Tren Flash Fiction 2018, Akankah Berlanjut di 2019?

Tren Flash Fiction 2018, Akankah Berlanjut di 2019?

Kalau kamu rajin ke toko buku dan lihat-lihat tumpukan buku di bagian best seller ada beberapa buku yang wujudnya imut, enak dipandang karena banyak ilustrasi indah di dalamnya, serta tulisannya sedikit.

Isi bukunya bisa berupa satu cerita atau kumpulan cerita mini kata. Untuk jenis buku fiksi ini orang menyebutnya flash fiction.

Sebetulnya, sebutannya macam-macam. Flash fiction atau fiksi kilat cuma salah satunya. Di jagat sastra dunia dikenal istilah "short-short-stories" atau "short-short -fiction". Padanan katanya cerpen pendek alias cerita pendek yang pendek. Ada juga yang menyebutnya cerpen mini atau fiksi mini.

Di pengantar kumpulan cerpen pendek Pagi di Amerika: 47 Cerpen Mini dari 5 Benua (2004), penulis Hikmat Darmawan, yang menyunting bukunya, menyebut tiga istilah lagi untuk fiksi jenis ini yaitu snap-fiction, sudden-fiction, dan micro-stories.

Katanya juga banyak yang menyebut tulisan jenis itu "sketsa". Cirinya, panjang tulisan rata-rata antara 750-1000 karakter. Meski minim kata, bukan berarti ini tulisan remeh. Sastrawan dunia mengakrabi cerpen mini sejak lama.

Tak kurang Leo Tolstoy, Kafka, Yukio Mishima, Margaret Atwood, Italo Calvino, Gabriel Garcia Marquez, Nadine Gordimer, Peter Carey, Solzhenitsyn, Saki, dan banyak lagi pernah membuat cerpen mini.

Mereka menjadikan jenis tulisan ini sebagai kesempatan menghasilkan tulisan yang padat-sempurna.

Dari Asrul Sani ke Akun @fiksimini

Sastrawan Indonesia juga tak mau ketinggalan. Hikmat menyebut "Lampu" karya Asrul Sani sebagai karya awal sastra modern kita yang mengambil bentuk cerpen mini yang berhasil.

Pada 1980-an di majalah Zaman yang diterbitkan group majalah Tempo tapi berumur pendek sempat pula booming jenis tulisan itu, walau kala itu tak disebut cerpen mini. Sastrawan-sastrawan yang mengasuh majalah itu seperti Putu Wijaya, Danarto, Sori Siregar, sampai Nano Riantiarno menulis di rubrik “Titipan” yang bentuknya mirip.

MAJALAH

Menginjak 2000-an, ketika Sapardi Djoko Damono mulai menulis cerpen, ia secara terbuka menggali kreasi naratif cerpen mini. Menurut pengakuan Sapardi, sebagaimana ditulis Hikmat, ia terpengaruh sastrawan Jepang Yanusari Kawabata yang banyak menulis cerpen mini lantaran dipengaruhi estetika zen yang serba hening itu.

Selepas itu kian banyak sastrawan kita yang menulis cerpen mini. Menginjak dekade 2010-an, seiring popularitas media sosial Twitter, tren cerpen mini terangkat lewat akun @fiksimini.

Akun itu dimoderatori penulis Agus Noor, Clara Ng, dan Eka Kurniawan. Para pesohor seperti Salman Aristo (penulis skenario), Aan Mansyur (penyair), Anji eks Drive (musisi), dll rutin meramaikan akun itu.

Di Twitter, cerpen mini malah lebih mini lagi, sesuai kapasitas karakter di medsos itu. Dikutip laman Kompas.com (26/9/2011), Agus Noor menetapkan ciri-ciri karya fiksi mini di Twitter, yaitu cerita yang menohok, seperti satu pukulan tinju yang telak; cerita yang berkelebat seperti bayangan, yang terus menempel di benak pembaca; dan cerita yang dengan seminim mungkin kata, namun menggambarkan dunia seluas-luasnya.

Cerpen mini di Twitter masih ada. Namun pamornya sudah sedikit surut. Hal ini terkait pula dengan fungsi Twitter yang kian kemari lebih berefek negatif bagi banyak penggunanya. Seiring keriuhan dunia politik yang memecah belah, Twitter jadi ajang beradu pendapat dan bullying.

Instagram jadi tempat pilihan yang lebih ramah. Yang dibagi di Instagram belakangan tak hanya foto sedang kulineran atau travelling, melainkan juga karya grafis disertai tulisan yang bikin terbawa perasaan alias baper.

Dari Naela Ali ke Marchella FP

Di sini kita lalu bertemu dengan sosok Naela Ali serta Marchella FP. Naela pintar menggambar. Ilustrasinya kerap menghiasi Instagram-nya, @naelaali. Bakat menggambar dan menulisnya kemudian ia salurkan lewat buku Stories for Rainy Days pada 2016 yang ia terbitkan sendiri. Buku itu menarik perhatian Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang lalu menerbitkan ulang dengan cover baru.

NAELA ALI

Cerita-cerita mini berbahasa Inggris di seri Stories for Rainy Days malah telah memasuki buku ketiga. Selain tiga buku tersebut, Naela telah menulis dua buku lain yaitu Things & Thoughts I Drew When I Was Bored (terbit 2017) dan Floating in Space (terbit Juli 2018).

Boom generasi baru flash fiction terjadi jelang akhir tahun lewat buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) yang ditulis Marchella. Sebelumnya, Marchella sudah menulis dua buku tentang generasi 1990-an. (Omong-omong, buku itu layak disebut snap-non-fiction lantaran menggabungkan informasi/fakta singkat plus disertai ilustrasi.)

Ia merambah ranah fiksi lewat NKCTHI. Buku ini disusun selama dua tahun. Dengan telaten ia membagi ilustrasi, Insta-story serta kalimat-kalimat yang bikin baper lewat akun Instagram @nkcthi. Tak ayal ketika terbit orang-orang langsung memburu untuk mendapatkan versi bukunya. Sejak terbit 29 Oktober, bukunya telah terjual lebih dari 30 ribu eksemplar hanya dalam waktu sebulan.

NKCTHI

NKCTHI digolongkan novel flash fiction karena dasarnya adalah cerita seorang perempuan bernama Awan yang berusia 27 tahun. Ia mengirim surat untuk masa depan, surat berisi pesan-pesan untuk anaknya kelak. Pesan-pesan yang membumi dan penuh kehalusan budi yang layak jadi panduan hidup. Lantaran isi pesan-pesannya itu buku ini ada yang mengategorikan sebagai self healing.

Tren Berlanjut?

Apapun namanya, pertanyaan yang layak diajukan apakah tren flash fiction generasi baru yang dimulai Naela Ali dan meledak dahsyat di 2018 lewat NKCTHI akan terus berkembang atau justru surut tahun depan?

Langsung dijawab saja, melihat animonya rasanya belum akan surut. Kini pemain di genre ini tak hanya KPG dan Gramedia Pustaka Utama saja (lewat buku puisi yang ditulis dan digambar Lala Bohang), tapi juga ada beberapa penerbit lain.

Bentuknya tak hanya flash fiction, fiksi mini atau cerpen mini, tapi juga serentetan nasihat berisi pesan agama disertai ilustrasi indah.

Mengingat kebanyakan pembaca buku ini generasi Milenial dan Gen Z yang akrab dengan yang serba visual serta lebih menyukai kalimat-kalimat pendek, buku semacam ini niscaya akan digandrungi bila dikemas dengan apik, sedap dipandang, digenggam, dan dibaca sekali tandas.

Yang harus diwaspadai sebetulnya, apa pasar akan diguyur dengan buku-buku sejenis ini terus-terusan? Apa generasi muda kita akan dimanja oleh buku-buku yang tulisannya pendek-pendek tak lebih panjang dari caption Instagram?

Ada baiknya buku-buku flash fiction berilustrasi indah jadi jembatan anak zaman now mencintai buku.

Dengan membaca buku yang menarik dipandang, diharapkan mereka terus mencintai buku. Setelah menyukai flash fiction, fiksi mini, atau cerpen mini sepatutnya pembaca digiring menyukai karya yang lebih panjang.


Sumber header foto: Instagram Marchella FP


Ade Irwansyah

Ade Irwansyah

Contributing Writer for Gramedia.com

Enter your email below to join our newsletter