Di Hari Puisi Nasional, Pilih Pujangga Legendaris atau Milenial?

Selamat Hari Puisi Nasional! Setiap 28 April, selalu diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Penetapan ini untuk mengenang sosok penyair legendaris Tanah Air, Chairil Anwar.

Penyair yang dikenal dengan julukannya Si Binatang Jalang, meninggal dunia pada 28 April 1949, di usia 26 tahun. Meski terbilang muda, namun karya-karyanya tetap membekas, hingga namanya tetap dikenang dan diabadikan lewat peringantan Hari Puisi Nasional.

Kalau sampai waktuku
Aku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Puisi di atas berjudul Aku, merupakan salah satu puisi tenar karya Chairil Anwar. Sepeninggal Chairil Anwar, Indonesia terus melahirkan penyair-penyair atau sastrawan atau pujangga yang tak diragukan lagi karya-karyanya.

Dari masa ke masa, penyair tersebut, terus saling mengisi, dari era 1970-an hingga generasi milenial saat ini. Siapa saja para penyair tersebut? Berikut daftarnya.

1. Sapardi Djoko Damono

Lihat postingan ini di Instagram

Sebuah kiriman dibagikan oleh Sapardi Djoko Damono (@sapardi_djokodamono) pada

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Puisi di atas menjadi salah satu yang paling tersohor dari Sapardi Djoko Damono. Keromantisan puisi itu, dianggap menjadi bukti kelebihan Sapardi Djoko Damono dalam meramu kata-kata.

Sapardi Djoko Damono seorang penyair yang lahir pada 20 Maret 1940. Hingga kini, meski usianya telah menginjak 79 tahun, beliau masih terus berkarya dan merilis buku baru. yaitu Sepasang Sepatu Tua, yang rilis di 2019 ini.

2. Joko Pinurbo

Lihat postingan ini di Instagram

Sebuah kiriman dibagikan oleh Joko Pinurbo (@joko_pinurbo) pada

Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang
membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,
menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya
di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu
gumpalan cahaya warna-warni.
Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya.
Ketika bangun ia berkata: “Tadi kau ke mana?
Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.”
Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga
di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan
pelan-pelan membuka matanya.
Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.

Perpaduan antara narasi, humor dan ironi, selalu mengisi karya penyair yang satu ini. Pria yang lahir 11 Mei 1962 ini memang dikenal piawai mengolah kata sedemikian rupa.

Lewat karya-karyanya Joko Pinurbo telah memborong sejumlah penghargaan, salah satunya South East Asian (SEA) Write Award pada 2014 lalu.


Baca juga :


3. Aan Mansyur

Lihat postingan ini di Instagram

Sebuah kiriman dibagikan oleh M Aan Mansyur (@aanmansyur) pada

Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.

Jika Grameds tahu film Ada Apa dengan Cinta 2, pastinya juga tahu dong, kalimat di atas adalah salah satu potongan puisi Rangga untuk Cinta. Kemudian puisi-puisi Rangga tersebut dibukukan dengan judul Tidak Ada New York Hari Ini.

Di balik puisi dan buku tersebut, ada Aan Mansyur yang menuliskannya. Aan Mansyur merupakan seorang penulis, penyair dengan berbagai karyanya yang sudah dikenal luas.

Sebelum akhirnya menulis buku Tidak Ada New York Hari Ini, penulis yang lahir pada 14 Januari 1982 ini sudah terlebih dulu memiliki beberapa karya, salah satunya buku kumpulan puisi Melihat Api Bekerja yang rilis 2015 lalu.

4. Boy Candra

Lihat postingan ini di Instagram

Sebuah kiriman dibagikan oleh BOY CANDRA (@boycandra) pada

Menjadi Matamu
Aku sangat suka membayangkan menjadi matamu.
Mengetahui apa saja yang ingin dan tak ingin kau lihat.
Belajar bagaimana caramu memandang sesuatu.
Mengetahui warna apa saja yang kau suka.
Sesekali merasakan bagaimana caramu bersedih.
Bagaimana caramu agar tetap terlihat kuat.
Aku ingin memahami bagaimana rasanya menjadi matamu.
Lalu mengerti apa yang kau rasakan saat menatapku.

Pria yang lahir 21 November 1989 ini, dikenal dengan kata-katanya yang romantis. Buku-bukunya, seperti Dongeng Dongeng yang Tak Utuh, disukai oleh pembaca masa kini alias generasi milenial.

Tak heran, jika buku-buku pria yang baru saja melepas masa lajangnya ini, dicari banyak pembacanya. Karyanya dianggap dekat dengan kehidupan percintaan sehar-hari remaja masa kini.

5. Fiersa Besari

Lihat postingan ini di Instagram

Sebuah kiriman dibagikan oleh Fiersa Besari (@fiersabesari) pada

Menyayangimu sangatlah mudah, aku bisa melakukannya berulang kali tanpa pernah bosan. Yang sulit itu cara menunjukkannya.

Kalimat di atas adalah potongan kisah yang diambil dari buku Garis Waktu karya Fiersa Besari atau yang akrab disapa Bung. Tak cuma satu buku, tapi kisah-kisah di buku lain seperti Konspirasi Alam Semesta atau di buku 11:11, selalu saja, kata-katanya berhasil bikin hati pembaca meleleh.

Saat ini, namanya termasuk kedalam daftar penulis yang diperhitungkan. Apalagi Fiersa Besari tak cuma menyentuh hati penggemar lewat buku, tapi juga lewat lagu-lagu yang diciptakan dan dibawakannya. Paket lengkap yang sukses bikin hati perempuan luluh lantak.


Dari kelima penyair di atas, yang mana favorit kalian? Kalau penasaran dengan karya-karya mereka yang lainnya, tak perlu repot, langsung saja pesan karena karya-karya mereka tersedia di Gramedia.com ataupun di Gramedia Digital.


Sumber header foto: unsplash.com