Steve: Antara Sekolah, Tekanan, dan Manusia yang Hampir Meledak

Dunia pendidikan tuh emang kesannya serius banget ya, Grameds. Tapi kamu tahu nggak, kalau di balik keseriusan itu sebenarnya tersimpan banyak hal yang jarang diekspos? 🧠💁♀️
Ada cerita soal guru yang terus berjuang walau kelelahan, murid yang berusaha keras di tengah tekanan, sampai sistem yang sering kali lebih cepat menilai daripada berusaha buat, at least, paham dulu. Semua dinamika itu nyata, tapi jarang sekali benar-benar terlihat.
Nah, sisi inilah yang coba diangkat oleh Steve, film terbaru yang lagi jadi perbincangan di Netflix. Film ini nggak menampilkan kisah sekolah yang penuh inspirasi atau akhir bahagia seperti kebanyakan film bertema pendidikan. 🎓
Sebaliknya, Steve justru menyorot satu hari paling melelahkan dalam hidup seorang kepala sekolah yang berusaha menjaga ketertiban di tengah situasi yang makin berantakan.
Penasaran dengan kisah Steve dan kenapa film ini bisa terasa begitu dekat dengan kehidupan nyata? Yuk, simak terus bahasannya dalam artikel ini! 👇
Sinopsis Steve

Berlatar di Inggris tahun 1990-an, Steve mengikuti satu hari penuh tekanan dalam hidup seorang kepala sekolah bernama Steve, yang memimpin sebuah sekolah reformasi terakhir bagi remaja bermasalah, yang berjuang menjaga murid-muridnya. Hari itu dimulai seperti biasa. Dengan keluhan dari guru, kegaduhan di kelas, dan ancaman dari pihak pengawas yang terus menyoroti performa sekolahnya. Lalu perlahan, segalanya bergeser ke arah yang tidak terduga.
Sebuah tim dokumenter datang untuk meliput kegiatan sekolah, dengan niat awal menyoroti upaya mereka membantu para murid yang sulit diatur. Tapi kehadiran kamera justru membuka luka lama yang belum sembuh, baik bagi para siswa maupun staf. Ketegangan yang tadinya tersembunyi mulai muncul ke permukaan, membuat suasana sekolah berubah jadi ladang konflik yang panas dan penuh emosi.
Di tengah kekacauan itu, Steve mencoba tetap tenang. Ia berusaha jadi jangkar bagi semua orang, walau hatinya sendiri mulai retak. Semakin waktu berjalan, batas antara kendali dan kehilangan arah makin tipis.
Semakin hari berjalan, batas antara kendali dan kehancuran mulai kabur. Apakah Steve masih bisa memegang kendali atas sekolah dan dirinya sendiri, atau justru semua akan runtuh di depan kamera yang terus merekam tanpa henti?
Kekacauan, Harapan, dan Kelelahan yang Nyata 💥
Sejak awal film, Steve langsung membawa penonton masuk ke dunia yang sumpek dan tak menentu. Kamera bergerak cepat, menelusuri lorong sekolah yang ramai, ruangan guru yang tegang, hingga wajah Steve yang perlahan kehilangan ketenangan. 😰
Setiap detik terasa padat, seolah waktu berjalan lebih lambat dari seharusnya. Hari yang dimulai dengan rutinitas biasa berubah jadi perjalanan panjang yang nyaris tanpa jeda.
Cillian Murphy menampilkan Steve dengan intensitas yang terasa hidup. Gerak tubuhnya berat, tatapannya gelisah, dan napasnya seperti selalu tersangkut di tenggorokan. Dari cara ia berjalan hingga cara menatap muridnya, semua menunjukkan beban yang tak bisa ia lepaskan.
Film ini nggak memberi ruang bagi Steve untuk berhenti; bahkan ketika wajahnya jelas menandakan kalau dia sudah di ambang batas.
Kesan lelah itu terasa di setiap lapisan film. Mulai dari ritme yang terus menekan, suara bising di latar, sampai warna-warna kusam yang memperkuat suasana suram. Setiap elemen visual dan suara saling tumpang tindih, menciptakan pengalaman yang hampir claustrophobic. 📹
Kenapa Steve Layak Ditonton 😍
Nah, ini beberapa alasan yang bikin film Steve jadi rilisan yang menarik buat kamu tonton di bulan ini!
1. Cillian Murphy dalam Performa yang Luar Biasa
Kalau kamu masih terbayang Murphy yang cool, tenang, dan sangat sigma di Peaky Blinders, kamu akan temuin sosok yang beda banget di sini. Di Steve, ia tampil apa adanya. Tampil rapuh, meledak-ledak, tapi juga penuh empati. Lewat ekspresi kecil, gerak tubuh, dan tatapan kosong, Murphy berhasil bikin kita percaya bahwa Steve adalah sosok nyata, bukan karakter fiksi. Ia bukan pahlawan, bukan penjahat, tapi seseorang yang tersesat di tengah tanggung jawab yang terlalu besar.
Aksi Murphy jadi jangkar emosional film ini. Kamu mungkin nggak selalu setuju dengan tindakannya, tapi kamu akan ngerti kenapa ia melakukannya. Dan rasa ngerti tapi sakit itu yang bikin film ini menempel di kepala, even setelah kreditnya habis.
2. Cerita yang Padat, Tapi Tetap Menggigit
Durasi film ini tergolong singkat, sekitar satu setengah jam. Tapi jangan salah, tiap menitnya terisi penuh. Konflik datang silih berganti: dari kunjungan kru dokumenter, perkelahian antar murid, sampai rahasia pribadi yang tiba-tiba pecah di depan publik. Semua terjadi begitu cepat, bikin kamu enggan buat lepas fokus.
Ritme yang cepat ini bikin Steve jadi pengalaman yang intens. Nggak ada subplot berlebihan, nggak ada drama tambahan yang bikin bosan. Film ini tahu kapan harus ngegas, dan kapan harus berhenti sejenak buat bikin penonton tarik napas.
3. Gaya Sinematografi yang Nendang
Gaya visual Steve bisa dibilang chaotic done right. Kamera handheld yang bergoyang, framing yang sempit, sampai cahaya natural yang bikin suasana terasa makin suram. Semua dipilih bukan buat gaya-gayaan, tapi buat bikin kita ikut hanyut dalam ketegangan.
Kesan berantakan tapi indah ini justru memperkuat pesan filmnya. Bahwasannya, kehidupan kadang memang nggak punya garis lurus. Dengan gaya sinema yang realistis dan gelap, Steve terasa seperti potongan kehidupan yang direkam tanpa filter.
4. Hening yang Lantang Daripada Suara
Dialog-dialognya terasa sederhana, tapi banyak yang nyangkut di kepala. Ada keheningan yang berbicara lebih lantang daripada kata-kata.
Gambaran dalam perihal lelah, bingung, dan tanggung jawab yang mesti dijalankan. Semua rasa itu mengalir tanpa perlu penjelasan panjang, cukup lewat ekspresi dan momen-momen kecil yang ngena banget.
5. Cerita yang Dekat dengan Realita Kita-kita
Steve terasa relevan buat siapa pun yang pernah ngerasa kehilangan arah. Dunia yang ditampilkannya nggak jauh dari keseharian: tempat kerja yang menekan, rutinitas yang melelahkan, dan perasaan nggak pernah cukup. Tapi justru dari situ, film ini menemukan maknanya sendiri—tentang manusia yang terus bertahan, bahkan ketika semua hal terasa nggak berpihak. Ada sesuatu yang hangat di balik kegetiran ceritanya.
Sebelum Nonton Steve, Intip Juga Buku yang Punya Vibes Mirip!
Kalau kamu masih pengen menikmati cerita dari sekolahan atau kisah yang punya nuansa yang hangat tapi reflektif, berikut beberapa buku yang punya vibes mirip-mirip! 🎭
1. A untuk Amanda — Annisa Ihsani
Amanda adalah siswi berprestasi yang hidupnya terlihat sempurna di luar. Nilainya selalu tinggi, sikapnya sopan, dan jadi kebanggaan banyak orang. Tapi di balik semua pencapaian itu, ada tekanan besar dari orangtua, teman, sampai ekspektasi diri sendiri yang terus menumpuk. Semua itu membuatnya belajar lebih keras lagi.
Novel ini menyentuh sisi rapuh yang sering disembunyikan banyak orang: rasa kehilangan arah meski dari luar terlihat baik-baik saja. Annisa Ihsani menulisnya dengan belai lembut tapi nusuk, bikin kita mikir ulang tentang makna sukses dan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kalau kamu suka kisah yang menggali isi kepala dan hati remaja yang sedang tumbuh, A untuk Amanda bisa jadi teman baca yang bikin kamu diem lama setelah halamannya ditutup.
2. Persona — Fakhrisina Amalia
Azura bukan tokoh yang mudah disukai di awal. Ia penuh luka, marah pada dunia, dan sering kali terasa berantakan. Dari situlah, Persona mengembangkan premisnya. Novel ini nggak berusaha menutupi sisi gelap kehidupan seorang perempuan muda yang sedang mencari jati diri.
Kisahnya berlapis-lapis. Ada soalan terkait trauma, hubungan yang rumit, dan keinginan untuk lepas dari bayangan masa lalu. Fakhrisina Amalia menulis dengan gaya yang puitis tapi lugas, seperti sedang menguliti perasaan pembacanya pelan-pelan.
Buku ini cocok banget buat kamu yang lagi pengen cerita introspektif. Cerita yang nggak melulu manis, tapi jujur dan dekat dengan sisi humanis.
3. Guru Aini — Andrea Hirata
Guru Aini membawa kita ke ruang kelas sederhana di pelosok, tempat Bu Desi— seorang guru idealis—berjuang mengajar matematika pada murid-muridnya. Di antara semua, Aini jadi murid yang paling menantang. Ia adalah sosok yang keras kepala, nampak malas, tapi diam-diam punya tekad besar.
Andrea Hirata menggambarkan hubungan guru dan murid dengan hangat dan jenaka, tapi juga menyelipkan refleksi sosial tentang pendidikan, ketimpangan, dan arti mengubah hidup orang lain.
Buku ini ringan dibaca dan mengena, terutama kalau kamu suka kisah inspiratif yang membumi dan nggak menggurui. Setelah membacanya, mungkin kamu bakal ngelihat profesi guru dengan cara yang lebih dalam dan hangat.
4. A Man Called Ove – Fredrik Backman
Ove dikenal sebagai pria pemarah: kaku, suka menggerutu, dan tak pernah melepaskan senyum. Orang-orang di sekitarnya menyebutnya tetangga dari neraka. Namun, di balik sikap kerasnya, ternyata tersembunyi kisah hidup yang penuh kesedihan dan kehilangan.
Fredrik Backman membangun karakter Ove dengan begitu detail, hingga pembaca bisa merasakan sisi rapuh di balik amarahnya. Kehidupan Ove mulai berubah saat ada pasangan muda pindah ke sebelah rumahnya—membawa dua anak cerewet dan tanpa sengaja merusak kotak suratnya. Dari situlah hubungan-hubungan baru lahir, menghadirkan kucing, persahabatan, hingga momen tolong-menolong yang pelan-pelan melumerkan dinginnya hati Ove.
Novel ini bukan cuma mengungkap cerita tentang seorang pria pemarah. Lebih jauh, ini adalah kisah hangat tentang kehilangan, cinta, dan bagaimana kehadiran orang lain bisa menyelamatkan jiwa yang sepi. Tak heran bila kisah ini berhasil mengantarkan A Man Called Ove masuk ke daftar best seller dunia dan tetap dicintai hingga sekarang.
5. Life as I Know It
Kesendirian sering dianggap menyedihkan, padahal bisa jadi justru membebaskan. Inilah yang ditawarkan Life as I Know It, karya ilustrator berbakat Emte. Buku ini penuh dengan ilustrasi berwarna yang indah, tanpa teks, tapi sarat makna.
Melalui visualnya, Emte mengajak pembaca untuk merayakan momen-momen sederhana saat sendirian. Menyusuri kota baru, makan sendirian di restoran, atau menonton film tanpa harus peduli komentar orang lain. Semua aktivitas itu ditampilkan sebagai pengalaman personal yang membahagiakan, bukan sesuatu yang harus dihindari.
Dengan gaya artistiknya, Emte menunjukkan bahwa kesendirian bisa menjadi ruang untuk lebih dekat dengan diri sendiri. Life as I Know It adalah buku yang ringan, estetis, tapi tetap menyimpan pesan kuat: tidak apa-apa sendirian, karena di dalamnya kita bisa menemukan kebebasan.
Nggak ada keajaiban yang datang menyelamatkan hari dalam dunia Steve. Sekolah tetap riuh, konflik nggak langsung reda, dan wajah-wajah lelah itu masih berjalan di lorong yang sama. Tapi justru di situ film ini beresonansi. Ia menunjukkan sisi dunia yang jarang diangkat, tempat di mana ketertiban cuma ilusi dan manusia di dalamnya terus mencoba bertahan sambil menahan napas. 😵
Kekacauan di sekolah itu terasa nyata karena film ini nggak berusaha memperindahnya. Kamera terus merekam, seolah menolak berhenti walau semua orang di dalam bingkai sudah hampir runtuh.
Steve bukan cuma jadi kisah tentang sistem pendidikan yang rapuh, tapi juga tentang manusia yang menolak menyerah di tengah runtuhnya harapan. Dari situ, kamu mungkin akan menyadari satu hal. Barangkali bertahan di tengah kekacauan adalah satu-satunya bentuk kemenangan yang benar-benar bisa kita raih.
Yup, buat kamu yang udah nggak sabar banget buat nonton, film terbaru Cillian Murphy ini sudah bisa kamu saksikan di Netflix mulai tanggal 3 Oktober 2025. Itu artinya, kamu bisa gas buat “Jengjeng!” kisah getirnya sekarang juga! 🍿🎬
✨ Oya, jangan lupa juga buat dapetin penawaran spesial lainnya dari Gramedia! Cek promonya di bawah ini agar belanja kamu jadi lebih hemat! ⤵️