Kesenian

Mengenal Sejarah dan Makna Filosofis Tari Bedhaya Ketawang Surakarta

Written by Gaby

Sejarah Tari Bedhaya – Umumnya, Sahabat Gramedia dapat menikmati ragam kesenian dan tarian Nusantara kapan saja. Namun, Provinsi Jawa Tengah memiliki suatu tarian yang tidak dapat dipentaskan tiap waktu. Para penari hingga hadirin yang menonton dalam pelaksanaannya diwajibkan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Tari itu adalah Bedhaya Ketawang yang berasal dari Surakarta.

Tari Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian khusus yang dianggap sakral sebagai lambang kebesaran raja. Tarian ini adalah tari tradisional keraton yang sarat makna dan memiliki hubungan yang erat dengan upacara adat, religi, serta percintaan Raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Apakah kalian penasaran dengan tarian ini? Silakan simak terus ulasan berikut hingga tuntas!

Beksan Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian sakral atau tarian pusaka yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan atau Tinggalandalem Jumenengan ISKS Paku Buwana (upacara peringatan kenaikan takhta raja). Sejarah tari Bedhaya Ketawang ini mengisahkan tentang dalam pertapaan Panembahan Senopati yang bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang lebih dikenal dengan nama Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian Bedhaya Ketawang.

Mengutip penjelasan di dalam buku berjudul Pembelajaran Seni Tari di Indonesia dan Mancanegara yang ditulis oleh Arina Restian, nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti “penari wanita di istana atau keraton”, sedangkan ketawang berarti “langit” atau “mendung di langit” (identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan). Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut ketuhanan: segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Ketawang melambangkan sesuatu yang tinggi, suci, dan tempat tinggal para dewa. Penarinya dilambangkan seperti letak bintang kalajengking yang jumlahnya tujuh hingga sembilan orang yang memakai kostum senada. Menurut kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir dan ikut menari sebagai penari ke-10.

Lalu, bagaimana pola lantai tari Bedhaya Ketawang? Berikut penjelasannya.

Sejarah Tari Bedhaya

Tari Bedhaya Ketawang ketika dipertunjukkan dalam Sasana Sewaka, Keraton Surakarta (ESCapade/Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported).

Ada beberapa legenda yang mengungkapkan pembentukan tarian ini. Suatu ketika, Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang memerintah Kesultanan Mataram dari tahun 1613–1645 sedang melakukan laku ritual semadi. Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara tetembangan (senandung) dari arah tawang atau langit. Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut.

Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya, yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya kepada mereka. Sultan Agung sendiri kemudian menciptakan sebuah tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang karena terilhami oleh pengalaman gaib yang dialaminya.

Menurut versi yang lain, dikisahkan pula bahwa Panembahan Senapati bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul dalam pertapaannya, yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.

Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 Pakubuwana III bersama Hamengkubuwana I melakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi milik Kesunanan Surakarta dan sebagian lainnya menjadi milik Kesultanan Yogyakarta.

Pada akhirnya, Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana Keraton Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Sampai saat ini, Tari Bedhaya Ketawang dalam perkembangannya masih tetap dipertunjukkan ketika penobatan dan upacara peringatan kenaikan takhta Sunan Surakarta (SISKS Pakubuwana).

Seputar Tarian dan Makna Filosofis

Tari Bedhaya Ketawang adalah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukan ketika penobatan serta peringatan kenaikan takhta raja di Kesunanan Surakarta. Tarian ini merupakan tarian sakral yang suci bagi masyarakat dan Kesunanan Surakarta.

Menurut sejarahnya, tarian ini berawal ketika Sultan Agung memerintah kesultanan Mataram tahun 1613–1645. Pada suatu saat, Sultan Agung melakukan ritual semedi lalu beliau mendengar suara senandung dari arah langit, Sultan Agung pun terkesima dengan senandung tersebut. Lalu beliau memanggil para pengawalnya dan mengutarakan apa yang terjadi. Dari kejadian itulah Sultan Agung menciptakan tarian yang diberi nama bedhaya ketawang. Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa dalam pertapaannya Panembahan Senapati bertemu dan memadu kasih dengan Ratu Kencanasari atau Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.

Namun setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dilakukan pembagian harta warisan kesultanan mataram kepada Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Selain pembagian wilayah, dalam perjanjian tersebut juga ada pembagian warisan budaya. Tari Bedhaya Ketawang akhirnya di berikan kepada kasunanan Surakarta dan dalam perkembangannya tarian ini tetap dipertunjukan pada saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta sunan Surakarta.

Tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan hubungan asmara Kanjeng Ratu Kidul dengan raja Mataram. Semua itu diwujudkan dalam gerak tarinya. Kata-kata yang terkandung dalam tembang pengiring tarian ini menggambarkan curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja. Tarian ini biasanya dimainkan oleh sembilan penari wanita. Menurut kepercayaan masyarakat, setiap pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya akan kehadiran Kanjeng Ratu Kidul hadir dan ikut menari sebagai penari kesepuluh.

Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus di miliki setiap penarinya. Syarat yang paling utama, yaitu para penari harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari harus meminta ijin kepada Kanjeng Ratu Kidul lebih dahulu dengan melakukan caos dhahar di panggung sanga buwana, keraton Surakarta. Hal ini di lakukan dengan berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Kesucian para penari sangat penting, karena konon katanya, saat latihan berlangsung, Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari jika gerakannya masih salah.

Pada pertunjukannya, Tari Bedhaya Ketawang di iringi oleh iringan musik gending ketawang gedhe dengan nada pelog. Instrumen yang digunakan diantaranya adalah kethuk, kenong, gong, kendhang, dan kemanak. Dalam Tari Bedhaya Ketawang ini dibagi menjadi tiga babak (adegan). Di tengah tarian nada gendhing berganti menjadi slendro selama 2 kali. Setelah itu nada gending kembali lagi ke nada pelog hingga tarian berakhir.

Selain diiringi oleh musik gending, Tari Bedhaya Ketawang diiringi oleh tembang (lagu) yang menggambarkan curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, kemudian dilanjutkan dengan Ratnamulya. Pada saat penari masuk kembali ke dalem ageng prabasuyasa, instrumen musik ditambahkan dengan gambang, rebab, gender dan suling untuk menambah keselarasan suasana.

Dalam pertunjukannya, busana yang digunakan penari dalam Tari Bedhaya Ketawang adalah busana yang digunakan oleh para pengantin perempuan Jawa, yaitu Dodot Ageng atau biasa disebut dengan Basahan. Pada bagian rambut menggunakan Gelung Bokor Mengkurep, yaitu gelungan yang ukurannya lebih besar dari gelungan gaya Yogyakarta.

Untuk aksesoris perhiasan yang digunakan di antaranya adalah centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga yang dikenakan di gelungan, yang memanjang hingga dada bagian kanan).

Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian yang berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, karena tarian ini hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang sangat resmi. Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram. Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum dalam tembang (lagu) yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja.

Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan, dipercaya Kanjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari kesepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa yang disebut dengan Nawasanga.

Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta.

Syarat selanjutnya, yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran. Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kanjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.

Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing. Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya

  • Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.
  • Penari kedua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu.
  • Penari ketiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan
  • Penari keempat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan
  • Penari kelima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.
  • Penari keenam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.
  • Penari ketujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan
  • Penari kedelapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.
  • Penari kesembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari kesembilan di sini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit.

Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut juga basahan, yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa. Penari juga menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang berukuran lebih besar, serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga melati yang dikenakan di gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan).

Busana penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram.

Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Namun, sejak zaman Pakubuwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut Gending Ketawang Gedhe yang bernada pelog.

Perangkat gamelan yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir.

Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.

Makna Pola Lantai Tari Bedhaya

Sama halnya dengan tarian lainnya, tari Bedhaya Ketawang mempunyai pola lantai tersendiri. Pola lantai tarian ini menggunakan pola lantai gawang monitor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga. Pola lantai dalam tarian tersebut juga dikenal dengan nama rakit lajur yang menggambarkan lima unsur dalam diri diri manusia, yaitu cahaya, rasa, sukma, nafsu, dan perilaku.

Sebagai tarian yang sakral, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh setiap penarinya, yaitu kesembilan penari harus merupakan seorang gadis suci dan tidak sedang haid atau menstruasi. Jika sedang menstruasi, penari tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan caos dahar di panggung Sangga Buwana di Keraton Surakarta. Hal tersebut dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Ketika latihan dimulai, Kanjeng Ratu Kidul akan datang jika ada penari yang gerakannya masih kurang benar.

Koreografi Tari Bedhaya Ketawang

Sebagaimana penjelasan dalam buku Kagunan Sekar Padma: Kontinuitas dan Perkembangan Kesenian Tradisional di Yogyakarta Awal Abad XX yang disusun oleh Indra Fibiona dan Darto Harnoko, koreografi tari Bedhaya Ketawang diiringi oleh sinden dan musik gamelan. Selanjutnya, tarian itu disusun dengan sangat hati-hati berdasarkan arahan penguasa (putra mahkota) untuk acara-acara penting di istana.

Perhatian yang cermat mengenai koreografi dan iringan musik tersebut menunjukkan betapa pentingnya fungsi ritual dari bentuk seni. Koreografi yang panjang dan kompleks, serta musik gamelan dan para sinden membutuhkan kekompakan permainan seniman yang perlu latihan secara teratur agar selaras satu sama lain. Pagelaran pertunjukan besar seperti itu awalnya memang hanya ada di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta saja. Namun, pertunjukan tersebut mulai diadaptasi oleh pejabat tinggi di kadipaten seiring berjalannya waktu.

Tari Bedhaya Ketawang yang paling tua dan dianggap paling sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang Surakarta. Tarian itulah yang kemudian menjadi tarian yang menginspirasi semua bentuk koreografi Bedhaya, baik di Surakarta maupun Yogyakarta. Hal ini dikarenakan adanya pernikahan antar keluarga keraton, sehingga para mempelai membawa seniman pendherek yang menyertainya.

Kisah di Balik Tari Bedhaya Ketawang

Dikutip dari buku yang sama karangan Indra Fibiona dan Darto Harnoko, tarian ini mengisahkan tentang Ratu Kidul yang secara kebetulan bertemu dengan sultan di pantai, perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Sultan Mataram dan Kanjeng Kidul saling tertarik satu sama lain.

Sultan kemudian mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka hidup bersama selama beberapa waktu, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia, sebab kecantikannya yang abadi sangatlah sempurna seperti gadis muda.

Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga sultan begitu terpesona dengan paras kecantikan sang ratu. Sunan Kalijaga lantas menyadarkan sultan dengan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yaitu mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul.

Pada akhirnya, Sultan Agung kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang ratu akan selalu melindungi Sultan Agung dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya.

Sumber

About the author

Gaby

Hai, saya Gabriel. Saya mengenal dunia tulis menulis sejak kecil, dan saya tahu tidak akan pernah lepas dari itu. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya untuk bisa turut memberikan informasi melalui tulisan saya. Saya juga sangat menulis dengan tema kesenian. Dengan seni, hidup akan jadi lebih berwarna.

Kontak media sosial Instagram saya Gabriela