in

6 Pengakuan Penting Pramoedya Ananta Toer

Sumber foto header: ifex.org

Pramoedya Ananta Toer adalah pengarang besar Indonesia. Nama, reputasi, kisah hidup, dan karya-karyanya sudah berkelana ke manca negara.

Sumbangsih besarnya pada Indonesia tak terbantahkan lagi, bukan hanya soal sastra tapi juga budaya dan pemikiran intelektual.

Kita mengenal karya-karya penting berpengaruh Pram, seperti Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), Gadis Pantai, Perburuan, Arok Dedes, Arus Balik, dan masih banyak lagi.

Lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925, Pram adalah saksi mata sekaligus jadi salah satu pelaku sejarah dalam pembentukan republik ini.

Lewat tulisan-tulisannya, dia ikut bergulat dalam debat pemikiran yang mengemuka kala republik masih seumur jagung. Dari berbagai tulisannya itu, jelaslah bahwa Pram berjuang melawan ketidakadilan di masyarakat.

Penulis
Pramoedya Ananta Toer saat tiba di Salemba setelah dibebaskan dari Pulau Buru. (Sumber foto: dokumentasi pribadi Pramoedya Ananta Toer, CNN Indonesia)

 

Salah satu akibatnya, dia pernah dijebloskan dalam penjara selama setahun semasa pemerintahan Presiden Soekarno karena menulis esai berjudul “Hoa Kiau di Indonesia” di harian Bintang Timoer.

Di esai itu, Pram mengkritik tentang meningkatnya aksi anti-etnis Tionghoa yang berupa pogrom oleh Angkatan Darat dari 1959 sampai 1960 terhadap minoritas etnis Tionghoa.

“Pada saat itu, masyarakat Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang bebas di negara ini, dan orang-orang keturunan Tionghoa dipaksa keluar dari desa-desa mereka, dan beberapa bahkan dibunuh. Saya, terus terang saja, selalu menentang hal ini. Itulah mengapa saya dipenjarakan pada tahun 1961,” ujar Pram dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006).

Dalam buku yang isinya berformat tanya jawab antara Pramoedya Ananta Toer dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira tersebut, mantan tapol 1965 ini mengungkapkan pemikiran, kritik, dan tentu saja amarahnya.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Pengakuan Penting Pramoedya Ananta Toer dalam Buku-bukunya

Enam pengakuan berikut adalah secuil dari begitu banyaknya isi benak Pram yang tertuang dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian!

1. Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan

Penulis
Bukan hanya naskah-naskah karangan Pram yang musnah, rumahnya di Rawamangun juga tak pernah dikembalikan oleh negara. (Sumber foto: Jalan Raya Pos, IMDB)

 

Kejadian 30 September 1965 menyebabkan Pram jadi diambil paksa oleh tentara dua minggu setelahnya. Pada malam sesaat sebelum tentara datang menahannya, rumah Pram di Rawamangun ditimpuki batu oleh gerombolan orang.

Lalu, satu peleton tentara datang dan segera mengangkut Pram ke truk. Dia sempat dipukul popor senapan beberapa kali sampai tidak sadarkan diri.

“Pada saat itu istri saya habis melahirkan di tempat lain. Dia diberitahu oleh seorang tetangga bahwa saya ditahan. Dia segera pulang ke rumah, tapi sudah tidak bisa masuk rumah lagi. Pada saat itulah dia menyaksikan pembakaran kertas-kertas saya di belakang rumah, termasuk delapan naskah yang belum diterbitkan. Seluruh isi perpustakaan saya dibakar. Pembakaran naskah tersebut adalah hal yang tidak akan bisa saya maafkan! Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya budaya mereka. Bertolak-belakang dengan budaya menulis karena merupakan kerja kreatif.” (halaman 31)

2. Pembunuhan tahanan di Pulau Buru

Penulis
Suasana Pulau Buru saat menjadi kamp tahanan politik 1965. (Sumber foto: sindonews)

 

Setelah berpindah-pindah penjara, Pram dipindahkah ke kamp konsentrasi khusus tapol 1965 di Pulau Buru pada 1969. Dia hanya diperbolehkan membawa dua setel pakaian.

Selama sepuluh tahun di Buru, Pram menyaksikan sendiri penyiksaan dan pembunuhan para tahanan oleh aparat. Penyebab mereka disiksa atau dibunuh bukan saja kesalahan kecil tapi juga kebenaran.

“Salah seorang rekan tahanan di Buru memelihara ikan di tebat. Dia sering sekali kehilangan ikan-ikannya, dan akhirnya dia mencoba mengintip siapa yang mencuri, dan ternyata militer yang mencuri. Sewaktu mereka tahu bahwa rekan saya ini mengintip mereka dalam menjalankan aksi pencurian ikannya, mereka menembaknya langsung di tempat. Dia mati seketika.” (halaman 37)

3. Presiden Soeharto pernah menulis surat untuk Pram

Penulis
Surat dari Presiden Soeharto kepada Pram ikut dirampas saat ia meninggalkan Pulau Buru. (Sumber foto: Pusat Dana Jenderal Besar HM Soeharto)

 

 

Akibat desakan masyarakat internasional, pada 1973 Pram kedatangan tamu: Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro. Atas perintah Presiden Soeharto, Soemitro mengatakan Pram boleh menulis lagi.

Namun, Pram harus mencari sendiri kertasnya, yang kemudian ia dapatkan dari gereja Katolik. Pram juga tahu, pemerintah kelak akan merampas tulisan-tulisannya. Karena itu, ia selalu mengetik naskah dalam beberapa rangkap.

“Pada akhirnya saya memang benar, mereka merampas semua naskah saya pada waktu saya meninggalkan Buru, termasuk surat pribadi dari Presiden Harto pada saya. Tapi tidak ada batasan untuk menulis. Ya, dia menulis surat yang mengatakan bahwa: Kesalahan adalah manusiawi, tapi juga orang perlu mempunyai keberanian untuk memperbaiki diri yang benar dan dibenarkan. (tertawa)” (halaman 39)

4. Absen dari kehidupan keluarga selama 14 tahun

Penulis
Pramoedya menepati janjinya untuk menggendong anaknya, Astuti, setelah keluar dari Pulau Buru. (Sumber foto: dokumentasi pribadi Pramoedya Ananta Toer, CNN Indonesia)

 

Walau terlahir sebagai orang Jawa, tapi Pram mengkritik keras kebudayaan Jawa—atau yang disebutnya Jawanisme. Pengalaman hidupnya yang keras membuat Pram berlaku demikian.

Baginya, prinsip Jawanisme adalah taat dan setia yang membabibuta kepada atasan dan tidak memikirkan pihak lain sama sekali.

Akibatnya, Pulau Jawa dijajah oleh berbagai bangsa asing selama berabad-abad. Sementara kaum elit Jawa berkolusi dengan kekuatan kolonial dan rakyat tidak berani menentang kaum elit maupun penjajahnya.

Karena itulah, Pram melawan Jawanisme ini dengan menerapkannya di keluarganya dengan mengajarkan soal kebebasan.

Penulis
Syukuran keluarga Pramoedya Ananta Toer setelah keluar dari Pulau Buru. (Sumber foto: dokumentasi pribadi Pramoedya Ananta Toer, CNN Indonesia)

 

“Di dalam keluarga, saya mengajarkan anak dan cucu saya tentang kebebasan. Sekarang terserah kepada mereka apa yang mereka bisa lakukan dengan hal ini. Tapi satu hal yang selalu saya tekankan dan tuntut dari mereka adalah bahwa mereka harus berani bertanggungjawab atas perbuatan mereka. Itu saja. Tapi untuk dapat melaksanakan hal itu, mereka haruslah punya keberanian. Saya berikan kebebasan kepada anak-anak saya, tapi saya juga katakan kepada mereka bahwa mereka harus bertanggungjawab atas hidup mereka sendiri. Itu sebabnya saya sangat tersinggung kalau cucu-cucu saya minta uang. Saya tidak pernah lakukan hal itu sepanjang hidup saya. Dan ini menurut saya adalah kerugian terbesar saya dipenjarakan selama 14 tahun, karena saya tidak mendidik anak cucu sendiri. Kalau saya melihat cucu saya minta uang, saya merasa hal ini adalah akibat karena saya tidak ada di sisi mereka selama saya dipenjarakan.” (halaman 48)

5. Tulisan Pram adalah serangan balik

Penulis
Walau naskah-naskah karangannya yang belum pernah diterbitkan telah dibakar aparat, Pram mengaku tidak memendam amarah. (Sumber foto: Rilis.id)

 

Setelah menjadi tapol 1965 yang tidak pernah mengalami proses pengadilan, naskah-naskah karya Pram dibakar aparat.

Di antaranya adalah dua volume naskah lanjutan Gadis Pantai. Akan tetapi, Pram mengaku tidak memendam kemarahan karena itu. Mengapa?

“Saya tidak marah sama sekali. Saya benar-benar melihatnya sebagai contoh betapa rendahnya budaya bangsa saya. Dan saya menggunakan tulisan-tulisan saya untuk memperlihatkan bahwa budaya saya jauh lebih tinggi. Tulisan saya merupakan serangan balik! Saya tidak pernah menyerah, sampai sekarang. Jurang komunikasi antara saya dengan orang lain di Indonesia terkadang selalu besar. Suatu kali saya dipanggil ke Kejaksaan Agung. Orang yang menemui saya bicara sampai dua jam, menghabiskan bercangkir-cangkir kopi, tapi saya tidak mengerti apa maksudnya. Baru setelah dua jam dia berkata: “Pak Pram, kami dari Kejaksaan Agung ingin agar Bung berubah sedikit saja.” Saya menjawab: “Lo, yang membuat saya begini, kan, bangsa saya sendiri. Kalau mereka mau saya berubah, ya, mereka juga harus berubah dong. Dan kalau setelah ini Anda mau panggil saya lagi, saya tidak akan datang. Kalau perlu, silakan Anda datang ke rumah saya.” (halaman 72)

6. Sedih melihat kondisi Indonesia

Penulis
Pramoedya Ananta Toer bersama Max Lane, seorang Indonesianis dan akademisi dari Australia. (Sumber foto: Southeast Asia Center, University of Washington)

 

Pasca stroke pada 2000, Pram sudah tidak mampu lagi menulis buku, termasuk artikel. Satu kalimat pun tidak bisa ia tulis.

Kekuatannya hilang. Bahkan, Pram mengibaratkan dirinya seperti kentongan yang hanya berbunyi kalau dipukul.

“Saya sudah tidak ingin menulis lagi. Saya hanya tinggal menunggu hari akhir saja. Banyak orang yang mengatakan bahwa saya tinggal bicara saja dan mereka yang akan menuliskannya, tapi saya tidak biasa dengan kerjasama dengan orang lain. Saya pikir sudah cukup yang saya perlu katakan. Satu hal yang masih sangat membuat saya sedih, dan karenanya saya setuju menulis buku ini dengan Anda, adalah tentang kondisi negara Indonesia yang sudah sangat buruk ini. Sangat jauh dari cita-cita saya semasa kecil.” (halaman 82)


 

Baca juga artikel lain :



ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."

logo eperpus

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Written by Arum Rifda

Menulis adalah cara terbaik untuk menyampaikan isi pemikiran, sekalipun dalam bentuk tulisan, bukan verbal.
Ada banyak hal yang bisa disampaikan kepada pembaca, terutama hal-hal yang saya sukai, seperti K-Pop, rekomendasi film, rekomendasi musik sedih mendayu-dayu, dan lain sebagainya.