Sejarah

5 Kerajaan Hindu Tersohor di Indonesia

5 Kerajaan Hindu di Indonesia
Written by Fandy

Hindu menjadi salah satu agama yang berkembang pesat di Nusantara pada masa lampau. Agama ini dibawa oleh para musafir dari India yang bernama Maha Resi Agastya. Resi tersebut di Jawa dikenal dengan nama Batara Guru atau Dwipayana. Ajaran Hindu yang mayoritas berkembang di Nusantara saat itu adalah aliran Waisnawa, yaitu suatu ajaran yang memuja Dewa Wisnu sebagai dewa utama.

Menurut ajaran agama Hindu, Wisnu atau sering juga disebut dengan Sri Wisnu dan Nārāyana merupakan dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara), yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Wisnu di dalam filsafat Hindu Waisnawa dipandang sebagai roh suci, sekaligus dewa yang tertinggi.

Pengaruh agama Hindu mencapai Nusantara diperkirakan sejak abad ke-1. Perkembangan pesat agama Hindu diikuti dengan berdirinya banyak kerajaan bercorak Hindu saat itu. Beberapa kerajaan yang berdiri sekitar abad ke-4, yaitu Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur, Tarumanagara di Jawa Barat, Kerajaan Kalingga di Pantai Utara Jawa Tengah, dan Kerajaan Bedahulu di Gianyar.

Adapun kerajaan Hindu kuno di Nusantara yang menonjol adalah Kerajaan Medang karena dikenal membangun Candi Prambanan. Sejak itulah, agama Hindu kemudian menyebar bersama dengan Buddhisme di seluruh Nusantara dan mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-14.

Berikut penjelasan dari lima kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Nusantara dan memiliki pengaruh besar pada masa kejayaannya.

1. Kerajaan Kutai Martapura

Prasasti Yupa.

Menurut kajian yang dilakukan oleh Muhammad Sarip (2021) dalam bukunya berjudul Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635, kerajaan Hindu tertua di Nusantara adalah Martapura (bukan Martadipura) di Kecamatan Muara Kaman, bukan Kutai Kertanegara (berdiri abad ke-14). Hal itu didasarkan dari Prasasti Yupa atau monumen batu bertulis yang ditemukan dua tahap, yaitu tahun 1879 dan 1940.

Yupa berjumlah tujuh buah itu mayoritas menceritakan kemakmuran periode Mulawarman. Kini, ketujuh batu Yupa tersebut berada di Museum Nasional. Adapun kitab klasik berjudul Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara setebal 132 halaman dari tahun 1849 adalah sumber autentik untuk penulisan sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara.

Kitab tersebut ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir, seorang Banjar yang menjadi juru tulis Kerajaan Kutai Kertanegara. Kitab ini beraksara Jawi (teksnya menggunakan huruf Arab, sedangkan bahasanya Melayu). Kitab ini dapat menjadi sumber sejarah dengan menyisihkan bagian dongengnya, meskipun tergolong susastra yang bercampur dengan mitologi pengagungan. Naskah asli kitab itu saat ini disimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman.

Temuan tujuh buah Yupa menjadi awal pengungkapan kerajaan tertua Nusantara. Berdasarkan penjelasan dari Sarip, ada tiga nama tersohor di Kerajaan Kutai Martapura yang disebut di dalam Yupa. Pertama, Kundungga (bukan Kudungga) yang oleh kaum brahmana Hindu masa itu ditulis sebagai ayah pendiri kerajaan, bukan raja pertama.

Kedua, Aswawarman putra Kundungga, raja pertama Martapura. Ketiga, Mulawarman putra Aswawarman, raja termasyhur yang membawa kejayaan Martapura hingga bisa berderma sapi sebanyak 20.000 ekor untuk kaum brahmana. Tidak ada catatan lebih lanjut sosok yang menjadi penerus Mulawarman.

Namun, Muhammad Fahmi (2016) melalui penelitiannya yang berjudul Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura dan Peran Raja dalam Pengembangan Agama Islam di Kerajaan Kutai Abad ke-17 dan 18 menyebutkan penguasa Kerajaan Kutai Martapura antara lain:

  • Maharaja Kundungga Anumerta Dewawarman;
  • Maharaja Aswawarman;
  • Maharaja Mulawarman;
  • Maharaja Sri Aswawarman;
  • Maharaja Marawijayawarman;
  • Maharaja Gajayanawarman;
  • Maharaja Tunggawarman;
  • Maharaja Jayanagawarman;
  • Maharaja Nalasingawarman;
  • Maharaja Nala Parana Tungga;
  • Maharaja Gadinggawarman Dewa;
  • Maharaja Indrawarman Dewa;
  • Maharaja Sanggawarman Dewa;
  • Maharaja Candrawarman;
  • Maharaja Prabu Mula Tungga Dewa;
  • Maharaja Nala Indra Dewa;
  • Maharaja Indra Mulyawarman Dewa;
  • Maharaja Sri Langka Dewa;
  • Maharaja Guna Parana Dewa;
  • Maharaja Wijayawarman;
  • Maharaja Indra Mulya;
  • Maharaja Sri Aji Dewa;
  • Maharaja Mulia Putera;
  • Maharaja Nala Pandita;
  • Maharaja Indra Paruta Dewa;
  • Maharaja Dermasatia.

Selanjutnya, Salasilah Kutai lantas mengungkap proses runtuhnya Kerajaan Martapura dengan raja terakhirnya, Dermasatia. Sarip membahas di subbab tersendiri mengenai ekspansi yang dilakukan oleh Kutai Kertanegara tahun 1635 ketika diperintah raja ke-8, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa.

Ringkasnya, terjadi perang selama tujuh hari tujuh malam sampai dua raja berhadapan saling tikam, yang berujung kematian Dermasatia. Kekalahan Martapura ini menandai keruntuhannya, sekaligus pencaplokan wilayah oleh Kutai Kertanegara. Sejak itu, kerajaan pemenang melengkapi namanya menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.

Era Kerajaan Kutai sebenarnya berakhir tahun 1960, tetapi sejak 2001 dihidupkan lagi sebagai bentuk pelestarian sejarah dan budaya, tanpa adanya wewenang memerintah. Agak berbeda dari sebelumnya, kerajaan itu bernama Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kartanegara dengan “a” bukan “e”, Martadipura bukan Martapura.

Soal ini, Sarip tidak luput mengulasnya. Perihal Kartanegara, baginya tidak begitu fatal karena “Kartanegara” dan “Kertanegara” mempunyai arti yang tetap sama. Namun lain halnya dengan Martadipura, yang tidak bisa dibenarkan karena mengubah nama dengan menyisipkan suku kata yang tidak perlu.

Nama Martadipura sebagai perubahan dari kata Martapura baru muncul pada 1980-an. Bupati Kutai periode 1965–1979, Ahmad Dahlan mengungkapkan, idenya berasal dari Drs. Anwar Soetoen, seorang pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Kutai.

Soetoen berpikiran bahwa antara kata “marta” dan “pura” perlu disisipkan kata depan “di” sebagai pengganti “ing”. Menurutnya, kata depan “di” memiliki arti yang sama dengan kata “ing” dalam bahasa Jawa Kawi. Dahlan mengungkap kasus ini dalam bukunya tentang Salasilah Kutai yang terbit tahun 1981.

Sarip di dalam bukunya turut membahas kekeliruan nama Kundungga menjadi Kudungga, yang terlanjur mengakar selama beberapa tahun terakhir. Tak kalah penting, hasil kerja Sarip memunculkan pertanyaan mengenai penamaan museum di Tenggarong yang dinamai Mulawarman, bukan Aji Batara Agung Dewa Sakti sebagai pendiri Kutai Kertanegera, padahal museum ini merupakan bekas istana Kutai Kertanegara, bukan saksi sejarah Kutai Martapura.

Belum lagi ditambah patung Lembu Suwana yang menyambut para pengunjung museum juga berpotensi memunculkan anggapan kalau hewan itu tunggangan Raja Mulawaman. Lembu Suwana sebenarnya adalah hewan mitologis tunggangan Aji Batara Agung Dewa Sakti.

2. Kerajaan Tarumanagara

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma merupakan sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan. Peninggalan-peninggalan itu memperlihatkan jika Tarumanagara merupakan kerajaan Hindu aliran Waisnawa.

Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara, sedangkan taruma berasal dari kata “tarum” yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat, yaitu Ci Tarum. Temuan arkeologis yang berada di muara Ci Tarum adalah percandian yang luas, yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya, yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Tarumanagara.

Prasasti Ciaruteun.

Salah satu prasasti yang dijadikan sebagai sumber sejarah keberadaan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Ciaruteun. Lokasi prasasti tersebut berada di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Prasasti ini ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor pada 1863 dan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta terdiri atas empat baris puisi India atau irama anustubh (irama yang ditemukan dalam puisi Veda dan Sanskerta klasik), serta Prasasti Ciaruteun B yang berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya.

Menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat di prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran panjang 2 meter, tinggi 1,5 meter, dan berbobot 8 ton.

Alih aksara dari prasasti ini sebaagai berikut.

Baris pertama: vikkrantasya vanipateh

Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah

Baris ketiga: tarumanagarendrasya

Baris keempat: visnor=iva padadvayam ||

Artinya adalah sebagai berikut.

Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia”.

Berdasarkan pesan yang terdapat di Prasasti Ciaruteun, dapat diketahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-5 dan menginformasikan bahwa saat itu terdapat Kerajaan Tarumanagara, yang dipimpin oleh Raja Purnawarman yang memuja Dewa Wisnu.

Kerajaan Tarumanagara telah dipengaruhi oleh kebudayaan India, yang dibuktikan dengan nama raja yang berakhiran -warman dan tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya. Pada 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir, sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903 prasasti ini dikembalikan ke tempat semula. Barulah pada 1981, prasasti ini dilindungi.

Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal dari berita Tiongkok, berupa catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah dari Tiongkok) dalam bentuk buku dengan judul Fa-Kuo-Chi, yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M banyak orang brahmana dan animisme di Ye-Po-Ti (sebutan untuk Javadwipa, tetapi ada pendapat lain yang menyatakan jika Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung).

Pada 414, Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah Kerajaan To-lo-mo (Kerajaan Tarumanagara) dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan. Selain itu, berita Dinasti Sui menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang dari sebelah selatan pada 528 dan 535.

Berita Dinasti Tang selanjutnya menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang pada 666 dan 669. Berdasarkan berita-berita tersebut, dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara berkembang antara tahun 400600, yang saat itu dipimpin oleh Purnawarman dengan wilayah kekuasaan hampir seluruh Jawa Barat.

Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanagara antara lain:

  • Jayasingawarman (358382);
  • Dharmayawarman (382395);
  • Purnawarman (395434);
  • Wisnuwarman (434455);
  • Indrawarman (455515);
  • Candrawarman (515535);
  • Suryawarman (535561);
  • Kertawarman (561628);
  • Sudhawarman (628639);
  • Hariwangsawarman (639640);
  • Nagajayawarman (640666);
  • Linggawarman (666669).

3. Kerajaan Bedahulu

Pura Samuan Tiga merupakan peninggalan Kerajaan Bedahulu.

Kerajaan Bedahulu atau Kerajaan Pejeng adalah kerajaan kuno di Pulau Bali yang berdiri antara abad ke-8 sampai abad ke-14. Pusat kerajaannya berada di sekitar Pejeng atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Pendirinya adalah Sri Kesari Warmadewa dari Dinasti Warmadewa.

Sejak pertama kali didirikan, kerajaan ini diperintah oleh beberapa keluarga raja. Namun, pergantian antara satu keluarga raja ke keluarga raja lainnya tidak disebutkan dengan jelas dalam prasasti yang ditinggalkannya. Salah satu raja yang terkenal adalah Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa, yang berkuasa antara 9891011.

Ketika Dinasti Warmadewa berkuasa, agama pertama yang berkembang di Bali adalah Buddha. Barulah pada periode selanjutnya rakyat Bali memeluk agama Hindu. Kerajaan ini diketahui pernah dikuasai oleh Singasari pada abad ke-10 dan Majapahit pada abad ke-14. Ketika Majapahit melakukan ekspansi pada 1347, barulah kerajaan ini akhirnya runtuh.

Beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Kerajaan Bedahulu antara lain:

  • Prasasti berangka tahun 882 yang berisi tentang pemberian izin kepada para biksu untuk membuat pertapaan di Bukit Kintamani, tetapi prasastiini tidak menyebutkan nama rajanya;
  • Prasasti berangka tahun 896 dan 911 yang menyebut istana raja di Singhamandawa. Diperkirakan Singhamandawa terletak di antara Kintamani (Danau Batur) dan Pantai Sanur (Blanjong), yaitu sekitar Tampaksiring dan Pejeng;
    Prasasti semacam tugu di Desa Blanjong, dekat Sanur yang berangka tahun 914. Prasasti itu menyebut raja yang memerintah bernama Raja Kesari Warmadewa.

4. Kerajaan Medang

Catatan awal Kerajaan Medang ada dalam prasasti Canggal (732), yang ditemukan di dalam kompleks Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta dan menggunakan aksara Pallawa. Isinya menceritakan tentang pendirian Siwalingga (lambang Siwa) di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi dengan banyak beras dan emas.

Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya Sanna negara berkabung, jatuh dalam perpecahan. Pengganti Sanna adalah putra Sannaha (saudara perempuannya) yang bernama Sanjaya. Sanjaya menaklukkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya dan pemerintahannya yang bijak memberkati tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya.

Kisah Sanna, Sannaha, dan Sanjaya juga dijelaskan dalam Carita Parahyangan, sebuah naskah yang disusun sekitar akhir abad ke-16. Secara garis besar, kisah dari naskah Carita Parahyangan memiliki kesamaan tokoh dengan Prasasti Canggal.

Meskipun manuskrip itu tampaknya didramatisasi dan tidak memberikan perincian tertentu tentang periode tersebut, tetapi nama dan tema cerita yang hampir persis dengan Prasasti Canggal tampaknya menegaskan bahwa manuskrip tersebut didasarkan atas peristiwa sejarah.

Candi Prambanan.

Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760–910) yang berlangsung selama 150 tahun, menjadi penanda puncak kejayaan dari peradaban Jawa kuno. Pada periode ini marak munculnya seni dan arsitektur Jawa kuno, seperti sejumlah candi dan monumen megah didirikan membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi yang paling terkenal adalah Candi Sewu dan Prambanan.

5. Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga atau Kerajaan Ho-ling (menurut sumber-sumber Tiongkok) adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang pertama muncul di pantai utara Jawa Tengah pada abad ke-6 Masehi, bersamaan dengan Kerajaan Kutai dan Tarumanagara.

Nama Ho-ling diperkirakan muncul pada abad ke-5 (kemudian disebut Keling) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari catatan dari Tiongkok. Pada 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Kerajaan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan, bersama Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tarumanagara, yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya.

Nah, itulah informasi mengenai 5 Kerajaan Hindu Tersohor di Indonesia. Sejarah Nusantara pada era Kerajaan Hindu-Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha. 

BACA JUGA:

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.