Sunrise on the Reaping: Novel Prekuel The Hunger Games yang Berasal dari Ide Filosofis!

The Hunger Games dikenal sebagai kisah distopia penuh aksi dan ketegangan. Ada arena mematikan, karakter-karakter yang berjuang habis-habisan, sampai intrik kejadian yang bikin kamu sebagai pembaca terus penasaran buat menggali lembaran demi lembaran kisahnya.
Tapi kamu tahu nggak, Grameds, kalau di balik semua itu, ternyata Suzanne Collins, sebagai penulisnya, juga menanamkan lapisan makna yang mendalam, lho.
Yup, kalau sebelumnya kamu cuma baca The Hunger Games untuk sekadar seru-seruan aja, kali ini coba deh, sekali-kali lihat juga dari sisi lainnya. Biar kamu juga ikutan ngerasain, kalau Collins tuh nggak cuma cerdik buat bikin adegan penuh adrenalin, tapi juga presisi menyelipkan refleksi tentang kekuasaan, kontrol, dan bagaimana manusia bisa bertahan dalam sistem yang kejam.
Dan yang paling menarik, lewat karya terbarunya berjudul Sunrise on the Reaping, Collins turut mengangkat ide yang punya nilai filosofis. Kali ini, inspirasinya datang dari pemikir besar abad ke-18 asal Skotlandia, David Hume.
Kira-kira buah pemikiran apa yang diterapkan Collins dalam novelnya itu? Ayo langsung aja kita bahas dalam artikel ini!
Sekilas Tentang Sunrise on the Reaping
“Ketika kau dirancang untuk kehilangan semua yang kaucintai, apa yang tersisa untuk diperjuangkan?”
Jauh sebelum Katniss Everdeen muncul, ada satu nama yang selalu kita dengar di Hunger Games, Haymitch Abernathy. Di trilogi utama, ia dikenal sebagai mentor sinis yang selalu ditemani botol minuman beralkohol. Tapi, di Sunrise on the Reaping, Suzanne Collins ngajak kita balik ke masa mudanya, waktu Haymitch baru berusia 16 tahun.
Buku ini membawa kita ke Second Quarter Quell, edisi spesial Hunger Games ke-50 yang jauh lebih brutal dari biasanya. Jumlah peserta dilipatgandakan, dan Haymitch yang awalnya cuma pengen hidup sederhana di Distrik 12, tiba-tiba terjebak dalam permainan maut.
Lewat arena penuh jebakan dan pengkhianatan, kita akan melihat perjalanan seorang remaja biasa yang pelan-pelan berevolusi jadi sosok yang cerdik, tangguh, dan penuh nyali menantang nyawa.
Gagasan Hume: Kekuasaan dan Kepatuhan

David Hume adalah salah satu filsuf paling berpengaruh di Era Pencerahan. Salah satu gagasan besarnya adalah tentang kekuasaan dan kepatuhan. Menurut Hume, pemerintahan sebenarnya hanya bisa bertahan karena rakyat setuju untuk patuh. Bukan karena senjata, bukan pula karena ancaman semata, tapi karena orang-orang sudah terbiasa menerima kekuasaan itu sebagai hal yang wajar adanya.
Nah, ide ini nyambung banget dengan dunia yang dihadirkan di Panem. Warga distrik sudah terbiasa miskin, terbiasa tunduk, bahkan terbiasa mengirim anak-anak mereka ke Hunger Games setiap tahun.
Mereka nggak melawan bukan karena mereka sepakat, tapi karena merasa “memang begitulah seharusnya”. Inilah yang disebut Hume sebagai bentuk implicit submission atau kepatuhan yang ditunjukkan secara tersirat.
Haymitch dan Ilusi Takdir
Di Sunrise on the Reaping, Haymitch awalnya cuma anak 16 tahun yang pengen kabur ke hutan bareng kekasihnya, Lenore Dove. Tapi di hari ulang tahunnya yang bertepatan dengan Second Quarter Quell, ia terpilih untuk masuk menjadi peserta. Ia langsung dilempar ke arena, tanpa bisa menolak sedikit pun. Dari situ, seketika hidupnya pun berubah total.
Di sini, Collins nunjukkin jelas kalau takdir itu sebenarnya hanyalah konstruksi kekuasaan. Quarter Quell dibuat Capitol bukan demi keadilan, tapi demi menunjukkan siapa yang berkuasa, dan aturan spesialnya ditentukan lewat kotak kayu yang sudah disegel sejak awal berdirinya Hunger Games. Semua orang nerima begitu aja lantaran percaya, itu udah jadi aturan main yang nggak bisa diganggu gugat.
Haymitch yang tadinya naif dipaksa sadar, kalau ia cuma ikut arus—seperti orang lain—ia bakal mati. Dan di titik inilah kita melihat pergulatan filosofis, apakah dirinya hanya akan pasrah pada permainan Capitol, atau mencoba mencari celah untuk melawannya?
Lantas, Haymitch dengan kecerdikannya perlahan membalikkan aturan permainan dan di situlah refleksi Hume jadi terasa: Capitol mungkin terlihat berkuasa, tapi dengan sedikit kecerdikan, seseorang bisa menyingkap bahwa kekuasaan mereka nggak sekuat kelihatannya.
Justru ketergantungan Capitol pada pertunjukan Hunger Games nunjukkin betapa mereka butuh pengakuan rakyat agar teror itu nampak efektif memperdaya.
Perenungan yang Terasa Relevan
Yang bikin Sunrise on the Reaping relevan adalah bagaimana tema ini terasa dekat dengan kehidupan kita sekarang. Collins menampilkan gambaran kisah Haymitch seolah cermin yang bikin kita ikut merasakan andaikata jadi bagian dari masyarakat yang sadar dipermainkan, tapi tetap susah keluar dari lingkaran itu.
Kalau dipikir-pikir, banyak hal di sekitar kita yang juga kita terima begitu saja. Mulai dari aturan, sistem, bahkan narasi dari media yang masuk tanpa tercerna. Persis juga kan kayak yang Hume bilang: orang-orang sering tunduk “mengiyakan” karena mereka terbiasa begitu, bukan karena mereka benar-benar setuju.
Lewat kisah ini pula, Collins seakan ngajak kita mikir, kenapa sih masyarakat Panem nggak serentak melawan, padahal jelas-jelas mereka ditindas?
Soal ini, Hume bakal bilang, karena ada ilusi kekuasaan yang membuat orang merasa nggak punya pilihan selain tunduk. Tapi sekalinya ada celah, sekalinya rakyat sadar kekuasaan itu cuma berdiri di atas persetujuan mereka, maka rezim bisa runtuh kapan saja.
Ini Dia Gong-nya!
Kalau trilogi The Hunger Games sebelumnya itu kasih banyak eksposure tentang keberanian Katniss, Sunrise on the Reaping ngajarin kita soal ketahanan mental dan kebebasan berpikir.
Dengan sentuhan filsafat David Hume, novel ini turut ngasih perspektif baru, bahwa kekuasaan itu nggak pernah absolut, karena selalu butuh kepatuhan dari mereka yang dikuasai.
Dengan membaca perjalanan Haymitch muda, kamu juga perlahan akan paham alasan dia tumbuh jadi mentor yang jenius tapi penuh kesinisan di masa depan kelak. Lebih dari itu, kamu juga akan dibawa pada kesadaran baru, bahwa mempertanyakan sistem adalah langkah pertama untuk maju, menuju perubahan.
Baca juga: Gelombang Aksi & Buku-buku yang Relevan untuk Kamu Resapi Lagi 🔥
Dapatkan Pre Order Bukunya
Kalau kamu udah penasaran banget dengan lanjutan keseruan kisah serta makna mendalam di baliknya, bisa banget buat bergegas dapetin buku Sunrise on the Reaping dengan diskon 10% selama masa Pre Order!
Dengan harga Rp143.000, kamu bisa langsung menikmati kombinasi unik antara distopia, drama emosional, dan pengembangan ide filsafat klasik yang relevan dengan keadaan sekarang.
Jangan kelewat ya, periodenya cuma berlaku selama 15 Agustus hingga 10 September 2025 aja!
Koleksi Seri The Hunger Games Lainnya!
Nah, kalau kamu ngaku penggemar dari seri The Hunger Games, jangan sampai ketinggalan buat lengkapi seluruh koleksi kisahnya yang bisa kamu dapatkan di Gramedia!
1. The Hunger Games
Di dunia masa depan yang kelam, Amerika Utara sudah tinggal kenangan. Dari reruntuhannya lahirlah Panem, sebuah negara dengan Capitol sebagai pusat kejayaan, dikelilingi dua belas distrik yang hidup dalam kemiskinan dan ketakutan. Sebagai hukuman atas pemberontakan di masa lalu, setiap tahun Capitol menggelar sebuah tontonan mematikan: The Hunger Games.
Permainan itu mengharuskan 24 remaja masuk ke dalam arena dan hanya satu yang boleh keluar sebagai pemenang. Di sinilah kita kenalan dengan Katniss Everdeen, gadis 16 tahun dari Distrik 12—wilayah paling miskin di Panem. Ia hidup sederhana bersama adik perempuannya, Prim, dan sang ibu. Hidupnya keras, tapi ia terbiasa melawan lapar dan dingin dengan memanah di hutan. Semua berubah ketika nama Prim dipanggil sebagai peserta Hunger Games.
Demi melindungi adiknya, Katniss langsung mengambil langkah berani: ia maju sebagai sukarelawan menggantikan Prim. Keputusan itu menjerumuskannya ke dalam arena penuh jebakan, sekutu palsu, dan kamera yang terus mengawasi setiap gerakannya. Dari momen inilah, kisah legendaris itu dimulai!
2. The Hunger Games: Tersulut (Catching Fire)
Katniss Everdeen seharusnya bisa bernapas lega setelah berhasil keluar sebagai pemenang Hunger Games bersama Peeta Mellark. Tapi kemenangan itu malah bikin Capitol murka. Presiden Snow melihat tindakan Katniss di arena sebagai ancaman. Perlahan, kabar soal keberanian Katniss menyebar ke berbagai distrik dan memicu semangat pemberontakan yang nggak bisa diabaikan begitu saja.
Untuk mengendalikan keadaan, Katniss harus menjalani tur kemenangan keliling distrik. Misi utamanya jelas, ia mesti meyakinkan semua orang bahwa cintanya dengan Peeta benar-benar nyata. Presiden Snow menuntut mereka tampil mesra di depan publik, seolah-olah cerita cinta itu bukan akting. Kalau gagal, keluarga Katniss dan orang-orang yang ia sayangi bisa jadi korban.
Di tengah tekanan Capitol, Katniss mulai sadar hidupnya nggak lagi sama. Setiap langkah kecil yang ia ambil bisa berimbas besar pada orang lain. Sementara itu, api perlawanan di distrik-distrik makin sulit dipadamkan. The Hunger Games: Tersulut (Catching Fire) jadi babak baru perjalanan Katniss, yang lebih panas, penuh intrik, dan bikin kita penasaran ke mana arah perjuangan ini akan mengarah.
3. The Hunger Games: Mockingjay
Setelah lolos dari Hunger Games untuk kedua kalinya, hidup Katniss Everdeen makin jauh dari kata tenang. Capitol hancur-hancuran gara-gara aksinya, dan kini Panem sudah di ambang perang besar. Katniss pun jadi simbol perlawanan dengan julukan Mockingjay, sosok yang diharapkan bisa memimpin api pemberontakan melawan Presiden Snow.
Tapi jadi ikon revolusi ternyata nggak sesederhana itu. Katniss harus berhadapan dengan strategi politik yang licik, propaganda yang dijalankan kedua belah pihak, dan rasa bersalah atas orang-orang yang terluka karenanya. Di tengah semuanya, ia juga masih harus mencari cara untuk menyelamatkan Peeta, yang kini berada di tangan Capitol.
Perang makin mendekat, dan Katniss sadar tidak ada lagi jalan untuk mundur. Keputusan yang ia ambil bukan cuma soal dirinya sendiri, tapi juga nasib Panem secara keseluruhan. Mockingjay jadi puncak dari perjalanan Katniss, berisi bab penuh ketegangan, pengorbanan, dan pertanyaan besar tentang harga kebebasan yang sebenarnya.
4. Balada Burung Penyanyi dan Ular (The Ballad of Songbirds and Snakes)
“Ambisi mendorongnya.
Kompetisi menggerakkannya.
Namun, kekuasaan ada harganya.”
Novel Balada Burung Penyanyi dan Ular (The Ballad of Songbirds and Snakes) merupakan edisi lanjutan dan prekuel dari trilogi The Hunger Games.
Berlatarkan 64 tahun sebelum nama Katniss Everdeen mengguncang Panem, Hunger Games masih dalam tahap awal—lebih sederhana, tapi sama kejamnya. Di sinilah kita ketemu dengan Coriolanus Snow, seorang remaja ambisius dari keluarga Capitol yang sedang jatuh miskin. Meski keluarganya sudah kehilangan banyak, Snow masih punya satu senjata, otaknya.
Snow terpilih jadi mentor di Hunger Games ke-10, sebuah peran yang bisa menentukan masa depannya di Capitol. Tugasnya adalah membimbing Lucy Gray Baird, gadis dari Distrik 12 yang penuh kejutan. Awalnya, Snow melihat Lucy Gray hanya sebagai tiket untuk meraih kejayaan. Tapi seiring waktu, hubungan mereka berkembang jadi lebih rumit, penuh strategi, manipulasi, dan dilema antara ambisi atau hati nurani.
Lewat perjalanan ini, kita melihat bagaimana ide-ide Hunger Games mulai terbentuk, bagaimana Capitol menanamkan kekuasaannya lewat hiburan berdarah, dan bagaimana seorang remaja bisa berubah menjadi sosok tiran yang kelak dikenal sebagai: Presiden Snow.
Baca juga: Animasi Panji Tengkorak: Komik Laga Legendaris yang Finally Dibangkitkan!
Pada akhirnya,
Sunrise on the Reaping adalah hadiah untuk semua penggemar The Hunger Games sekaligus undangan untuk mengenal Panem lebih dalam. Collins berhasil menulis kisah yang penuh ketegangan, tapi juga sarat akan makna.
Buku ini juga menegaskan bahwa dunia Hunger Games punya relevansi dengan keadaan yang nyata terjadi. Tema propaganda, kekuasaan, dan keberanian untuk melawan masih terasa dekat dengan realita kita sekarang. Makanya, nggak heran kalau Sunrise on the Reaping langsung jadi bahan obrolan dan menduduki daftar best-seller di berbagai negara sejak hari pertama rilis.
And, yes… kalau kamu pengen kembali merasakan degup khas The Hunger Games, tapi dengan sudut pandang yang baru dan penuh refleksi, tentu buku ini jadi satu hal yang sayang banget buat kamu lewatkan!
Langsung aja dapetin Sunrise on the Reaping karya Suzanne Collins di Gramedia, dan biarkan dirimu sekali lagi hanyut ke dunia Panem.
Terakhir, seperti biasa:
“May the odds be ever in your favor!”
✨ Oya, jangan lupakan juga penawaran spesial lainnya dari Gramedia hanya untuk kamu! Cek promonya di bawah ini agar belanja kamu jadi lebih hemat! ⤵️