September Hitam: Kenapa Perlu Kita Ingat, Bukan Kita Lupakan?

“As my memory rests
But never forgets what I lost
Wake me up when September ends”

Kalau ada bulan yang sering bikin merinding pas dibuka lembar sejarahnya, September bisa dibilang kandidat terkuat. Soalnya, ada terlalu banyak peristiwa kelam dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah terjadi di bulan ini.

Makanya, jadi nggak heran kalau banyak orang menyebutnya sebagai: September Hitam 📅🏴

Dan yang jadi masalahnya lagi, hingga hari ini, deretan tragedi itu masih banyak yang belum benar-benar diselesaikan secara adil oleh negara. Korban dan keluarga masih menanti kejelasan; sementara peristiwa tersebut terus jadi bahan diskusi hangat dalam politik, sejarah, maupun sosial di Indonesia.

Jadi, apa aja sih tragedi yang bikin kalender September terasa begitu kelam? Yuk, kita telusuri jejaknya bareng-bareng. 🕵️‍♂️


Jejak Catatan Hitam di Bulan September

Setidaknya di bawah ini adalah deretan kejadian yang memiliki andil menghitamkan kalender September di Indonesia. 🔗📝

Tragedi 1965-1966 🚩

Kisah kelam ini dimulai dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S), ketika sejumlah perwira tinggi TNI dibunuh dan kemudian dijuluki sebagai Pahlawan Revolusi. Dari situ, dimulailah gelombang penangkapan, penghilangan, hingga pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Operasi militer besar-besaran yang digulirkan nggak cuma berhenti di Jakarta, tapi meluas ke berbagai daerah di penjuru Jawa, hingga Bali. Ribuan orang ditangkap tanpa pengadilan, diperkirakan 500 ribu–1 juta jiwa terbunuh; sementara banyak intelektual, seniman, dan sastrawan dibuang ke pulau-pulau pengasingan seperti Pulau Buru, Maluku.

Nggak berhenti sampai di situ. Banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri kehilangan paspor atau kewarganegaraan sehingga terpaksa menjadi eksil politik. Tragedi ini meninggalkan luka panjang yang efeknya masih terasa hingga sekarang.


Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984) 🚢

Berawal dari ketegangan soal kebijakan asas tunggal Pancasila dan larangan berjilbab, gerakan di Musala Assa’adah itu melebar jadi konflik berdarah. Aksi protes yang dipimpin Amir Biki berakhir tragis setelah aparat menembaki warga secara membabi buta.

Komnas HAM mencatat, setidaknya 24 orang tewas, puluhan luka-luka, dan ratusan ditangkap. Tragedi Tanjung Priok jadi simbol betapa kerasnya Orde Baru dalam membungkam suara rakyat. Sayangnya, sampai hari ini, pemulihan hak korban dan pengungkapan kebenaran masih jauh dari kata tuntas.


Tragedi Semanggi II (24 September 1999) 🛣

Pasca Reformasi, rakyat berharap kebebasan makin terbuka. Tapi realita berkata lain. Ketika DPR mengesahkan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, ribuan mahasiswa turun ke jalan. Aparat justru merespons dengan peluru.

Salah satu korban adalah Yap Yun Hap, mahasiswa yang tewas akibat tembakan. Investigasi Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) menunjukkan ada kelompok tentara yang memang menembaki massa. Meski sudah lebih dari dua dekade berlalu, kasus ini belum diakui sebagai pelanggaran HAM berat. Ini meninggalkan luka mendalam yang masih menganga.


Pembunuhan Munir Said Thalib  (7 September 2004) 👨

Munir, aktivis HAM yang dikenal vokal dalam mengkritik militerisme sekaligus memperjuangkan kontrol sipil dalam demokrasi, meninggal dunia dalam penerbangan Garuda Indonesia menuju Amsterdam akibat racun arsenik dengan dosis mematikan. Fakta tersebut memunculkan dugaan kuat adanya konspirasi yang melibatkan aparat intelijen negara.

Bukan tanpa alasan—Munir dikenal kritis terhadap RUU Intelijen dan TNI, aktif dalam penyelidikan pelanggaran HAM di Timor Timur, serta kasus penghilangan paksa. Sebagai simbol perlawanan terhadap represi, kehadirannya jelas menjadi ancaman bagi kelompok yang menolak perubahan.

Upaya hukum memang sempat dilakukan, menyingkap keterlibatan sejumlah aktor intelijen. Salah satunya adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang akhirnya divonis 20 tahun penjara dan telah bebas sejak 2018 lalu.

Namun, banyak pihak menilai kebenaran kasus ini masih jauh dari terang. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) bahkan menyebut nama-nama petinggi intelijen, termasuk Muchdi PR dan mantan Kepala BIN Hendropriyono, sebagai aktor potensial yang seharusnya diselidiki lebih jauh. Sayangnya, laporan lengkap Tim Pencari Fakta Munir tak pernah dipublikasikan.

Hingga kini, kasus ini tetap menyisakan misteri sekaligus pertanyaan besar tentang keseriusan negara dalam menegakkan keadilan dan menuntaskan pelanggaran HAM berat.


Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015) 👨‍🌾

Dari Lumajang, Jawa Timur, kabar duka datang dari seorang petani sekaligus aktivis bernama Salim Kancil. Ia dibunuh secara brutal lantaran menolak tambang pasir ilegal. Walaupun ada yang dihukum sebagai pelaku; dalang utama di balik tragedi ini tak pernah benar-benar diungkap di pengadilan.

Salim Kancil akhirnya dikenang sebagai simbol perlawanan warga kecil terhadap eksploitasi alam dan mafia tambang.

Baca Artikel Lainnya di Sini!


Kekerasan Massa Aksi Reformasi Dikorupsi (24-30 September 2019) 🏴

Gerakan mahasiswa terbesar sejak 1998 ini awalnya menolak revisi UU KPK dan sejumlah RUU kontroversial, seperti: RKUHP, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba. Dari Jakarta, gelombang protes itu menyebar ke banyak kota besar. Serentak, menggaungkan tagar #ReformasiDikorupsi

Sayangnya, aksi damai itu berubah jadi tragedi setelah aparat menggunakan kekerasan. Lima orang tewas, ratusan luka, dan ratusan lainnya mengalami trauma. Peristiwa ini menegaskan bahwa perjuangan untuk demokrasi dan transparansi masih sering berhadapan dengan represi.


Pembunuhan Pendeta Yeremia (19 September 2020) 👨‍💼

Di Papua, nama Pendeta Yeremia Zanambani menambah daftar korban kekerasan. Ia ditemukan tewas dengan luka tembak dan tusuk. Investigasi Komnas HAM mengindikasikan keterlibatan aparat TNI dalam eksekusi tersebut.

Sayangnya, penyelidikan berjalan lambat, penuh perbedaan versi, dan berpotensi berujung impunitas. Kasus ini lagi-lagi menunjukkan lemahnya akuntabilitas negara terhadap kekerasan di Papua.


Baca juga: Lebih Dekat dengan George Orwell: Penulis, Aktivis, dan Sorot Mata Visioner yang Mengubah Cara Kita Melihat Dunia!


Deretan Bacaan Lanjutan soal September Hitam! 📚⚫

Kalau kamu mau baca lebih lanjut soal kelamnya bulan September di Indonesia, Gramin udah sediakan list bacaan yang bisa kamu selami. Cek di sini:

1. G30S dan Asia: Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin – Aiko Kurasawa

Dapatkan di Sini!

Pembahasan mengenai peristiwa G30S yang menjadi salah satu sejarah kelam Indonesia memang tidak ada habisnya. Buku yang mengupas tentang peristiwa tersebut dari berbagai sisi juga sudah banyak ditulis.

Tetapi, G30S dan Asia: Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin menyajikan sudut pandang yang berbeda. Dalam buku berjumlah 338 halaman ini, Aiko Kurasawa menguraikan bagaimana respon dan keterlibatan negara-negara Asia terhadap peristiwa tersebut, hingga pengaruh G30S dalam perubahan peta politik di negara-negara tersebut.


2. Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 - Peter Kasenda

Dapatkan di Sini!

Pergolakan Politik 1965-1966 menempatkan Sarwo Edhie sebagai pusat perhatian. Pasca keberhasilannya membumihanguskan PKI, ia dikagumi sebagai penyelamat bangsa dari cengkeraman komunisme.

Kemudian waktu beranjak maju; kini namanya kembali disorot dalam konteks berbeda. Peranannya sebagai komandan pasukan komando pembasmi PKI dan para simpatisannya diletakkan dalam peta kejahatan kemanusiaan di Indonesia. Namanya dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat.

Perjalanan hidup Sarwo Edhie Wibowo adalah sebuah kontradiksi.


3. Gerakan 30 September Antara Fakta & Rekayasa - A. Pambudi

Dapatkan di Sini!

Gerakan 30 September: Antara Fakta & Rekayasa karya A. Pambudi mencoba membuka tabir kelam sejarah G30S lewat kesaksian para pelaku dan saksi mata. Buku ini tidak berhenti pada narasi tunggal yang selama puluhan tahun dibangun rezim Orde Baru, melainkan menelusuri berbagai versi, fakta, hingga dugaan rekayasa yang ikut membentuk persepsi publik.

Dengan gaya analisis yang lugas, penulis mengajak pembaca memahami kontroversi seputar siapa sebenarnya dalang G30S, bagaimana propaganda bekerja dalam membentuk opini, serta apa dampaknya terhadap perjalanan bangsa. Buku ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi juga sebuah ajakan untuk meninjau ulang kebenaran yang selama ini dianggap mutlak, sekaligus membuka ruang diskusi yang lebih kritis mengenai salah satu peristiwa paling gelap dalam sejarah Indonesia.


4. Pulang - Leila S. Chudori

Dapatkan di Sini!

Lintang Utara, puteri Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Deveraux, akhirnya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman keluarga korban tragedi 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya.

Apa yang terkuak oleh Lintang bukan sekedar masa lalu ayahnya dengan Surti Anandari, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di negerinya mempunyai kaitan dengan Ayah dan kawan-kawan ayahnya. Bersama Segara Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang kemudian menjadi kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun.

Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.


5. Menyingkap Trauma Bangsa: Luka Sejarah Indonesia dan Jalan Menuju Pemulihan Jiwa - Eunike Sri Tyas Suci, dkk.

Dapatkan di Sini!

"Ingatan kolektif sebuah bangsa tak hanya dibangun oleh kemenangan, tapi juga oleh luka."

Indonesia, dengan sejarah panjang penjajahan, kekerasan, bencana, dan konflik, menyimpan jejak trauma yang masih terasa hingga hari ini—baik di tubuh masyarakat maupun di relung-relung sunyi kenangan yang tak sempat diucapkan.

Disunting oleh Eunike Sri Tyas Suci dan Hans Pols, buku ini menghadirkan telaah lintas disiplin tentang trauma sejarah Indonesia—dari Peristiwa 1965, Tragedi Mei 1998, konflik antaragama dan sosial, hingga bencana alam yang mengguncang jiwa kolektif—turut menyelami bagaimana individu dan komunitas berusaha bertahan, membangun makna, dan menyembuhkan diri.

Ditulis oleh para akademisi, praktisi, dan penyintas, buku ini menyatukan suara-suara yang mencoba memahami, mengurai, dan menyembuhkan luka.


Jadi, Kenapa September Hitam Mesti Diperingati? 💁‍♀️

Deretan tragedi di atas bukan semata catatan hitam sejarah yang boleh dilupakan. Mengingatnya berarti menghargai para korban, menolak impunitas, dan terus menuntut keadilan. ✊⚖

September Hitam jadi alarm keras bahwa demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil selalu butuh dijaga. Kalau tidak, sejarah kelam bisa terulang.

Memperingati September Hitam bukan hanya wisata sepintas soal masa lalu, tapi juga tentang bagaimana kita memastikan masa depan Indonesia nggak lagi diwarnai tragedi serupa. Semoga, semoga, dan semoga. 🤞🕊


Baca juga: Gelombang Aksi & Buku-buku yang Relevan untuk Kamu Resapi Lagi 🔥


✨ Jangan lewatkan penawaran spesial lainnya dari Gramedia hanya untuk kamu! Cek promonya di bawah ini agar belanja kamu jadi lebih hemat! ⤵️

Temukan Semua Promo Spesial di Sini!