Kristin Samah
Menulis Membaca Kehidupan
Format Buku
Deskripsi
Di tengah zaman yang serba-digital, serba-instan ini, sesungguhnya manusia sedang menghadapi sebuah paradoks. Hidup menjadi lebih gampang, tapi pada saat yang sama juga bertambah sulit. Kita dimanjakan dengan kemudahan-kemudahan. Mudah mendapatkan informasi, mudah berkoneksi, dan mudah menemukan fasilitas untuk membuat hasrat hedonis, yang Sigmund Freud sebut sebagai "id", terpuaskan. Namun demikian manusia juga menghadapi kesulitan untuk mendapatkan vitamin jiwa berupa kehangatan antar-manusia. Senyum dan keramahan tulus yang banyak diajarkan generasi boomers, kini dipertanyakan untuk apa, bahkan hanya dilakukan sebagai transaksi. Walhasil, terasinglah kita di tengah keramaian. Mudah sekali kita merasa kesepian. Tiba-tiba kita sudah jauh melangkah menjauhi diri dan menjadi asing dengan diri sendiri. Dalam situasi demikian, buku Menulis Membaca Kehidupan mengajak kita untuk kembali ke diri sendiri. Menuliskan atau meletakkan pikiran dan perasaan kita pada selembar kertas adalah perilaku konkret untuk kembali ke diri sendiri; kembali menyapa dan ramah pada diri sendiri. Kita tidak lagi menjadi seorang diri—dewean, karena ada diri lain yang berhikmat sebagai teman untuk berefleksi, teman mengobrol dengan hangat, tanpa takut dinilai. Ungkapan tertulis tentang diri kepada diri ini juga bisa membuat self-awareness meningkat. Kita makin tahu situasi, makin paham di mana posisi kita berdiri. Buku ini menjadi begitu relevan karena membantu menjawab isu kekinian. Isu kesehatan mental. Isu yang saat ini menjadi topik obrolan banyak kalangan, tua pun muda. Penulis membahas bagaimana deraan media sosial membuat kita menjadi pribadi yang setiap saat dipenuhi kecemasan. Ketakutan ketinggalan zaman, takut jadi kuno. Ketakutan dan kecemasan itu munculnya begitu saja, tanpa kita sadari. Di sinilah menuliskan perasaan dan pikiran menjadi piranti sederhana namun berguna karena kita bisa becermin kepada diri yang jujur. Hasilnya, kita pun dibantu untuk menemukan kebahagiaan yang autentik, bukan berlagak bahagia dengan tampil ceria namun pedih di lubuk hati. Betapa menulis itu membantu kita melepaskan diri dari cengkeraman emosi negatif yang menyiksa, bahkan perasaan terluka yang kita simpan sejak lama juga diangkat oleh penulis. Selain menamai emosi (naming emotions) yang terbukti menjadi cara cepat untuk menurunkan intensitas emosi, saat menulis “bersama” diri, kita juga dibimbing untuk lebih jernih dalam melihat dan memvalidasi emosi-emosi kita. Dalam hal inilah terlihat bahwa sebenarnya setiap kita—sekecil apa pun, memiliki daya untuk menyembuhkan diri sendiri. Jika sebelumnya kepahitan trauma membuat kita mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), setelah kita obrolkan melalui tulisan ternyata muncul percikan kebijaksanaan baru. Ketika berani ber-letting go, tak lagi kita mengalami PTSD, namun bisa jadi malah PTG—post traumatic growth. Dari luka kita tumbuh. Tiba-tiba bahkan muncul kenyataan bahwa luka yang kita alami itu kini memiliki daya sembuh juga bagi sesama kita yang terluka. Bercengkerama dengan diri sendiri tidak hanya saat kita mengalami emosi negatif. Kebahagiaan menjadi lebih utuh ketika kita tuangkan dalam tulisan. Penulis menjelaskan bahwa menuliskan nama-nama yang telah memberikan pengaruh positif dalam rentang kehidupan kita, akan memunculkan rasa syukur karena kita memiliki sumber daya yang memberikan dukungan dengan tulus. Lalu tersadar juga betapa kita dicintai. Jangan lupa, menceritakan tekanan perasaan secara tertulis tidak hanya bersangkut paut dengan kesehatan jiwa, tetapi juga raga. Dengan menulis, tubuh yang semula mudah tegang, gampang stres dalam bentuk gangguan psikosomatis, menjadi lebih bersahabat. Lebih santai. Akhirnya, tentu saja kita menjadi lebih sehat. Bagi kita yang memiliki kecenderungan sulit menulis hingga tuntas, tidak perlu kecil hati. Menulis tentang diri sendiri tetap bisa dilakukan. Tentu saja kesetiaan untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai perlu didisiplinkan agar hasilnya optimal. Namun, tulisan yang tidak tuntas bisa jadi malah menjadi penanda bahwa kita sudah merasa nyaman dengan emosi itu. Jadi tetaplah menulis.
Baca Selengkapnya
Detail Buku