7 Sastrawan Muda Indonesia dari Generasi Milenial

Mungkin kamu sudah familier dengan nama Sapardi Djoko Darmono, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, hingga Ahmad Tohari.

Ya, mereka adalah beberapa sastrawan Indonesia yang keindahan karyanya seakan tak habis-habis. Pun tidak kalah elok dari gubahan para sastrawan dunia, seperti Ernest Hemingway, Victor Hugo, Charles Dickens, dan Frans Kafka.

Karya-karya sastra yang begitu menawan untuk dibaca ini sayang rasanya kalau dibiarkan luntur di tengah maraknya bacaan jenis lain. Oleh sebab itu, kesusastraan butuh para penerus dari generasi muda.

Berikut adalah 7 sastrawan muda Indonesia dari generasi milenial yang siap mewarnai dunia sastra.

1. M. Aan Mansyur

Source: hipwee.com

Jendela terbuka
Dan masa lampau memasukiku sebagai angin
Meriang, meriang, aku meriang
Kau yang panas di kening
Kau yang dingin di kenang

  • Rangga (Ada Apa Dengan Cinta 2)

Penggalan puisi di atas sejatinya adalah yang Rangga lafalkan dalam film AADC 2. Tersebut bersama puisi-puisi Rangga yang lain sesungguhnya tersemat dalam antologi yang digubah oleh M. Aan Mansyur, yakni Tak Ada New York Hari Ini.

Sebelum menjelma sebagai penyair, Aan Mansyur bercita-cita menjadi seorang pelukis. Ia memutuskan untuk mulai menulis sejak terbuai oleh kumpulan sajak Subagio Sastrowardoyo berjudul Simfoni Dua.

Selain Tak Ada New York Hari Ini (2016), penyair kelahiran 14 Januari 1982 itu juga telah melahirkan karya sastra kondang lainnya. Seperti Melihat Api Bekerja (2015) dan Kukila (2012).

2. Dea Anugrah

Source: whiteboardjournal.com

Bermula dari obrolan dengan guru bahasa Indonesia ketika masih SMA, Dea Anugrah terpikat akan dunia penulisan. Juga oleh bacaan-bacaan di perpustakaan sekolahnya, pria asal Pangkalpinang kelahiran 27 Juni 1991 inipun “teracuni” untuk mulai menulis.

Sambil menyelami jagat tulis-menulis, Dea Anugrah menamatkan pendidikan filsafatnya di Universitas Gadjah Mada. Menginjak usia 27 tahun, berbagai karyanya sudah melanglang buana, baik di media cetak maupun online. Salah satu karya tersohor milik Dea Anugrah adalah kumpulan cerpen-nya yang berjudul Bakat Menggonggong.

Di samping menulis karya sendiri, belum lama ini Dea Anugrah menerjemahkan kumpulan cerpen What We Talk About When We Talk About Love karya Raymond Carver.

3. Norman Erikson Pasaribu

Source: kompasiana.com

Norman Erikson Pasaribu mendulang pujian berkat kepiawaiannya bersastra oleh salah satu pujangga senior Tanah Air, yakni Sapardi Djoko Damono. Ia pun turut dianugrahi titel Sastrawan Muda Asia Tenggara oleh Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) pada tahun 2017.

Hingga kini, pria kelahiran Jakarta tahun 1990 tersebut memiliki dua karya yang telah dibukukan. Buku pertamanya berupa kumpulan cerita yang diberi judul Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu (2014).

Lalu diikuti oleh buku kumpulan puisinya berjudul Sergius Mencari Bacchus (2016) yang memboyong juara pertama dalam Sayembara Manuskrip Buku Puisi DKJ pada tahun 2015 lalu.

4. Adimas Immanuel

Source: facebook.com

Empat Cangkir Kenangan (2012) merupakan hasil duet Adimas Immanuel bersama Bernard Batubara, Mohammad Irfan, dan Esha Tegar Putra. Antologi puisi itulah yang menjadi buku pertama dari pria asal Solo ini.

Sejak saat itu, Adimas Immanuel kian aktif menggubah puisi. Puisi karya penyair muda kelahiran tahun 1991 ini pun hilir mudik di berbagai media, salah satunya adalah Kompas. Ia pun kembali meluncurkan kumpulan puisinya, seperti Pelesir Mimpi (2013) dan Di Hadapan Rahasia (2016).

Sayapnya di bidang sastra terkhusus dalam hal puisi telah semakin berkembang. Nyatanya, Adimas Immanuel pernah diundang untuk menghadiri ASEAN Literary Festival dan Ubud Writers and Readers Festival pada tahun 2015, serta Melbourne Emerging Writers Festival 2016.

5. Okky Puspa Madasari

Source: wikipedia.org

Pada usia 28 tahun, karya Okky Puspa Madasari yang berjudul Maryam berhasil memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2012. Ia pun dinobatkan sebagai penulis termuda yang memperoleh penghargaan bergengsi tersebut.

Karya dari wanita kelahiran Magetan, 30 Oktober 1984 itu tak lekang oleh zaman dan terus populer di kalangan penikmat sastra. Bahkan beberapa bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, seperti Entrok (The Years of the Voiceless), Pasung Jiwa (Bound), dan Maryam (The Outcast).

Tulisan lain Okky Puspa Madasari yang dibukukan di antaranya, yaitu Yang Bertahan dan Binasa Perlahan, 86, Kerumunan Terakhir, dan Mata di Tanah Melus. Hampir setiap karyanya mengandung kritik sosial bagi berbagai pihak terkait cerita, yang tentunya penuh makna mendalam.

6. Sabda Armandio

Source: jurnalruang.com

Sabda Armandio mulai gembar membaca secara rutin sejak melahap cerita Upik Abu saat masih TK. Untuk soal menulis, ia mulai mencoba untuk menyusun novel sedari SMA.

Sabda Armandio terpanggil oleh pengaruh bacaan dari beberapa tokoh yang dikaguminya, seperti Chairil Anwar hingga Albert Camus (filsuf asal Perancis) dan Arthur Schopenhaeur (filsuf asal Jerman).

Pada tahun 2015, akhirnya pria yang akrab disapa Dio ini menerbitkan novel pertamanya berjudul Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya. Diiringi oleh buku lainnya yang diterbitkan pada tahun 2017, yakni 24 Jam Bersama Gaspar.

Tulisannya yang tidak begitu berat untuk dipahami pun menarik hati para pembaca. Keanyaran dan kelugasannya dalam menulis ini pula yang menghantarkan Dio dalam meraih gelar pemenang unggulan dalam Sayembara Penulisan Novel DKJ 2016.

7. Bernard Batubara

Source: bisikanbusuk.com

Siapa yang tak kenal Radio Galau FM? Ya, novel yang sekaligus diadaptasi ke dalam film layar lebar dengan judul sama itu sampai sekarang memang sulit untuk ditepis dari ingatan. Barangkali jarang yang tahu siapa sang empunya cerita Radio Galau FM.

Bernard Batubara ialah pencetus Radio Galau FM (2011). Selain itu, masih banyak karya lainnya seperti Kata Hati (2012), Metafora Padma (2016), dan Luka dalam Bara (2017).

Pria kelahiran Pontianak tahun 1989 yang lama tinggal di Yogyakarta ini juga merambah karya sastra lain berupa kumpulan cerpen, di antaranya Milana: Perempuan yang Menunggu Senja (2013) dan Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014).


Yup! Itu dia 7 sastrawan muda Indonesia yang berasal dari generasi milenial. Manakah sastrawan idolamu?


Header image source: idwriters.com