(REVIEW BUKU) Matinya Kepakaran: Cermin Perilaku Kita di Dunia Maya

Sebuah situasi yang menandakan matinya kepakaran digambarkan seperti ini oleh jurnalis senior yang juga sastrawan Bre Redana,

"Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya."

Ia mengatakan itu dalam sebuah workshop kritik film tahun lalu yang digagas Pusbang Film Kemendikbud. Hal yang sama berlaku untuk segala bidang.

Perkembangan teknologi, terutama media sosial dan smartphone, membuat hal itu sebuah keniscayaan. Mungkin tak terlalu bermasalah bila semua orang sekadar merasa paling tahu sesuatu lantas menyebarkannya.

Yang jadi masalah ketika peran pakar ditiadakan, informasi yang benar disangkal, lantas kedunguan dibanggakan.

Pada 1990-an, sekelompok kecil "penyangkal AIDS" menentang konsensus dunia medis bahwa virus HIV yang menyebabkan AIDS. Namun faktanya, setelah para peneliti menemukan HIV, dokter dan pejabat kesehatan publik mampu menyelamatkan banyak nyawa melalui tindakan pencegahan.

Masalahnya mungkin selesai begitu saja. Tapi gagasan ngawur itu ternyata menarik perhatian presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki. Ia menolak bantuan obat-obatan dan berbagai bentuk bantuan lain untuk memberantas penyebaran virus HIV di negerinya.

Akibatnya, sekitar 300 ribu orang meninggal dan sekitar 35 ribu lebih anak lahir dengan HIV positif yang infeksinya seharusnya bisa dihindari. (hal. 2)

Sebagaimana ditengarai Tom Nichols di buku Matinya Kepakaran (Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2018) dan kita saksikan sehari-hari, masih banyak orang yang bersikap antivaksin hingga yang percaya Bumi itu datar.

Versi asli buku Matinya Kepakaran karya Tom Nichols (Sumber: Sciencebasedmedicine.org)

Kita sepatutnya bertanya, dengan keberlimpahan informasi di internet yang tinggal klak-klik, kenapa masih ada orang yang punya pandangan primitif Bumi datar atau vaksin berbahaya bagi kesehatan?

Yang lebih ironis, pandangan keliru itu justru makin dikuatkan dengan hasil pencarian mereka di dunia maya. Internet yang kita kira sumber informasi tanpa batas yang berguna memberi pencerahan dan hidup lebih baik ternyata punya sisi buruk.

Salah Internet Semata?

Era teknologi dan informasi tidak hanya menciptakan lompatan pengetahuan, tapi juga memberi jalan dan bahkan memerkuat kekurangan umat manusia. Internet justru jadi sarana menyerang pengetahuan yang sudah mapan. Internet jadi sumber sekaligus sarana tersebarnya informasi bohong.

Nichols menganalogikan internet dengan Hukum Sturgeon yang mengatakan,

"90 persen dari semua hal (di dunia maya), adalah sampah."

Orang bebas mengunggah apapun di internet, sehingga ruang publik dibanjiri informasi tak penting dan pemikiran setengah matang.

Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.
(hal. 130-131)

Tambahan pula, internet bukan hanya membuat kita makin bodoh, tapi juga lebih kejam. Di dunia maya sebagian dari kita tak ingin menguji informasi, berdiskusi dan berdebat sehat, tapi mengecilkan opini orang lain yang berbeda, menghina, dan menyerang.

Internet, termasuk mesin pencari dan medsos di dalamnya, sejatinya cuma alat. Ibarat pisau, bagi dokter bedah pisau berguna untuk menyembuhkan pasien, sedangkan bagi penjahat pisau berguna untuk membunuh korban.

Kesalahan utama bukan pada internet, tapi pada kita. Kita punya masalah bias konfirmasi, yaitu kecenderungan alami untuk hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah kita percayai.

Internet kemudian memberi ruang untuk bias konfirmasi itu tumbuh kian subur. Para pemrogram membuat algoritma yang memungkinkan kita hanya mendapat berita dan informasi yang sesuai minat dan apa yang kita percayai sebelumnya.

Di Amerika misalnya, kelompok konservatif lebih percaya yang ada di saluran berita Fox News, sedangkan kelompok liberal lebih pilih CNN dan MSNBC.

Di sini sama saja. Tinggal ganti saja nama sumber beritanya dengan saluran berita A atau B.  Karena bias konfirmasi pula orang memakai internet setelah sebelumnya memutuskan apa yang mereka percaya.

Para penggiat antivaksin, penganut Bumi datar, dan lain-lain akan selalu menemukan sumber berita atau “penelitian” tak jelas untuk mendukung mereka.

Inilah pengetahuan era digital, simpul Nichols:

Anda berkelana sampai menemukan kesimpulan yang Anda tuju. Anda mengklik laman demi pembenaran, dan keliru dalam membedakan jawaban dengan kekuatan argumen.
(hal. 142)  

Masihkah Pakar Diperlukan?

Lantas, apa peran pakar musnah semusnah-musnahnya di era internet ini? Nichols mengatakan orang awam tetap butuh dokter bila sakit, mencari pengacara bila punya masalah hukum, atau mengandalkan pilot untuk mengemudikan pesawat yang kita tumpangi.

Pakar dalam definisinya sebagai spesialisasi pekerjaan takkan hilang. Tapi di saat bersamaan, dengan keberlimpahan informasi, orang bisa juga menjadi dokter bagi diri sendiri maupun ahli hukum dan penerbangan dadakan.

Tengok saja, meski tak jelas informasinya, ada yang percaya makan banyak coklat tak bikin gemuk atau menonton persidangan di TV bikin penonton seketika tahu hukum.  

Matinya kepakaran, ditengarai Nichols akan membahayakan demokrasi. Amerika Serikat—juga Indonesia—adalah  republik, tempat warganya menunjuk orang lain untuk mengambil keputusan atas nama rakyat.

Pakar diperlukan oleh pengambil kebijakan untuk membantu mereka membuat keputusan. Pakar bertugas memberi nasihat bagi pemimpin, sedangkan bagi rakyat umum mereka bertugas memberi arahan, petunjuk mana yang baik dan buruk.

Saat peran pakar hilang demokrasi bisa dibajak para demagog. Hal itu yang dirasakan rakyat Amerika saat ini di bawah pemerintahan Donald Trump, seorang demagog sejati.

Hanya Trump presiden Amerika satu-satunya yang terang-terangan mengatakan media sebagai “enemy of the people--musuh besar rakyat”.

Trump, presiden satu-satunya yang tanpa malu berbohong, diduga main mata dengan Rusia, serta memecah negeri sendiri dengan sikap anti imigran, rasialis, dan berbagai kebijakan populis lain yang menguntungkan golongannya saja.

Buku “Zaman Now”

Matinya Kepakaran bisa dibilang buku yang datang di saat yang tepat. Edisi aslinya, The Death of Expertise langsung jadi pembicaraan ketika terbit.

Apa yang diungkap buku itu telah menjadi fenomena keseharian rakyat Amerika dalam kurun waktu satu dekade terakhir dan kian merusak seiring pilpres yang memenangkan Donald Trump di tahun 2016 lalu.

Penulisnya, Tom Nichols, professor di US Naval War College, mulai menulis bukunya beberapa tahun lalu. Semula ia ingin menulis tentang masyarakat Amerika yang kian tak peduli dan acuh tak acuh pada perbincangan wacana publik.

Seiring waktu, ia pun menyaksikan kecenderungan meningkatnya suara-suara yang memertanyakan pengetahuan maupun fakta yang terbukti kebenarannya.

Nichols juga melihat, orang bukan saja kian tak dapat informasi yang benar, namun
“memerjuangkan” informasi yang salah sambil tak mau belajar atau mencari yang benar. Yang dikira fakta, dipertahankan, walau sekabur apapun "fakta" tersebut.

Parahnya, pendapat profesional dan para ahli yang kompeten di bidangnya, mereka tolak. Hal ini membuatnya terkejut dan khawatir. Dari situ lahir buku ini yang memeringatkan masyarakat Amerika saat ini.  Yang jadi tanya lalu, relevankah buku ini buat kita di Indonesia?

Walau buku ini banyak mengambil contoh kondisi Amerika zaman now, sejatinya ia bicara tentang kita juga. Bias konfirmasi tak hanya menimpa rakyat sana, tapi juga orang sini.

Tengok yang di-share teman atau kerabat kita di Facebook. Jika sebuah kabar menguntungkan pilihan politiknya, pasti disebarkan walau sumbernya tak jelas dan terindikasi hoax.  

Buku Matinya Kepakaran sejatinya adalah cerminan perilaku kita saat ini di dunia maya. Buku ini bukan pledoi alias pembelaan untuk para pakar, namun memberi peringatan bahaya bila pakar dibiarkan musnah.

Buku ini hadir di momen tepat, kala iklim politik panas karena pilpres. Pemilihan untuk memberinya judul Indonesia alih-alih memertahankan judul aslinya, sebuah pilihan yang patut dipuji.

Pemilihan istilah “matinya kepakaran” nampaknya bertujuan untuk mendekatkan wacana di buku ini ke publik Indonesia. Untungnya lagi, terjemahan buku ini enak dibaca.

Walau yang diceritakan hanya melulu kondisi di Amerika, namun kita seakan relate dengan fenomena sosial yang terjadi di negeri kita.  Buat kamu milenial dan Gen Z, Matinya Kepakaran adalah bacaan penting agar tak terperosok ke dalam sampah limbah informasi.

Nichols memberi saran agar kita melihat informasi dengan berimbang, tak sekadar mengikuti naluri atas yang sudah kita percaya. Tinggal kita mau melakukannya atau tidak.**

Dapatkan bukunya di Gramedia.


MATINYA KEPAKARAN
Penulis: Tom Nichols
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: Cetakan I, Desember 2018
Halaman: 320 halaman