Sejarah

5 Kerajaan Buddha Tersohor di Indonesia

5 Kerajaan Buddha Tersohor di Indonesia
Written by Fandy

Kerajaan Buddha Tersohor di Indonesia – Buddhisme yang menyebar di Nusantara pada awalnya adalah sebuah keyakinan intelektual dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya, kebutuhan politik dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewikaa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha.

Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu semua individu, baik pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapa pun bisa bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak ada pendeta yang diperlukan untuk bertindak sebagai perantara. Masyarakat menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar abad ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari Tiongkok bernama Fa Hsien. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada 600 sampai 1377.

Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat melalui catatan seorang sarjana dari Tiongkok bernama I-Tsing, yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara, serta mencatat perkembangan agama Buddha di sana.

Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, Vajrabodhi, dan seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.

Berikut penjelasan dari lima kerajaan Buddha yang pernah berdiri di Nusantara dan memiliki pengaruh besar pada masa kejayaannya.

1. Kerajaan Sriwijaya

Candi Muara Takus dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarawan menganggapnya sebagai salah satu peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya.

Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatra, tetapi kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri yang berarti “bercahaya” dan vijaya yang berarti “kemenangan”.

Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang kemudian dikenalkan kembali oleh sarjana Prancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an.

George Cœdès memperkenalkan kembali Sriwijaya berdasarkan penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes kemudian dimuat dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Sejak saat itu, Kerajaan Sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat.

Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya jumlah peninggalan yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sriwijaya sebelum runtuh. Beberapa penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya antara lain:

  • Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017 dan 1025). Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan kemudian Dinasti Chola menjadi berkuasa atas Kerajaan Sriwijaya. Akibat dari serangan ini, kedudukan Sriwijaya di Nusantara mulai melemah;
  • Munculnya Kerajaan Melayu, Dharmasraya. Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti Chola, kemudian muncullah Kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan Sriwijaya;
  • Alasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya adalah perang dengan kerajaan lain seperti Singasari, Majapahit, serta Dharmasraya. Selain sebagai penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan Sriwijaya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaannya sempat terlupakan selama beberapa abad.

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-Tsing. Sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melakukan kunjungan ke Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.

Hal itu membuktikan bahwa selama masa Kerajaan Sriwijaya, agama Buddha berkembang sangat pesat. Selain itu, I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Buddhisme di Sriwijaya selanjutnya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.

Pesatnya perkembangan agama Buddha di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti. Nama Sakyakirti ini berasal dari I-tsing yang berkenalan saat singgah di Sriwijaya. Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada perguruan Buddha yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India, sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini. Dalam catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1.000 pendeta yang belajar Buddhisme di Sriwijaya.

2. Kerajaan Kadiri

Masa-masa awal Kerajaan Kadiri atau Panjalu tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan oleh Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua putra Airlangga.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu dan pusatnya di kota baru, yaitu Daha. Adapun putranya yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala dan pusatnya di kota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu dan pusatnya di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178). Nama “Kediri” atau “Kadiri” sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau Morinda citrifolia (mengkudu).

Ilustrasi foto Sri Jayabhaya.

Ketika diperintah oleh Sri Jayabhaya, Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya.

Jayabhaya juga dipercaya menulis ramalan dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya. Ramalan ini dikenal di kalangan masyarakat Jawa dan dilestarikan secara turun-temurun oleh para pujangga.

Asal usul utama Serat Ramalan Jayabaya dapat dilihat di Kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tetapi bait pertama kitab tersebut yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.

3. Kerajaan Singhasari

Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singhasari.

Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja ketika pertama kali didirikan tahun 1222.

Pada 1253, Raja Wisnuwardhana awalnya mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja (putra mahkota) dan mengganti nama ibu kota kerajaan menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel.

Inilah yang membuat Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari. Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.

Berdasarkan keterangan di Pararaton, Tumapel awalnya hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Panjalu. Adapun yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Dia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kadiri.

Pada 1254, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Kadiri, dengan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di Desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, tetapi tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.

Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255 kemudian menyebutkan jika pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Nama ini kemungkinan adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri Kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.

Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa sebelum maju dalam perang melawan Kerajaan Kadiri.

4. Kerajaan Dharmasraya

Kemunduran Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian, muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada Bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Sosok yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut Raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibu kota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Berdasarkan Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton, disebutkan bahwa Kertanagara mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatra pada 1275 yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi ini dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang.

Kertanagara pada 1286 kemudian kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa, yang kemudian dipahatkan di Prasasti Padang Roco. Tim ekspedisi tersebut kembali ke Pulau Jawa pada 1293 dengan membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang bernama Dara Petak dan Dara Jingga.

Dara Petak kemudian dinikahi oleh Raden Wijaya, yang telah menjadi raja Majapahit dan menggantikan Singasari. Melalui pernikahan ini, lahirlah Jayanagara, raja kedua Majapahit. Adapun Dara Jingga dinikahi oleh sira alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman. Kelak, Adityawarman menjadi Tuan Surawasa (Suruaso) berdasarkan Prasasti Batusangkar yang berada di pedalaman Minangkabau.

5. Kerajaan Majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan yang ditinggalkan tersebut kebanyakan beraliran agama Siwa dan sedikit yang bersifat agama Buddha, yaitu lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung. Peninggalan lain dari kerajaan ini adalah Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan Sutasoma.

Candi Jabung merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Namun demikian, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447.

Pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), terdapat dua pejabat resmi keagamaan tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Pada zaman Majapahit, ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana, yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada biksu yang sedang ditahbiskan, serta Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagi seseorang untuk dapat mencapai pelepasan.

Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Tampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya sebagai “Siwa-Buddha”, bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.

Sinkretisme era Majapahit mencapai puncaknya pada 12921478. Sepertinya, saat itu aliran Hindu-Siwa, Hindu-Wisnu dan agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama.

Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan digambarkan sebagai “Harihara”, yaitu rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Berdasarkan Kitab Kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular, diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan di patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa.

Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu, para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara agama Buddha dengan Siwa.

Selanjutnya, dalam Kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika dia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat di dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha.

Selain itu, raja kedua Majapahit, Jayabaya, juga didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan kenyataan tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, tampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (14681478) dan runtuh pada tahun 1478, berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Nah, itulah informasi mengenai 5 Kerajaan Buddha Tersohor di Indonesia. Sejarah Nusantara pada era Kerajaan Hindu-Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha.

BACA JUGA:

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.