Kita semua mafhum bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang kesuciannya dibuktikan antara lain dengan ketidak bersentuhan teksnya dari kemungkinan penambahan dan pengurangan. Dengan kata lain Al-Quran adalah satu-satunya kitab yang otentisitasnya tidak berubah dari sejak pertama kali diturunkan. Keotentikan ini disebabkan oleh "bentuk"penjagaan yang selama ini sudah dilakukan. Penjagaan yang dimaksud adalah hafalan- atau penjagaan secara pengucapan - yang agaknya hanya sebagian kecil orang yg bisa melakukannya. Penjagaan secara tulisan selama ini baru dilakukan oleh lembaga yang otoritas dan kredibilitasnya terjamin secara jelas dan masyarakat menerima nya dalam bentuk "sudah jadi". Masyarakat percaya bahwa Mushaf Al-Quran yang diterimanya adalah "benar" karena kepercayaan pada kredibilitas tersebut. Karena Al-Qur'an adalah firman Allah, maka ia perlu dijaga otentisitas dan keasliannya agar kiblat kebenaran penafsiran akan tetap terjaga. Dan dalam kerangka penjagaan itu, maka perlu dilakukan distribusi tanggung jawab secara lebih merata. Hal ini hanya mungkin jika pengenalan atas Al-Qur’an ini bisa lebih populis dan familiar. Sejauh ini, sosialisasi atas Al-Qur’an baru “populer” sebatas kefasihan lisan. Meskipun ini sudah lebih baik dibandingkan dengan dulu dimana untuk mendapatkan seorang yang bisa mengaji Al-Qur’an secara tartil saja cukup sulit. Namun jika melihat eksistensi Al-Qur’an yang lapisan kedalamannya tak terhingga, maka kemampuan melafalkan Al-Qur’an secara fasih saja tentu jauh dan cukup.