Perempuan dan Dunia Senyap di Sekitarnya

Hampir selalu muncul komentar yang menganggap remeh gagasan dalam tulisan perempuan. Terlalu sentimentil, terlalu domestik, sekadar curhat, atau tidak memiliki gagasan besar yang mengubah dalam karya. Komentar-komentar ini kerap ditujukan kepada penulis perempuan dan karya mereka yang terus dibanding-bandingkan dengan penulis laki-laki.

Alice Munro—peraih nobel sastra tahun 2013, sendiri mengakui dalam salah satu wawancara, bahwa perempuan (dan tulisannya) selalu diidentikkan dengan urusan domestik dan laki-laki berhak melakukan “hal besar” di luar urusan rumah tangga. Namun, apakah hal tersebut harus diimani seratus persen?

Nuansa demikianlah yang dipotret oleh Andina Dwifatma dalam novel terbarunya, Lebih Senyap dari Bisikan, yang terbit pada 30 Juni 2021. Novel ini adalah comeback Andina setelah novel perdananya, Semusim, dan Semusim Lagi yang terbit tahun 2013.

“Di novel kedua, aku fokus dengan ibu karena pengalaman itu yang dekat denganku dan aku merasa bisa menuliskannya dengan lebih baik,” ujar Andina dalam salah satu unggahan di akun media sosial miliknya.

Amara dan Baron, tokoh utama dalam novel ini dikisahkan sedang memasuki tahun pernikahan yang rentan pertanyaan kenapa belum punya anak. Amara dan Baron bukan hanya mulai terusik kehidupan pribadi mereka, tetapi turut terbawa dan mengikuti saran-saran ajaib dari orang luar agar cepat dapat momongan. Keduanya melakukan banyak hal yang kadang tidak masuk akal dan di luar nalar medis. Namun, perlahan mulai timbul bagaimana masyarakat menafikan posisi setara antara Amara dan Baron, antara istri dan suami.

Kenyataan bahwa Amara-lah yang kerap dicecar pertanyaan mengapa belum punya sambil mengelus perut Amara, seolah perempuan-istri satu-satunya yang bertanggung jawab dan boleh dipersalahkan atas keterlambatan mereka memiliki keturunan. Dijadikan sasaran ketidakmujuran membuat Amara tidak hanya didera keletihan fisik sebab berusaha memiliki anak, juga gempuran mental yang tidak kalah hebat. Jenis tekanan kedua ini yang oleh Baron dan juga masyarakat luas hampir tidak direken.

Amara pada akhirnya hamil, kemudian lahirlah Yuki. Posisi perempuan dalam hubungan rumah tangga nyatanya tidak semudah dalam kamus keluarga ideal. Suami-istri memiliki anak akan hidup bahagia, demikian utopia dalam masyarakat kita. Baron begitu mudahnya meninggalkan pengasuhan Yuki kepada Amara, dengan dalih pekerjaan. Seolah suami ‘hanya’ bertugas membuahi sel telur, sedangkan mulai dari enegnya muntah di awal kehamilan, letihnya mengandung, capeknya psikis sebab perubahan fisik, sakitnya melahirkan, dan menyusui diserahkan semua kepada perempuan. Sekali lagi, selalu ada demarkasi bahwa suami di luar mengurus hal besar, dan domestik itu pekerjaan khas perempuan.

Dunia dan persoalan yang dituliskan Andina memang tampak sangat personal. Namun bukan berarti hal tersebut bisa dinihilkan dalam khazanah sastra kita. Apalagi dianggap remeh dan tidak penting. Bila sastra adalah gambaran persoalan manusia, dan tentu persoalan manusia tidak melulu hal-hal grande yang bombastis.

Hal-hal yang terjadi di rumah, di keseharian juga perlu digaungkan. Terlebih pergolakan batin Amara mewakili apa yang terjadi dalam fase hidup perempuan. Harus diakui, dunia perempuan tentulah dunia yang hanya bisa dipahami dan dituliskan dengan apik oleh perempuan.  Dan novel Lebih Senyap dari Bisikan ini telah membawa perkara yang banyak orang anggap sepele menjadi persoalan besar dan harus diperhatikan.

“Mungkin memang ada hal-hal yang hanya bisa ditulis oleh pengarang perempuan, misalnya bagaimana rasa sakitnya melahirkan, penuh perjuangannya menyusui, atau perasaan sayang yang hampir-hampir enggak masuk akal dari seorang ibu untuk anaknya,” tambah Andina.

Terbitnya novel ini selain mencoba mengamplifikasi persoalan perempuan yang mungkin tidak banyak dipedulikan orang, juga bermaksud melawan stigma bahwa hanya tema besar yang perlu diperhatikan. Membawa urusan domestik ke dewan pembaca umum adalah hentakan kepada pembaca. Bagaimana hal-hal yang dekat lebih sering terlewat dan diabaikan oleh mata sastra kita. Bila di kehidupan nyata perkara ini dianggap sepele, maka sastra harus menjadikannya utama. Agar tidak ditimbun senyap dan sekadar bisik-bisik tanpa perhatian.

Novel ini juga bisa dibaca sebagai satire. Ia dengan sengaja menebalkan garis demarkasi antara suami dan istri. Bahwa perempuan mengurusi rumah tangga, dan laki-laki urusan lebih besar di luar rumah. Kemudian penggambaran kekalahan dan kejahilan Baron yang bukan hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga kehidupan keluarga dan rumah tangga. Dan Amara dan beberapa tokoh perempuan dalam novel ini, menjadi sosok penting yang membangkitkan dari keterpurukan.

View this post on Instagram

A post shared by Andina Dwifatma (@dwifatmandina)

Dua Kutub yang Berayun

Hal menarik lain dari buku ini, selain tema adalah bagaimana Andina Dwifatma menabrakkan dua hal yang biasanya dipertentangkan. Sikap Amara yang sangat modern, hidup dalam lingkungan urban, juga sesekali menengok hal-hal klenik tidak masuk akal.

Sosok perempuan bernama Macan, yang digambarkan sangat amburadul, justru membawa hal tenang dan menyelamatkan. Kehidupan mapan justru mebawa kerumpangan, dan suasana kekurangan membuat Amara memahami arti kehidupan. Ibarat wabi-sabi, ada keindahan di tengah ketidaksempurnaan.

Kontras dua kutub seperti ini yang juga tercermin dari sikap Amara dalam novel. Bila kebanyakan novel-novel tentang perempuan, selalu memposisikan perempuan yang antipernikahan, bebas merdeka atas tubuh masing-masing, Amara berlawanan dengan itu. Amara menikah, memiliki anak, dan menikah secara sah.

Meski suara Amara dalam novel ini jelas pemberontakan sekali. Dia melawan konsensus sosial bahwa perempuan harus begini-begitu, tanpa berseberangan dengan sistem. Mungkin itu pula, yang membuat tajuk novel ini merasuk. Lebih senyap, sebab perlawanan Amara tampak senyap tidak gaduh.

Novel kedua Andina Dwifatma ini boleh dianggap sebagai comeback yang baik. Tidak hanya mengasyikkan dibaca, juga mengayun pembaca dengan persoalan genting dalam rumah. Amara dan Baron mungkin cerminan persoalan manusia urban kebanyakan. Mereka hidup dengan tetap terjerat kebiasaan pada umumnya, tetapi juga berkeinginan menjadi bebas dan merdeka. Dan hidup Amara sudah bisa dipastikan akan memberi koneksi mahakuat kepada bukan hanya pembaca perempuan, tetapi juga pembaca laki-laki. Sebab episode Amara dalam novel ini adalah episode semua kehidupan. Oleh sebab itu, persoalan dalam novel ini tidak boleh dibiarkan senyap tanpa perhatian.

Penasaran cerita lengkap Amara dalam novel ini? Baca dan beli bukunya di sini!

Beli dan Baca Sekarang!

Karena kamu sudah membaca artikel, kamu dapat voucher diskon 20% untuk membeli novelnya! Ambil vouchernya sekarang dengan klik gambar di bawah ini.

Klik untuk Dapatkan Vouchernya!


Penulis: Teguh Afandi - Editor Bidang Sastra Gramedia Pustaka Utama

Sumber foto header: Dok. Gramedia Pustaka Utama