Biografi Peter Carey: Menyibak Sejarah Indonesia Lewat Lensa Sejarawan Inggris

Grameds pernah dengar tentang Peter Brian Ramsay Carey? Nama ini pasti sudah nggak asing lagi di telinga para penggelut sejarah. Yup, sejak 1970-an, Carey sudah mulai menekuni bidang sejarah di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Jawa.
Dalam perjalanan panjangnya selama menempuh pendidikan tinggi, Carey akhirnya mendedikasikan diri untuk meneliti riwayat hidup Pangeran Diponegoro. Alasannya sederhana: dia terkesima melihat sketsa Diponegoro dalam tulisan sejarawan Belanda populer, H.J. de Graaf, soal Perang Jawa. 😲🌟
"Ada semacam panggilan. Semacam kontak batin," - Peter Carey
Begitu katanya, dikutip dari historia.id. Sebagai sejarawan Inggris yang mendalami sejarah modern Jawa, karya-karyanya telah memberikan wawasan baru yang mendalam tentang masa lalu Indonesia, terutama dalam konteks kolonialisme dan perlawanan Jawa. 📚
Bahkan, buku-bukunya telah menjadi referensi penting bagi banyak peneliti yang ingin lebih memahami dinamika sejarah Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Nah di artikel ini, kita akan membahas sedikit mengenai kehidupan Carey. Baca sampai habis, ya!
Biografi Singkat Peter Carey

Peter Brian Ramsay Carey lahir pada 30 April 1948 di Rangoon, Burma (sekarang Yangon, Myanmar). Ia adalah seorang sejarawan terkemuka asal Inggris yang mendedikasikan diri dalam sejarah Indonesia, terutama pada periode kolonial dan modern, dengan fokus utama pada sejarah Jawa.
Karier akademis Carey dimulai dengan mendalami sejarah dan budaya Asia Tenggara. Ia pernah menjadi dosen tamu dan peneliti tamu di berbagai institusi di Indonesia, termasuk di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dan melakukan penelitian di sana selama bertahun-tahun.
Carey dikenal luas karena karyanya tentang Pangeran Diponegoro, salah satu tokoh penting dalam Perang Jawa (1825–1830). Penelitiannya selama lebih dari 40 tahun nggak cuma membongkar peristiwa-peristiwa sejarah, tapi juga menyoroti dinamika sosial dan politik pada masa itu. Selain penelitiannya tentang Diponegoro, Carey juga banyak menulis tentang pengaruh kolonialisme di Indonesia dan masyarakat Jawa.
Dipicu Sketsa Diponegoro
Percaya nggak kalau ketertarikan Carey terhadap Diponegoro berawal dari sebuah sketsa di buku sejarah? Yup, ini beneran!

Saat itu, Carey sedang menyelesaikan tesis doktoralnya. Awalnya, pilihannya jatuh kepada Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tapi, sketsa dari sosok Pangeran Diponegoro yang tengah menunggang kuda menarik perhatian Carey.
Dia melihat sisi misterius yang menggugah hatinya untuk meneliti lebih jauh soal kehidupan Diponegoro, meskipun pada saat itu belum banyak buku yang membahas soal Ksatria Piningit ini.
Nah, pada 1971, Carey memutuskan ke Indonesia untuk mengumpulkan keping-keping puzzle kehidupan Diponegoro. Selama perjalanan berminggu-minggu menggunakan kapal Jakarta Lloyd, Carey memanfaatkan waktunya untuk belajar Bahasa Indonesia bersama awak kapal.
Prosesnya menuju ke Indonesia juga nggak mudah, Carey bahkan sempat hampir mati di kapal karena salah makan dan usus buntunya pecah. Untungnya, ia masih bertahan. Namun, setelah sampai di Indonesia, rencananya gak semata-mata langsung berjalan lancar. Risetnya membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Setiap hari, Carey berangkat ke Arsip Nasional (ANRI) naik oplet untuk menekuni arsip demi arsip. Bahkan, dia bercerita bahwa selama beberapa waktu dirinya harus duduk bersila di atas meja karena banjir.
Puluhan Tahun Menelusuri Jejak Sejarah
Selama lebih dari empat dekade, Carey menghabiskan masa hidupnya untuk meneliti Pangeran Diponegoro dan menelusuri jejak-jejak sejarah yang membentuk Indonesia, khususnya Jawa. Penelitiannya dimulai pada awal 1970-an dan terus berlanjut hingga menjadi salah satu sejarawan paling terkemuka dalam kajian sejarah Indonesia.
Carey nggak hanya fokus pada peristiwa besar seperti Perang Jawa dan kehidupan Pangeran Diponegoro, ia juga menggali lapisan-lapisan sosial, politik, dan budaya yang sering terabaikan dalam narasi sejarah resmi.

Salah satu karya pentingnya adalah Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), yang membahas lebih jauh soal kehidupan Pangeran Diponegoro, salah satu tokoh utama dalam Perang Jawa (1825-1830).
Karya lain yang nggak kalah esensial adalah Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, yang menjelaskan bagaimana pemerintahan kolonial Belanda memanfaatkan teori rasial untuk mengelola masyarakat Indonesia. Carey menelusuri bagaimana pandangan rasial ini menjadi dasar dalam kebijakan kolonial yang diterapkan di Jawa pada awal abad ke-19.
Dedikasinya dalam menggali sumber-sumber sejarah, membantunya mengungkap kisah-kisah penting yang membentuk identitas bangsa Indonesia. Lewat karyanya, Carey nggak sekadar memberikan kontribusi besar bagi dunia akademis, tapi juga membantu pembaca untuk lebih memahami sejarah Indonesia dengan cara yang lebih mendalam dan dari sudut pandang yang lebih luas.
Deretan Buku Peter Carey
1. Urip Iku Urub
Terinspirasi dari falsafah Jawa, Urip iku Urup, yang mengajarkan bahwa hidup harus memberi manfaat bagi orang lain, seperti cahaya yang menerangi sekitarnya.
Falsafah ini menginspirasi Peter Carey yang telah menghabiskan lebih dari 40 tahun meneliti Pangeran Diponegoro untuk membuat buku Urip iku Urup. Isinya menceritakan sekaligus merayakan perjalanan hidup Carey dalam meneliti dan menulis. Ini sekaligus jadi persembahan dirinya untuk memperingati 70 tahun usianya.
Dalam buku tersebut, Carey membagikan refleksi pribadi dan pengalamannya, serta karya-karyanya yang mengubah pemahaman tentang sejarah Jawa.
2. Percakapan Dengan Diponegoro
Dalam kurun waktu 11 minggu setelah penahanan Diponegoro pada 28 Maret 1830 di Magelang, setiap percakapan dengan sang Pangeran dicatat oleh tiga perwira militer Belanda yang ditugaskan untuk mengawal perjalanannya ke pengasingan di Sulawesi.
Percakapan keempat, yang jauh lebih singkat, ditulis oleh putra bungsu Putra Mahkota Belanda, yang di kemudian hari diangkat menjadi Raja Belanda, Willem II (bertakhta 1840–49), Pangeran Hendrik (1820–79)—pada saat memegang jabatan letnan satu di Angkatan Laut Belanda—di Fort Rotterdam, Makassar, 1837.
Percakapan dengan Diponegoro berisi catatan lengkap dari semua perbincangan tersebut. Ditulis dengan gaya yang jujur, menarik, dan blak-blakan, buku ini untuk pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disajikan dalam konteks sejarah.
Sebagai sumber penting untuk setiap biografi Pangeran Diponegoro, catatan-catatan ini dibuka dengan sebuah esai biografis yang menggali peran empat perwira yang berinteraksi langsung dengan sang Pangeran, yang posisinya bisa dianggap sebagai "orang luar di dalam."
3. Perempuan-perempuan Perkasa
Buku ini mengungkap peran perempuan priayi dan perempuan keraton di Jawa Tengah Selatan hingga akhir Perang Jawa (1825–1830), yang memiliki kebebasan dan kesempatan untuk bertindak lebih luas dibandingkan dengan perempuan di akhir abad ke-19, seperti Raden Ajeng Kartini.
Mereka bahkan terlibat dalam dunia yang biasanya didominasi laki-laki, seperti militer, politik, dan bisnis. Salah satu contoh penting adalah Ratu Kencono Wulan, permaisuri Sultan Hamengku Buwono II, yang meskipun berasal dari keluarga sederhana, berhasil memanfaatkan posisinya untuk berperan besar dalam berbagai proyek bisnis.
Namun, pendidikan Barat dan sistem pendidikan yang dipengaruhi keluarga Indo-Belanda dianggap telah melemahkan pengaruh perempuan keraton.
4. Takdir—Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855
Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro adalah biografi komprehensif yang mengisahkan perjalanan hidup dan perjuangan Pangeran Diponegoro, mulai dari masa kecil hingga wafatnya. Buku ini menyoroti bagaimana Diponegoro, seorang keturunan Keraton Yogyakarta, menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah kolonial Belanda
Ketokohan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa sangat sentral dan menonjol. Gerakan perlawanannya bahkan layak disebut sebagai kompas kepemimpinan dan kejuangan bangsa. Lewat buku ini, Peter Carey menjabarkan kompleksitas peristiwa serta menampilkan Diponegoro sebagai sosok manusia utuh, yang memiliki roh dan kepribadian.
5. Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda
Peralihan kekuasaan antara rezim Daendels, Raffles, dan Belanda membawa dampak besar pada masyarakat Jawa, yang dianggap “terpuruk” dan “terbelakang” setelah masa kejayaannya. Pemerintahan kolonial saat itu berusaha “memberadabkan” masyarakat melalui kekuatan militer dan sistem pemerintahan yang baru.
Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda membahas masa penjajahan Indonesia antara 1808 hingga 1830, yang penuh dengan kekerasan dan pertempuran militer. Buku ini mengkaji bagaimana pemerintahan kolonial menggunakan teori rasial untuk mengatur masyarakat, dengan ras sebagai dasar utama dalam pengelolaan kolonial.
Selain itu, kritik terhadap penjajahan juga menjadi sorotan dalam buku ini. Dengan tujuh esai yang mendalam, buku ini mengungkap bagaimana ras dan identitas dikonstruksi oleh kolonialisme untuk menjaga kekuasaan di Jawa pada awal abad ke-19.
Baca Juga: Pengepungan Di Bukit Duri: Film Garapan Joko Anwar yang Menegangkan!
Itu dia sedikit pembahasan seputar biografi Peter Carey dan beberapa karya-karyanya hasil dari meneliti selama puluhan tahun. Lewat karyanya, ia membantu mengungkap kisah-kisah penting yang membentuk identitas bang sa Indonesia.
Btw, lagi ada diskon lho untuk Buku Seru Paling Diburu bulan Mei! Periodenya mulai dari 1-7 Mei 2025 aja! 😍 Yuk cek promonya, jangan sampai ketinggalan ya!
Lihat penawaran spesial lainnya dari Gramedia.com hanya untuk kamu! Cek promonya di bawah ini supaya kamu bisa belanja hemat! 😊👌