Gramedia Logo
Product image
Product image
Arswendo Atmowiloto

Canting Edisi Bahasa Inggris

free shipping logo

Makin Hemat dengan Bebas Biaya Pengiriman Rp0.

Pilih toko Gramedia terdekat dan opsi pengiriman “Ambil di Toko” ketika checkout.

Deskripsi
Deskripsi in English For the batik-makers, canting, the copper pens to paint batik are their spirits. At its most glorious moment canting is blown with deep and powerful feelings that are blended with the owner’s breath. But nowadays, hand-painted batik that is made by using a canting is crushed and cornered with the emergence of the new print batik. Hand-painted batik takes months and months to make, but this new kind only takes a few blinks. Canting is a symbol of a defeated and isolated culture because it is considered to be time-consuming. Ni, a girl who holds a bachelor degree in pharmacy, a bride-to-be from Ngabean tries to explore hand-painted batik with a canting. However, she faces strong pressures from Pak Bei, a bold and handsome nobleman; Bu Bei, her mother, who used to be a batik painter; and her successful siblings. Canting, which is the signature of Ngabean’s batik, cannot withstand the market demands. “When we acknowledge a sick culture, we must not cry, we must raise a flag instead.” Ni decides to be un-Javanese, to be different, to go against the flow in order to survive. Ni, who was born when Ki Ageng Suryomentaram died, is the second generation after her father, who dares to be un-Javanese. Deskripsi in Indonesia Bagi para pembatik, canting atau pulpen tembaga untuk melukis batik adalah spirit mereka. Canting ditiup dengan perasaan yang dalam dan kuat yang berpadu dengan nafas pemiliknya. Namun, saat ini batik tulis yang dibuat dengan menggunakan canting tergerus dan terpojok dengan munculnya batik cap baru. Batik yang dilukis dengan tangan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dibuat, tetapi jenis baru ini hanya membutuhkan beberapa kedipan. Canting merupakan simbol budaya yang kalah dan terasing karena dianggap memakan waktu. Ni, gadis bergelar sarjana farmasi, calon pengantin asal Ngabean ini mencoba mendalami batik lukis tangan dengan canting. Namun, dia menghadapi tekanan kuat dari Pak Bei, seorang bangsawan yang berani dan tampan, Bu Bei, ibunya yang pernah menjadi pelukis batik, dan saudara-saudaranya yang sukses. Canting yang menjadi ciri khas batik Ngabean tidak mampu menahan permintaan pasar. “Ketika kita mengakui budaya yang sakit, kita tidak boleh menangis, kita harus mengibarkan bendera.” Ni memutuskan untuk tidak menjadi orang Jawa. Menjadi berbeda, melawan arus untuk bertahan hidup. Ni yang lahir saat Ki Ageng Suryomentaram meninggal, merupakan generasi kedua setelah ayahnya yang berani menjadi orang non-Jawa.
Detail Buku