Bahasa Indonesia

Mengenal Apa Itu Konotasi dan Jenis-Jenis Makna Lainnya

Written by Siti Badriyah

Konotasi Adalah – Ketika membaca sebuah karya sastra, pasti Grameds pernah bertemu dengan beberapa kosakata yang tanpa disadari dapat memberikan ‘nilai rasa’ tersendiri mengenai maknanya. Bahkan seiring berjalannya waktu pun, makna dari kosakata tersebut dapat berubah menjadi hal yang negatif maupun positif, terutama ketika diucapkan dalam percakapan sehari-hari. Misalnya saja kata “anjing” yang pada dasarnya memiliki definisi berupa ‘hewan berkaki empat yang suka menggonggong ketika ada orang asing mendekatinya’. Namun pada zaman sekarang ini, kata “anjing” tersebut malah menjadi kata kasar yang cenderung sebagai umpatan oleh orang-orang yang tengah marah. Hal tersebut sejalan dengan salah satu ciri dari bahasa yakni dinamis. Artinya, bahasa itu bersifat mengikuti dan menyesuaikan bagaimana keadaan masyarakat penggunanya.

Terlebih lagi, di zaman globalisasi seperti saat ini, kosakata Indonesia sudah bertambah banyak karena “kreativitas” penggunanya. Banyak kosakata-kosakata yang kemudian berubah ‘nilai rasa’-nya. Itulah yang menjadi konsep dari makna konotasi. Biasanya, makna konotasi ini berkaitan erat dengan makna denotasi yang sekaligus menjadi pembahasan utama dalam cabang ilmu semantik. Lantas, apa sih makna konotasi itu? Adakah perbedaan antara makna konotasi dan makna denotasi dalam bahasa Indonesia, baik pada bahasa lisan maupun bahasa tulisan? Apa saja pula jenis-jenis makna dalam dunia semantik? Nah, supaya Grameds memahami hal-hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!

https://pixabay.com/

Apa Itu Konotasi

Pada dasarnya, konotasi ini biasa disebut sebagai sebuah kata yang memiliki makna kias alias makna tidak sebenarnya. Dalam ‘menunjukkan’ makna yang tidak sebenarnya itu, kata tersebut biasanya juga akan mengandung nilai emosional atau nilai-nilai tertentu yang saat itu tengah berlaku di masyarakat. Mengingat keberadaan bahasa itu tidak akan lepas dari anggota masyarakat sebagai penggunanya. Nah, kata yang memiliki konotasi dikenal dengan makna konotatif. Sedikit trivia, penggunaan konotasi ini saat ini sudah berkembang di dunia marketing, tepatnya untuk periklanan suatu produk.

Hal ini juga dikemukakan oleh Chaer (2013) menyatakan bahwa sebuah kata akan dapat disebut sebagai makna konotatif jika kata tersebut memang memiliki ‘nilai rasa’, baik secara positif maupun negatif (dapat juga berupa nuansa halus dan kasar). Meskipun ada juga nilai rasa yang secara netral alias tidak memiliki konotasi sama sekali. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu sifat bahasa itu ‘kan dinamis alias menyesuaikan keadaan masyarakatnya, maka makna konotasi ini pun juga dapat berubah dari waktu ke waktu.

Contoh: kata “istri” dan “bini” itu ‘kan sama-sama menunjukkan makna berupa ‘seorang wanita yang sudah menjadi pasangan dari seorang suami’. Namun dalam penggunaannya, kata “istri” lebih mengarah pada nilai rasa yang positif dan memiliki nuansa halus. Sementara itu, kata “bini” lebih mengarah pada nilai rasa yang negatif dan memiliki nuansa kasar, apalagi jika digunakan dalam penulisan teks berita atau percakapan secara resmi. Meskipun sebenarnya, kata “bini” dalam budaya masyarakat Betawi, tidaklah berkonotasi negatif.

Hal ini juga selaras dengan pernyataan Waridah (2018) yang berpendapat bahwa makna konotasi itu memang didasarkan pada perasaan atau pemikiran seseorang. Singkatnya, konotasi ini maknanya akan didasarkan pada sikap sosial bahkan perspektif tertentu dari suatu zaman. Itulah mengapa, makna konotasi disebut juga sebagai makna kias atau makna kontekstual. Contoh makna konotasi yang menunjukkan perspektif tertentu dari suatu zaman adalah kata “kursi”. Pada zaman dahulu, kata “kursi” ini memiliki makna positif dan bernuansa halus, yakni ‘tempat duduk yang agak tinggi dan biasanya berkaki empat’. Sementara di zaman sekarang, perspektif masyarakat mengenai kata “kursi” ini sudah berbeda, apalagi jika berkaitan dengan masalah politik. Yap, kata “kursi” ini akan berubah memiliki makna negatif dan bernuansa kasar, yakni sebagai ‘jabatan’ atau ‘kedudukan’ yang diperoleh secara tidak jujur.

Berhubung konotasi ini adalah makna yang tidak sebenarnya alias makna kias yang ‘menonjolkan’ nilai rasa dari perspektif suatu zaman, maka tak jarang keberadaannya akan berubah-ubah mengikuti perkembangan masyarakat. Banyak sekali kosakata yang ternyata merupakan “hasil” dari makna konotasi. Meskipun untuk menentukan kiasan dari suatu kata, harus melihat terlebih dahulu makna sebenarnya alias denotasi. Itulah mengapa, keberadaan makna konotasi dan makna denotasi akan saling berkaitan satu sama lain.

Berdasarkan buku Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, alasan mengapa makna konotasi dan denotasi ini “ada” dan berlaku di masyarakat adalah karena pandangan masyarakat berdasarkan nilai atau norma budaya yang berlaku. Yap kata-kata bermakna konotatif ini mendapatkan “makna tambahan” yang tidak sama sekali berbeda dari pandangan masyarakat itu sendiri sebagai pemakai bahasa. Tak jarang, “makna tambahan” yang mengarah pada nilai rasa negatif maupun positif ini berkaitan dengan peristiwa sejarah dan fungsi sosial yang terjadi di masyarakat.

Contohnya adalah kata “wanita” dan “perempuan”. Dua kata tersebut meskipun sama-sama bermakna denotasi (makna sebenarnya) sebagai ‘manusia dewasa bukan laki-laki’, tetapi di dalam perspektif masyarakat, maknanya sudah berubah. Pada kata “wanita” lebih mendefinisikan ‘sosok yang lebih berpendidikan dan modern dalam segala hal (cara pandang, cara berpakaian, dapat mencari uang sendiri)’, bahkan penggunaannya pun seringkali dikaitkan pada kehidupan modern di pusat kota. Sementara itu, pada kata “perempuan” lebih mendefinisikan ‘sosok yang kurang berpendidikan, tidak modern dalam segala hal, lebih berperasaan keibu-ibuan, dan rajin memasak di dapur’, biasanya pun penggunaannya akan dikaitkan pada kehidupan biasa di kota kecil atau pedesaan.

Bahkan di antara kata “wanita” dan “perempuan” itu, ada pula kata “betina” yang dianggap memiliki nilai rasa negatif dan nuansa yang kasar. Mengingat kata “betina” lebih sering digunakan untuk menyebut jenis kelamin binatang. Meskipun kata “betina” ini digunakan untuk merujuk pada seorang perempuan, nantinya malah akan berkonotasi sangat kasar dan rendah, yakni ‘seorang yang bandel dan liar, layaknya seorang cewek binal’.

Sayangnya, saat ini seringkali ditemui suatu kata yang malah merosot ‘nilai rasa’ karena tindakan para anggota masyarakatnya, sehingga secara tidak langsung juga mengubah perspektif terhadap suatu kata tersebut. Misalnya pada kata “kebijaksanaan”, yang secara denotatif (makna sebenarnya) adalah ‘kelakuan atau tindakan yang arif dalam menghadapi suatu masalah’. Secara denotatif, kata “kebijaksanaan” tersebut memberikan nilai rasa yang positif dan bernuansa halus ya. Namun sekarang ini, kata “kebijaksanaan” itu malah berkonotasi negatif dan bernuansa kasar karena adanya beberapa tindakan anggota masyarakat yang tidak bertanggung jawab, sehingga mengubah perspektif anggota masyarakat lainnya.

Misalnya, ada seorang pengemudi kendaraan yang ditangkap karena telah terbukti melanggar peraturan lalu lintas. Lalu, pengemudi tersebut malah meminta “kebijaksanaan” dari petugas kepolisian untuk tidak memperkarakan lebih lanjut kesalahannya. Sementara si petugas kepolisian yang sekiranya “bijaksana”, meminta kepada si pengendara untuk memberikan “kebijaksanaan” juga kepadanya. Singkatnya, kata “kebijaksanaan” ini dapat merosot nilai rasanya menjadi ‘sebuah aksi suap-menyuap’ yang mana memang berkonotasi negatif. Padahal sebenarnya, kata “kebijaksanaan” itu adalah kata yang berkonotasi netral bahkan positif.

Ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan tentang makna konotasi ini, yakni akan disesuaikan dengan cara pandang hidup dan norma yang berlaku di suatu kelompok masyarakat, biasanya dalam suatu agama. Misalnya, kata “babi” jika melihat pada makna denotatif (makna sebenarnya) adalah ‘binatang berkaki empat yang suka bermain lumpur dan memiliki moncong panjang’. Namun, pada suatu kelompok masyarakat yang mayoritasnya beragama Islam, memiliki konotasi negatif tentang binatang tersebut, karena dianggap sebagai najis dan haram. Sebaliknya, pada suatu kelompok masyarakat yang mayoritas tidak beragama Islam, misalnya di Pulau Bali, justru menganggap binatang tersebut tidak berkonotasi negatif.

Contoh Kata Bermakna Konotatif

  • Ganjil

Makna denotasi: gasal; tidak genap (biasanya berkaitan dengan bilangan)

Makna konotasi: aneh; tidak sebagaimana biasanya; ajaib (biasanya berkaitan dengan perilaku seseorang)

  • Mangsa

Makna denotasi: daging binatang yang dijadikan sebagai makanan oleh binatang buas (berkaitan dengan ekosistem binatang di hutan)

Makna konotasi: sasaran atas perbuatan jahat (berkaitan dengan hal-hal jahat, misalnya pencuri)

  • Tiang

Makna denotasi: tonggak panjang dari kayu untuk menyangga atap rumah atau jembatan.

Makna konotasi: sesuatu yang menjadi pokok kehidupan.

  • Akar

Makna denotasi: bagian tumbuhan yang tertanam di dalam tanah sebagai penguat dan penghisap air.

Makna konotasi: asal mula, penyebab dari sesuatu.

  • Benalu

Makna denotasi: tumbuhan yang menumpang hidup pada tanaman lain dengan menghisap makanannya.

Makna konotasi: orang yang kehadirannya tidak memberikan manfaat dan hanya menumpang hidup pada orang lain.

Perbedaan Konotasi dan Denotasi

Meskipun makna konotasi dan denotasi itu berbeda dalam hal definisi, tetapi keduanya tetap saling berkaitan. Hal yang perlu dipahami mengenai makna konotasi dan makna denotasi ini adalah “setiap kata yang mana merupakan kata penuh pastilah memiliki makna denotatif, tetapi tidak semua kata itu memiliki makna konotatif”. Nah, berikut adalah perbedaan antara makna konotasi dan makna denotasi.

Makna Konotasi Makna Denotasi
Sebagai makna tidak sebenarnya alias makna kias. Sebagai makna sebenarnya yang berdasarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Terdapat nilai rasa dalam penggunaannya. Tidak terdapat nilai rasa dalam penggunaannya.
Disebut juga sebagai makna kontekstual. Disebut juga sebagai makna konseptual.
Secara lazim, makna akan berubah-ubah sesuai dengan perspektif yang berkembang dalam masyarakat. Secara lazim, berupa penjelasan sebagai makna yang benar-benar sesuai dengan hasil observasi manusia. Mulai dari penglihatan, penciuman, pendengaran, dan pengalaman panca indera manusia.

Mengenal Jenis-Jenis Makna Lainnya

https://pixabay.com/

Pembagian jenis-jenis makna itu tidak hanya sekadar makna konotatif dan makna denotatif saja, tetapi sangat luas pembahasannya. Dalam buku SEMANTIK: Teori dan Analisis, mengungkapkan setidaknya ada 3 jenis makna lainnya. Nah, berikut penjelasannya!

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Apakah Grameds tahu jika satuan atau unit semantik terkecil dalam bahasa itu disebut sebagai leksem? Keberadaan leksem ini sama halnya dengan fonem pada cabang ilmu fonologi, dan morfem di cabang ilmu morfologi, yakni sama-sama bersifat abstrak. Leksem ini menjadi dasar pembentukan suatu kata. Misalnya, kata membeli, terbeli, dibeli, dan pembelian, itu sama-sama terbentuk dari suatu leksem yang sama yakni beli. Makna kata “beli” ini dapat diidentifikasikan bahkan tanpa harus menggabungkan dengan unsur-unsur lain. Nah, itulah yang disebut dengan makna leksikal.

Sementara pada makna gramatikal, lebih melihat pada satuan kebahasaan yang baru dapat diidentifikasi setelah satuan tersebut bergabung atau digabungkan dengan satuan kebahasaan lain. Singkatnya, makna gramatikal ini terjadi jika kata dasar sudah mengalami proses pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan, sesuai dengan konteks kalimat yang ada.

2. Makna Literal dan Figuratif

Makna literal adalah makna lugas yang memang mengacu pada referen secara harfiah. Misalnya kata “buaya”, sesuai dengan acuan referennya maka akan memiliki makna berupa ‘sebangsa binatang berkaki empat yang hidup di rawa atau sungai’.

Sementara itu, pada makna figuratif lebih mengacu pada referen lain yang biasanya menyimpang dengan berbagai tujuan etis (moral), estetis (keindahan), insulting (penghinaan), dan lainnya. Misalnya, pada kata “ke belakang” dapat menyimpang menjadi kamar mandi, jika diterapkan pada kalimat “…Karena tidak tahan, Alia segera meminta izin untuk ke belakang.”

3. Makna Primer dan Makna Sekunder

Hampir sama dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal, pada makna primer ini juga berupa makna dari suatu kata yang dapat diketahui oleh pengguna bahasa bahkan tanpa bantuan konteks sekalipun. Sementara makna sekunder itu sama saja dengan makna gramatikal, makna konotatif, dan makna figuratif, yakni sebagai makna yang hanya dapat diidentifikasikan oleh pengguna bahasa dengan bantuan konteks saja.

Nah, itulah ulasan mengenai apa itu konotasi beserta contoh, perbedaannya dengan makna denotatif, dan jenis-jenis makna lainnya dalam dunia semantik. Apakah Grameds dapat menyebutkan contoh lain dari makna konotasi ini?

Sumber:

Chaer, Abdul. (2013). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. (2008). SEMANTIK: Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Baca Juga!

About the author

Siti Badriyah

Tulis menulis menjadi salah satu hobi saya. Dengan menulis, saya menyebarkan beragam informasi untuk orang lain. Tak hanya itu, menulis juga menggugah daya berpikir saya, sehingga lebih banyak informasi yang dapat saya tampung.

Kontak media sosial Instagram saya Siti Badriyah