Sosial Budaya

Sejarah & Asal Usul Nama Banyuwangi, Cerita Rakyat Dari Jawa Timur

Written by Shaza Zahra

legenda banyuwangi – Tahukah kamu bahwa di ujung paling timur Pulau Jawa terdapat sebuah kabupaten dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa?

Ya, Banyuwangi adalah salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur yang terkenal tidak hanya karena pesona alamnya yang memukau, tetapi juga karena cerita rakyat legendaris yang mengiringi asal usul namanya.

Secara geografis, Kabupaten Banyuwangi memiliki luas wilayah sekitar 5.782,50 km² dan berbatasan langsung dengan:

  • Selat Bali di sebelah timur,
  • Kabupaten Situbondo di utara,
  • Kabupaten Bondowoso di barat,
  • serta Samudera Hindia di sebelah selatan.

Dengan bentang alam yang indah, mulai dari pegunungan, pantai, hingga kawasan taman nasional, Banyuwangi seringkali dijuluki sebagai hidden gems dari Jawa Timur. Kawah Ijen dengan api birunya, Pantai Pulau Merah, hingga Alas Purwo, menjadikan daerah ini destinasi wisata yang sangat diminati wisatawan lokal maupun mancanegara.

Namun, Grameds, Banyuwangi bukan hanya menarik dari segi pariwisata. Daerah ini juga menyimpan legenda Banyuwangi—sebuah kisah rakyat yang telah hidup dalam tradisi masyarakat selama berabad-abad. Legenda Banyuwangi ini mengandung pesan tentang cinta, pengkhianatan, dan kesetiaan yang bisa menggetarkan hati siapapun, lho!

Nah, Grameds, penasaran seperti apa asal-usul nama Banyuwangi yang begitu melegenda? Yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!

Legenda Banyuwangi: Asal Usul Nama dari Kisah Cinta dan Pengorbanan Sri Tanjung

Nama Banyuwangi tidak muncul begitu saja, Grameds. Di balik nama tersebut, tersimpan sebuah legenda yang hidup dalam tradisi masyarakat Banyuwangi hingga kini. Legenda ini dikenal sebagai Legenda Sri Tanjung.

Konon, pada masa lampau, wilayah di ujung timur Pulau Jawa—yang kini dikenal sebagai Banyuwangi—dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya, raja ini dibantu oleh seorang patih bijak dan setia bernama Sidopekso. Patih Sidopekso memiliki seorang istri yang terkenal akan kecantikan dan kebaikan hatinya. Ia adalah Sri Tanjung.

Namun, kecantikan Sri Tanjung justru menimbulkan bencana. Prabu Sulahkromo jatuh hati pada istri patihnya sendiri. Niat jahat pun muncul. Untuk melancarkan tujuannya, sang raja mengutus Patih Sidopekso menjalankan sebuah tugas berat yang harus membuatnya meninggalkan kerajaan dalam waktu lama. Tanpa curiga, Patih Sidopekso menjalankan perintah itu dengan loyalitas penuh.

Selama kepergian sang patih, Prabu Sulahkromo berusaha menggoda Sri Tanjung. Namun upayanya sia-sia. Sri Tanjung dengan tegas menolak, menunjukkan kesetiaannya kepada sang suami. Merasa harga dirinya direndahkan, Prabu Sulahkromo murka. Ketika Patih Sidopekso kembali, sang raja memutarbalikkan fakta dan menyebar fitnah: ia menuduh Sri Tanjung telah menggoda dan mendekatinya.

Tanpa berpikir panjang dan dikendalikan oleh amarah serta rasa kecewa, Patih Sidopekso mempercayai tuduhan itu. Ia segera menemui Sri Tanjung dan menuduhnya melakukan hal tercela. Meskipun Sri Tanjung dengan jujur membantah dan menjelaskan bahwa dirinya difitnah, Patih Sidopekso tetap tidak percaya. Ia bahkan mengancam akan membunuh istrinya sendiri.

Dalam kondisi tertekan, Sri Tanjung tidak melawan. Ia hanya meminta satu hal sebelum kematiannya: agar tubuhnya diceburkan ke dalam sungai setelah ia dibunuh. Sri Tanjung bersumpah, jika dirinya benar bersalah, maka darahnya akan membuat air sungai berbau busuk. Namun, bila ia tidak bersalah, maka air sungai akan menjadi jernih dan harum.

Dengan hati yang tetap tertutup oleh amarah, Patih Sidopekso menikam dada istrinya menggunakan keris, dan tubuh Sri Tanjung yang sudah tak bernyawa kemudian diceburkan ke sungai yang sebelumnya keruh. Beberapa saat kemudian, keajaiban terjadi—air sungai berubah menjadi jernih dan mengeluarkan aroma wangi yang menenangkan. Peristiwa ini menyadarkan Patih Sidopekso akan kesalahannya. Ia menyesal, menangis, dan menyesali tindakannya yang gegabah.

Dalam tangis penyesalannya, sang patih tak henti mengucapkan dua kata: “Banyu” (air) dan “Wangi” (harum). Dari situlah kemudian dikenal nama Banyuwangi, sebagai bentuk penghormatan terhadap kesetiaan dan kesucian cinta Sri Tanjung.

Legenda Banyuwangi ini tidak hanya menjadi kisah rakyat semata, tetapi juga telah menjadi simbol identitas moral masyarakat Banyuwangi yang banyak mengandung ketulusan, pengorbanan, dan kebenaran yang tak bisa ditutup selamanya.

Sejarah Berdirinya Kabupaten Banyuwangi

Asal-usul Kota Banyuwangi erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa yang pernah dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Pada masa itu, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) mulai mengklaim Blambangan sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Klaim tersebut didasarkan pada penyerahan kekuasaan Jawa bagian timur oleh Pakubuwono II kepada VOC.

Namun, klaim ini tidak segera diikuti dengan penguasaan penuh. Hingga akhir abad ke-17, VOC belum menunjukkan kekuatan nyata di Blambangan. Ketika pihak Inggris mulai menjalin hubungan dagang dengan Blambangan, barulah VOC bergerak cepat untuk menegaskan dominasinya. Ketegangan ini memicu konflik bersenjata yang dikenal sebagai Puputan Bayu, sebuah perlawanan besar rakyat Blambangan terhadap kolonialisme.

Pertempuran Puputan Bayu meletus pada 18 Desember 1771, di mana rakyat Blambangan berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan wilayahnya. Sayangnya, perlawanan itu berakhir dengan kekalahan, yang sekaligus menandai runtuhnya Kerajaan Blambangan.

Setelah menaklukkan wilayah tersebut, VOC menunjuk R. Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati pertama Banyuwangi. Tanggal pertempuran Puputan Bayu, yaitu 18 Desember 1771, kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyuwangi, menandai transisi penting dari era kerajaan menuju era kolonial dan pemerintahan formal di bawah VOC.

Julukan Kabupaten Banyuwangi

Grameds, tak hanya dikenal karena keindahan alam dan sejarahnya yang panjang, Kabupaten Banyuwangi juga memiliki banyak julukan yang mencerminkan kekayaan budaya, karakter masyarakat, serta daya tarik wisata yang dimilikinya. Berikut adalah beberapa julukan yang melekat pada Banyuwangi yang perlu kamu ketahui:

  • The Sunrise of Java
    Banyuwangi disebut sebagai tempat matahari pertama terbit di Pulau Jawa karena letaknya di ujung timur. Inilah yang menjadikan daerah ini dijuluki The Sunrise of Java.
  • Bumi Blambangan
    Julukan ini merujuk pada sejarah Banyuwangi sebagai pusat dari Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa.
  • Kota Osing
    Menggambarkan keberagaman etnis yang hidup harmonis di Banyuwangi, termasuk keturunan suku Osing, masyarakat adat asli yang masih melestarikan bahasa dan budaya leluhur.
  • Kota Santet
    Julukan ini muncul karena tragedi misterius pada tahun 1998, di mana lebih dari 100 orang tewas akibat dugaan pembunuhan terkait ilmu hitam. Meskipun kini citra tersebut telah berubah, sebutan ini masih melekat dalam ingatan kolektif.
  • Kota Gandrung
    Dikenal sebagai rumah dari Tari Gandrung, seni tari khas Banyuwangi yang melambangkan rasa syukur dan cinta masyarakat kepada hasil panen serta budaya mereka.
  • Kota 1000 Destinasi
    Dengan bentang alam yang luar biasa, mulai dari pantai eksotis hingga pegunungan menakjubkan seperti Kawah Ijen dengan fenomena blue fire-nya, Banyuwangi pantas menyandang julukan ini.

Perkembangan Kabupaten Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi terus berbenah di berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, pariwisata, pertanian, UMKM, dan infrastruktur. Salah satu buktinya adalah keberadaan Bandara Banyuwangi yang memperkuat aksesibilitas dan konektivitas daerah.

Dulu dikenal sebagai Kota Santet, kini Banyuwangi telah bertransformasi menjadi Kota Wisata yang diakui dunia. Transformasi ini mendapat pengakuan internasional melalui penghargaan dari UNWTO atas inovasinya dalam pengembangan pariwisata berbasis budaya dan keberlanjutan.

Perubahan besar ini menjadikan Banyuwangi sebagai simbol kemajuan daerah berbasis kolaborasi dan inovasi.

Kesimpulan

Grameds, legenda Banyuwangi tentang Sri Tanjung bukan hanya cerita rakyat biasa, tetapi simbol kesetiaan, kebenaran, dan asal-usul nama Banyuwangi yang penuh makna. Dari sejarah Kerajaan Blambangan hingga peristiwa Puputan Bayu, Banyuwangi tumbuh dari tanah perjuangan menjadi kabupaten yang kaya budaya, inovatif, dan diakui dunia.

Kini, dengan julukan seperti The Sunrise of Java dan Kota 1000 Destinasi, Banyuwangi membuktikan bahwa warisan sejarah dan semangat pembaruan bisa berjalan berdampingan—menjadikannya salah satu daerah paling menarik di Indonesia.

Rekomendasi Buku Tentang Banyuwangi

1. Campur-mencampur ala Banyuwangi-an

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/campur-mencampur-ala-banyuwangi-an

Buku ini menggambarkan kekayaan budaya dan kreativitas masyarakat Banyuwangi melalui metafora “campur‑mencampur”, yang menjadi inti filosofi dan gaya hidup lokal. Dengan latar khas ujung timur Pulau Jawa, penulis mengajak pembaca menyelami cara warga Banyuwangi menyerap budaya baru, kemudian mengolahnya menjadi hal segar dan orisinal—dalam aspek kuliner, kerajinan, musik, hingga tradisi sosial.

Apa yang akan Anda temukan di dalam buku ini:

  • Cerita dan ilustrasi dari pengalaman nyata. Aneka kisah tentang bagaimana tradisi lokal berpadu dengan pengaruh eksternal—menghasilkan produk budaya baru yang khas.
  • Pendekatan praktis. Tips dan inspirasi untuk menerapkan prinsip “campur-mencampur” dalam kehidupan sehari-hari—misalnya menciptakan resep baru, acara budaya, atau karya seni.
  • Refleksi nilai-nilai inklusif dan adaptif. Menunjukkan bagaimana keterbukaan terhadap perubahan bisa memperkaya identitas komunitas.
  • Kisah sukses dan pembelajaran. Narasi tentang individu atau kelompok Banyuwangi yang berhasil memadukan hal-hal lama dan baru dalam berkarya dan berwirausaha.

Intinya, buku ini adalah ide untuk kreativitas kolektif dan dinamika budaya Banyuwangi—mengajak kita memahami bahwa mencampur elemen berbeda justru bisa memperkaya jati diri dan memperkuat keberlanjutan komunitas. Cocok bagi pembaca yang tertarik pada antropologi, pengembangan budaya lokal, atau yang mencari inspirasi gaya hidup kreatif.

2. Inovasi Banyuwangi Jalan Terpendek Mencapai Layanan Publik Prima

Inovasi Banyuwangi Jalan Terpendek Mencapai Layanan Publik Prima

Dalam kurun waktu hanya sepuluh tahun, Banyuwangi berhasil mentransformasi diri menjadi salah satu daerah paling progresif di Indonesia. Pendapatan per kapita meningkat lebih dari dua kali lipat, jumlah wisatawan melonjak hampir sepuluh kali, dan angka kemiskinan berhasil ditekan secara signifikan. Di balik pencapaian luar biasa ini, terdapat satu kata kunci: inovasi.

Buku ini mengungkap bagaimana inovasi dijadikan sebagai “denyut jantung” dalam setiap aspek pembangunan di Banyuwangi—mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan. Lewat pendekatan yang sistematis, buku ini memaparkan lima prinsip dasar inovasi yang menjadi pegangan pemerintah daerah serta lima puluh contoh inovasi nyata yang telah berhasil diimplementasikan di lapangan.

Dilengkapi dengan data, kisah inspiratif, dan pendekatan yang aplikatif, Inovasi Banyuwangi adalah sumber bacaan penting bagi siapa pun yang ingin mempelajari bagaimana semangat perubahan dan kreativitas dapat membawa dampak besar bagi kemajuan suatu daerah.

3. Banyuwangi (Bagian Ketiga dari Trilogi: Tanah Semenanjung – Gema di Ufuk Timur)

Banyuwangi

Di tengah runtuhnya Kerajaan Blambangan dan bangkitnya kota baru bernama Banyuwangi, kisah perjuangan, cinta, dan pengkhianatan terjalin erat dalam hidup Mas Ayu Tunjung—putri sah Prabu Mangkuningrat. Meski berhak atas tahta, Ayu menolak kekuasaan yang ditawarkan VOC dan memilih hidup sebagai rakyat biasa. Namun penolakan itu justru menempatkannya dalam pusaran konflik politik dan asmara yang berbahaya.

Bersama Rsi Rope—putra terakhir Wong Agung Wilis—Ayu memimpin rakyat Blambangan yang tersisa untuk menjaga martabat dan tanah air dari cengkeraman kekuasaan asing. Cinta mereka tumbuh dalam bayang-bayang perlawanan, namun takdir mempertemukan mereka kembali dengan Mas Ngalit, penguasa boneka yang tergila-gila pada Ayu dan ingin menjadikannya permaisuri, bahkan mendirikan istana megah di Banyuwangi demi memikat hatinya.

Novel Banyuwangi adalah roman sejarah yang memadukan ketegangan politik, romansa yang getir, dan semangat perlawanan rakyat Blambangan. Sebuah kisah penuh warna tentang harga diri, pengorbanan, dan cinta yang tak sudi tunduk pada penjajahan.

About the author

Shaza Zahra

Gramedia Literasi