Bahasa Indonesia

Pengertian Sinonim: Jenis, Manfaat, dan Kendala Penggunaan Sinonim

Written by Siti Badriyah

Pengertian Sinonim – Kosakata dalam bahasa Indonesia, seperti halnya kosakata dalam bahasa apa pun di dunia, pada dasarnya saling berhubungan antara kata yang satu dan kata yang lain. Dengan demikian, kosakata dasar dalam bahasa Indonesia yang berjumlah lebih dari 100.000 lema atau entri juga saling berkaitan (Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan VII, Edisi IV, Maret 2013). Kosakata yang memiliki komponen makna yang sama atau mirip disebut dengan sense relations (relasi makna), misalnya leksem kuda memiliki relasi makna dengan leksem binatang atau leksem mangga memiliki relasi makna dengan leksem buah-buahan (Cruse, 1995).

Hubungan makna di antara berbagai leksem dalam suatu bahasa menurut Cruse (1995) ada tujuh macam, yaitu menyangkut sinonimi (kesamaan makna), antonimi (kebalikan makna), polisemi (kegandaan makna yang jelas), ambiguitas (kegandaan makna yang membingungkan), hiponimi (ketercakupan makna), homonimi (kelainan makna), dan redundansi (kelebihan makna). Dalam tulisan ini akan diulas satu hal saja, yaitu kesinoniman.

Ihwal kesinoniman sendiri dalam bahasa adalah persamaan kata. Tanpa sebuah kata sinonim, bahasa cenderung lebih kaku dan tidak menarik. Oleh karena itu, sangatlah penting menggunakan kata sinonim untuk memperkaya pengungkapan cerita, fakta, dan gagasan, baik secara tulisan maupun lisan.

Sinonim dalam pelajaran bahasa Indonesia adalah salah satu materi yang cukup menarik untuk ditelusuri. Sebab, persamaan kata ini dapat membuat sebuah kalimat menjadi tampak memikat atau enak dibaca. Dengan mempelajari dan memahami kata sinonim, seseorang bisa memiliki kekayaan diksi.

Berikut penjelasan lengkap mengenai pengertian, jenis-jenis, manfaat, dan kendala penggunaan sinonim.

Pengertian Sinonim

Secara etimologis, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani Kuno syn (dengan) dan onoma (nama). Jadi, sinonim adalah dua kata atau lebih yang memiliki makna sama (Cruse, 1995). Sementara itu, Verhaar (1992) mengatakan bahwa sinonim adalah ungkapan (kata, frasa, dan kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain, misalnya bunga, kembang, dan puspa; mati, wafat, meninggal, dan tewas; jelek dan buruk (Karim, 2013).

Menurut Kridalaksana (1993), jika suatu kata dapat disubstitusi (diganti) dengan kata lain dalam konteks yang sama dan makna konteks tidak berubah, kedua kata itu dapat dikatakan bersinonim. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain; muradif; kesinoniman.

Secara umum, sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu kata dengan kata lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah. Maksudnya, jika suatu kata saling bersinonim, dapat dipastikan kata tersebut memiliki kesamaan makna.

Kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, tentu satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Secara konkret, kalau kata jelek bersinonim dengan kata buruk, dengan demikian kata buruk juga bersinonim dengan kata jelek. Contoh lainnya adalah kata benar bersinonim dengan kata betul, dengan demikan kata betul juga bersinonim dengan benar.

Hubungan sinonim ditandai oleh kemampuan dua leksem yang bisa saling menggantikan sebagai pengisi gatra di dalam kalimat tanpa mengubah makna. Sinonim yang tidak mengubah makna itu disebut dengan absolute synonym (sinonim mutlak). Namun, sinonim mutlak jarang sekali ditemukan dalam bahasa karena setiap kata memiliki makna tersendiri.

Jika suatu kata yang bersinonim tidak mempunyai makna yang persis sama, kesamaannya terletak dalam kandungan informasi yang disajikan. Secara sederhana, sinonim juga disebut sebagai persamaan makna atau padanan kata, sedangkan antonim juga disebut dengan lawan kata.

Seperti halnya yang dikatakan oleh Cruse (1995) dan pakar-pakar semantik yang lain, “In contemporary linguistics it has become almost axiomatic that complete synonymy does not exist. Each linguistic form has a constant and specific meaning. If the forms are phonemically different we suppose that their meanings are different. We suppose that there are no actual synonyms”. Maksudnya, “Di dalam linguistik kontemporer terdapat aksioma bahwa kesinoniman yang mutlak tidak pernah ada. Kata atau ungkapan yang memiliki struktur fonemis yang berbeda dipastikan akan memiliki makna yang berbeda. Oleh karena itu, tidak ada kata-kata atau ungkapan yang benar-benar bersinonim”.

Dengan demikian, walaupun kata-kata atau ungkapan yang bersinonim memiliki kesamaan makna, makna tersebut tidak seluruhnya sama (Adelin, 2013). Jadi, kata-kata atau ungkapan yang berbeda secara fonemis, maknanya juga berbeda, walaupun perbedaannya hanya dalam nuansa.

Menurut Soedjito (1989), sinonimi adalah persamaan arti atau makna, atau dua kata atau lebih yang memiliki makna sama. Sinonim adalah dua kata atau lebih yang maknanya (1) sama atau (2) hampir sama atau mirip, misalnya dua kata atau lebih yang mempunyai makna sama, yaitu buku – kitab, telinga – kuping, dapat – bisa, ayah – bapak, pintar – cerdas, dan sebagainya. Adapun dua kata atau lebih yang mempunyai makna hampir sama (mirip) adalah semua – seluruh – segala; cinta – kasih – sayang, mati – meninggal – wafat – gugur, dan sebagainya.

Dalam hal sinonim yang sama dan sinonim yang mirip, Kridalaksana (1993) berpendapat bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat salah satu dari dua kata atau lebih yang maknanya mirip, tetapi bukan sinonim; misalnya kata bantuan dan pertolongan. Dia menyebut gejala tersebut sebagai near-synonym, homonym, pseudo-synonym (sinonim dekat).

Lain lagi dengan pendapat dari Verhaar (1992), sering dikatakan bahwa kata-kata yang bersinonim memiliki makna yang sama, hanya bentuk-bentuknya berbeda. Verhaar menegaskan bahwa sebenarnya hubungan antarsinonim memiliki perbedaan nuansa dan maknanya dapat dikatakan “kurang lebih sama”.

Djajasudarma (1993) menyatakan bahwa sinonim digunakan untuk menyatakan sameness of meaning (kesamaan arti”. Hal tersebut dilihat dari kenyataan bahwa para penyusun kamus menunjukkan sejumlah perangkat kata yang memiliki makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama lain sama makna, atau hubungan di antara kata-kata yang mirip (dianggap sama) maknanya. Palmer (1993) lantas memerinci sinonim sebagai berikut.

  • Sinonim yang salah satu katanya berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing, misalnya konde dan sanggul, domisili dan kediaman, khawatir dan gelisah.
  • Sinonim yang pemakaiannya bergantung kepada laras bahasa, misalnya dara, gadis, dan cewek; mati, meninggal, dan wafat.
  • Sinonim yang berbeda makna emotifnya, tetapi makna kognitifnya sama, misalnya negarawan dan politikus; ningrat dan feodal.
  • Sinonim yang pemakaiannya terbatas kepada kata tertentu, misalnya busuk, basi, tengik, asam, dan apek bermakna yang sama, yaitu “buruk”, tetapi tidak dapat saling menggantikan.
  • Sinonim yang maknanya kadang-kadang tumpang tindih, misalnya bumbu dan rempah-rempah; bimbang, cemas, dan sangsi; nyata dan kongkret.

Selain bisa disebut persamaan kata, sinonim juga dapat dikatakan sebagai padanan kata, misalnya:

  • ahli = pakar
  • akselerasi = percepatan
  • akurat = saksama
  • andal = tangguh
  • anemia = kurang darah
  • anjung = panggung
  • antagonis = berlawanan
  • anulir = abolisi
  • aplikasi = pelaksanaan
  • boga = makanan
  • bonafide = dapat dipercaya
  • bromocorah = residivis
  • dehidrasi = kehilangan cairan tubuh
  • demisioner = habis masa jabatan
  • dominasi = penguasaan
  • donasi = bantuan
  • dosis = takaran
  • eksibisi = pertunjukan
  • ekskavasi = penggalian
  • ekspansi = perluasan
  • ekstensi = perluasan
  • elaborasi = penjelasan terperinci
  • embargo = larangan
  • epilog = penutup
  • estetika = keindahan
  • estimasi = perkiraan
  • etos = pandangan hidup
  • fauna = hewan
  • fenomena = kenyataan
  • flora = tanaman
  • forum = lembaga
  • harmonis = serasi
  • hayati = hidup
  • hedonisme = hura-hura
  • inheren = melekat
  • injeksi = suntik
  • insinuasi = sindiran
  • insting = naluri
  • instruktur = pelatih
  • interaksi = hubungan
  • iterasi = perulangan
  • klarifikasi = penjelasan
  • klimaks = titik puncak
  • konsensus = mufakat
  • konservasi = perlindungan
  • korelasi = hubungan
  • krusial = penting
  • manunggal = bersatu
  • mayapada = dunia
  • mediator = perantara
  • misteri = rahasia
  • paradoksal = kontras
  • pioner = perintis.

Bentuk bahasa atau ungkapan yang memiliki persamaan makna itu dapat berupa morfem dengan morfem, kata dengan kata, frasa dengan frasa, dan sebagainya.

  • Sinonim morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti dia dan –nya.
  • Sinonim kata dengan kata, seperti antara mati dan meninggal; buruk dan jelek; bunga dan puspa, dan sebagainya.
  • Sinonim kata dengan frasa atau sebaliknya, seperti meninggal dan tutup usia; besar kepala dan sombong.
  • Sinonim frasa dengan frasa, seperti ayah ibu dan orang tua; meninggal dunia dan berpulang ke rahmatullah.
  • Sinonim kalimat dengan kalimat, seperti adik menendang bola dan bola ditendang adik.

Jenis-Jenis Sinonim

Sinonim terbagi atas dua jenis, yaitu sinonim umum dan sinonim konteks. Sinonim umum adalah sinonim yang memiliki makna yang hampir sama, tetapi tidak dapat saling digunakan dalam konteks yang sama. Adapun sinonim konteks adalah dua kata yang memiliki makna hampir sama dan dapat saling ditukarkan dalam konteks yang sama tanpa mengubah makna dalam konteks tersebut.

Sinonim konteks dibagi tiga, yaitu sinonim semirip, sinonim mutlak dan sinonim selingkung. Berikut penjelasannya.

  • Sinonim semirip adalah kata yang bisa saling bertukar posisi dalam sebuah konteks kebahasaan. Pertukaran ini dilakukan tanpa mengubah makna dalam sebuah lesikal dan struktural, terutama dalam rangkaian kalimat, kata, klausa, dan frasa terhadap kalimat yang dibuat.
  • Sinonim mutlak adalah kata yang bisa saling bertukar posisi atau tempat dalam sebuah konteks kebahasaan apa saja tanpa mengubah lesikal dan struktural, terutama dalam rangkaian kalimat, kata, klausa, dan frasa terhadap kalimat yang dibuat.
  • Sinonim selingkung adalah kata yang bisa saling bertukar posisi atau tempat dalam sebuah konteks kebahasaan tertentu tanpa mengubah lesikal dan struktural.

Manfaat Kesinoniman dalam Bahasa

Sinonim digunakan untuk mengalih-alihkan pemakaian kata di tempat tertentu agar kata yang digunakan bervariasi, sehingga kalimat yang dibangun oleh kata-kata itu tidak membosankan. Kata-kata yang bersinonim akan dapat menghidupkan dan mengonkretkan pemakaian bahasa seseorang, sehingga lewat bahasa tercapailah komunikasi yang jelas dan menarik. Pemakai bahasa dalam hal itu dapat memilih kata yang paling tepat untuk digunakannya agar sesuai dengan kebutuhan (konsep) yang hendak disampaikannya dan sesuai dengan situasi yang dihadapinya.

Simaklah contoh pemakaian kata lilit dan belit serta cerdas dan cerdik berikut ini.

  • Sampai tua dia selalu dililit utang.
  • Sampai tua dia selalu dibelit utang.
  • Anak laki-laki itu cerdas benar, hasil belajar selalu baik.
  • Anak laki-laki itu cerdik benar, hasil belajar selalu baik.

Kedua pasangan kata itu bersinonim, tetapi keduanya tidak persis sama. Dililit utang terasa bahwa utang lebih mungkin bisa diselesaikan, tetapi dibelit utang terasa lebih ruwet dan lebih sulit keluar dari keadaan berutang itu. Cerdas menyiratkan makna “pintar dan tangkas”, tetapi cerdik terkesan menunjukkan makna “pintar, tetapi sedikit agak berakal kancil”.

Berkenaan dengan kesinoniman ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim, misalnya kata beras, salju, batu, dan kuning tidak memiliki sinonim. Kedua, ada kata-kata yang bersinonim di bentuk dasarnya, tetapi tidak di bentuk jadian, misalnya kata benar dengan kata betul, tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim di bentuk dasar, tetapi memilki sinonim di bentuk jadian, misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim, tetapi kata menjemur mempunyai sinonim dengan mengeringkan, serta berjemur bersinonim dengan berpanas. Keempat, ada kata-kata yang dalam arti sebenarnya tidak mempunyai sinonim. Arti kiasan justru mempunyai sinonim seperti di contoh kata hitam dalam makna sebenarnya tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti kiasan ada sinonimnya, yaitu gelap, mesum, buruk, dan lain-lain.

Beberapa Kendala dalam Penggunaan Kesinoniman

Pilihan kata atau diksi merupakan unsur yang sangat penting dalam berbahasa, baik dalam bahasa tulis, seperti untuk karang-mengarang maupun dalam bahasa lisan sehari-hari. Pilihan kata bertujuan agar pemakai bahasa memilih kata dengan tepat dalam menyatakan sesuatu. Untuk itu, pemakai bahasa dapat memanfaatkan kamus karena kamus memuat makna kata dengan benar.

Seperti sudah dibahas di bagian terdahulu, tidak semua kata bersinonim dapat saling menggantikan dalam sebuah kalimat dan dapat digunakan dalam setiap kesempatan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya satu atau dua komponen makna yang tidak sama, atau penggunaannnya dalam konteks tertentu tidak sama, atau karena turunan katanya tidak sama. Misalnya, kata bisa bersinonim dengan kata dapat, seperti tampak dalam kalimat dia bisa naik sepeda dan dia bisa naik sepeda.

Namun, setelah dijadikan kata turunan dengan ditambahkan imbuhan yang sama ke-an, misalnya, menjadi kebisaan dan kedapatan, ternyata artinya sangat berjauhan. Selain itu, budaya masyarakat pengguna bahasa, terutama yang berkaitan dengan sopan santun dan masalah tabu merupakan kendala dalam penggunaan kata yang bersinonim. Dalam hubungan itu, menurut Lyons (1996:132), suatu tuturan tidak berterima (unacceptable) karena alasan sosial-budaya. Misalnya, mungkin suatu tuturan tergolong tabu atau tidak layak secara sosial budaya, seperti die “mati” yang seharusnya pass away “meninggal”.

Jika seseorang mengucapkan die dalam kalimat (1) His father died last night “ayahnya mati tadi malam” mungkin dapat berterima bagi pendengar tertentu, misalnya karena yang mengucapkan kaimat itu bukan anak kandung ayah yang meninggal itu. Namun, jika die itu diucapkan oleh anak kandung ayah yang meninggal (2) My father died last night, pendengarnya akan menganggap bahwa anak tersebut tidak tahu diri dan tidak memiliki rasa hormat kepada ayahnya. Jadi, tuturan tersebut dianggap takberterima dalam budaya masyarakat itu.

Tuturan takberterima (3) My father died last night harus dikoreksi menjadi (3a) My father passed away last night karena di dalam masyarakat bahasa tertentu, penggunaan die terlarang dikatakan untuk mengungkapkan makna “mati” bagi anggota keluarga sendiri. Namun, tidak berarti bahwa di dalam lingkungan tersebut ketakberterimaan tuturan (3) My father died last night itu menjadi takbermakna. Ketakberterimaannya lebih didasarkan kepada makna sosial dan bukan didasarkan kepada makna deskriptif (Lyons, 1977:104).

Dikarenakan ada sesuatu yang melanggar tata sopan santun atau norma budaya penutur setempat, kalimat seperti itu takberterima. Misalnya, kalimat (4) Karena dilanda banjir, ikan dalam kolam saya habis hanyut, tinggal dua ekor, yang satu cewek yang satu laki takberterima dalam komunikasi normal, kecuali dalam lawakan.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

About the author

Siti Badriyah

Tulis menulis menjadi salah satu hobi saya. Dengan menulis, saya menyebarkan beragam informasi untuk orang lain. Tak hanya itu, menulis juga menggugah daya berpikir saya, sehingga lebih banyak informasi yang dapat saya tampung.

Kontak media sosial Instagram saya Siti Badriyah