Sejarah

Terminologi dan Latar Belakang Terjadinya Perang Salib

Terminologi dan Latar Belakang Terjadinya Perang Salib
Written by Fandy

Terminologi dan Latar Belakang Terjadinya Perang Salib – Perang Salib adalah sebutan bagi perang-perang agama di Asia Barat dan Eropa antara abad ke-11 sampai abad ke-17, yang disokong oleh Gereja Katolik. Perang ini berbeda dari konflik-konflik keagamaan lainnya karena orang-orang yang ikut serta dalam perang ini meyakini perjuangan mereka sebagai laku tobat demi mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang sudah mereka akui.

Ruang lingkup istilah Perang Salib pun masih menjadi pokok perdebatan. Ada sejarawan yang berpendapat bahwa hanya ziarah-ziarah bersenjata ke Yerusalem sajalah yang dapat disebut Perang Salib, tetapi ada pula sejarawan yang berpandangan bahwa Perang Salib adalah semua kampanye militer Katolik dengan iming-iming pahala rohani bagi orang-orang yang ikut berjuang, atau segala macam “perang suci” Katolik, atau setiap perang yang dicetuskan pihak Katolik dengan iming-iming pahala rohani sebagai ciri utama.

Perang Salib yang paling terkenal adalah perang-perang perebutan Tanah Suci melawan kaum muslim di kawasan timur Mediterania antara tahun 1096 sampai tahun 1271. Sejak abad ke-12, ada pula Perang Salib melawan orang Moro Iberia, Perang Salib melawan Kekaisaran Turki Utsmaniyah, dan Perang Salib untuk maksud-maksud lain, termasuk untuk memerangi kaum pagan, memberantas kaum bidah, dan menuntaskan silang sengketa di antara pihak-pihak yang sama-sama beragama Kristen Katolik.

Perang Salib pertama kali dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada 1095 dalam sidang Konsili Clermont. Laskar Salib mengasaskan empat negara baru, yang lazim disebut Outremer (Tanah Sabrang), yakni Negara Kabupaten Edessa, Negara Kepangeranan Antiokhia, Negara Kerajaan Yerusalem, dan Negara Kabupaten Tripoli. Laskar Salib pada akhirnya terdesak mundur sesudah hampir dua abad bercokol di Tanah Suci. Akko, kota terakhir Laskar Salib di Tanah Suci, direbut kaum muslim pada 1291.

Reconquista (Penaklukan Balik) dan perang Kristen-Islam di Semenanjung Iberia dinyatakan sebagai Perang Salib pada 1123. Keduanya berakhir dengan tumbangnya Emirat Granada pada 1492. Perang Salib Utara yang menundukkan suku-suku pagan di kawasan timur laut Eropa ke bawah kekuasaan Jerman, Denmark, dan Swedia juga dianggap sebagai Perang Salib sejak tahun 1147.

Pada 1199, Paus Inosensius III menjadi paus pertama yang memaklumkan Perang Salib politik untuk menundukkan penguasa-penguasa Kristen yang membandel. Perang Salib dijadikan sarana memerangi kaum bidah di Lengadok sejak tahun 1208. Perang Salib melawan kaum bidah berlanjut di Savoia serta Bohemia pada abad ke-15 dan dilancarkan terhadap kaum Protestan pada abad ke-16. Perang Salib juga dilancarkan untuk membendung laju ekspansi Kekaisaran Turki Utsmaniyah pada pertengahan abad ke-14 dan baru berakhir dengan Perang Liga Suci pada 1699.

Terminologi Perang Salib

Perang Salib adalah sebutan bagi perang-perang agama di Asia Barat dan Eropa antara abad ke-11 sampai abad ke-17, yang disokong oleh Gereja Katolik. Perang ini melibatkan masyarakat dari Eropa melawan Turki Seljuk dan orang Arab. Perang tersebut berlangsung selama 200 tahun dan terbagi menjadi tujuh periode.

Perang itu disebut Perang Salib oleh orang Kristen, sedangkan orang Islam menyebutnya dengan Perang Suci. Perang Salib disebabkan karena perebutan Kota Yerusalem. Perang yang berlarut-larut ini membuat jalur perdagangan Asia–Eropa menjadi terputus. Perang tersebut juga berdampak kepada habisnya kekayaan bangsa Eropa karena dialokasikan untuk peperangan.

Perang Salib berbeda dari konflik-konflik keagamaan lainnya karena orang-orang yang ikut serta dalam perang ini meyakini perjuangan mereka sebagai laku tobat demi memperoleh ampunan atas dosa-dosa yang sudah mereka akui.

Perang Salib pertama kali dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada 1095 dalam sidang Konsili Clermont. Dia mengimbau para hadirin untuk mengangkat senjata membantu Kaisar Romawi Timur melawan orang Turki Seljuk dan melakukan ziarah bersenjata ke Yerusalem. Imbauannya ditanggapi dengan penuh semangat oleh seluruh lapisan masyarakat Eropa Barat. Para sukarelawan lantas dikukuhkan menjadi anggota Laskar Salib melalui pengikraran di muka umum.

Orang-orang yang mengajukan diri dalam perang tersebut didorong oleh niat yang berbeda-beda. Ada yang sekadar ingin pergi ke Yerusalem agar ikut terangkat ramai-ramai ke surga, ada yang melakukannya demi bakti kepada majikan, ada yang hendak mencari ketenaran dan nama baik, dan ada pula yang bernafsu meraup keuntungan ekonomi maupun politik melalui keikutsertaannya.

Ketika Perang Salib I meletus, istilah “Perang Salib” belum dikenal. Kampanye militer umat Kristen kala itu disebut dengan “lawatan” (bahasa Latin: iter) atau “ziarah” (bahasa Latin: peregrinatio). Perang-perang dengan restu dari gereja ini baru dikait-kaitkan dengan istilah “salib” setelah kata “crucesignatus” (orang yang diberi tanda salib) dari bahasa Latin mulai digunakan pada akhir abad ke-12.

Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, etimologi kata “crusade” (istilah Inggris untuk “Perang Salib”) berkaitan dengan kata croisade dalam bahasa Prancis modern, croisée dalam bahasa Prancis kuno, crozada dalam bahasa Provençal, cruzada dalam bahasa Portugis dan Spanyol, dan crociata dalam bahasa Italia. Semua kata ini adalah turunan dari kata cruciāta atau cruxiata dalam bahasa Latin Abad Pertengahan, yang mula-mula berarti “menyiksa” atau “menyalibkan”, tetapi sejak abad ke-12 juga berarti “membuat tanda salib”.

Istilah “Perang Salib” dapat saja dimaknai secara berbeda, tergantung dari pandangan penulis yang menggunakannya. Giles Constable dalam The Historiography of the Crusades (2001) menjabarkan empat sudut pandang berbeda di kalangan para pengkaji sejarah sebagai berikut.

1. Sudut Pandang Kaum Tradisionalis

Kaum tradisionalis membatasi pengertian Perang Salib sebagai perang-perang yang dilakukan oleh umat Kristen di Tanah Suci semenjak 1095 sampai 1291, baik untuk membantu umat Kristen di negeri itu maupun untuk memerdekakan Yerusalem dan Makam Suci dari penjajahan.

2. Sudut Pandang Kaum Pluralis

Kaum pluralis menggunakan istilah Perang Salib sebagai sebutan bagi segala macam aksi militer yang direstui secara terbuka oleh paus yang sedang menjabat. Pemaknaan ini mencerminkan pandangan Gereja Katolik Roma (termasuk tokoh-tokoh Abad Pertengahan pada masa Perang Salib, seperti Santo Bernardus dari Clairvaux) bahwasanya setiap perang yang direstui oleh Sri Paus dapat disebut secara sah sebagai Perang Salib, tanpa membeda-bedakan sebab, alasan, maupun tempatnya.

Definisi yang luas ini mencakup pula aksi-aksi penyerangan terhadap kaum penyembah berhala dan ahli bidah seperti Perang Salib Albigensia, Perang Salib Utara, dan Perang Salib Husite. Definisi ini juga mencakup perang-perang demi keuntungan politik dan penguasaan wilayah seperti Perang Salib Aragon di Sisilia, Perang Salib yang dimaklumkan Sri Paus Inosensius III terhadap Markward dari Anweiler pada 1202, dan yang dimaklumkan terhadap orang-orang Stedingen, beberapa Perang Salib yang dimaklumkan (oleh paus-paus yang berbeda) terhadap Kaisar Friedrich II beserta putra-putranya, dua Perang Salib yang dimaklumkan terhadap para penentang Raja Henry III dari Inggris, dan aksi penaklukan kembali Semenanjung Iberia oleh umat Kristen.

3. Sudut Pandang Kaum Generalis

Kaum generalis memandang Perang Salib sebagai segala macam perang suci yang berkaitan dengan Gereja Latin dan yang dilakukan sebagai tindakan bela agama.

4. Sudut Pandang Kaum Popularis

Kaum popularis membatasi pengertian Perang Salib sebagai perang-perang yang bercirikan gerakan khalayak ramai dengan alasan keagamaan, yakni hanya Perang Salib pertama dan mungkin pula Perang Salib Rakyat.

Nah, itulah informasi mengenai sejarah peradaban Mesir Kuno dari periode pradinasti hingga dominasi Romawi. Mesir telah meninggalkan warisan yang abadi. Seni dan arsitekturnya banyak ditiru, dan barang-barang antik buatan peradaban ini dibawa hingga ke ujung dunia. Reruntuhan-reruntuhan monumentalnya menjadi inspirasi bagi pengelana dan penulis selama berabad-abad.

Latar Belakang Perang Salib

Setelah pasukan muslim mengalahkan Bizantium dalam Pertempuran Yarmuk pada 636, Palestina berada di bawah kendali Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah. Hubungan politik, perdagangan, dan toleransi antara negara-negara Arab dan Kristen Eropa mengalami pasang surut hingga tahun 1072, ketika Fatimiyah kehilangan kendali atas Palestina dan beralih ke Kekaisaran Seljuk Raya yang berkembang pesat.

Kendati khalifah Fatimiyah Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus, penerusnya mengizinkan Kekaisaran Bizantium untuk membangunnya kembali. Para penguasa muslim mengizinkan peziarahan oleh umat Katolik ke tempat-tempat suci. Para pemukim Kristen lantas dianggap sebagai dzimmi (orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam) dan perkawinan campur tidaklah jarang terjadi.

Budaya dan keyakinan hidup berdampingan dan saling bersaing, tetapi kondisi-kondisi daerah perbatasan tidak bersahabat bagi para pedagang dan peziarah Katolik. Gangguan atas peziarahan karena penaklukan bangsa Turki Seljuk memicu dukungan bagi perang-perang Salib di Eropa Barat.

Terjemahan Prancis dari De Casibus Virorum Illustrium karya Boccaccio memperlihatkan Sultan Seljuk Alp Arslan secara ritual mempermalukan Romanos IV pada 1071 setelah Pertempuran Manzikert. Alp Arslan mengizinkan Romanos untuk kembali Konstantinopel, tetapi dia lantas terbunuh oleh kaum Bizantium.

Kekaisaran Bizantium melakukan ekspansi wilayah pada awal abad ke-10 melalui Basilius II yang menghabiskan sebagian besar kekuasaannya selama setengah abad dengan melakukan berbagai penaklukan. Meskipun  mewariskan peningkatan harta benda, mereka menelantarkan urusan-urusan domestik dan mengabaikan tugas untuk menggabungkan hasil-hasil penaklukannya ke dalam ekumene Bizantium.

Sementara itu, tak ada satu pun penerus Basilius yang memiliki bakat politik atau militer. Tugas mengatur kekaisaran semakin banyak diserahkan kepada pelayanan sipil. Upaya-upaya mereka untuk mengembalikan kemakmuran perekonomian Bizantium justru memicu inflasi. Untuk menyeimbangkan anggaran yang semakin tidak stabil, tentara tetap Basilius dibubarkan dan tentara themes (divisi administratif utama dari Kekaisaran Romawi Timur pada abad pertengahan) digantikan dengan tagmata (satuan militer yang sebesar batalion atau resimen). Setelah kekalahan pasukan Bizantium pada 1071 dalam Pertempuran Manzikert, bangsa Turki Seljuk menguasai hampir keseluruhan Anatolia dan kekaisaran tersebut kerap kali mengalami perang saudara.

Penaklukan kembali Semenanjung Iberia dari kekuasaan kaum Muslim dimulai pada abad ke-8 dan mencapai titik baliknya dengan direbutnya kembali Toledo pada 1085. Kendati dalam Konsili Clermont tahun 1095 Paus Urbanus II telah membandingkan peperangan Iberia dengan Perang Salib Pertama yang dimaklumkannya, tetapi status perang salib baru diperoleh melalui ensiklik (surat amanat Paus) Paus Kallistus II tahun 1123.

Setelah ensiklik ini, kepausan menyatakan perang-perang salib Iberia pada 1147, 1193, 1197, 1210, 1212, 1221, dan 1229. Hak-hak istimewa Laskar Salib juga diberikan kepada mereka yang membantu ordo-ordo militer utama (Kesatria Templar dan Kesatria Hospitalis) dan ordo-ordo Iberian yang pada akhirnya bergabung dengan kedua ordo utama: Ordo Calatrava dan Ordo Santiago.

Sejak tahun 1212 hingga 1265 kerajaan-kerajaan Kristen Iberia mendesak kaum muslim sampai ke Keamiran Granada di ujung selatan semenanjung tersebut. Pada 1492, keamiran ini ditaklukkan dan kaum muslim maupun Yahudi dipaksa keluar dari semenanjung tersebut.

Suatu kepausan reformis yang agresif mengalami perselisihan dengan monarki-monarki sekuler Barat dan Kekaisaran Timur, menyebabkan Skisma Timur–Barat dan Kontroversi Penobatan (yang dimulai sekitar tahun 1075 dan berlanjut selama Perang Salib Pertama). Kepausan tersebut mulai menegaskan kemerdekaannya dari para penguasa sekuler dan menyusun alasan-alasan penggunaan kekuatan bersenjata secara tepat oleh kalangan Katolik. Hasilnya adalah kesalehan yang ketat, suatu minat dalam hal-hal keagamaan, dan propaganda keagamaan yang menganjurkan suatu perang yang benar untuk merebut kembali Palestina dari kaum muslim.

Pandangan mayoritas adalah bahwa umat non-Kristen tidak dapat dipaksa untuk menerima baptisan Kristen atau diserang secara fisik karena memiliki iman yang berbeda, tetapi ada kaum minoritas yang meyakini bahwa konversi paksa dan pembalasan dapat dibenarkan karena penolakan atas pemerintahan dan iman Kristen. Partisipasi dalam perang seperti itu dipandang sebagai suatu bentuk penitensi yang dapat mengganti kerugian akibat dosa. Bangsa Jerman di sisi lain melakukan ekspansi dengan mengorbankan bangsa Slavia, sedangkan Sisilia ditaklukkan oleh seorang petualang Norman bernama Robert Guiscard pada 1072.

Ilustrasi dari Livre des Passages d’Outre-mer (ca. 1490) memperlihatkan Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont.

(Sumber: Bibliothèque Nationale)

Kaisar Alexius I Komnenus meminta bantuan militer (kemungkinan tentara bayaran untuk memperkuat tagmatanya) dari Paus Urbanus II pada Konsili Piacenza tahun 1095 untuk memerangi Seljuk. Dia secara berlebihan menceritakan bahaya yang dihadapi Kekaisaran Timur agar dapat memperoleh pasukan yang dibutuhkannya.

Selanjutnya, Paus Urbanus mengangkat isu-isu mengenai masalah yang terjadi di Timur dan perjuangan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) melawan kaum muslim dalam Konsili Clermont pada 27 November 1095 yang dihadiri hampir 300 klerus Prancis.

Lima sumber utama seputar informasi terkait konsili ini adalah Gesta Francorum (Perbuatan-Perbuatan Bangsa Franka), sebuah karya anonim bertarikh antara tahun 1100–1101; Fulcher dari Chartres, seorang imam yang menghadiri konsili ini; Robert sang Rahib, yang kemungkinan ikut menghadirinya; serta Baldric, Uskup Agung Dol, dan Guibert dari Nogent. Laporan-laporan tersebut berupa tulisan tinjauan ke belakang yang sangat jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Dalam Historia Iherosolimitana karya Robert sang Rahib yang ditulis tahun 1106–1107, disebutkan bahwa Paus Urbanus meminta kaum Kristen barat untuk membantu Kekaisaran Bizantium karena “Deus vult” (“Allah menghendakinya”) dan menjanjikan absolusi (pernyataan pengampunan atas dosa-dosa pribadi kepada orang yang bertobat) bagi para pesertanya. Menurut sumber-sumber lainnya, paus tersebut menjanjikan suatu indulgensi (penghapusan hukuman atau siksa dosa sementara karena dosa-dosa yang telah mendapat ampunan).

Dalam laporan-laporan itu, Paus Urbanus menekankan untuk merebut kembali Tanah Suci daripada sekadar membantu sang kaisar dan dia juga merinci pelanggaran-pelanggaran mengerikan yang diduga dilakukan oleh kaum muslim. Perang salib tersebut diserukan di seluruh Prancis. Paus Urbanus menulis kepada mereka yaitu, “Yang menanti di Flandria bahwa bangsa Turki Seljuk, selain menghancurkan ‘gereja-gereja Allah di wilayah-wilayah timur’, juga telah merebut ‘Kota Suci Kristus’, yang dihiasi oleh sengsara dan kebangkitan-Nya—dan merupakan penghujatan untuk mengatakannya—mereka telah menjualnya dan membuat gereja-gereja ke dalam perbudakan keji”.

Meskipun sang paus tidak secara eksplisit menyebut penaklukan kembali Yerusalem, dia menyerukan “pembebasan” militer atas gereja-gereja Timur dan menunjuk Adhemar dari Le Puy untuk memimpin perang salib ini (yang  dimulai pada 15 Agustus, dalam peringatan Maria Diangkat ke Surga).

Nah, itulah informasi mengenai terminologi dan latar belakang terjadinya Perang Salib. Perang Salib adalah sebutan bagi perang-perang agama di Asia Barat dan Eropa antara abad ke-11 sampai abad ke-17, yang disokong oleh Gereja Katolik. Perang itu disebut Perang Salib oleh orang Kristen, sedangkan orang Islam menyebutnya dengan Perang Suci.

BACA JUGA:

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.