Pkn

Makna Trias Politica dan Penerapannya dalam Sistem Pemerintahan RI

Trias Politica – Suatu negara dapat dikatakan berjalan dengan baik jika terdapat suatu wilayah atau daerah teritorial yang sah, yang di dalamnya memiliki suatu pemerintahan yang sah, diakui, berdaulat, dan diberikan kekuasaan yang sah untuk mengatur para rakatnya. Kekuasaan yang sah di sini berarti bahwa pemerintah yang berdaulat merupakan representasi dari seluruh rakyat dan menjalankan kekuasaan atas kehendak rakyat.

Kekuasaan sendiri adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan sesuatu (memerintah, mewakili, mengurus, dan lain sebagainya). Pemerintah dalam hal ini menjalankan kekuasaan atas kehendak rakyat, yang artinya berdasarkan konsensus yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah disepakati bahwa rakyat memberikan wewenang kepada pemerintah untuk memerintah, mewakili, dan mengurus urusan pemerintahan.

Pembagian atau pemisahan kekuasaan sering dikenal dengan istilah “trias politica”. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu tri yang berarti “tiga”, as yang berarti “poros” atau “pusat”, dan politica yang berarti “kekuasaan”. Adapun definisi dari trias politica adalah suatu ajaran yang memiliki anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Pencetus Konsep Trias Politica

Portrait of Charles de Secondat, Baron de Montesquieu (1689-1755) (Maarten van Vliet/Public Domain Drt Old 100).

Apa Itu Trias Politica?

Istilah trias politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya “politik tiga serangkai”. Secara sederhana trias politica adalah konsep politik yang berarti pemisahan kekuasaan. Menurut Wahyu Eko Nugroho dalam jurnalnya yang berjudul Implementasi Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia, trias politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan yang berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas. Tujuannya untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut.

Konsep trias politica pertama kali dikemukakan oleh John Locke, seorang filsuf asal Inggris yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois. Konsep ini membagi suatu pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Indonesia sebagai tanah air tercinta kita merupakan salah satu negara demokrasi yang menganut konsep ini.

Montesquieu yang memiliki nama lengkap Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu (18 Januari 1689–10 Februari 1755), merupakan seorang pemikir politik dari Prancis yang hidup pada Era Pencerahan (bahasa Inggris: enlightenment). Dia terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yang banyak disadur dalam diskusi-diskusi mengenai pemerintahan dan diterapkan di banyak konstitusi seluruh dunia. Dia memegang peranan penting dalam memopulerkan istilah “feodalisme” dan “Kekaisaran Bizantium”.

Montesquieu paling dikenal dengan ajaran trias politica (pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga), yaitu eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).

Menurut Montesquieu, trias politica meliputi:

1. Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif merupakan lembaga yang melaksanakan undang-undang. Lembaga eksekutif dipimpin oleh seorang raja atau presiden beserta kabinetnya. Tidak hanya melaksanakan undang-undang, lembaga ini juga memiliki beberapa kewenangan.

Menurut Miriam Budiardjo, lembaga eksekutif memiliki kewenangan diplomatik, yudikatif, administratif, serta legislatif dan militer. Kewenangan diplomatik adalah kewenangan menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, sedangkan kewenangan yudikatif adalah kewenangan memberikan grasi dan amnesti kepada warga negaranya yang melakukan pelanggaran hukum.

Sementara itu, kewenangan administratif adalah kewenangan melaksanakan peraturan dan perundang-undangan dalam administrasi negara. Melalui kewenangan legislatifnya, seorang presiden atau menteri dapat membuat undang-undang bersama dewan perwakilan. Lembaga eksekutif juga mempunyai kewenangan mengatur angkatan bersenjata, menyatakan perang apabila dibutuhkan, dan menjaga keamanan negara.

2. Kekuasaan Legislatif

Kekuasaan legislatif merupakan lembaga yang dibentuk untuk mencegah kesewenang-wenangan raja atau presiden. Lembaga legislatif yang merupakan wakil dari rakyat ini diberikan kekuasaan untuk membuat undang-undang dan menetapkannya. Tidak hanya itu, lembaga ini juga diberikan hak untuk meminta keterangan kebijakan lembaga eksekutif yang akan dilaksanakan maupun yang sedang dilaksanakan.

Selain meminta keterangan kepada lembaga eksekutif, lembaga ini juga mempunyai hak untuk menyelidiki sendiri dengan membentuk panitia penyelidik. Hak mosi tidak percaya juga dimiliki oleh lembaga ini. Hak ini merupakan hak yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.

3. Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan untuk mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Lembaga yudikatif dibentuk sebagai alat penegakan hukum, hak penguji material, penyelesaian penyelisihan, dan hak mengesahkan peraturan hukum atau membatalkan peraturan apabila bertentangan dengan dasar negara.

Penerapan Trias Politica di Indonesia

Berikut ini kami jelaskan satu per satu penerapan Trias Politica di Indonesia berdasarkan setiap pembagian kekuasaannya:

1. Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan roda pemerintahan. Kekuasaan ini di Indonesia dipegang oleh presiden. Namun, mengingat kegiatan menjalankan undang-undang tidak mungkin dijalankan seorang diri, presiden mempunyai kewenangan untuk mendelegasikan tugas eksekutif kepada pejabat pemerintah lainnya yang turut membantunya, yaitu para menteri.

2. Kekuasaan Legislatif

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Terdapat tiga lembaga yang diberikan kewenangan legislatif di Indonesia, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

3. Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya atau secara sederhana disebut dengan kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan jika kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Fungsi yudikatif di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi atau pengadilan negara terakhir dan tertinggi, yang salah satu fungsinya adalah untuk membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Sementara itu, salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah melakukan uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Perlu diketahui, selain ketiga pembagian kekuasaan tersebut di atas, di Indonesia juga ada kekuasan eksaminatif sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yaitu sebagai kekuasaan yang berfungsi untuk memeriksa keuangan negara, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Suatu negara dapat dikatakan berjalan dengan baik jika terdapat suatu wilayah atau daerah teritorial yang sah, yang di dalamnya memiliki suatu pemerintahan yang sah, diakui, berdaulat, dan diberikan kekuasaan yang sah untuk mengatur para rakatnya. Kekuasaan yang sah di sini berarti bahwa pemerintah yang berdaulat merupakan representasi dari seluruh rakyat dan menjalankan kekuasaan atas kehendak rakyat.

Kekuasaan sendiri adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan sesuatu (memerintah, mewakili, mengurus, dan lain sebagainya). Pemerintah dalam hal ini menjalankan kekuasaan atas kehendak rakyat, yang artinya berdasarkan konsensus yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah disepakati bahwa rakyat memberikan wewenang kepada pemerintah untuk memerintah, mewakili, dan mengurus urusan pemerintahan.

Pada saat menjalankan roda pemerintahan, pemerintah memerlukan suatu “sistem pemerintahan”. Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua istilah, yaitu “sistem” dan “pemerintahan”. Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu menimbulkan ketergantungan antara bagian-bagian yangjika satu bagian tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keseluruhannya.

Sementara itu, pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara sendiri; jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lain termasuk legislatif dan yudikatif.

Ketika membahas mengenai sistem pemerintahan, erat kaitannya dengan pembagian kekuasaan dan hubungan antara lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat, yaitu mencapai cita-cita nasional yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea IV, yaitu melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara perlu dibatasi agar tidak sewenang-wenang, tidak tumpang tindih kewenangan, dan tidak terjadi pemusatan kekuasaan kepada satu lembaga. Inilah yang membuat perlu adanya suatu pembagian atau pemisahan kekuasaan. Hal tersebut dimaksudkan semata-mata untuk menjamin hak-hak asasi para warganya agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa.

Pernyataan di atas senada dengan ungkapan dari Lord Acton “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (manusia yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya). Oleh karena itu, kekuasaan harus dibagi-bagi atau dipisah-pisahkan agar tidak disalahgunakan.

Pembagian atau pemisahan kekuasaan sering dikenal dengan istilah “trias politica”. Konsep trias politica dikemukakan oleh filsuf asal Prancis yang bernama Montesquieu. Trias politica berasal dari bahasa Yunani tri yang berarti “tiga”, as yang berarti “poros” atau “pusat”, dan politica yang berarti “kekuasaan”.

Adapun definisi dari trias politica adalah suatu ajaran yang mempunyai anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Konsep trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan yang sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Artinya, konsep trias politica dari Montesquieu yang ditulis dalam bukunya berjudul L’esprit des lois (The Spirit of Laws) menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan akan saling lepas dalam kedudukan yang sederajat, sehingga dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi satu sama lain (check and balaces).

Selain itu, melalui konsep ini diharapkan dapat membatasi kekuasaan agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan kepada satu tangan yang nantinya akan melahirkan kesewenang-wenangan. Ditinjau dari segi pembagian kekuasaannya, lembaga negara atau lembaga pemerintah dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu:

  1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatannya. Maksudnya adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam negara kesatuan.
  2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Maksudnya, pembagian ini lebih menitikberatkan kepada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Pembagian kekuasaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembagian kekuasaan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenis dan fungsinya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Hampir di seluruh negara yang ada di dunia menerapkan konsep trias politica dari Montesquieu ini. Bagaimanakah dengan negara Indonesia? Untuk melihat apakah sistem pemerintahan Indonesia menerapkan konsep trias politica atau tidak, dapat dilihat dalam konstitusi negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194, di dalam konstitusi tersebut dapat diketahui apakah terjadi pembagian kekuasaan yang didasarkan atas jenis dan fungsi-fungsi negara, yaitu baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif ke dalam lembaga negara atau lembaga pemerintah.

Perlu dipahami bahwa konstitusi negara Indonesia telah mengalami amandemen. Amandemen adalah proses perubahan terhadap ketentuan sebuah peraturan, baik berupa penambahan, pengurangan atau penghilangan peraturan tertentu. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dilaksanakan sebanyak empat kali amandemen, yaitu:

  1. Amandemen yang pertama dilaksanakan pada 14 Oktober 1999–21 Oktober 1999 dan ditetapkan melalui Sidang Umum MPR.
  2. Amandemen yang kedua dilaksanakan pada 7 Agustus 2000–18 Agustus 2000 dan ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR.
  3. Amandemen yang ketiga dilaksanakan pada 1 Novermber 2001–9 November 2001 dan ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR.
  4. Amandemen yang keempat dilaksanakan pada 1 Agustus 2002–11 Agustus 2002 dan ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR.

Sehubungan dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, pembagian kekuasaan terhadap lembaga negara atau lembaga pemerintah di Indonesia, juga mengalami perubahan. Secara teoritis, perubahan tersebut setidak-tidaknya membawa perubahan struktural dan mekanisme penyelenggaraan negara.

Secara implisit, baik sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, konsep trias politica Montesquieu diterapkan dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, tetapi penerapan konsep tersebut tidak secara absolut Hal ini dikarenakan konsep trias politica Montesquieu menyatakan bahwa pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara secara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen ternyata tidak hanya legislatif (MPR dan DPR), eksekutif (presiden), dan yudikatif (MA). Namun, selain dari tiga fungsi tersebut, masih dibagi lagi, yaitu ke dalam kekuasaan konsultatif (DPA) dan kekuasaan eksaminatif (BPK).

Adapun pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesudah amandemen ternyata tidak hanya legislatif (MPR, DPR, dan DPD), eksekutif (Presiden), dan yudikatif (MA dan MK), tetapi masih dibagi lagi ke dalam kekuasaan eksaminatif (BPK).

Kesimpulan

Hasil dari studi komparatif mengenai penerapan konsep trias politica dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebelum maupun sesudah amandemen dapat diketahui bahwa pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen ternyata tidak hanya legislatif (MPR dan DPR), eksekutif (presiden), dan yudikatif (MA), tetapi selain dari tiga fungsi tersebut masih dibagi lagi, yaitu ke dalam kekuasaan konsultatif (DPA) dan kekuasaan eksaminatif (BPK).

Adapun pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesudah amandemen ternyata tidak hanya legislatif (MPR, DPR, dan DPD), eksekutif (Presiden), dan yudikatif (MA dan MK), tetapi masih dibagi lagi ke dalam kekuasaan eksaminatif (BPK).

Pembagian kekuasaan dari suatu masa ke masa selalu berganti-ganti mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, perlu kiranya sebelum melakukan perubahan (amandemen) dibahas dan dimantapkan dengan memperhatikan ius constitutum dan ius constituendum, sehingga bisa mewadahi setiap permasalahan yang muncul.

Mengenai perubahan (amandemen) di Indonesia sudah mengalami empat kali perubahan dalam rentang waktu empat tahun, yaitu 1999 hingga 2002; rentang waktu yang singkat dan ada wacana untuk perubahan kelima. Apabila benar terjadi, hendaknya substansi perubahan disesuaikan dengan budaya hukum ketatanegaraan yang sesuai dengan bangsa Indonesia.

Dasar Hukum

About the author

Mochamad Aris Yusuf

Menulis merupakan skill saya yang pada mulanya ditemukan kesenangan dalam mencari informasi. tema tulisan yang saya sukai adalah bahasa Indonesia, pendidikan dan teori yang masuk dalam komunikasi Islam.

Kontak media sosial Linkedin saya Mochamad Aris Yusuf