementara ongkos produksinya hanya 7 juta dolar AS.

2. Finding Neverland

Lima
Johnny Depp berperan sebagai JM Barrie. (Sumber foto: Movie Boozer)

Film yang dibintangi Johnny Depp ini mengangkat sepenggal kisah hidup JM Barrie, dramawan dan penulis novel ternama kelahiran Skotlandia.

Fokus cerita Finding Neverland tentang hubungan platonik Barrie dengan Sylvia Llewelyn Davies yang seorang janda dan persahabatannya dengan keempat anak Sylvia.

Dari hubungan inilah kemudian Barrie terinspirasi untuk menulis drama terkenal, Peter Pan, or The Boy Who Never Grew Up, yang dipentaskan pada 1904, lalu ditulis jadi novel pada 1911, dan sejak itu sudah berkali-kali difilmkan.

Apakah popularitas karakter Peter Pan membuat Finding Neverland ikut sukses? Secara kualitas, olah visual yang imajinatif beserta subteks ceritanya yang menyoal tekanan dari pernikahan, status sosial dan gender terhadap kehidupan seseorang membuat Finding Neverland dipuji-puji kritikus dan premier di Festival Film Venice.

Film arahan Marc Foster pada 2004 ini juga mendulang lebih dari total box office hingga 115 juta dolar AS.

3. Becoming Jane

Lima
Anne Hathaway menjadi Jane Austen (Sumber foto: Writing Follies)

Begitu dirilis pada awal Maret 2007, film Inggris-Irlandia arahan sutradara Julian Jarrold tentang masa muda penulis Jane Austen (Anne Hathaway) dan hubungan asmaranya dengan Thomas Langlois Lefroy (James McAvoy) ini langsung mendapat mixed reviews dari para kritikus.

Sebab, film biopik yang satu ini dinilai mereka tidak berhasil memperlihatkan kerja dan pencapaian Jane Austen lewat karya-karyanya, seperti Sense and Sensibility (1811) dan Pride and Prejudice (1813).

Terlepas dari review-review negatif itu, upaya pembuat film untuk menghidupkan sosok Jane Austen yang hidup di akhir abad 17 ini sendiri tak setengah-setengah.

Materi cerita film ini sebagian berdasarkan dari buku Becoming Jane Austen karya Jon Hunter Spence yang juga menjadi konsultan sejarah dalam produksi film ini.

Dua penulis skenario, Kevin Hood dan Sarah Williams, kemudian juga menciptakan kisah tentang Jane Austen dari apa yang mereka tahu lewat berbagai buku dan suratnya.

4. American Splendor

Lima
Aktor watak Paul Giamatti berperan sebagai Harvey Pekar. (Sumber foto: Mubi)

Dibintangi oleh aktor watak Paul Giamatti, film yang dirilis pada 2003 ini mengangkat kisah hidup Harvey Pekar, pembuat seri komik strip terkenal American Splendor.

Digarap oleh duet sutradara Shari Springer Berman dan Robert Pulcini, film ini berhasil menampilkan cara bercerita lewat visual yang penuh gaya dan tetap menghibur.

Oleh dua sutradaranya, gambar dan panel komik ikut menjadi bagian unsur naratif film American Splendor, sehingga juga mampu membantu mendramatisasi kisah hidup Harvey Pekar.

Sisi menarik film American Splendor juga terletak pada cara tuturnya yang menghadirkan sosok asli Harvey Pekar dan sejumlah temannya untuk mengomentari kehidupan mereka dalam film.

Boleh jadi strategi penceritaan ini diterapkan Berman dan Pulcini karena mereka sebelumnya menyutradarai beberapa film dokumenter. American Splendor sukses menyabet banyak piala dan nominasi dari festival film serta ajang penghargaan.

5. Istirahatlah Kata-kata

Lima
Gunawan Maryanto sebagai Wiji Thukul. (Sumber foto: Cinema Poetica)

Indonesia juga tidak ketinggalan dalam membuat film biopik penulis buku. Dua tahun lalu, hadirlah film Istirahatlah Kata-kata yang disutradarai Yosep Anggi Noen.

Film ini memotret salah satu fragmen dari kehidupan penulis dan aktivis Wiji Thukul pada medio 1990-an menjelang runtuhnya rezim Orde Baru sebelum akhirnya ia menghilang tanpa jejak.

Suara kritisnya terhadap rezim Orde Baru lewat berbagai puisi maupun orasi-orasinya membuat Wiji diburu aparat. Ayah dua anak ini pun hidup berpindah-pindah tempat agar tak terendus hidung aparat.

Film Istirahatlah Kata-kata memotret masa pelarian Wiji saat bersembunyi di Pontianak setelah meletusnya kerusuhan pada 27 Juli 1996 di Jakarta.

Diperankan oleh Gunawan Maryanto, sosok penyair Wiji Thukul ditampilkan dalam dimensi yang berbeda dan bukan menekankan pada aktivisme. Inilah film yang memotret periode sunyi Wiji yang bisa dilanda kebosanan dan rindu pada anak-istrinya.

Seminggu setelah dirilis pada 19 Januari 2017, film ini menarik penonton hingga 30 ribu orang dengan jumlah layar yang terus bertambah.

Istirahatlah Kata-kata juga berhasil menyabet beberapa penghargaan dan nominasi dari festival film.


Sumber foto header: telegraf.co.id

Written by Angga Rulianto