Sejarah

Memahami Sejarah Perang Pattimura dan Perang Nusantara Lainnya

Perang Pattimura
Written by Fandy

Perang Pattimura – Grameds pasti sudah mengetahui sejarah panjang Indonesia sebelum akhirnya kita mendapatkan kemerdekaan. Terjajahnya Indonesia bermula dari datangnya penjajah dari Benua Eropa seperti Portugis, Belanda dan Inggris, disusul oleh kedatangan Jepang beberapa tahun sebelum kita merdeka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sosok Proklamator sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia, I.R. Soekarno bersama dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta didukung oleh tokoh-tokoh lain menjadi kunci dalam kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Meskipun demikian, perlu Grameds ingat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak serta-merta terjadi karena orang-orang yang sudah disebutkan di paragraf sebelumnya. Jauh sebelum pembacaan proklamasi kemerdekaan, terdapat berbagai macam upaya dari sejumlah daerah untuk melepaskan diri dari jeratan penjajah.

Upaya ini bahkan sampai menimbulkan peperangan kecil di daerah tersebut. Meskipun mayoritas peperangan seperti Perang Pattimura, Perang Diponegoro, Perang Padri dan Perang Aceh ini berakhir dengan kekalahan, tidak menutup fakta juga bahwa upaya-upaya tersebut menjadi salah satu pemantik keinginan masyarakat Indonesia agar bisa merdeka.

Untuk itu, pada artikel kali ini, kita akan kembali mengulas beberapa Perang Nusantara yang sempat terjadi sebelum Indonesia merdeka. Grameds nantinya akan mempelajari tokoh-tokoh yang terlibat dalam perang ini serta kronologi perang tersebut secara general.

Perang Pattimura

Sekilas Mengenai Pattimura

Perang Pattimura

Wikipedia

Terdapat sejumlah kontroversi mengenai nama asli sosok yang lebih dikenal dengan nama Kapitan Pattimura ini. Umumnya, masyarakat mengetahui nama asli Pattimura sebagai “Thomas Matulessy”. Tetapi, sumber-sumber lain mengatakan bahwa sosok Pattimura mempunyai nama asli “Ahmad Lussy”.

Terlepas dari nama asli Pattimura, tidak bisa dipungkiri bahwa sosok yang lahir pada 7 Juni 1973 ini merupakan salah satu pahlawan nasional yang sempat membela tanah kelahirannya, Pulau Maluku pada tahun 1817. Dirinya mengajak rakyat Maluku untuk memberontak melawan penjajah yang menginvasi tanah kelahiran mereka.

Pemberontakan tersebut saat ini juga dikenal dengan istilah “Perang Pattimura”. Sayangnya, saat itu usaha Pattimura dalam mengalahkan penjajah tidak berakhir sukses. Pada akhirnya, dia dan sejumlah rekannya ditangkap oleh penjajah Belanda dan dirinya dihukum mati atas perbuatannya.

Sekilas Mengenai Marta Christina Tiahahu

Perang Pattimura

Wikipedia

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Pattimura bukanlah satu-satunya sosok yang turut andil dalam melawan penjajah Belanda ketika Pulau Maluku diinvasi. Pahlawan nasional lain yang juga ikut dalam peristiwa pemberontakan ini adalah wanita bernama Marta Christina Tiahahu.

Lahir pada 4 Januari 1800, Marta Christina Tiahahu sudah ikut membantu pembebasan Tanah Maluku dari tangan penjajah sejak usianya yang ke-17. Dirinya ikut turun ke medan peperangan bersama dengan sang ayah, membantu Pattimura dalam pemberontakan atas penjajah Belanda pada tahun 1817.

Sayangnya, Marta Christina Tiahahu dan sang ayah tertangkap oleh pasukan Belanda. Meskipun pada akhirnya Marta Christina Tiahahu dilepas oleh pasukan Belanda, nyawa sang ayah tidak tertolong. Selepasnya, dirinya melarikan diri ke hutan, di mana perlahan kesehatan jiwa dan kesehatan raganya semakin memburuk karena menyaksikan orang yang dicintainya tewas di hadapannya.

Sejarah Perang Pattimura

Perang Pattimura diawali dari penunjukkan Pattimura sebagai “Kapitan” atau pemimpin dari perang tersebut pada Mei 1817. Sosok Pattimura dipilih oleh masyarakat sekitar karena Pattimura diketahui merupakan sosok berwibawa dan pernah menerima pelatihan militer, membuatnya cocok memimpin di medan perang.

Bersama dengan sejumlah rekannya seperti Said Perintah, Anthony Reebhok, Paulus Tiahahu dan anaknya Martha Christina Tiahahu serta para warga Maluku lainnya, mereka menyerang Benteng Duurstede yang saat itu merupakan salah satu markas besar tentara Belanda.

Upaya Pattimura dan rekan-rekannya sukses, dan warga Maluku berhasil menduduki Benteng Duurstede tersebut. Belanda sendiri sempat beberapa kali mencoba merebut Benteng Duurstede, namun usaha mereka selalu digagalkan oleh Pattimura. Sembari mempertahankan Benteng Duurstede, Pattimura dan rekan-rekan mencoba melancarkan serangan-serangan lain.

Pasca menyatakan Proklamasi Haria untuk masyarakat Maluku terhadap tentara Belanda, Pattimura menyerang Benteng Zeelandia pada Juni 1817. Sayang, kali ini upayanya gagal. Lebih buruk lagi, Benteng Duurstede pada akhirnya bisa kembali direbut oleh Belanda.

Meskipun demikian, hal ini tetap tidak menyurutkan semangat warga Maluku untuk kembali merebut tanah kelahiran mereka. Tetapi, Belanda bukan tanpa akal. Mereka beberapa kali membuat sejumlah siasat licik untuk menjatuhkan moral masyarakat Maluku dan mengurangi tenaga para pemberontak.

Salah satunya adalah dengan “membeli” Raja Booi, yang saat itu mendiami wilayah Saparua. Dirinya membocorkan strategi Pattimura dan koleganya, membuat mereka akhirnya tertangkap pada November 1817. Setelah ditangkap, Pattimura dan rekan-rekannya seperti Anthony Reebhok, Philip Latumahina, dan Said Parintah digantung di depan Benteng Nieuw Victoria, mengakhiri perjuangan Sang Kapitan.

Perang Diponegoro

Sekilas Mengenai Diponegoro

Perang Pattimura

Wikipedia

Sosok yang juga dikenal dengan sebutan “Pangeran Diponegoro” ini adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang memimpin pasukannya untuk mengusir penjajah Belanda di dataran Jawa, tepatnya di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Perang Diponegoro diketahui sebagai salah satu perang terbesar di Indonesia dan memakan ratusan ribu korban jiwa dan merusak ribuan properti.

Sosok Diponegoro sendiri lahir dengan nama asli Bendara Raden Mas Antawirya pada 11 November 1785. Sosok ini dikenal sebagai sosok yang hangat, cinta kedamaian dan romantis. Diketahui Diponegoro sudah menikah dengan 5 wanita berbeda dan memiliki 12 anak laki-laki dan 5 anak perempuan.

Meskipun sifat aslinya yang pada dasarnya cinta kedamaian, tetapi Diponegoro tidak menyukai para penjajah Belanda. Dirinya menganggap kalau orang-orang Belanda ini memiliki sikap yang tidak ksatria dan terkesan tidak menghargai budaya serta adat istiadat Yogyakarta.

Dirinya juga dikenal memiliki pengetahuan dan kedalaman akan strategi berperang. Terbukti, Belanda kesulitan menemukan dan menangkap Diponegoro sampai akhirnya dirinya tertangkap pada tahun 1830 dan diasingkan ke Manado. Akhirnya, pada 8 Januari 1855, Diponegoro meninggal dunia di usianya yang ke-69 tahun.

Sejarah Perang Diponegoro

Perang Diponegoro bermula karena Diponegoro diketahui tidak pernah menyukai sistem Belanda dalam pendudukan wilayah Yogyakarta. Selain sistemnya yang terkesan penuh paksaan dan menyengsarakan rakyat Yogyakarta, Diponegoro juga menganggap orang-orang Belanda ini menginjak-nginjak tradisi luhur Yogyakarta.

Hal inilah yang membangkitkan api pemberontakan terhadap Belanda dalam diri Diponegoro. Bersama dengan beberapa panglimanya seperti Kiai Madja, Sentot Prawirodirjo dan Kerta Pengalasan, Diponegoro melakukan persiapan untuk berperang melawan para tentara dari Belanda.

Diponegoro menggunakan beragam taktik untuk menghindari serangan-serangan dari Belanda. Mulai dari tahun 1825-1830, sang Pangeran kerap berpindah markas dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindari Belanda. Perpindahan ini semakin dipermudah oleh banyaknya masyarakat yang memberikan dukungan moral serta logistik untuk kubu Diponegoro.

Kubu Diponegoro sendiri juga diperkuat oleh beragam senjata baik itu senjata tradisional maupun senjata api, membuat mereka bisa mengalahkan Belanda ketika harus berhadapan dengan mereka. Diponegoro dianggap begitu licin karena berkali-kali berhasil kabur dari sergapan Belanda dan hilang tanpa jejak.

Sulitnya Belanda menemukan Diponegoro membuat mereka kerap beberapa kali menurunkan para petinggi militer untuk mencari dan menyerang Diponegoro. Tidak lupa juga mereka menggunakan taktik kotor dan tipu muslihat demi menangkap sang Pangeran.

Belanda kerap beberapa kali mengadakan sayembara untuk menemukan Diponegoro dan diimbali dengan hadiah besar. Mereka juga memanfaatkan situasi di mana kubu Diponegoro harus menghadapi sejumlah penyakit semasa perang seperti malaria dan demam.

Akhirnya, pada Maret 1830, Diponegoro berhasil ditangkap setelah dijebak oleh Jenderal Belanda. Dirinya kemudian diasingkan ke Manado dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Perang ini sempat dilanjutkan oleh anak-anak Diponegoro seperti Ki Sodewa Bagus, Dipaningrat, Dipanegara Anom, dan Pangeran Joned, meskipun pada akhirnya mereka takluk dari Belanda.

Perang Padri

Sekilas Mengenai Imam Bonjol

Perang Pattimura

Wikipedia

Beralih ke daerah Minangkabau, terdapat juga sebuah perang bernama Perang Padri yang mulanya disebabkan karena perbedaan pemahaman adat oleh suku-suku setempat, hingga akhirnya suku-suku Minangkabau ini bersatu untuk mengalahkan musuh mereka sebenarnya, yakni tentara Belanda.

Adalah Imam Bonjol atau dikenal juga dengan gelarnya yakni “Tuanku Imam Bonjol”, yang merupakan sosok pemimpin dari Perang Padri ini. Sosok ini lahir dengan nama nama asli Muhammad Syahab pada 1 Januari 1772. Dirinya menjadi pemimpin yang memimpin suku setempat untuk bertempur melawan Belanda alih-alih melawan rekan sesama Minangkabau.

Kepemimpinannya dapat dikatakan cukup sukses, mengingat dirinya berhasil menyatukan kedua pihak yang sebelumnya sudah berselisih sejak puluhan tahun lamanya. Sayangnya, setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi Belanda, Imam Bonjol akhirnya harus menyerah di hadapan Belanda.

Dirinya diketahui menyerahkan diri kepada tentara Belanda. Setelahnya Imam Bonjol diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, sebelum akhirnya dipindahkan lagi ke Ambon, Maluku. Imam Bonjol wafat pada usia ke-92 tahun pada 6 November 1894.

Sejarah Perang Padri

Perang Padri awalnya dimulai dari kedua suku atau kaum yang berasal dari Minangkabau, yakni Kaum Padri dan Kaum Adat, memiliki perbedaan pendapat mengenai kepercayaan yang mereka anut. Singkat cerita, konflik antar kedua kaum ini diketahui sudah dimulai sejak tahun 1803.

Tetapi, memasuki tahun 1821, Kaum Adat terdesak setelah menghadapi berbagai macam gempuran dari Kaum Padri. Pada akhirnya, pemimpin Kaum Adat bernama Sultan Alam Bagagarsyah meminta pertolongan terhadap tentara Belanda, sekaligus menyerahkan diri mereka kepada Belanda dalam melawan Kaum Padri.

Pada akhirnya, Belanda berhasil membantu Kaum Adat dalam melawan Kaum Padri. Meskipun demikian, Belanda harus mengakui bahwa Kaum Padri merupakan salah satu lawan yang cukup sulit untuk ditaklukan. Ini menyebabkan adanya gencatan senjata oleh Belanda dan Kaum Padri memasuki tahun 1825 sampai dengan tahun 1831.

Tetapi, tidak lama setelah Perang Diponegoro usai, Belanda kembali mencoba untuk menundukan masyarakat Minangkabau dan memeras mereka. Di sinilah peran Tuanku Imam Bonjol dalam mempersatukan kedua kaum yang memiliki latar belakang berbeda untuk berperang melawan Belanda.

Perang Padri kembali dilanjutkan, kali ini bertempur melawan Belanda. Pertempuran ini dimulai dari arahan Imam Bonjol untuk menduduki kembali Kota Bonjol. Di sana terdapat sebuah benteng bernama Benteng Bonjol yang amat kokoh dan sulit untuk ditembus oleh Belanda, membuat mereka harus berpikir keras untuk menyerang pasukan Minangkabau ini.

Fokus peperangan ini beralih ke Benteng Bonjol mulai dari tahun 1835 sampai tahun 1837. Namun, setelah digempur terus-menerus, warga Minangkabau ini akhirnya semakin sulit untuk menahan perlawanan dari Belanda. Pada akhirnya, Oktober 1837, Imam Bonjol menyerah kepada Belanda.

Imam Bonjol diasingkan setahun setelah dirinya ditangkap menuju ke Cianjur, Jawa Barat dan Ambon, Maluku. Perang Padri sendiri masih berlangsung sampai tahun 1838, meskipun pada akhirnya kaum Minangkabau harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka tidak bisa mengalahkan pasukan Belanda.

Perang Aceh

Sekilas Mengenai Teuku Umar

Perang Pattimura

Wikipedia

Beralih ke Aceh, sosok yang menjadi pemimpin dalam Perang Aceh ini adalah Teuku Umar. Pria ini lahir pada tahun 1854 dengan tanggal yang belum diketahui pasti ini adalah sosok Pahlawan Nasional Indonesia yang dikenal sebagai sosok cerdik, pemberani dan penuh tekad.

Hal inilah yang membuatnya didapuk sebagai pemimpin kala warga Aceh ketika mereka berperang melawan penjajah Belanda dalam melepas diri dari penjajahan. Dirinya sempat sukses membuat Belanda susah payah dalam menundukan Aceh. Tetapi, pada akhirnya, sosok ini tewas di tengah pertempuran tersebut.

Teuku Umar diketahui tewas karena ditembak pada tahun 1899, tepatnya di bulan Februari. Dirinya dikepung oleh tentara Belanda dan mau tidak mau harus bertempur untuk meloloskan diri dari sergapan penjajah. Tetapi, dirinya gagal dan pada akhirnya harus menghembuskan napas terakhirnya di usianya yang ke-45 tahun.

Sekilas Mengenai Cut Nyak Dhien

Perang Pattimura

Wikipedia

Meninggalnya Teuku Umar tidak membuat rakyat Aceh menyerah begitu saja dalam menghadapi penjajah Belanda. Meskipun harus sempat berhenti selama beberapa tahun, perjuangan rakyat Aceh akhirnya diambil alih oleh istri dari Teuku Umar, yakni Cut Nyak Dhien.

Cut Nyak Dhien lahir pada 1848 lagi-lagi dengan tanggal dan bulan yang belum diketahui pasti. Di tahun 1880, dirinya menikah dengan sosok yang memimpin Perang Aceh, yaitu Teuku Umar. Keduanya bertempur melawan Belanda sebagai pasangan suami-istri, sebelum Teuku Umar tewas pada tahun 1899 pasca dikepung oleh Belanda.

Dengan ini, Cut Nyak Dhien berjuang sendirian memimpin pasukan di Aceh untuk mengusir penjajah Belanda. Sayangnya, dikarenakan usianya yang sudah tua, dirinya tidak mampu berbuat banyak. Setelah ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Cut Nyak Dhien meninggal pada 6 November 1908.

Sejarah Perang Aceh

Perang Aceh sendiri sebenarnya berlangsung sejak 1873 dan diketahui berakhir tahun 1915. Selama perang tersebut berlangsung, beberapa kali Belanda dan warga Aceh bergonta-ganti kepemimpinan di mana kedua kubu berusaha untuk menaklukan kubu lain.

Layaknya sejumlah peperangan yang sudah disebutkan sebelumnya, masyarakat Aceh berperang menggunakan taktik gerilya untuk menyulitkan Belanda. Sementara dari kubu Belanda sendiri, mereka menggunakan berbagai macam teknologi, senjata dan sumber daya yang mereka punya untuk mengalahkan Aceh.

Ketika Teuku Umar memimpin Perang Aceh, dirinya beberapa kali berpura-pura berada di pihak Belanda agar kubu Aceh bisa mendapatkan persediaan senjata untuk melawan sang penjajah. Taktik ini terbukti berhasil selama beberapa kali, sebelum akhirnya dirinya dikepung oleh tentara Belanda dan tewas tertembak.

Setelah Teuku Umar tewas, Cut Nyak Dhien memimpin pasukan yang tergolong kecil untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Sayangnya pasukan tersebut gagal memberi dampak besar, dikarenakan jumlahnya yang memang kecil dan tidak cukup untuk melawan Belanda, serta fakta bahwa Belanda sudah terbiasa bertempur melawan taktik Aceh dan di medan perang.

Pasca ditangkapnya Cut Nyak Dhien, Perang Aceh masih berlanjut oleh sejumlah kelompok di wilayah tersebut. Namun, hampir tidak ada dari mereka yang bisa memberi dampak besar terhadap penjajah Belanda. Akhirnya, perang ini benar-benar dianggap usai di tahun 1915.

Rekomendasi Buku Terkait

Demikian sudah artikel yang membahas Perang Pattimura dan sejumlah perang nusantara lain. Untuk mengetahui lebih lanjut sejarah di balik peperangan ini. Grameds bisa membaca buku-buku seperti buku rekomendasi di bawah ini.

1. Perang Padri di Sumatra Barat (1803-1838)

2. Kronik Perang Jawa 1825-1830

3. Kapitang Pattimura – Anak Negeri Hulaliu

Buku-buku di atas adalah persembahan Gramedia, #SahabatTanpaBatas, yang bisa kalian temukan di situs gramedia.com, agar pengetahuan dan wawasan kalian bisa bertambah #LebihDenganMembaca.

Penulis: M. Adrianto S.

BACA JUGA:

  1. Kisah Kapitan Pattimura dan Maluku
  2. Perlawanan Rakyat Maluku: Latar Belakang, Tujuan, dan Krononologinya
  3. 12 Pahlawan Asal Sumatra Beserta Biografi Singkatnya
  4. Daftar Pahlawan Nasional Indonesia: Profil & Sejarahnya
  5. Biografi Pangeran Diponegoro: Latar Belakang Kehidupan dan Perannya dalam Perang Jawa 1825-1830
  6. Biografi Tuanku Imam Bonjol: Latar Belakang Kehidupan dan Riwayat Perjuangannya 

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.