Seberapa Penting Membuat Konten Viral di Era Media Sosial?

Beberapa hari terakhir, media sosial digempur dengan kisah horor KKN di Desa Penari. Bermula dari sebuah utas di Twitter, viralnya konten KKN di Desa Penari menjadi bahan perbincangan di berbagai platform di Internet—beberapa media mainstream tanah air pun ikut membicarakan topik tersebut. Kompas.id bahkan sampai membuat laporan pencarian jejak di mana lokasi sebenarnya Desa Penari tersebut.

Seperti jajanan tradisional yang dijajakan di pasar, ada satu-dua kue yang paling diminati dan dibeli orang-orang yang berlalu-lalang. Itulah analogi konten yang berseliweran di Internet. Ada konten yang biasa-biasa saja dilirik oleh warganet. Ada pula konten viral yang diminati banyak orang. Konten viral adalah konten yang banyak dibicarakan dan menjadi trending topic di Internet. Pertanyaannya: Seberapa penting membuat konten viral itu?

Dalam sesi “Menggelar Tikar di Social Media” yang merupakan salah satu dari rangkaian acara Litbeat Festival 2019, bahasan soal membuat konten viral dimunculkan. Sesi yang dibawakan oleh Ditta Sekar Cempaka tersebut menghadirkan tiga pembicara yang berkecimpung di dunia penerbitan kreatif. Masing-masing dari mereka memberikan pandangan perihal konten.

Pembicara pertama adalah Rakhman Azhari atau biasa dipanggil Ote yang adalah Head of Commercial komik Tahilalats. Ote menjelaskan bahwa untuk membuat konten yang autentik perlu adanya personal touch. Kebanyakan konten yang mengandung personal touch tersebut digemari oleh warganet karena mereka bisa relate secara langsung. Tema lain yang bikin konten (terutama komik-komik Tahilalats) menjadi viral yang disebut Ote adalah konten yang membahas anxiety.

Leo Tigor Sidabutar yang juga pembicara dalam sesi tersebut mengiakan pendapat Ote tentang pentingnya keaslian konten. Pria yang kerap disapa Tigor itu adalah direktur Octopus Garden, penerbitan yang fokus pada karya-karya komik. Namun, Tigor mengingatkan bahwa tidak semua konten yang asli dan bagus memiliki penggemar yang besar. Mengakali hal itu, boleh-boleh saja untuk membuat konten yang sesuai tren.

Menurut Tigor, ada tiga metode untuk mengusahakan konten jadi viral. Pertama adalah dari pengalaman yang biasanya unik dan bikin orang penasaran. Kedua, membuat konten yang benar-benar baru dan sesuai dengan pasar. Ketiga adalah dengan riding the wave atau mengikuti tren.

Kisah horor KKN di Desa Penari bisa jadi masuk ke metode pertama yang berasal dari pengalaman unik dan bikin orang penasaran. Lalu, viralnya topik KKN di Desa Penari terjadi berkat metode ketiga. Karena sedang banyak dibicarakan, media-media lain tak mau ketinggalan untuk mengangkat topik KKN di Desa Penari.

Salman Faridi, CEO Penerbit Bentang Pustaka, juga hadir sebagai pembicara dalam sesi itu. Ia setuju bahwa konten itu kunci di era media sosial seperti sekarang ini. Hanya saja, tetap harus hati-hati untuk membuatnya. Salman mencontohkan dengan apa yang terjadi di Bentang Pustaka. Konten cerita yang dapat diakses via Internet yang memiliki readership tinggi tidak menjamin akan laris saat dicetak jadi buku. “Seperti buku Tenaga Kerja Istimewa karya Naiqueen,” kata Salman.

Dari situ, para editor Bentang Pustaka membuat riset sesuai psikodemografis. Hasilnya, mereka yang suka menulis cerita di Internet masih berkisar kelas 3 SMP. Mereka membaca dan menulis secara mobile melalui gadget yang baru mereka miliki dan dapat diakses secara gratis. Hal tersebut membuktikan bahwa mengetahui siapa audiens tiap konten juga penting.


Jadi, siap membuat konten viral? Perhatikan dulu hal-hal berikut: seperti apa kontennya, bagaimana metodenya, dan siapa audiensnya. Selamat mencoba!


Sumber gambar header: Instagram @litbeatfest