(REVIEW BUKU) Goodbye, Things: Panduan Jadi Minimalis ala Jepang

(REVIEW BUKU) Goodbye, Things: Panduan Jadi Minimalis ala Jepang

Sebelum baca ulasan buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang (Gramedia Pustaka Utama, November 2018) coba tengok rumah atau kamar kamu.
Apa ruangan di rumah atau kamar kamu penuh sesak oleh berbagai barang?

Apa semua benda yang kamu lihat telah kamu manfaaatkan sebaik-baiknya? Apa ada benda yang kamu beli tapi tak pernah kamu pakai lagi? Tengok lekat-lekat semuanya dan tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya seorang maksimalis?

Penulis buku ini, Fumio Sasaki tadinya seorang maksimalis. Di usia 35 tahun dan masih lajang, ia menempati sebuah apartemen di daerah Nakameguro, Tokyo sambil bekerja sebagai editor sebuah penerbitan. Apartemen itu sudah ia huni selama 10 tahun.

Apartemennya penuh barang. Kamar tidur penuh buku. Kebanyakan buku itu hanya dibaca selembar-dua lembar lalu ia tinggalkan. Lemari penuh sesak oleh pakaian, yang sebagian besar baru ia kenakan beberapa kali.

Di apartemennya juga penuh benda koleksi yang jadi kegemarannya. Kegemaran alias hobi itu kerap berganti karena bosan. Di antaranya, ia punya gitar serta pengeras suaranya yang tertutup debu, buku panduan belajar bahasa Inggris yang tak sempat-sempat ia tengok, bahkan kamera antik yang tidak pernah ia gunakan.

Meski memiliki begitu banyak barang, ia tak merasa bahagia. Ia merasa hampa. Apalagi setelah bertemu teman kuliah yang telah sukses: memiliki rumah dan mobil mewah, istri cantik dan bayi lucu.

Ia bergumam, "Saat di kampus dahulu, kami tidak jauh berbeda. Apa yang terjadi? Mengapa hidup kami bisa menjadi berbeda?"

Membandingkan diri dengan orang yang memiliki lebih banyak barang membuatya kesal. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan. Akhirnya, ia menghibur diri dengan minum-minum.

Apa hendak dikata, kita hidup di zaman kala sukses ditentukan oleh barang atau materi yang dipunyai seseorang. Entah itu rumah, mobil, tas, pakaian, sepatu, atau merek smartphone yang dipakai. Hal itu membuat kita ingin punya lebih banyak barang.

Pada akhirnya kita menghabiskan lebih banyak waktu dan energi untuk mengelola dan mempertahankan benda yang sudah kita punya. Kita berusaha mati-matian sampai akhirnya barang yang seharusnya memudahkan justru mengendalikan kita.

Goodbye
sumber: Jurnal Ruang
Fumio Sasaki lantas mengingatkan kita dengan ucapan tokoh Tyler Durden di film Fight Club: "Barang yang kau kaukuasai akhirnya ganti menguasaimu."

Dari Maksimalis Menjadi Minimalis

Jalan hidup Fumio Sasaki berubah ketika ia memutuskan pindah ke apartemen yang lebih murah biaya sewanya. Namun proses pindah itu hampir membuat tabungannya ludes.

Sejak itu ia berpikir ulang tujuan hidupnya, memutuskan apa yang membuatnya bahagia. Saat itulah ia menyingkirkan sebagian besar barang miliknya.

Sasaki memahami minimalisme sebagai "gaya hidup yang berarti kita mengurangi jumlah barang yang kita miliki sampai tingkat paling minimum." Di bukunya ia menjelaskan, di masa lalu orang Jepang hidup minimalis.

Sebagian besar orang Jepang hanya memiliki dua sampai tiga kimono bersih. Orang bepergian tanpa pernah membawa banyak barang.

Sebetulnya, gaya hidup minimalis tak hanya pernah tumbuh di Jepang. Di berbagai masrayakat pra-industrialisasi dan konsumerisme, hidup minimalis dalam arti pola hidup sederhana jamak dilakukan.

Di seri buku Learning to Live edisi "Konsumerisme" (2011: 15) dikatakan, di beberapa negeri Eropa, sebelum ledakan ekonomi tahun 1960-an, baju digunakan selama mungkin, baju yang sudah tidak layak digunakan untuk lap, kain pel, dan sebagainya, mewariskan jam dan barang pecah belah dari generasi ke generasi dan umumnya, tidak membuang apa pun yang bisa diperbaiki atau digunakan kembali.

Di Jepang sendiri, minimalisme mulai banyak dibicarakan kembali sejak 2010. Sekitar tahun itu konsep "danshari" yakni seni membereskan, membuang, dan berpisah dari barang-barang jadi pembicaraan publik.

Pertanyaan yang penting diajukan adalah, kenapa kita tak melanjutkan pola hidup minimalis dan sederhana sebagaimana kakek dan nenek kita dahulu? Jawaban sederhanya, kita telah dikungkung budaya konsumtif.

Lewat berbagai iklan di media massa kita dibuat percaya semakin kita memiliki banyak barang, maka kita layak disebut orang kaya. Menjadi kaya, yang berarti punya banyak barang, jadi ukuran kebahagiaan.

Padahal kebahagiaan sebuah konsep semu. Apa yang membuat seseorang bahagia berbeda-beda. Fumio Sasaki justru merasa bahagia setelah membuang banyak barang-barangnya.

Dulu seorang maksimalis, bertekad menyimpan segalanya, membeli benda paling keren, paling besar, paling berat. Seiring waktu, barang terus bertambah. Huniannya jadi sempit dan ia kewalahan.

Ia menulis, "Energi saya habis untuk benda mati, dan saya terus merasa bersalah karena tidak mampu memanfaatka benda-benda itu dengan baik."

Di saat bersamaan ia terjebak dalam lingkaran setan yang lain. Meski sudah punya banyak barang, ia tak berhenti memikirkan barang yang belum ia miliki. Ia cemburu pada orang yang punya barang lebih darinya. Namun, ia juga tak membuang barang apapun.

Katanya, menyingkirkan barang membantu memutus lingkaran setan itu. Ia memberi saran, bila kamu mengalami apa yang ia rasakan sebelum jadi minimalis--tidak puas dengan kehidupan, merasa tidak aman, tidak bahagia--cobalah mengurangi barang-barang di sekitarmu dan kamu akan berubah.

Hidup
sumber: unsplash
"Rasa tidak bahagia timbul karena beban yang dibawa oleh semua barang-barang kita," tulisnya. Semakin sedikit barang, semakin sedikit beban, yang artinya semakin bahagia.

Menjalani Hidup Minimalis

Fumio Sasaki menegaskan, di zaman sekarang, kala teknologi kian canggih, pola hidup minimalis lebih gampang dipraktikkan. Untuk mendengarkan musik, ada pemutar MP3 atau iPod yang bisa menyimpan ribuan lagu. Bahkan, ada layanan streaming lagu yang bisa diunduh aplikasinya.

Demikian juga film dan buku. Kini ada layanan streaming film yang mudah diakses. Buku bisa dibaca versi digitalnya, tak perlu menyesaki ruangan dengan rak. Begitu juga televisi. Asal ada sambungan internet, kita bisa kunjungi situs stasiun TV atau mencari situs streaming.

Setelah curhat soal kehidupannya, Sasaki mengisi dua pertiga bukunya dengan tips bagaimana jadi minimalis. Tidak tanggung-tanggung, ia memberi 55 tips bagaimana berpisah dari barang-barang. Jika itu belum cukup, ia memberi 15 tips tambahan menjalani pola hidup minimalis.

Seorang minimalis, misalnya, menganggap lingkungan luar rumahnya sebagai "miliknya". Untuk menikmati sofa yang nyaman dan interior yang menawan, ia pergi ke kafe favoritnya. Toko yang menjual barang-barang dianggapnya gudang. Bila butuh sabun atau sampo, ia pergi ke "gudang" mengambilnya.

Fumio Sasaki menulis buku Goodbye, Things sambil mempraktikkan bagaimana seorang minimalis menulis buku. Ia menulis di laptopnya. Bahan-bahan tulisan ia simpan di Dropbox, aman dan tak makan tempat.

Hingga saat ini ia tinggal di apartemen kecil di Tokyo dengan tiga kemeja, empat celana panjang, empat pasang kaus kaki, dan sedikit benda lainnya. Fumio Sasaki bisa menjalaninya. Seharusnya kamu juga bisa. Berani mencoba menjadi minimalis?

Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang

Penulis: Fumio Sasaki
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, November 2018
Jumlah halaman: xxxi + 247 halaman

Goodbye

Dapatkan e-book-nya di sini >>


Ade Irwansyah

Ade Irwansyah

Contributing Writer for Gramedia.com

Enter your email below to join our newsletter