Apa itu Empati? Empati adalah sebuah keadaan mental, dimana seseorang merasakan pikiran, perasaan, atau keadaan yang sama dengan orang lain.
Sering kali banyak orang mendengar kata ‘empati’, tetapi tidak tahu definisi persisnya. Empati dan simpati kerap kali disetarakan, bahkan dianggap sama, padahal kedua hal tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing. Seperti apakah itu? Mari kita mengenal empati melalui penjelasan berikut.
Daftar Isi
A. Pengertian Empati
Empati berasal dari kata Empatheia yang memiliki arti ‘ikut merasakan’. Empati adalah sebuah keadaan mental, dimana seseorang merasakan pikiran, perasaan, atau keadaan yang sama dengan orang lain.
Untuk dapat lebih memahami perasaan yang dialami diri sendiri dan orang lain, Grameds juga dapat membaca buku Seri Aku Dan Keluargaku: Bermacam-macam Perasaanku.
Rasa empati tersebut dapat timbul sebagai kemampuan untuk menyadarkan diri ketika berhadapan dengan perasaan sesama, kemudian bertindak untuk menolongnya. Diri sendiri akan memahami mereka, dari sudut pandang mereka. Perasaan ini sangat penting dalam membangun hubungan atau menjalin relasi dengan orang lain.
Kemudian menurut Chaplin, pengertian empati adalah kemampuan memproyeksikan perasaan sendiri pada suatu kejadian, satu objek alamiah atau karya estetis dan realisasi dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan pribadi lain.
B. Sejarah Empati
Istilah empati pada awalnya digunakan oleh seorang kritikus estetika untuk memahami perspektif orang lain. E. B. ‘Mimikri motor’ sebagai istilah lain yang digunakan Titchener, yang merupakan psikolog asal Amerika.
Beliau mengartikannya dari peniruan secara fisik atas beban orang lain, kemudian ikut merasakan perasaan tersebut. Hal ini dikarenakan manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain seperti halnya yang dibahas dalam buku Generasi Empati.
C. Definisi Empati Menurut Para Ahli
1. M. Umar dan Ahmadi Ali
Empati didefinisikan sebagai kecenderungan yang dirasakan seseorang untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain, andaikan dirinya ada di posisi tersebut.
2. Patton
Menjalin sebuah relasi yang akrab, hingga bisa memahami perasaan orang lain membutuhkan waktu dan proses. Meskipun tidak mudah, seseorang harus melakukannya demi memiliki rasa kasih dan memperhatikan orang yang dituju. “Memposisikan diri pada posisi orang lain.”
3. Chaplin
Mampu memproyeksikan perasaan diri pada suatu kejadian atau objek, karya estetis dan realisasi pada kebutuhan, hingga penderitaan orang lain.
4. Al Barry dan Partanto
Sikap keaktifan otot-otot atau perasaan yang dialami manusia ketika menghadapi benda-benda atau manusia, kemudian bersatu dengan mereka pada waktu tertentu dan mengadakan respon saat menyertai mereka.
5. E. B. Titchener
Perasaan yang timbul akibat peniruan secara fisik, yang akhirnya mampu menciptakan perasaan yang sama.
D. Perkembangan Empati
1. Empati Emosi
Bayi berusia nol sampai satu tahun biasanya akan ikut menangis ketika melihat bayi yang lain menangis. Hoffman menyebutnya sebagai empati global karena seseorang tidak bisa membedakan antara diri sendiri dengan dunianya.
2. Empati Egosentrik
Pada masa balita atau di bawah usia lima tahun, seorang anak mulai bisa membedakan bahwa kesedihan itu bukan miliknya, kesusahan yang sedang menimpa orang lain, bukan kesusahannya sendiri.
Perkembangan kognitifnya memang belum matang, tetapi secara naluri mereka akan mencoba membantu meski belum mengetahui pasti, apakah tindakan yang dilakukan sudah tepat.
3. Empati Kognitif
Dimulai pada usia enam tahun, seorang anak mulai memandang dari perspektif orang lain. Jenis yang satu ini tidak memerlukan komunikasi emosi, seperti menangis. Baik diperlihatkan atau tidak, seorang anak sudah mulai mengerti.
4. Empati Abstrak
Saat masa anak-anak akan berakhir di usia 10-12 tahun, empati tidak hanya ditujukan pada orang yang dikenal atau sering ditemui. Kelompok orang yang belum pernah ditemui sebelumnya juga dapat menjadi tujuan empatinya.
E. Ciri-Ciri Empati
1. Kemampuan Memahami Orang Lain
Perilaku orang itu multifaktor, dipengaruhi oleh banyak hal. Ketika melihat seseorang sedang merasakan emosi tertentu, diri sendiri secara natural akan merasakan hal yang sama. Mampu membaca keadaan serta memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain juga dibahas dalam buku Nunchi yang menyebutnya sebagai indra keenam.
Hal ini berguna untuk interaksi sehari-hari, sehingga diri dapat menjadi relate dengan orang lain.
Perbincangan menjadi lebih nyambung, lawan bicara menjadi ikut senang. Namun, ada masanya ketika seseorang tidak dapat memahami perasaan orang lain. Bukan tidak peduli, melainkan hanya tidak mengerti.
2. Memahami Bahasa Isyarat
Mengapa bahasa isyarat menjadi sangat penting? Emosi seseorang dapat dilihat melalui gelagat, sehingga gerakannya dapat berbicara.
Misalnya, ketika sedang bahagia, seseorang akan terlihat lebih ceria dan bersemangat, sedangkan saat sedih, orang akan cenderung murung dan terlihat lesu ketika melakukan aktivitas.
Intonasi maupun cara nonverbal lainnya dapat dipakai untuk mengetahui emosi mereka.
3. Peran Yang Dilakukan
Empati akan mewujudkan suatu kenyataan dan aksi terhadap perasaan yang dirasakan. Namun, tidak semua orang dapat merespon perasaan orang lain. Ketika sedih, ada yang merasa iba dan mendengarkan curahan hatinya, ada pula yang abai dan pergi.
Ketika orang yang menjadi pendengar kembali, hanya kata maaf yang keluar dan beralasan bahwa tidak kuat mendengarkan cerita yang sedih. Atau, tidak sama sekali, tidak peduli dan mengungkit-ngungkit kejadian lama.
4. Memahami Diri Sendiri
Jika terus menghadapi perasaan negatif yang kuat, dampaknya adalah kelelahan emosional yang cukup parah. Tidak semua orang juga diajari untuk menerima emosi. Misalnya, anak laki-laki tidak boleh cengeng, menangis akan membuat diri sendiri tampak lemah, atau mementingkan emosi hanya membuang-buang waktu dan tidak berguna.
Pada akhirnya, mereka jadi unaware dengan perasaan sendiri. Perasaan yang sedang dirasakan jadi sulit untuk dipahami. Jika belum bisa memahami diri sendiri, rasa empati yang berdampak positif pun tidak akan muncul.
Emosi terhadap perasaan yang sedih atau bahagia adalah hal yang lumrah. Ketika marah atau sedang merasakan masalah, diri sendiri boleh menangis atau menceritakannya kepada orang lain. Asalkan tidak berlarut-larut. “Emosi kita adalah milik kita.”
5. Tidak Berarti Larut Dalam Masalah Orang Lain
Memahami perasaan atau merasakan hal yang sama dengan seseorang, boleh. Namun, tidak boleh ikut campur atau mengurusi masalahnya terlalu dalam, sehingga empati tetap memiliki batasan-batasan tertentu.
F. Faktor Empati Menurut Siwi (1992)
1. Pola Asuh
Sebenarnya, 98% manusia sudah terlahir dengan potensi untuk berempati. Sisanya adalah orang-orang dengan kecenderungan psikopatik.
Pola asuh orang tua yang menanamkan nilai empati kepada anaknya sejak kecil. Untuk itu, dalam masa tumbuh kembang anak, orang tua menjadi guru dan pembimbing utama dalam membentuk karakter mereka.
Orang tua adalah contoh yang akan mempengaruhi perilaku anak. Caranya dengan tidak terlalu mementikan diri sendiri, mendorong anak untuk mengalami dan mengekspresikan emosi-emosinya, tidak mengekang anak ketika ingin melakukan interaksi dengan teman-temannya, asalkan masih dalam lingkup positif.
2. Kepribadian
Sering berintropeksi diri dan memiliki sikap yang tenang? Itu berarti, individu tersebut dipastikan akan memiliki kepekaan yang tinggi ketika berbagi dengan orang lain. Orang tersebut biasanya dapat melakukan kontrol emosi dengan baik terhadap dirinya sendiri. Kepribadian introvert dipercaya memiliki rasa empati yang tinggi, lho!
3. Usia dan Derajat Kematangan
Semakin bertambahnya usia, maka semakin tinggi empati seseorang. Derajat kematangan seseorang akan lebih tinggi, sehingga dapat bersosialisasi dengan baik terhadap sesamanya.
4. Sosialisasi
Misalnya, ketika seorang anak sedang bermain dengan teman-temannya. Dalam permainan yang diadakan, tentunya akan ada kerja sama atau relasi dari dekat. Mereka bisa lebih terbuka kepada orang lain dan merasakan toleransi.
G. Manfaat Empati
1. Disukai Orang Sekitar
Dengan berempati, seseorang dapat menghasilkan emosi atau aura yang positif. Hidup akan menjadi lebih bahagia dengan orang-orang sekitar yang merasakan rasa kasih sayang dan belas kasih.
2. Menjauhkan Diri Dari Sikap Egois
Rasa belas kasih akan menjauhkan hati dari rasa iri, egois, dan tinggi hati. Keburukan tersebut tentu tidak baik untuk diri sendiri bisa menimbulkan stress, ambisi yang tinggi, bahkan kebohongan. Permusuhan dengan orang lain dapat membuat hari-hari menjadi buruk. Hidup menjadi tidak sehat.
3. Memperoleh Kebaikan
Dengan sikap peduli dan aksi dalam membantu orang lain, seseorang akan menjadi pribadi yang lebih baik. Tuhan dan sesama manusia akan membalasnya dengan sesuatu yang baik pula. Kehidupan akan dipermudahkan dan tidak dipenuhi oleh masalah.
H. Contoh Empati
Ketika teman merasa sedih akan sesuatu, diri sendiri akan tergerak untuk menghiburnya, kemudian membantu permasalahan teman jika membutuhkan bantuan. Bantu dengan kemampuan yang dimiliki, tetapi tetap dalam hal dan cara yang baik.
Ketika terdapat berita duka dari salah satu teman yang saudaranya meninggal dunia, belasungkawa dan doa bisa dikirimkan. Pelajari lebih dalam mengenai perasaan ini melalui buku Seni Membaca Isi Hati, Pikiran, dan Perasaan Orang.
Menjenguk teman yang sedang sakit, menghiburnya, dan memberikan yang dibutuhkan. Mengumpulkan sumbangan sukarela dari teman-teman sekelas untuk teman yang sedang sakit. Ikut memberikan bantuan kepada korban bencana alam. Semuanya merupakan aksi yang positif dan membuat hati akan merasa bahagia.
I. Ciri-Ciri Orang Berempati Tinggi
1. Mempunyai Sensitivitas Tinggi
Dengan syarat ini, seseorang biasanya akan secara natural membuka diri untuk membantu orang lain, setidaknya mau mendengarkan. Ketika seorang sahabat sedang berada pada perasaan sedih atau senang, diri sendiri akan selalu ada dan merangkulnya. Namun, karena perasaan yang satu ini, seseorang jadi lebih mudah untuk tersinggung atau sakit hati.
2. Memiliki Intuisi Tinggi
Seseorang dengan empati tinggi biasanya akan mengembangkan hidup menurut intuisi dirinya. Cara yang lainnya adalah merasakan atau mau dirasakan emosinya oleh orang lain.
3. Cenderung Menyendiri
Orang yang satu ini biasanya tidak suka bergabung pada sebuah kelompok yang membuatnya tidak nyaman. Orang tersebut lebih banyak membutuhkan me time, apalagi jika berada dalam kesibukan yang sering membuatnya lelah.
Biasanya, me time yang didapatkan akan digunakan untuk beristirahat dan memulihkan energi. Mereka akan menyayangi diri sendiri, sehingga ketika mendengarkan orang lain, perasaan yang tersampaikan rasanya seperti dirasakan sendiri.
4. Mengambil Peran (Role Taking)
Perilaku konkrit, begitu juga empati akan datang dengan sendirinya. Individu akan merasakan reaksi-reaksi atau emosional yang dirasakan sesamanya.
Akan tetapi, empati akan membuka mata seorang individu tersebut terhadap penderitaan yang dirasakan lawan bicara.
Setelah merasakan hal tersebut, diri sendiri biasanya akan spontan untuk mengambil sebuah peran atau aksi, bisa dalam segi positif dan membantu atau justru membiarkannya.
5. Kontrol Emosi
Menyadari dirinya sedang merasakan yang namanya empati dan tidak terlalu larut dalam perasaan orang lain.
J. Cara Membangun Empati
1. Belajar Lebih Peka
Peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar. Faktor ini sangatlah penting untuk membangun rasa empati yang baik. Jangan berharap hal yang besar jika hal kecil saja belum dapat dilakukan.
Dimulai dengan lingkungan yang paling dekat, yakni keluarga. Bagaimana berempati dengan ayah, ibu, atau saudara terdekat. Setelah berhasil, praktekan di lingkungan masyarakat, seperti tetangga, teman sekolah, dan masyarakat.
Katakan bahwa kamu bisa membantu mereka jika mereka sedang membutuhkan bantuan.
2. Jangan Tinggi Hati
Dengan adanya rasa tinggi hati, sikap sombong akan tercermin dari diri seseorang. Belajarlah untuk menjadi supel di lingkungan manapun, bersikap seolah-olah tidak ada jarak antara diri sendiri dengan orang lain karena sikap empati juga muncul dari rasa saling menghargai.
3. Bayangkan Jika Diri Menjadi Orang Lain
Empati bisa muncul jika ditanamkan pada diri sendiri. Dengan membayangkan bahwa orang yang sedang merasakan sesuatu adalah diri sendiri, rasa syukur akan dirasa menjadi hal yang paling penting dalam hidup. Empati bukan sekedar merasakan atau menolong orang lain, tetapi merasa ikhlas dan menjadi bentuk ibadah yang baik.
4. Menerima Perbedaan
Perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap individu tidak dapat dipungkiri kadang memiliki dua sisi. Satu sisi dari dalam diri bisa menerima perbedaan, sisi yang lainnya diri sendiri merasa tidak butuh adanya perbedaan.
Maka dari itu, tanamkan dalam diri bahwa perbedaan hadir sebagai anugerah yang membuat manusia bisa terus belajar dan memperbaiki diri.
5. Bertemanlah Dengan Siapa Saja
Empati bisa muncul jika diri sendiri banyak melakukan interaksi dengan orang lain. Dengan begitu, perasaan dari mereka dapat dengan mudah teridentifikasi. Dengan berteman dengan siapa saja, bukan berarti kebiasaan, kesukaan, maupun ketertarikan mereka harus diikuti semuanya.
6. Jangan Menghakimi
Tidak dapat memahami perasaan orang lain, tetapi jangan pula menghakimi. Sebaliknya, orang yang ingin didengarkan, tidak boleh langsung melakukan judge mental dan berpikir bahwa orang lain tidak peduli. Be considerate, tidak semua orang menunjukkan respon, seperti yang diharapkan.
Lebih spesifik dan elaboratif, katakan secara detail atau setidaknya jelas terkait perasaan yang sedang dirasakan. Terkadang, orang bisa merasa sedih karena tidak dipahami atau dimengerti. Namun, setiap orang bisa berkembang atau berubah dengan usaha.
K. Tips Untuk Menjadi Pendengar Yang Baik (Active Listening)
Pola mendengar yang didesain untuk membantu seseorang dalam menjadi pendengar yang baik atau kerap kali disebut sebagai active listening. Hal ini didasari oleh beberapa elemen penting, seperti benar-benar memperhatikan apa yang sedang orang lain bicarakan, mengulangi kata-kata yang didengar untuk memastikan bahwa informasi yang didapatkan adalah benar, bahkan menahan diri untuk tidak memberi judgement atau saran jika tidak dibutuhkan.
Dengan begitu, orang lain yang sedang bercerita akan merasa lebih nyaman ketika mencurahkan isi hatinya. Karena itulah, peran mentor atau psikolog sangat dibutuhkan oleh beberapa orang. Mereka telah terlatih untuk mendengarkan orang lain. Sebenarnya, skill aktif ini sudah dapat dipelajari oleh semua orang. Penerapannya bisa dilakukan pada saat melakukan relasi di kantor atau berdiskusi bersama kelompok belajar.
Ketika sedang berbicara, seseorang benar-benar membutuhkan active listening, terutama seseorang yang merasa bahwa dirinya susah dekat dengan orang lain. Dengan cara yang paling sederhana, yakni cukup mendengarkan, orang lain sudah merasa terbantu. Masih yakin diri sendiri memiliki empati yang besar?
Jika mengesampingkan perihal tersebut, dalam kehidupan sosial semua orang sebagai manusia harus memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan sesama di sekitarnya. Mengapa? Kepedulian tersebut sangatlah berdampak pada kelangsungan hidup. Setiap manusia akan mendapat bantuan jika membantu. Jangan gengsi untuk berbicara jika keadaan sedang mendesak, pastinya orang terdekat atau yang berada dalam lingkup diri sendiri akan tergerak hati untuk ambil bagian.
Baca juga artikel terkait “Pengertian Empati” :
- Struktur Sosial di Masyarakat
- Diferensiasi Sosial
- Penyimpangan Sosial di Masyarakat
- Daftar Suku di Indonesia
- Pengertian Interaksi Sosial
- Contoh Norma Hukum
- Pengertian Norma
- Organisasi Pergerakan Nasional
Buku ini menyajikan keterangan-keterangan yang sangat penting untuk dijadikan tutorial terapi dalam kehidupan kontemporer. Jika Grameds telah mengetahui buku Erich Fromm yang berjudul Seni Mencintai, buku ini adalah pasangannya—yakni memulai dengan mendengarkan. Dan, Erich Fromm menyuguhkan metode mendengarkan tersebut sebagai sebuah seni.
Berikan empati pada orang yang kini tengah berduka. Ikuti dan rasakan kesedihannya seakan itu adalah kesedihanmu juga. Berikan semangat agar mereka senantiasa bertahan dan berjuang dalam masa sulitnya. Buku “Kita Sama Sama Manusia” ini akan memberikan harapan agar bisa terus menghadapi hari esok.
Kala hujan kita meminta matahari. Kala panas kita meminta hujan. Seakan tidak pernah ada habisnya kita meminta tanpa mencoba mensyukuri apa yang didapatkan saat ini. Padahal, keadaan yang dihadapi kali ini mungkin saja lebih baik daripada keadaan yang dihadapi orang lain di luar sana. Buku ini mengajarkan kita untuk berempati dana lebih banyak mengucap syukur, betapa banyaknya nikmat yang sudah semesta beri kepada kita.
Daftar Pustaka :
- M Umar dan Ahmadi Ali. (1992) Psikologi Umum. Surabaya: Bina Ilmu.
- Davis, M.H. Measuring Individual Differences in Empaty (Journal Of Personality And Social Psychology. Vol 44 No 1) hlm 165
Leave a Comment