Sejarah

Biografi Mohammad Hatta: Proklamator, Pemikir, dan Bapak Koperasi Indonesia

Written by Shaza Zahra

biografi moh hattaGrameds, ketika membicarakan tentang sejarah kemerdekaan Indonesia, nama Soekarno dan Mohammad Hatta tidak pernah bisa dipisahkan. Keduanya adalah Dwi Tunggal, dua tokoh penting yang membawa bangsa ini menuju kemerdekaan.

Mohammad Hatta sendiri merupakan salah satu tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dikenal sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Ia juga dianggap sebagai salah satu pemikir besar yang dimiliki bangsa ini.

Bersama Soekarno, Hatta diakui sebagai Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Tak hanya itu, ia juga dijuluki sebagai Bapak Koperasi Indonesia atas kontribusinya dalam membangun sistem ekonomi kerakyatan.

Dalam perjuangannya meraih kemerdekaan bagi Indonesia, Bung Hatta harus berhadapan dengan berbagai bentuk tekanan dari penjajah Belanda, termasuk pengalaman pahit saat harus menjalani hukuman penjara. Meski demikian, rintangan itu tidak pernah menggoyahkan semangat dan tekadnya untuk terus berjuang demi tanah air Indonesia.

Yuk, Grameds, kita telusuri lebih jauh perjalanan hidup Bung Hatta dan warisan pemikirannya yang tetap relevan hingga masa sekarang.

Lahir dan Tumbuh di Minangkabau

Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 12 Agustus 1902. Ia berasal dari keluarga Minangkabau yang cukup terpandang. Ayahnya, Haji Muhammad Djamil, wafat saat Hatta masih kecil. Ibunya, Siti Saleha, kemudian membesarkannya dengan penuh kasih dan disiplin. Dalam budaya Minangkabau yang menekankan pendidikan dan peran kaum ibu, Hatta tumbuh menjadi anak yang tekun belajar dan gemar membaca sejak usia dini.

Pendidikan formal Hatta dimulai dari Europeesche Lagere School (ELS) di Bukittinggi, kemudian melanjutkan ke MULO di Padang, dan AMS di Batavia. Kecerdasannya di bidang ekonomi dan humaniora sudah terlihat sejak remaja. Ia dikenal sebagai seseorang yang pendiam namun memiliki pemikiran kritis dan seorang pemuda yang tidak suka basa-basi namun tajam dalam berpikir.

Menimba Ilmu di Belanda

Pada tahun 1921, Hatta berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Handels Hoogeschool di Rotterdam (kini Erasmus University Rotterdam), jurusan ekonomi. Di sana, ia tidak hanya fokus belajar, tetapi juga aktif dalam organisasi pelajar Indonesische Vereniging yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia.

Grameds, inilah momen di mana pemikiran nasionalisme Hatta mulai terbentuk. Ia menulis banyak artikel di majalah Indonesia Merdeka, dan mulai membicarakan kemerdekaan Indonesia secara lugas, tanpa basa-basi atau kompromi terhadap kolonialisme.

Berbeda dari banyak aktivis pada zamannya yang radikal, Hatta lebih percaya pada pendekatan yang rasional dan terukur. Ia mengedepankan pendidikan, penguatan ekonomi rakyat, dan pembentukan sistem negara yang demokratis. Baginya, kemerdekaan bukan hanya soal semangat perjuangan, tapi juga perlu dibarengi dengan strategi dan pengetahuan yang kuat.

Ditangkap, Diadili, dan Pembuktian Diri

Pada tahun 1927, Hatta ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda bersama tiga rekannya karena dianggap melakukan tindakan yang mengancam keamanan negara (subversif). Mereka dibawa ke pengadilan di Den Haag untuk diadili. Tapi justru di ruang sidang itulah Hatta menunjukkan semangat nasionalismenya yang kuat.

Dalam pledoi atau pembelaannya yang berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka), Hatta menyampaikan argumen yang tajam dan masuk akal. Ia menegaskan bahwa memperjuangkan kemerdekaan adalah hak semua bangsa, bukan kejahatan.

Akhirnya, pengadilan memutuskan membebaskan Hatta. Sejak saat itu, namanya dikenal luas sebagai pemimpin muda yang cerdas, berani, dan teguh pada prinsipnya.

Sumber: Wikipedia

Kembali ke Tanah Air dan Memperkuat Gerakan

Hatta kembali ke Indonesia pada 1932 dan langsung bergabung dengan organisasi pendidikan dan sosial-politik. Ia aktif di Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), berbeda dengan PNI lama yang dipimpin Soekarno. Walau mereka berdua memiliki pendekatan yang berbeda, Soekarno dan Bung Hatta memiliki tujuan yang sama yaitu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1934, Hatta dan Sutan Sjahrir kembali ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Boven Digoel, kemudian dipindahkan ke Banda Neira. Di pengasingan inilah Hatta memperdalam pemikirannya, menulis banyak esai, dan melatih diri menjadi seorang negarawan sejati.

Grameds, bahkan dalam keterbatasan dan pengasingan, Hatta tidak berhenti belajar. Ia mengajari penduduk setempat membaca, menulis, dan berdiskusi. Sikap ini menunjukkan bahwa perjuangannya tak pernah surut—di manapun ia berada, pendidikan dan pencerahan rakyat selalu menjadi prioritas utama.

Proklamasi dan Peran Sebagai Wakil Presiden

Ketika Jepang menduduki Indonesia dan menyerah kepada Sekutu pada 1945, situasi politik berubah cepat. Pada 16 Agustus 1945, Hatta dan Soekarno “diculik” oleh golongan muda ke Rengasdengklok agar segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang.

Keesokan harinya, pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta bersama-sama membacakan dan menandatangani teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam struktur pemerintahan awal, Hatta diangkat sebagai Wakil Presiden pertama RI. Dalam posisi tersebut, Hatta tidak hanya menjadi pendamping Soekarno, tapi juga penyeimbang. Ia berperan dalam penyusunan Undang-Undang Dasar, pengembangan sistem pemerintahan, dan pengelolaan diplomasi internasional.

Ketika Republik menghadapi Agresi Militer Belanda, Hatta menjadi salah satu tokoh penting dalam meja perundingan.

Pakar Ekonomi dan Bapak Koperasi Indonesia

Salah satu kontribusi terbesar Hatta adalah dalam bidang ekonomi. Ia menolak sistem kapitalisme liberal dan sosialisme otoriter.

Sebaliknya, Hatta memperkenalkan konsep ekonomi kerakyatan—suatu sistem ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pelaku utama dalam roda pembangunan.

Bagi Hatta, koperasi adalah bentuk paling ideal dalam mengembangkan ekonomi rakyat yang adil dan demokratis. Oleh karena itulah ia dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pemikirannya tentang koperasi tidak sekadar teori, tetapi diwujudkan melalui program dan kebijakan nyata, termasuk mendirikan berbagai koperasi di masa awal kemerdekaan. Setiap 12 JuliHari Koperasi Nasional—nama Bung Hatta selalu dikenang sebagai inspirasi dan teladan.

Kritik, Mundur, dan Sangat Menjaga Prinsip

Walaupun Bung Hatta punya hubungan dekat dengan Soekarno, ia tetap berani menyampaikan kritik kalau merasa arah politik negara sudah mulai menjauh dari semangat demokrasi. Ia tidak setuju dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang membuat kekuasaan jadi terlalu terpusat.

Karena itu, pada 1 Desember 1956, Hatta memutuskan untuk mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden. Keputusan ini menunjukkan bahwa Hatta adalah sosok yang teguh memegang prinsip. Ia tidak tergoda oleh kekuasaan dan lebih memilih jalan sebagai pemikir yang bebas.

Setelah mundur, Bung Hatta tetap aktif menulis, mengajar, dan menyampaikan pandangannya lewat berbagai forum. Ia menjadi suara yang terus mengingatkan bangsa ketika arah kebijakan negara mulai keluar jalur.

Kehidupan Pribadi dan Keteladanan

Grameds, selain dikenal sebagai pemimpin dan pemikir besar, Hatta juga dikenang karena gaya hidupnya yang sederhana dan penuh integritas. Ia tidak pernah menyalahgunakan jabatan, tidak mengumpulkan kekayaan, dan hidup hemat sampai akhir hayatnya.

Salah satu kisah terkenal adalah ketika ia menolak permintaan anaknya untuk dibelikan sepatu baru karena harga sepatu tersebut terlalu mahal menurut ukuran gajinya sebagai pejabat negara. Keteladanan ini menjadi pelajaran moral yang sangat kuat bagi generasi sekarang.

Wafat dan Warisan yang Abadi

Mohammad Hatta wafat pada 14 Maret 1980 di Jakarta dalam usia 77 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanah Kusir dengan upacara kenegaraan. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia.

Namun, warisannya tetap hidup—bukan hanya dalam bentuk fisik seperti koperasi atau tulisan-tulisannya, tetapi juga dalam nilai-nilai seperti kejujuran, kemandirian, pendidikan, dan demokrasi.

Kesimpulan

Grameds, Mohammad Hatta bukan sekadar tokoh sejarah yang disebut di buku pelajaran. Ia adalah panutan sejati yang menunjukkan bahwa perjuangan tidak selalu harus dengan teriakan keras atau kekuatan fisik. Ia membuktikan bahwa pemikiran yang tajam, prinsip yang kokoh, dan tindakan yang tulus bisa menjadi kekuatan besar dalam mengubah arah bangsa.

Di era modern ini, semangat Bung Hatta tetap relevan. Ketika bangsa kita dihadapkan pada tantangan moral, ekonomi, dan sosial, teladan Hatta bisa menjadi kompas arah.

Mari kita terus belajar dari beliau—bukan hanya dari sejarahnya, tapi juga dari nilai hidupnya yang patut kita teladani dan teruskan.

Rekomendasi Buku Terkait

1. Keteladanan Bung Hatta

KETELADANAN BUNG HATTA

Bung Hatta adalah sosok yang benar-benar layak dijadikan teladan. Apa yang ia ucapkan selalu sejalan dengan sikap dan perilaku sehari-harinya. Ia memberi contoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dikenal sebagai pribadi yang taat beribadah, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, serta piawai dalam berorganisasi. Karakternya mencerminkan etika dan tata krama yang tinggi.

Sebagai seorang ilmuwan dan ahli ekonomi, ia juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Dalam kehidupan pribadinya, Hatta terkenal sangat tertib, disiplin, tepat waktu, rapi, dan hidup sederhana. Ia juga jujur, bersih, cerdas, tenang, berpikiran dalam, konsisten terhadap prinsip, dan selalu bersikap santun. Semua ini membuatnya menjadi sosok pemimpin dan pemikir yang patut diteladani oleh generasi bangsa.

2. Mohammad Hatta – Politik, Kebangsaan, dan Ekonomi

Mohammad Hatta - Politik, Kebangsaan, dan Ekonomi

Bila ingin memahami dunia intelektual dan politik Bung Hatta, telusurilah melalui tulisan-tulisannya. Di situ akan tampak warisan pemikiran visioner Bung Hatta seputar dunia politik, kebangsaan, dan ekonomi pada zaman itu yang masih relevan hingga saat ini.

Sebut saja konsep demokrasi yang sudah diperbincangkan Hatta jauh sebelumnya yang masih hangat sampai sekarang. Juga disinggung soal konflik kekuasaan, soal gerakan non-cooperation dan cooperation, tentang negara kolonial dan kolonialisme, ekonomi berencana, asal mula nama Indonesia, wawasannya tentang peranan pemuda menuju kemerdekaan Indonesia. Juga dipaparkan visi ekonomi Indonesia di masa mendatang, pengertian Pancasila, termasuk kesaksiannya pada detik-detik bersejarah sekitar Proklamasi. Kecintaan Mohammad Hatta pada tanah air Indonesia tidak pernah luntur. Cita-cita luhur pada bangsa dan negaranya, serta perjuangannya menuju Indonesia merdeka, adil, dan makmur.

Bung Hatta menempatkan dirinya sebagai saksi sejarah, di Eropa maupun di Nusantara ini. Pribadi Hatta adalah seorang yang teliti, tidak menerima sesuatu for granted; semuanya dicerna, termasuk proses menuju suatu peristiwa. Daniel Dhakidae, Ph.D., Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Prisma.

3. Bung Hatta Di Mata Tiga Putrinya

Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya

Bung Hatta bagaikan lentera keluarga bagi tiga putrinya. Penuntun, pembimbing, pelindung, sekaligus menanamkan pendidikan karakter yang tumbuh hingga saat ini. Bung Hatta yang ditulis sebagaimana adanya.

Ada cerita lucu, gembira, menyebalkan bahkan cerita sedih.

“Beliau senang kalau saya berpakaian rapi dengan warna-warna yang menurut istilah sekarang, kinclong, sesuai pilihan ibu saya. Namun, ayah tidak pernah memuji saya dengan kata-kata berbunga…. Namun, kalau saya menunjukkan gambar yang saya buat dengan pensil berwarna, Ayah segera memuji saya. Ketika saya remaja, saya baru sadar bahwa pujian itu dimaksudkan Ayah agar saya terus mengembangkan kemampuan saya untuk menjadi lebih baik lagi.” (Meutia Farida Hatta)

“Pada tahun 1971, Ayah, Ibu, disertai Halida pergi berobat ke Austria. Sekembali dari sana, Ayah memerintahkan Pak Wangsa Widjaja mengembalikan kelebihan dana sisa perjalanan yang diperolehnya itu ke negara melalui Sekretariat Negara…. Tidak terlintas di pikiran Ayah sedikit pun untuk menggunakan sisa uang untuk dirinya sendiri atau keluarganya.” (Gemala Rabi’ah Hatta)

“Dalam kesederhanaan hidup Ayah sebagai eks Wakil Presiden, Ayah tetap memakai standar internasional. Contohnya, untuk kegiatan korespondensi atau surat menyurat. Kertas surat dipesan selalu dari G. Lalo di Paris dengan cetakan nama Ayah: Mohammad Hatta di sisi kiri atas. Ini adalah sebuah prinsip bahwa seorang yang mempunyai status tertentu di dalam masyarakat, ia harus mengerti menjaga martabatnya… Di sisi lain, itu adalah untuk juga memberikan rasa hormat atau menghargai orang yang diberi surat….” (Halida Nuriah Hatta)

4. Mohammad Hatta Kisah Teladan Sang Proklamator

Mohammad Hatta : Kisah Teladan Sang Proklamator

Mustahil rasanya membicarakan sejarah Indonesia tanpa menceritakan peran Mohammad Hatta di dalamnya. Lahir dari keluarga serba berkecukupan tidak membuatnya kehilangan kepedulian akan penderitaan rakyat di negeri yang sedang dijajah. Hatta mulai berjuang di masa pergerakan bersama rekan-rekannya di Perhimpunan Indonesia di Belanda. Dalam perkembangannya, Hatta menjadi Dwi Tunggal bersama Soekarno, kemudian mereka menjadi presiden dan wakil presiden.

Duduk di kursi wapres, tidak membuat Hatta berhenti memperjuangkan hal yang dianggapnya benar. Ketika Soekarno sudah mengarah ke arah demokrasi terpimpin, Hatta memperlihatkan ketidaksetujuannya. Puncaknya, Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden. Namun, perbedaan pandangan politik tidak membuat Soekarno dan Hatta berhenti bersahabat.  Setelah tidak menjadi wakil presiden, Hatta tetap berkegiatan menulis dan memberikan ceramah di kampus. Hingga akhir hayatnya, Hatta ingin dekat dengan rakyat. Oleh karena itu ia berpesan agar dirinya dimakamkan di taman pemakaman umum Tanah Kusir saja, bukan di taman makam pahlawan Kalibata.

5. Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)

Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010) Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010) Seri Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman (2010)

Jika masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad Hatta hanya perlu mencetak ulang tulisannya yang terbit pada 1962: “Pembangunan tak berjalan  sebagaimana semestinya…. Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah”.

Demokrasi dapat berjalan baik, menurut Hatta, jika ada rasa tanggung jawab dan toleransi di kalangan pemimpin politik. Sebaliknya, kata dia, “Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk lawannya: diktator.”

Kisah Muhammad Hatta adalah satu dari empat cerita tentang pendiri republik: Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Diangkat dari edisi khusus Majalah Berita Mingguan Tempo sepanjang 2001-2009, serial buku ini mereportase ulang kehidupan keempatnya. Mulai dari pergolakan pemikiran, petualangan, ketakutan hingga kisah cinta dan cerita kamar tidur mereka.

About the author

Shaza Zahra

Gramedia Literasi